KISAH: Paus yang Menari di Angkasa

Selama ini, ikan paus itu adalah satu-satunya makhluk bernyawa yang terhipnotis akan musik indah dari permainan piano gadis berambut putih itu. Paus yang mengambang di angkasa itu terus menari-nari dengan gerakan yang gemulai, sementara gadis itu serta pianonya berada tak jauh dari paus yang tubuhnya sama besarnya layaknya bintang itu.

Sungguh, itu pemandangan paling indah yang pernah Veli lihat seumur hidupnya.

Paus yang berenang-renang di angkasa, merupakan salah satu dari sekian banyak rahasia paling megah yang disembunyikan oleh dunia ini. Tapi, kenapa semua ini dirahasiakan? Apa sebabnya? Padahal itu hanyalah seekor paus aneh dan seorang gadis.

Kenapa?

Sebagai seseorang yang menggenggam dunia ini, Veli hanya memiliki satu tugas untuk dilaksanakan, yaitu membantu semua orang untuk menyelesaikan kisah hidup mereka.

Kali ini, benang merah kembali melibatkan Veli ke dalam sebuah kisah yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya. Kini takdir membawanya ke tempat ini—ke atas langit biru yang begitu luas dan tak berujung, untuk menemui gadis berambut putih itu, juga si paus putih itu.

Inilah yang menjadi tugas kedua Veli sebagai Pemilik Dunia yang baru.

Kemanapun kedua mata Veli memandang, yang terlihat hanyalah warna oranye dari langit senja, juga awan-awan yang membentuk gulungan ombak, serta planet Mars yang tampak sangat dekat dan amat besar di angkasa sana.

Tapi, yang paling membuat Veli heran adalah tempatnya berdiri saat ini yang ternyata adalah air—atau mungkin lantai yang terbuat dari kaca—yang karena sangking beningnya, langit yang ada di atas sana bahkan berhasil dipantulkannya dengan sangat sempurna.

Dengan pandangan yang masih tertuju pada paus itu, Veli berjalan perlahan mendekati gadis yang tengah bermain piano itu. Jujur saja, dia sendiri masih merasa agak takut dengan makhluk dewata yang ukurannya bukan main itu. Apalagi Veli juga pernah mendengar rumor-rumor aneh tentang paus itu.

“Apa yang kau inginkan, wahai sang Pemilik Dunia?” Tanya gadis itu dengan suara yang lembut nan sendu, tapi anehnya berhasil membuat Veli tersentak kaget.

Padahal, Veli yakin betul kalau gadis itu tak pernah menoleh ke arah lain, apalagi matanya juga tertutupi oleh kain hitam yang melingkar di kepalanya. Dan tentu saja, seluruh perhatiannya pasti tengah disita oleh suara merdu dari pianonya.

“Tak ada gunanya mengendap-endap. Aku bahkan bisa mendengar suara anak-anak yang tengah bermain di taman di kