NovelToon NovelToon

ALKISAH : Doa Untuk Dunia [1001 Cerita Fantasi Indonesia]

KISAH: Api & Sungai yang Mengangkat Beban Dunia

Anak itu adalah orang yang mengangkat beban seluruh dunia ini seorang diri. Memang ia awalnya terlihat mampu, tapi pada akhirnya, semua orang tahu, bahwa dia pasti akan menyerah. Namun, bukan berarti ia akan kehilangan keyakinannya.

Di bawah langit malam, gadis kecil berpakaian lecek itu melangkah dengan ragu menyusuri daratan rumput itu. Di sekitarnya, ada banyak pepohonan yang tampak amat indah dan istimewa. Pasalnya, semua pohon yang tumbuh di sana, memiliki daun yang menyala terang, yang memancarkan warna merah muda yang sangat serasi dengan kegelapan malam kala itu. Umat manusia menyebut tempat ini sebagai Daratan Kenangan.

“Rasanya... dunia ini... sudah tidak memiliki harapan lagi...”

Berbagai pemikiran yang tidak menyenangkan mulai merasuk ke dalam gadis itu. Pandangannya yang kosong menatap lurus ke depan, seakan-akan dia sama sekali tidak peduli lagi dengan nasib dunia ini.

Namun, selain si gadis, rerumputan, kegelapan, dan pepohonan bersinar itu, di sana juga ada ribuan manusia lainnya, yang berpakaian kotor dan tidak terurus sama seperti gadis itu, yang sedari tadi sudah menunggu kedatangannya.

Semua orang memberikan jalan agar gadis mungil itu bisa lewat.

Gadis itu terus berjalan, sementara orang-orang di sekitarnya malah menatap dirinya dengan tatapan sedih, heran, dan takut.

Selang beberapa waktu kemudian, gadis itu pun berhenti melangkah. Di depannya kini ada suatu danau yang cukup lebar, yang hanya berjarak satu jengkal saja dari kaki telanjangnya yang penuh luka.

“Tuhan... mengapa dunia ini sangat senyap?”

Gadis kecil itu mengambil nafas dalam, lalu dengan perlahan dan pasti, dia mulai melangkahkan kakinya ke dalam air yang terasa amat dingin itu, dan berjalan menuju ke tengah-tengah danau. Semakin dalam dan semakin dalam, sampai-sampai setengah dari tubuhnya sudah tenggelam, dan hanya bagian perut ke atas saja yang terlihat darinya.

“Tuhan... mungkinkah ini adalah bayaran atas dosa-dosaku di masa lalu?”

Air di danau itu sangat tenang dan tidak beriak sama sekali, seakan-akan, danau itu terlihat seperti membeku, sama seperti gadis itu yang kini hanya berdiri diam di tengah danau.

Sekarang suasananya menjadi lebih hening—sangat hening.

Ada banyak orang yang melihat ke arah gadis itu dengan tatapan yang menyiratkan rasa putus asa yang sangat dalam. Sampai-sampai kau merasa seolah bisa melihat jurang tanpa dasar di dalam pandangan mereka. Sebagian orang di sana juga ada yang mulai menangis terisak, dan sebagian lagi gemetar hebat dan berkeringat dingin.

“Tuhan... Tolong dengarlah suaraku…”

Namun, tiba-tiba ada satu suara yang memecah keheningan malam.

Jauh di kiri gadis itu, ada seorang wanita yang baru turun ke air dan tengah berjalan ke arahnya. Wanita itu juga menggendong bayinya bersamanya. Meski begitu, wanita itu adalah satu dari sekian banyak orang yang tidak terlihat takut, sedih, ataupun putus asa. Dia hanya tersenyum kecil sambil memastikan bayinya tetap tertidur dalam dekapannya. Sementara jauh di belakang wanita itu, tampak pula seorang pria yang bertekuk lutut dan menangis layaknya seorang balita. Seolah-olah dia akan kehilangan wanita itu.

Dalam perjalanannya, wanita itu berbisik pada bayinya; “Semuanya akan baik-baik saja. Percayalah pada Ibu.” Suaranya yang pelan sungguh menenangkan.

Puluhan langkah telah ditempuh, dan wanita itu akhirnya sampai di hadapan si gadis di tengah-tengah danau. Wanita itu mengulurkan tangannya yang lemah kepada si gadis, tapi, gadis kecil itu malah menggigit bibirnya sendiri dengan sangat keras, dan tubuhnya juga ikut gemetar.

“Jangan takut, Nak Riveria...” Kata wanita itu sambil tersenyum simpul.

Dia tahu, bahwa wanita yang berdiri di depannya itu sebenarnya sudah sangat siap. Tapi, kenyataannya, satu-satunya orang yang belum siap di sini, kemungkinan adalah dirinya sendiri.

“Kau tahu, kan? Semakin cepat manusia pergi, maka dunia ini juga akan menjadi lebih baik.” Wanita itu menatap Riveria lamat-lamat. “Manusia adalah sumber kehancuran, Nak, dan aku adalah salah satu dari mereka.”

“Tapi—”

“Aku mengandalkanmu, Nak Riveria.”

Akhirnya, Riveria dengan berat hati terpaksa  menerima uluran tangan wanita itu.

“Kalau begitu, selamat tinggal.” Bisik wanita itu pelan, lalu kemudian wanita itu dengan perlahan membungkukkan tubuhnya sampai dia benar-benar tenggelam ke dalam air.

Jemari Riveria bergetar hebat, sampai-sampai dia kesulitan untuk melepaskan tangan wanita itu. Tapi, sungguh, hati kecil Riveria terus berteriak dan memberitahunya untuk tidak melepaskan tangannya.

Seketika, tubuh Riveria menjadi lemas bukan main entah karena apa.

Namun, saat tangan mereka telah bercerai, sesuatu yang gaib kembali terjadi.

Ada banyak titik-titik cahaya hijau terang yang mulai timbul dari tempat si wanita tadi tenggelam. Cahaya itu sejatinya terlihat sangat ajaib, tapi sayangnya, apa yang terpancar dari mata Riveria yang kala itu bergetar hebat bukanlah rasa kagum, melainkan rasa takut yang tiada tara.

Lambat laun, cahaya itu perlahan-lahan terangkat dari air dan naik ke udara, hingga lenyap begitu saja dari pandangan—dari dunia ini. Semua orang yang ada di sana hanya bisa terdiam melihat pemandangan itu. Dan dunia ini sekarang telah menjadi lebih senyap dari sebelumnya.

Riveria lalu menatap telapak tangannya dengan pandangan hampa. Suatu memori terlintas di dalam benaknya. Tapi, ingatan itu bukanlah miliknya, kenangan itu adalah milik wanita yang telah pergi sebelumnya.

Walau hanya sekilas, Riveria bisa melihat hampir semua kenangan itu dengan amat jelas. Namun, berdasarkan semua ingatan itu, Riveria hanya mampu menangkap dua ingatan saja yang memberikan kebahagiaan pada wanita itu, yaitu saat wanita itu menikah dengan pria yang tengah menangis di sana, dan yang kedua adalah waktu dia melahirkan anaknya. Sementara sisanya, adalah ingatan-ingatan yang pahit dan mengerikan.

“Bagaikan ribuan bintang di langit, tapi hanya dua bintang saja yang bersinar....”

Detik demi detik berlalu, dan kesenyapan itu tiba-tiba lenyap diiringi derap langkah kaki ratusan orang yang memutuskan untuk turun ke air dan menggapai Riveria di tengah danau.

Mereka adalah orang-orang yang telah siap untuk pergi meninggalkan kehidupan, sama seperti wanita tadi. Tapi bukan berarti mereka pergi ke surga atau pula ke neraka, karena saat ini, semua manusia tahu, bahwa gerbang di kedua tempat itu telah tertutup rapat.  

Saat ini, semua manusia sudah menjadi makhluk yang abadi, dan tak akan bisa mati. Walau begitu, bukan berarti Tuhan benar-benar meninggalkan manusia.

Empat ratus tahun lalu, suara Tuhan yang menggelegar di langit menyatakan bahwa Ia akan menurunkan Sepuluh Keajaiban Terakhir untuk umat manusia. Dan salah satu dari keajaiban itu, adalah Riveria, dia diberikan kemampuan untuk mengirim manusia ke dalam kematian yang hampa—dia diberikan hak untuk mengantarkan manusia ke dalam peristirahatan yang terakhir dari yang terakhir.

Kedengarannya tidak masuk akal, bukan? Namun sayangnya, sudah jelas kalau empat ratus tahun lalu, Tuhan sendirilah yang memberitahukan kebenaran itu pada manusia. jadi, semua orang hanya bisa menerima kenyataan ini dengan lapang dada.

Akan tetapi, jika masih ada orang yang mencoba untuk menyangkal kenyataan itu, mereka bisa bertanya pada Riveria secara langsung, mengingat dia adalah salah satu dari segelintir makhluk yang telah hidup sejak empat ratus tahun lalu—sejak dunia ini masih dikuasai oleh manusia.

Suara percikkan air, tangisan, teriakkan, dan keputusasaan terdengar makin membahana memenuhi tempat itu, seolah-olah ada upacara pemakaman massal yang tengah diadakan di Daratan Kenangan ini.

Lalu, saat pagi telah datang, Riveria pun pulang ke rumahnya untuk beristirahat.

Riveria berdiri sendirian di atas tumpukkan bebatuan yang menjulang tinggi bak bukit. Rambut pendeknya yang terurai ke leher memancarkan warna merah mengkilap layaknya api membara. Tatapan matanya yang sebiru langit tengah memandang kosong pada cakrawala yang terbentang di depannya. Kenyataannya, di dunia yang sudah hampir mati ini, hanya gadis mungil itu sajalah yang bisa menyelamatkan orang-orang.

Hanya dia.

Seorang gadis kecil nan rapuh yang dianggap terkutuk oleh manusia lainnya.

“Harus seberapa keras aku berteriak agar Engkau bisa mendengar suaraku... Tuhan.”

Riveria bertanya pada hati kecilnya. Entah kenapa kala itu Riveria seakan ingin menangis. Dia merasa bahwa dunia ini sudah bertindak terlalu berlebihan. Tapi, air matanya telah lama kering, menyisahkan tatapannya yang tanpa arti.

“Kenapa aku nggak memiliki perasaan lagi?” Tangan kiri Riveria bergerak meraba dada kirinya. “Kumohon... Tuhan, dengarlah suaraku untuk kali ini saja.” Suara Riveria terdengar layu dan malas.

Matahari sebentar lagi akan menampakkan dirinya, menandakan bahwa dunia ini masih bertahan dan memilih untuk terus melangkah, dan juga memutuskan untuk terus menyiksa umat manusia.

Riveria tetap berdiri di puncak bukit batu itu, menunggu datangnya sinar mentari.

Suara angin yang berhembus melalui jendela dan pintu gedung-gedung yang telah lama hancur dan tertutupi oleh debu yang amat tebal, seakan membawa suara jeritan ke telinga Riveria. Kendaraan, jalan raya, lampu lalu lintas, serta segala yang telah dibangun manusia di kota ini—semuanya telah lama mati.

Dunia ini berhasil bertahan melalui suatu malapetaka—kiamat.

Saat ini, hanya alam yang berkuasa atas bumi. Dan manusia? Manusia hidup dengan mengikuti aturan yang telah dibuat oleh alam. Tak ada lagi hukum manusia.

“Di manakah sebenarnya engkau, Tuhan?”

Akhirnya mata Riveria bisa menangkap sinar keemasan yang bersinar dari ufuk timur. Cahayanya begitu terang dan hangat, menembus pakaian kotor Riveria, dan seolah-olah cahaya itu tengah memeluk dirinya. Tubuh Riveria yang tadinya sangat kaku karena terkena angin malam, sekarang sudah terasa jauh lebih baik.

Waktu itu, meski hanya sesaat, Riveria bisa merasakan sesuatu yang disebut dengan kedamaian. Untuk sesaat—hanya sesaat saja—Riveria bisa melihat sesuatu yang disebut sebagai... “Harapan.”

Sungguh pemandangan yang amat megah, sekaligus perasaan yang luar biasa. Akan tetapi, terbitnya matahari adalah penanda waktu bagi Riveria untuk tidur.

Namun, karena sinar mentari itu juga, Riveria jadi teringat kembali dengan kejadian kemarin malam. Semua kenangan-kenangan yang diterimanya dari orang-orang yang telah pergi, sekarang telah lenyap dari kepalanya. Ia sudah tak merasa pusing lagi. Tapi, bukan berarti ia bisa melupakan kengerian yang dirasakannya saat berdiri di danau itu.

“Aku lelah banget... Hoam...” Mulut Riveria membuka lebar, ia menguap karena saking ngantuknya. Kemudian setelah melemaskan tubuhnya sedikit, Riveria pun mulai berbaring, dan dia pun terlelap begitu saja.

Hanya di puncak bukit batu itu sajalah, Riveria bisa tertidur pulas untuk melepas penat setelah semalaman menunaikan kewajibannya. Meski tak ada bantal yang empuk, atau alas yang lembut, bagi Riveria, tumpukkan bebatuan yang menjulang tinggi ini, adalah tempat yang bisa disebutnya sebagai rumah.

Riveria Agnisia, itulah namanya. Nama yang memiliki dua makna yang berbeda.

Dia adalah nyala api—api mungil yang bahkan bisa padam kapan saja hanya karena sepoy angin. Namun, di saat yang sama, dia adalah sungai—sungai yang amat deras yang akan terus mengalir tanpa ragu dan takut.

KISAH: Paus yang Menari di Angkasa

Selama ini, ikan paus itu adalah satu-satunya makhluk bernyawa yang terhipnotis akan musik indah dari permainan piano gadis berambut putih itu. Paus yang mengambang di angkasa itu terus menari-nari dengan gerakan yang gemulai, sementara gadis itu serta pianonya berada tak jauh dari paus yang tubuhnya sama besarnya layaknya bintang itu.

Sungguh, itu pemandangan paling indah yang pernah Veli lihat seumur hidupnya.

Paus yang berenang-renang di angkasa, merupakan salah satu dari sekian banyak rahasia paling megah yang disembunyikan oleh dunia ini. Tapi, kenapa semua ini dirahasiakan? Apa sebabnya? Padahal itu hanyalah seekor paus aneh dan seorang gadis.

Kenapa?

Sebagai seseorang yang menggenggam dunia ini, Veli hanya memiliki satu tugas untuk dilaksanakan, yaitu membantu semua orang untuk menyelesaikan kisah hidup mereka.

Kali ini, benang merah kembali melibatkan Veli ke dalam sebuah kisah yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya. Kini takdir membawanya ke tempat ini—ke atas langit biru yang begitu luas dan tak berujung, untuk menemui gadis berambut putih itu, juga si paus putih itu.

Inilah yang menjadi tugas kedua Veli sebagai Pemilik Dunia yang baru.

Kemanapun kedua mata Veli memandang, yang terlihat hanyalah warna oranye dari langit senja, juga awan-awan yang membentuk gulungan ombak, serta planet Mars yang tampak sangat dekat dan amat besar di angkasa sana.

Tapi, yang paling membuat Veli heran adalah tempatnya berdiri saat ini yang ternyata adalah air—atau mungkin lantai yang terbuat dari kaca—yang karena sangking beningnya, langit yang ada di atas sana bahkan berhasil dipantulkannya dengan sangat sempurna.

Dengan pandangan yang masih tertuju pada paus itu, Veli berjalan perlahan mendekati gadis yang tengah bermain piano itu. Jujur saja, dia sendiri masih merasa agak takut dengan makhluk dewata yang ukurannya bukan main itu. Apalagi Veli juga pernah mendengar rumor-rumor aneh tentang paus itu.

“Apa yang kau inginkan, wahai sang Pemilik Dunia?” Tanya gadis itu dengan suara yang lembut nan sendu, tapi anehnya berhasil membuat Veli tersentak kaget.

Padahal, Veli yakin betul kalau gadis itu tak pernah menoleh ke arah lain, apalagi matanya juga tertutupi oleh kain hitam yang melingkar di kepalanya. Dan tentu saja, seluruh perhatiannya pasti tengah disita oleh suara merdu dari pianonya.

“Tak ada gunanya mengendap-endap. Aku bahkan bisa mendengar suara anak-anak yang tengah bermain di taman di kota asalmu, Jogjakarta. Jadi, katakan apa yang kau inginkan dariku, Velicia.” Ujar gadis itu lagi.

Veli langsung memasang senyum kecil sewaktu mendengar apa yang baru saja dikatakan gadis itu. “Eh? Kupikir kau tidak menyadari keberadaanku, Fennah,” katanya sembari melangkah ke samping gadis itu—Fennah. “Jadi cerita itu memang benar, ya? Kalau kamu bisa mendengar semua suara yang ada di seluruh alam semesta.”

“Tentu,” jawab Fennah singkat. Jari-jarinya terus bergerak lincah dan gemulai di atas tuts pianonya. Berpindah-pindah dari kunci nada satu ke yang lain untuk membuat melodi merdu yang menenangkan jiwa dan raga.

“Wah, kau ternyata memang pandai bermain piano rupanya.” Mata Veli dibuat berbinar-binar karena kagum dengan cara Fennah memainkan pianonya.

“Hey, jangan sentuh pianoku.” Cegat Fennah yang entah bagaimana bisa tahu kalau Veli barusan berniat menekan tuts pianonya.”Aku tahu kau datang ke sini untuk membantuku menyelesaikan kisahku.”

“Oh? Dari mana kau tahu tentang tugasku?” Tanya Veli penasaran sambil beralih memandang paus itu.

“Aku mengenal baik Pemilik Dunia sebelum dirimu. Juga yang sebelumnya lagi. Dan yang sebelumnya lagi. Bahkan Pemilik Dunia yang paling pertama,” jelas Fennah. “Bisa dibilang, aku mengenal kalian semua.” Fennah memutar kepalanya, dan menoleh pada Veli. Tapi sepertinya, dia tetap tidak bisa melihat wujud Veli.

Mata Veli langsung melebar kala mendengar pernyataan Fennah. Dia agak terkejut. “Tunggu-tunggu. Kalau kau memang mengenal semua Pemilik Dunia yang sebelumnya, juga yang sebelumnya, bagaimana bisa kamu masih berada di sini? Harusnya kau sudah mati.”

Fennah tiba-tiba memasang senyum kecil yang aneh. “Jawabannya sudah jelas, bukan? Mereka semua gagal melakukannya.”

“Hmm... gagal, ya?” gumam Veli pelan sembari mendongak menatap angkasa. Benaknya berkecamuk bak badai. “Apa, ya, yang terjadi jika aku gagal sekali saja dalam tugas ini?”

“Sepertinya tidak apa-apa, kok. Buktinya, pendahulumu saja bisa menyelesaikan jatah mereka walaupun mereka tidak bisa membantuku,” jelas Fennah. “Jadi, bagaimana? Apa kau masih tetap ingin mencoba membantuku?”

“Hmm... Apa kau tahu? Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali aku merasakan keraguan seperti ini,” ujar Veli masih sambil menatap angkasa senja, yang tak lama lagi akan dikuasai oleh kegelapan malam. “Tapi, ya... aku akan tetap mencobanya, kok. Apalagi, ini baru tugas keduaku. Coba pikirkan, jika aku menyerah sekali saja tanpa mencoba terlebih dahulu, bagaimana bisa aku menyelesaikan miliaran kisah rumit yang lain? Lagipula, aku tidak pernah menyerah seumur hidupku. Dan sebisa mungkin, aku tetap tidak akan pernah menyerah sekalipun sampai tugasku selesai.”

Fennah tertawa pelan mendengar jawaban Veli. “Kau memang benar,” katanya. “Sekali saja kau mengetahui rasa dari menyerah itu sendiri, maka suatu hari nanti, kau pasti akan melakukannya lagi... Lagi... Lagi... dan lagi. Hingga kau mulai berpikir, bahwa berserah itu merupakan sesuatu yang sangat nikmat untuk dilakukan.”

Mata Veli membulat mendengar penjelasan Fennah yang agak terkesan aneh itu.

“Oh... begitu, ya?” Bahkan, Veli sempat berpikir kalau kata menyerah yang dimaksud Fennah itu adalah nama dari satu jenis makanan. Tapi, untung saja suara piano Fennah berhasil menyadarkan Veli dari lamunannya. Veli menunduk menatap jari-jari Fennah. “Hmm ... bisa nggak kamu berhenti bermain piano sedetik saja?”

Fennah memasang senyum anehnya lagi, lalu angkat bicara, “maksudmu ... kamu ingin agar aku menghancurkan bumi menjadi debu, gitu?”

“Hah?! Maksudmu?” Pekik Veli kaget.

“Sedetik saja pianoku berhenti mengalun, maka paus keparat itu akan bangun dari tidur abadinya, dan berenang ke dunia dunia manusia untuk menghancurkan segalanya.”

Awalnya Veli tidak paham dengan maksud Fennah yang mengatakan hal mengerikan seperti itu. Tapi, setelah mencari dalam memorinya selama beberapa saat, Veli akhirnya paham. “Jadi ... paus itu adalah Pembawa Kiamat yang ke sembilan, ya?”

“Yap! Selamat! anda telah memenangkan hadiah yang berupa kenyataan! Hahahaha—” Fennah terkekeh-kekeh dan sukses membuat Veli kesal.

“Huh!”

“Eh—ngomong-ngomong, Vel, sebentar lagi malam, tuh. Kamu nggak pulang?”

“Oh, iya, Fen! malam ini aku menginap di sini saja, boleh, kan?” Tanya Veli sambil membuka tas sampirnya yang mungil, lalu mengambil dua buah kain tebal berwarna krem berukuran jumbo dari dalam tas itu. “Oke. Satu untuk alas, dan satunya kujadikan selimut.”

“Ya. Suka-sukamu saja.” Ujar Fennah tak acuh.

Segera setelah mendapatkan izin dari tuan rumah, Veli langsung mengatur tempat tidurnya tepat di samping Fennah. “Yap, tempat tidur sudah siap, jadi sekarang tinggal makanannya.”

Veli kembali membuka tas mungilnya, kemudian mengeluarkan sebuah keranjang yang berisikan bahan-bahan makanan, juga sebuah kotak berukuran besar yang di dalamnya tersimpan tungku dan sekantong batu bara. Veli menata dapur kecil-kecilannya tak jauh dari sana, dan bersiap untuk memasak makan malam.

Detik demi detik, langit perlahan-lahan berubah menjadi gelap, dan udaranya juga semakin bertambah dingin. Mentari kini terlelap, dan bulan pun datang membawa cahaya baru untuk menerangi dunia. Langit yang tadi selayaknya kanvas polos, sekarang telah dipenuhi titik-titik berpendar yang berwarna-warni.

Beberapa batang lilin tiba-tiba muncul entah dari mana dan melayang-layang di sekitar Fennah dan Veli. Di lantai tempat mereka berpijak juga mulai memancarkan garis-garis cahaya aneh yang bergerak-gerak dan meliuk-liuk layaknya aurora yang seharusnya menyala di langit.

Mata Veli terpaku pada suatu pemandangan yang ada di langit timur sana. Itu tampak seperti sebuah batang pohon raksasa yang memancarkan cahaya putih temaram, dan menjulang tinggi ke angkasa seakan tak ada akhirnya.

“Sepertinya pohon itu memang tidak ada ujungnya, deh.” gumam Veli tanpa sadar sembari mengaduk sup yang tengah dimasaknya di dalam panci, lalu menyicipinya sedikit. “Oke, sepertinya sudah matang.” Setelahnya, Veli kemudian menjentikkan jarinya, dan api yang ada di dalam tungku itu pun padam seketika.

“Wah! Kau pandai masak juga, ternyata!” Puji Fennah yang terkagum-kagum setelah menyicipi sup buatan Veli untuk yang pertama kalinya. “Serius! Masakanmu enak banget, lho, Vel! Daging sapinya benar-benar lembut gini!”

Veli hanya bisa ternganga melihat reaksi Fennah. Gadis itu menggunakan tangan kanannya untuk menyendok sup dan melahapnya dengan kecepatan super. Sedangkan jari-jari tangan kirinya masih terus bergelut dengan pianonya dan menciptakan musik yang sendu.

“A-ah—ya, makasih...”

“Wah! Syukurlah! Padahal aku tidak ingat kapan terakhir kali aku makan! Tapi aku bersyukur banget! Masih bisa membedakan mana yang enak dan nggak!”

Setelah mereka berdua selesai makan, Veli langsung memasukkan semua barang-barangnya yang sudah tak terpakai lagi kembali ke dalam tas mungilnya. Hanya dengan satu jentikan jarinya saja, semua peralatan masaknya tiba-tiba mulai melayang-layang, dan meluncur dengan sendirinya ke dalam tasnya.

Veli kembali ke tempat tidurnya yang terletak di samping Fennah, dan duduk bersila disitu, lalu membungkus tubuhnya dengan selimut.

“Orang-orang di daratan sering menyinggung tentang keindahan yang hanya ada tempat ini,” Veli angkat bicara sambil menengadahkan kepalanya ke atas menatap langit. “Seyilva, atau begitulah nama yang tertera di peta. Sarang para Ubur-ubur Angkasa, makhluk hidup nan indah yang lahir dari segala macam warna yang ada di semesta ini. Keindahan yang bahkan melebihi Tujuh Bulan Naros.”

“Oh, jadi itu sebenarnya alasanmu menginap di sini?” Terka Fennah.

“Ya... begitulah.” Jawab Veli ragu-ragu. “Tapi, aku sebenarnya punya tujuan lain juga, sih. Kalau bisa, aku ingin mengambil beberapa ubur-ubur itu untuk diekstrak menjadi suatu bentuk keajaiban yang mungkin akan berguna untuk tugasku nanti.”

“Oh? Ambillah. Ubur-ubur itu nggak ada hubungannya denganku, kok.”

Veli melirik ke arah Fennah dengan tatapan yang kosong dan terkesan sedih.

Entah kenapa ada perasaan aneh yang tiba-tiba menyeruak masuk ke dalam diri Veli. Perasaan yang meledak-ledak dan membuat dia serasa sedang terjun bebas ke dalam jurang tanpa dasar. Suatu perasaan dingin dan menyesakkan yang terasa amat tidak nyaman.

“Kamu kenapa?” Tanya Fennah.

“Eh? Kenapa, apanya?”

“Nggak usah mengelak. Aku bisa mendengar tarikkan nafasmu yang berat itu, kok.” Jelas Fennah. “Kalau ada apa-apa, cerita saja sekarang. Mumpung senggang, kan?”

Veli mengambil nafas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. “Begini... sejak semua perjalanan mengerikan itu berakhir, entah kenapa dadaku selalu saja terasa sesak tiap kali melihat suatu pemandangan yang indah seperti ini.”

“Hah? Kok bisa?”

“Yah... aku juga bingung, sih.” Jawab Veli takut-takut. Ia menyipitkan matanya, sedih. “Aku hanya masih heran... Kenapa semua perjalananku dulu selalu saja berakhir dalam kekacauan dan perang yang tak ada habisnya... Padahal, ada begitu banyak orang yang menitipkan harapannya pada kami dalam petualangan itu.”

Rahang Veli terkatup rapat.

“Kenapa kegelapan yang pekat itu selalu saja datang walaupun di atas sana jelas-jelas ada suatu cahaya terang benderang yang tengah menyinari dunia ini? Kenapa semua masalah itu tak ada habisnya? Kenapa—”

“Dan kenapa kamu baru mengeluh sekarang?” Tukas Fennah tajam.

“Hah...?” Veli mengalihkan pandang pada Fennah.

“Lihat aku,” Fennah menjelaskan. “Saat aku mendengar suara yang muncul di kepalaku berabad-abad lalu, aku langsung yakin kalau suara itu akan menolongku dan membebaskanku dari segala penderitaan itu. Namun, kenyataan malah berkata lain.”

Permainan piano Fennah yang tadinya lembut dan menenangkan, kini terdengar berbeda. Seakan-akan dia sedang mencurahkan seluruh kemarahannya dari masa lampau ke dalam nada-nada yang sedang dia ciptakan saat ini juga.

“Waktu itu... aku merasakan dengan jelas ada yang menggendongku dan membawaku terbang ke langit. Dan setelah orang itu mendudukkanku di atas kursi ini, dia pun memintaku agar aku memainkan piano ini sampai selama-lamanya...”

“Dan?! Apa jawabanmu?!” Pekik Veli penasaran.

“Ya... Aku hanya bisa tersenyum saja dan melakukan apa yang dia katakan. Dan sejak saat itu, aku terus memainkan piano ini sampai saat ini.”

“Hah...?” Itu kenyataan pahit yang amat menyakitkan menurut Veli. Sangat jelas malah. Tapi, kenapa gadis ini malah menerima permintaan itu mentah-mentah, meski pun saat itu dia tidak mengetahui apapun. “Jadi... kau langsung menerimanya begitu saja?”

“Hooh,” jawab Fennah kalem. “Aku juga selalu merasa kalau Tuhan menciptakan aku agar aku bisa menunaikan tugas ini. Dan kalau dugaanku memang benar, itu artinya aku telah menjalani hidupku seperti yang seharusnya. Toh, begini malah lebih baik, kan?”

“Hidup seperti yang seharusnya?” Suara Veli membawa keraguan yang kental.

“Yap, aku hanya perlu hidup dan melakukan segala kebaikan yang bisa kulakukan.”

Pada titik ini, Veli akhirnya mulai paham dengan apa yang sebenarnya dimaksud Fennah. Selama ini, Veli hidup dengan menggantungkan mimpi dan angan-angan sebagai tujuannya. Kenyataannya, semua orang memang begitu—semua orang membutuhkan suatu piala penghargaan—tujuan—yang harus mereka capai di ujung jalan mereka, dan mereka pastinya akan melakukan apa saja demi mendapatkannya.

Namun, apa yang terjadi setelah orang-orang menggenggam piala itu? Tentu saja mereka tidak akan puas dan berusaha mencari piala penghargaan yang baru lagi, lalu meletakkannya di ujung jalan itu, kemudian berusaha untuk menggapainya lagi.

Siklus ini akan terus berulang dan tak akan ada akhirnya. Entah ini bisa disebut keuntungan atau kutukan, tapi selama orang-orang tetap berpikir bahwa itu perlu untuk kelangsungan hidup, maka mereka akan terus melakukannya dan tak peduli dengan segala persyaratan yang harus dipenuhi.

Termasuk melakukan kejahatan demi mencapai tujuan-tujuan itu.

“Ya, kalau dipikir-pikir... kita semua memang seperti itu, bukan? Kita memang mendambakan penghargaan yang layak.” Veli berbicara pada dirinya sendiri. “Tapi itu berarti kita tidak perlu tujuan untuk hidup, dong?” tanyanya pada Fennah.

Fennah mendesah. “Bukan berarti kau tidak memerlukan tujuan. Apa serunya, coba, hidup kalau tidak ada tantangan sama sekali.” Jelas Fennah. Permainan pianonya juga sudah kembali seperti semula—lembut dan menenangkan hati. “Nah, begini. Misalnya di depanmu ada sebuah pedang yang sudah kau cari-cari selama ini, tapi pada saat itu juga, di belakangmu ada seorang anak kecil yang tengah dikepung oleh sekelompok bandit. Jadi, coba beritahu aku, ke arah mana kedua kaki dan tanganmu akan bergerak lebih dulu?”

Veli tampak bingung. Bukan karena sulitnya menemukan jawaban untuk pertanyaan itu, melainkan karena keganjilan dari pertanyaan itu sendiri. “Eh... tentu saja aku akan menolong anak-anak itu lebih dulu. Aku bukan penjahat, lho.”

“Hmm... tak kusangka pemikiranmu sedangkal itu. Gimana kalau begini, pertama kau mengambil pedang itu dulu, terus kamu tolong, deh, anak-anak itu. Haduh... Vel, bisa-bisanya pikiranmu nggak sampai ke situ, padahal kamu ini sang Pemilik Dunia, lho. Tapi tenang saja, lagi pula itu hanya contoh.”

Veli menggembungkan pipinya, kesal. “Harusnya kau bilang kalau bisa begitu—”

“Jika tujuanmu adalah pedang itu, maka ambilah. Nggak ada yang akan menyalahkanmu, kok. Tapi, setelah kau berhasil mendapatkan apa yang kau inginkan, selanjutnya, adalah melakukan apa yang seharusnya kau lakukan. Selamatkanlah anak-anak itu. Dengan adanya sebilah pedang di tanganmu, pasti melakukannya tidak akan jadi masalah, bukan?”

Semua pembahasan ini menciptakan badai dahsyat di dalam benak Veli. Pelipisnya berdenyut nyeri karena penjelasan yang rumit dan kompleks itu. Otaknya terus menerus mengolah semua informasi itu, hingga akhirnya Veli sampai pada satu kesimpulan yang membuat bibirnya membentuk senyuman kecil tanpa arti.

“Intinya, yang perlu kita lakukan sekarang, adalah hidup. Kita harus hidup dan terus melangkah. Lakukan semua kebaikan yang bisa kau lakukan, jangan sekali-kali mencoba berpaling dari pekerjaan yang mampu kau selesaikan. Asal itu baik, maka perbuatlah.”

“Hmm... sepertinya aku mulai paham dengan cara berpikirmu.” Ujar Veli.

“Ya, baguslah kalau kamu paham. Apalagi bagi makhluk-makhluk abadi seperti kita, sebenarnya sangat tidak baik jika kita memiliki suatu keinginan dan impian. Mengingat kita tidak memiliki batas hidup sama sekali.”

“Yap, kau memang benar.” Veli menjatuhkan tubuhnya ke belakang, dan menutup matanya rapat-rapat untuk merenungkan semua kebenaran yang baru didengarnya itu. Dia terlihat seakan sedang tertidur pulas, tapi, jika kala itu Veli memang sedang tertidur, maka akan ada air liur yang mengalir keluar dari belahan bibirnya layaknya sungai. “Aku kadang lupa, kalau aku ini Selestial.”

“Dih... masa kamu yang baru jadi Selestial selama empat puluh lima tahun saja sudah pikun begitu. Padahal aku yang sudah hidup ratusan abad saja tak pernah lupa, tuh.”

Meskipun Veli tenggelam dalam lamunannya, dia masih mendengar suara Fennah dan memutuskan untuk meresponnya. “Kamu, sih, enak, Fen. Masalah yang kau miliki hanya paus itu saja, sementara aku masih punya banyak masalah, walau aku jelas-jelas sudah menjadi Pemilik Dunia.”

“Hahahaha—Tapi, ngomong-ngomong, bisa nggak kamu buka matamu sekarang?” Pinta Fennah tiba-tiba.

“Hmm? Kenapa memangnya?”

“Buka saja, kalau nggak, nanti menyesal, lho.”

Veli dengan ragu mengikuti permintaan Fennah. Kelopak matanya perlahan-lahan membuka, dan seketika, mata Veli langsung terbuka sangat lebar ketika mendapati suatu pemandangan yang sangat indah yang ternyata sedang berlangsung tepat di depan matanya.

“Wah...” Mata Veli berbinar-binar. Sudah hampir semenit berlalu, namun dia bahkan belum berkedip sekalipun karena terpaku akan pemandangan yang benar-benar mengagumkan itu.

Apa yang ada di atas langit sana bukanlah bintang-bintang, itu semua adalah lautan ubur-ubur yang menyala-nyala dan memancarkan beragam cahaya yang teramat sangat indah. Segala macam warna yang pernah dilihat Veli, maupun yang belum pernah dia lihat—semuanya ada pada makhluk-makhluk gaib yang kini mengambang di atas mereka itu.

“Apa-apaan... ini bukannya terlalu... megah, ya?” Veli perlahan-lahan bangkit.

“Hahahaha—semua orang juga selalu berkata seperti itu, tapi sayang, aku nggak bisa melihatnya.” Ujar Fennah yang terdengar senang.

“Eh...” Veli hanya mampu memasang senyuman kecut untuk menanggapi Fennah.

“Biasa aja, kali. Toh, aku juga sudah merasakan kebahagiaanku sendiri.” Jelas Fennah kalem. “Nah, buruan tangkap mereka biar semuanya selesai lebih cepat.”

“Baiklah...” bisik Veli lirih seraya melompat sangat tinggi ke langit bagai roket, dan pada saat itu pula, tiba-tiba saja ada debu-debu cahaya emas yang berkumpul di samping kanannya dan membentuk sebuah gelembung raksasa.

Dengan cekatan, Veli berhasil menangkap lima ekor ubur-ubur menggunakan gelembung itu. Setelah itu dia langsung mendarat kembali di samping Fennah.

“Hmm... ini terlalu cepat, kan?” Gumam Veli yang tengah menilik ubur-ubur di dalam gelembung itu. “Jadi... apa yang harus kulakukan sekarang?” Bisiknya sangat pelan.

“Jangan sampai gundah, Vel. Lebih baik kita selesaikan semuanya sekarang, oke?”

Veli tersentak mendengar Fennah. Tubuhnya terasa lemas dalam sekejap. Sorot matanya tampak sangat kosong, dan dia mulai menggigit bibirnya sendiri dengan sangat keras, sampai-sampai ada darah yang mengalir dari sela-sela bibirnya.

Veli mematung persis seperti sebuah patung.

“Hah...” Fennah menghela nafas dalam sembari menurunkan kedua tangannya dengan perlahan dari atas tuts, lalu ia bangkit berdiri seolah-olah tidak ada masalah yang akan terjadi.

Tiba-tiba, terdengar suara auman yang amat membahana dari si paus. Saat ini paus itu telah terbangun dari tidur abadinya, dan kini ia bersiap untuk meluluhlantakan dunia manusia dengan amukannya yang tanpa ampun—atau begitulah yang seharusnya terjadi.

Namun, Veli buru-buru menjentikkan jarinya sebelum semua itu terjadi, dan pada saat itu pula, sebuah pedang emas yang ukurannya lebih besar lagi dari pada paus itu—lebih besar dibandingkan sebuah bintang—tiba-tiba muncul di angkasa sana, di antara ubur-ubur, lalu jatuh layaknya kilat menembus tubuh paus itu, hingga membuat paus itu menjerit tak karuan dengan suara yang memekakkan telinga.

“A-apa yang kau lakukan, Fen!” Teriak Veli yang teramat sangat panik.

“Lebih cepat, lebih baik, bukan?” Jawab Fennah enteng.

“Ta-tapi, jangan tiba-tiba begitu, dong!” Veli kembali menoleh pada si paus yang masih mengerang kesakitan.

Tampaknya, paus itu tengah berusaha melepas pedang Veli dengan menghantamkan tubuhnya berkali-kali ke daratan kaca ini. Tapi, bukannya pedang itu yang lepas, malahan lubang besar tercipta di daratan kaca tepat di mana ia menghantamkan tubuhnya tadi, karena bobot tubuhnya yang terlalu besar. Alhasil, paus itu kini terjun bebas ke daratan.

“Tiap kali ada Raja Cahaya baru yang ingin membantuku, aku selalu berkata “tidak” begitu mereka menginjakkan kaki di atas daratan ini.” Fennah menjelaskan. “Dan setelah mendengar jawaban itu, mereka langsung meninggalkanku tanpa menawariku kesempatan yang kedua.”

Fennah memasukkan tangannya ke dalam gelembung yang berisi ubur-ubur itu, lalu perlahan-lahan, kelima ubur-ubur itu mulai larut menjadi gelombang cahaya dan menyatu membentuk sebuah bola kecil berwarna-warni berukuran seperti sebuah kelereng.

“Semuanya pergi begitu saja, dan tak ada satupun dari mereka yang mau memberiku kesempatan kedua. Tapi, ya, mereka mungkin sadar, kalau aku saat itu memang belum siap.” Fennah menarik keluar kelereng itu dari dalam gelembung, dan memberikannya pada Veli. “Namun, untungnya kau berbeda, Vel. Aku sangat senang sewaktu kau memutuskan untuk tidak menyerah, dan ingin mencoba untuk membantuku.”

“Hmm... Aku tidak merasa kalau kau menolakku, kok, Fen.” Jawab Veli heran sambil menatap lekat-lekat pada kelereng cantik itu yang telah berubah menjadi sebuah senjata api—pistol. “Tapi, kalau kau memang memilih untuk mengambil kesempatan ini, itu berarti kau sudah siap, ya?” Tanya Veli ragu.

“Ya, begitulah. Waktu aku sadar kalau aku sudah hidup sangat lama, di saat itu juga aku sadar, bahwa bagi makhluk tanpa waktu seperti kita ini, hidup dan mati bukanlah takdir terakhir yang menunggu kita di ujung jalan itu, melainkan keduanya itu hanya sekadar pilihan semata yang sama-sama tak ada artinya.”

Pandangan Veli beralih pada angkasa yang masih dipenuhi ubur-ubur ajaib itu.

“Hah... pantas saja, kau terlihat tenang-tenang saja dari tadi. Ternyata kau sudah tau tentang segalanya.” Veli mengambil nafas dalam, dan membulatkan tekadnya. “Nah, kalau begitu, aku tidak akan ragu lagi. Jadi, kali ini, tolong biarkan aku yang menyelesaikan kisahmu, Fennah Leivth.”

“Yap, silahkan saja, Velicia Irene Meliona. Tolong akhirilah kisahku.” Pinta Fennah tulus sambil menyunggingkan senyum simpul penuh arti.

Meski Fennah tak dapat melihat Veli, tapi dia masih mampu membayangkannya dan merasakannya. Dalam wujud gadis kecil yang lugu dan polos, Veli berdiri di hadapan Fennah, dengan pistol yang dia arahkan tepat ke dahi Fennah.

“Jadi... bagaimana?” Tanya Veli.

“Bagianku sudah selesai. Suamiku juga telah mengetahui tentang ini. Jadi sekarang, selesaikan bagianmu, Vel.”

“Baiklah kalau begitu. Selamat tinggal, Fennah.”

“Ya... Selamat tinggal... Veli.” Air mata mulai mengalir keluar melalui sela-sela kain penutup mata Fennah. Meskipun begitu, gadis itu tetap saja memasang senyumnya yang manis.

Dor!

Diiringi dengan suara tembakkan yang menggelegar itu, Fennah akhirnya berhasil meninggalkan kehidupannya, menuju ketenangan yang hampa dan abadi, yaitu kematian.

“Ya, pada akhirnya... kita semua, memang harus siap, bukan? Dia terpilih karena hanya dialah yang sanggup melakukannya... dan begitu juga denganku. Ya... setidaknya aku mulai paham mengapa Engkau memilihku untuk memiliki dunia ini...”

KISAH: Kapal yang Berlayar di Langit Lama

Suasana sekolah memang tidak pernah berubah, membosankan dan sangat tidak menyenangkan. Namun, Fatih memiliki satu cara ampuh untuk mengusir rasa bosan itu. Saat Fatih merasa dunia terasa sunyi dan hening, yang perlu Fatih lakukan hanyalah memandang ke angkasa, di mana di atas sana, di balik awan-awan, dia bisa melihat dengan kedua matanya sendiri, kapal-kapal yang berlayar di langit.

Ya, itulah yang dilakukan Fatih sekarang. Remaja kurus berseragam putih abu-abu dan berambut hitam gondrong yang duduk di bangku pojok belakang, tepat di samping jendela, sejak awal pelajaran hingga sekarang, yang dilakukannya hanya memandang angkasa dan mengamati kapal yang berlalu-lalang di atas sana.

“Kenapa, ya, Tuhan memberikanku mata ini?” Tanya Fatih pada dirinya.

Akan tetapi, Fatih sadar kalau dia sudah cukup lama melihat pemandangan gaib itu, jadi dia memutuskan untuk mengalihkan pandangannya sejenak, menarik nafas dalam, dan mengamati keadaan kelas saat itu.

Seperti biasa, jam pelajaran selalu begini-begini saja. Dari hari senin sampai sabtu, beginilah suasana kelas ini, tidak ada yang berbeda. Namun, Fatih juga sedikit suka dengan pemandangan seperti ini, saat-saat di mana ia bisa dengan leluasa menilik pribadi teman-temannya tanpa harus bertanya langsung pada mereka, dan yang perlu dilakukannya hanyalah melihat ekspresi wajah mereka.

Fatih bisa melihat mana temannya yang belajar dengan giat, juga anak yang tidak tertarik untuk belajar. Ada anak yang tampak semangat, dan ada juga yang terlihat malas dan mengantuk. Pada dasarnya, mereka semua memanglah berbeda, dan menurut Fatih, ini adalah hal yang menarik untuk diamati.

“Orang-orang itu... aneh banget, ya?” Gumam Fatih sambil menyeringai.

Namun, di antara semua teman-temannya, ada satu wajah yang membuat Fatih merasa sedikit kesal tiap kali memandangnya. Namanya adalah Jojo. Anak itu duduk di bangku paling belakang di barisan tengah, dan dari senyumannya, siapapun bisa tahu kalau dia bukanlah anak yang baik.

Dia sama benar-benar tidak layak… Pikir Fatih.

Jojo adalah putra dari pemimpin perkumpulan preman terkenal di kota ini, dan dia jugalah orang yang suka melakukan tindakan bullying pada murid-murid lainnya. Dia berlagak seperti bos besar. Bahkan, setelah dua tahun mengenal Jojo, Fatih hampir tidak pernah melihat anak itu menulis di bukunya sendiri, mengingat dia memiliki setidaknya tiga budak di kelas ini, yang akan mengikuti segala perintahnya.

Saat bel pulang berbunyi semua murid langsung buru-buru berkemas secepat yang mereka bisa, dan juga menyelesaikan tugas-tugas yang diperlukan, lalu saat semuanya sudah siap, mereka pun melesat keluar melalui pintu itu dan pulang ke rumah.

Tapi, berbeda dengan Fatih. Dia selalu memiliki tiga alasan atas penantiannya. Alasan yang pertama, ya, tentu saja dia ingin pergi dari tempat ini, dan alasan yang kedua berhubungan dengan keajaiban itu. Tapi alasan yang ketiga merupakan hal yang sangat berbeda.

“Hey, anak aneh!” Teriak Jojo. Dia terlihat marah.

“Hmm?” Fatih yang saat itu masih duduk di bangkunya dan tengah menikmati pemandangan langit, tiba-tiba dihampiri oleh Jojo serta kedua temannya yang bertubuh besar yang sejak dulu bertindak selayaknya bodyguard-nya.

Mungkin, banyak yang bertanya-tanya, kenapa wajah Fatih setiap hari terlihat bonyok dan penuh memar di mana-mana, jawabannya adalah, Jojo. Hampir setiap hari sepulang sekolah, anak itu terus menyiksa Fatih karena satu alasan sederhana, dan kelas inilah yang menjadi saksi bisu atas kejahatan itu.

Sementara kedua anak bertubuh subur itu mengekang Fatih, Jojo meninju dan menendang Fatih seakan-akan dia adalah samsak tinju. Dalam kurun waktu yang terhitung cukup lama, Fatih harus berhadapan dengan rasa sakit itu. Namun, Fatih menganggap ini sebagai suatu kesenangan.

“Kenapa kau tetap tersenyum, hah!?” Teriak Jojo yang tampak semakin kesal.

Fatih tetap tersenyum meski sudah disiksa berkali-kali. Sampai-sampai Jojo mungkin sangat membenci senyum Fatih yang satu itu.

“Bukannya sudah kubilang, kalau kau itu... tidaklah istimewa—ugh-ugh!” Kata Fatih yang sudah terlihat sekarat. Akan tetapi, karena kalimat itu pula, Jojo kembali melayangkan beberapa tinju menuju wajah dan perut Fatih.

Bagi Fatih, sebenarnya ini adalah pertukaran yang sepadan. Malahan, Fatih masih menang banyak. Fatih tahu apa yang membuat Jojo emosi, sementara Jojo sendiri tidak tahu alasan kenapa dirinya naik pitam setiap kali mendengar kalimat yang diucapkan Fatih.

Padahal, sudah satu tahun berlalu sejak Fatih mengucapkan kalimat itu untuk yang pertama kalinya, dan sudah satu tahun pula sejak Jojo mendengar pernyataan itu untuk kali pertamanya. Jojo semakin berubah hari demi hari. Dia menjadi semakin jahat, pemarah, dan wajahnya juga selalu terlihat sedih.

Fatih tahu bahwa dirinyalah pemenang dalam “pertarungan” ini. Dia selalu menang. Itulah sebabnya, Jojo terus melakukan kekejaman ini.

Fatih bisa melihat keajaiban itu, sementara Jojo hanya melihatnya sekilas saat itu.

“Hah... tadi itu menyenangkan juga.” Fatih bergumam. Dia kini berdiri di depan pohon beringin raksasa yang tumbuh di samping halaman sekolahnya. Pohon itu sudah sangat tua, dan akarnya timbul di mana-mana. Mungkin tak lama lagi pohon ini akan tumbang, tapi, Fatih tak yakin akan hal itu.

Lima belas menit sudah berlalu sejak Jojo dan kedua bawahannya meninggalkan Fatih terbaring di kelas seolah-olah dia sekarat dan hampir mati. Sekarang sudah pukul empat sore, dan ini adalah waktu bagi Fatih untuk menikmati keistimewaan yang telah diberikan padanya.

Fatih tersenyum kecil sambil meraba-raba wajahnya yang terasa sakit.

“Aduh... sialan, sakit banget. Aku nggak menyangka rasanya bisa bertambah parah seperti ini.” Ujar Fatih. “Tapi, aku tetap menang, sih—Aw!” Fatih tak sengaja menyentuh luka yang paling parah di wajahnya, dan rasa perihnya melonjak seketika.

“Kalau begitu, bukannya kamu malah terlihat seperti orang jahat, ya?” Tanya seorang gadis kecil yang tiba-tiba muncul di samping Fatih. Matanya terpaku memandang pohon beringin di depan mereka.

“Hmm? Aku, kan, memang orang jahat.” Ungkap Fatih sambil menoleh memandang gadis kecil yang mengenakan gaun putih bersih polos dan berwajah datar itu. “Berdasarkan kehidupanku di masa lalu, oh, jelas aku ini orang jahat.”

“Ya, ya, sakarepmu, lah.” Ujar gadis itu tak acuh.

“Oh, iya, kok, kamu baru muncul lagi sekarang? Sudah dua bulan lebih, lho, aku nggak lihat kamu di sini.” Jelas Fatih. “Kamu kemana saja, sih?”

“Kau serius memberikan pertanyaan seperti itu pada Roh Langit sepertiku?” Gadis itu kini memasang wajah heran.

“Eh... lupakan sajalah.” Fatih menghela nafas dalam. Senyuman kecil terbentuk di bibirnya. “Tapi, senang bisa melihatmu lagi, Ravril.” Kata Fatih tulus.

“Ya... senang bisa melihatmu juga, Fatih.” Ujar gadis itu yang juga tersenyum.

Guk! Guk!

Tanpa Fatih dan Ravril sadari, ternyata sekarang sudah ada seekor anjing kecil berbulu putih yang duduk di depan mereka. Anjing itu terus mengibas-ngibaskan ekornya, tanda bahwa dia sedang senang.

“Oh? Helly juga ada rupanya.” Kata Fatih.

Senja telah datang. Langit yang tadinya berwarna biru dan cerah, kini mulai memancarkan cahaya oranye yang membawa serta kehangatan. Sementara itu, Fatih, Ravril dan Helly si anjing masih berada di depan pohon beringin itu dan menunggu datangnya sesuatu yang entah apa.

Namun, setelah menunggu cukup lama, akhirnya sesuatu yang aneh pun terjadi. Bersamaan dengan datangnya hembusan angin yang lembut, sebuah pintu tiba-tiba muncul di permukaan batang pohon beringin itu. Pintu itu terlihat mahal, dan permukaannya dipoles mengkilap seperti baru.

Fatih yang pertama melangkah maju. Tangannya tanpa ragu menggapai gagang pintu itu, lalu menariknya sampai terbuka lebar, dan pada saat itu juga mata Fatih membelalak. Di balik pintu itu, Fatih bisa melihat pemandangan yang sungguh luar biasa menakjubkan. Suatu pemandangan yang sangat ajaib dan tak bisa diterima oleh akal manusia.

Fatih melirik Ravril dan Helly, kemudian, setelah meyakinkan diri, mereka bertiga pun melangkah melewati pintu itu dan tiba di tempat yang benar-benar berbeda. Kini mereka bertiga berjalan menyusuri jembatan yang terbuat dari kayu, dan meninggalkan kenyataan jauh di belakang mereka.

Sejatinya, pintu itu secara ajaib mengantarkan mereka bertiga ke atas suatu jembatan kayu yang berada di atas langit. Jauh tinggi di angkasa, di antara awan-awan putih, di bawah pancaran sinar mentari senja yang nyaman, disitulah Fatih, Ravril dan Helly berada sekarang.

Dengan keempat kaki mungilnya, Helly berlari menuju ke ujung jembatan, sementara Fatih dan Ravril berjalan dengan santai di belakang sambil menikmati pemandangan bernuansa magis di sekitar mereka.

“Sejak awal masuk sekolah, aku masih nggak tahu apa alasan Tuhan membiarkanku melihat semua ini.” Ungkap Fatih sembari menggapai gumpalan awan yang tak jauh di sampingnya. “Padahal aku ini penjahat... “ Fatih menambahkan. Air mukanya berubah aneh, dan senyumnya sedikit melengkung.

“Kenapa, sih, kau membahas itu lagi?” Tanya Ravril sedikit kesal.

“Ya, tentu saja, lah.” Celetuk Fatih. “Aku nggak jauh beda dengan Jojo, kok. Malahan aku lebih parah. Aku sudah pernah membunuh, lho, sedangkan dia mungkin nggak pernah.”

Entah kenapa kepala Fatih terasa berdenyut setelah mengatakan kenyataan itu. Sungguh sangat tidak menyenangkan jika harus mengungkit kejadian tragis yang pernah menimpanya di masa lalu.

Ravril menghela nafas dalam.

“Hey, Nak, mending jangan bertanya padaku, deh. Aku ini bukan Tuhan, soalnya yang memberimu izin untuk melihat semua ini, itu Tuhan, bukan aku.” Jelas Ravril. “Tapi... ya, memang, sih, kamu itu jahat. Cuma, yang bisa menentukan itu, ya, hanya yang di atas sana. Nggak ada makhluk hidup di bawah langit ini yang berhak menilai kamu baik atau jahat.”

Kini mereka bertiga telah sampai di ujung jembatan itu, dan di hadapan mereka terbentang luas langit yang begitu megah. Namun, meski mereka berada di atas langit sekalipun, tapi udaranya sama sekali tidak terasa terlalu dingin, melainkan hangat.

“Mungkin... Tuhan tidak melihat dirimu yang ada di masa lalu, tapi dia melihat dirimu yang ada di masa depan.” Ungkap Ravril.

“Hah? Maksudnya?” Tanya Fatih yang keheranan setengah mati.

“Maksudku... Ya, memang betul kalau kau jahat di masa lalu, tapi Tuhan pasti tahu kalau kau sudah berubah di masa depan. Maka dari itu Tuhan memilihmu untuk memiliki apa yang tak orang lain miliki. Tuhan memberimu berkat untuk melihat. Semacam hadiah, mungkin. Hadiah karena kau kelak akan berhasil berubah menjadi pribadi yang lebih baik.”

“Eh... “ Fatih terdiam. Dia dibuat bingung oleh perkataan Ravril.

“Lagian, kau juga tidak bersalah, kok. Toh, orang tuamu juga mau membunuhmu.”

Suasana seketika menjadi hening. Baik Fatih maupun Ravril, keduanya terdiam seribu bahasa, sementara Helly masih menggonggong ria di situ dan tak berhenti berlarian di antara kaki mereka.

Namun, apa yang dikatakan Ravril memang benar.

Fatih akhirnya mengerti kenapa Ravril selalu emosi setiap kali dia membahas tentang ini. Fatih seharusnya tidak menanyakan pertanyaan itu pada Ravril, karena sejak awal, Ravil tahu bahwa bukan dia yang harus menjawab pertanyaan itu.

Memang, Fatih pernah membunuh kedua orang tuanya waktu masih kecil. Tapi, jelas saja itu tak disengaja. Semuanya terjadi begitu saja tanpa Fatih niatkan.

Tuhanlah yang menciptakan masa lalu dan masa depan Fatih, dan Dia jugalah yang memberikan dan mengakhiri ujian-ujian itu. Tinta itu sudah tertuang dan telah mengering, jadi, yang perlu dilakukan Fatih sekarang adalah tinggal mengikuti alurnya saja.

“Syukurlah selama ini kamu cuma mengajukan pertanyaan itu padaku saja. Coba kalau orang lain yang kau ajukan pertanyaan itu. Bisa kacau, lho, urusannya.” Ungkap Ravril. “Aku hidup sudah lama banget, lho, Fat. Aku tahu sifat manusia. Meski mereka tahu kalau mereka tidak seharusnya menghakimi orang lain, tapi mereka tetap melakukannya dan mengambil keuntungan dari situ. Manusia itu... jahat—”

“Hmm... Ya... kau memang benar, Ril.” Potong Fatih tiba-tiba. “Entah kenapa aku baru sadar sekarang.”

“Eh? Apanya?”

Fatih masih terdiam dengan senyum yang melekat di bibir. Dia baru sadar akan satu hal yang terlewatkan selama ini. Setelah dua tahun, dia akhirnya sadar. Dia benar-benar sudah paham.

“Berarti, selama ini, Tuhan memilihku karena aku ini layak, kan?”

Tak lama kemudian, terdengar suatu suara dari arah belakang mereka. Suara yang perlahan mendekat itu terdengar sedikit berat dan berdengung. Sementara itu, Fatih bersama Ravril tetap berdiri di tempatnya dan memandang ke depan, sedangkan si Helly berlari mengejar sumber suara itu yang entah dari mana asalnya.

Bersamaan dengan datangnya hembusan angin kencang, tiba-tiba saja ada banyak kapal raksasa yang keluar dari gumpalan awan tebal di kiri dan kanan mereka. Jumlahnya ada sepuluh.

Dari ujung jembatan itu, Fatih juga bisa melihat beberapa sosok di atas kapal itu. Ada yang berwujud seperti manusia, dan ada pula yang wujudnya menyerupai sosok makhluk lain yang tidak pernah dilihat Fatih.

Kapal-kapal ajaib yang berlayar di udara itu, sebenarnya terlihat seperti kapal biasa pada umumnya. Terbuat dari kayu dan papan, serta memiliki layar dari kain putih yang agak kusam. Akan tetapi, tetap saja semua itu tidak menjelaskan bagaimana caranya kapal-kapal itu bisa mengambang di angkasa ini.

Fatih dan Ravril yang ada di sana berusaha agar tidak terhempas karena angin kencang yang datang bersama kapal-kapal itu. Senyuman yang melukiskan berbagai arti terbentuk di bibir mereka berdua, dan Helly terlihat semakin senang akan kemunculan kapal-kapal itu.

Dari kejauhan, terlihat seseorang yang melambaikan tangan di salah satu kapal itu. Fatih yang melihatnya tanpa ragu langsung membalas lambaian tangan orang itu dan mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi.

“Hati-hati, ya! Jangan sampai jatuh!” Teriak Fatih selantang mungkin.

Orang itu tertawa. Dari suaranya, dia pastilah seorang lelaki. “Tenang saja! Aku nggak akan jatuh, kok!”

Kapal-kapal itu berlayar semakin jauh, hingga akhirnya tak terlihat lagi oleh mata.

“Kenapa kamu jadi senang begitu, Fat?” Tanya Ravril sedikit heran.

“Ya, rasanya aneh saja. Soalnya sudah dua tahun aku mencari jawaban atas pertanyaan itu, tapi, aku sama sekali nggak menyangka jawabannya akan sesimpel ini.”

“Hmm...” Sambil tersenyum manis, Ravril menatap malas pada langit yang terbentang di hadapannya. “Tuhan menciptakan orang-orang karena mereka layak. Siapapun itu. Bahkan termasuk Jojo temanmu. Hanya saja... Tuhan bekerja dengan cara yang sangat misterius.”

“Ya... semua orang memang layak.” Bisik Fatih.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!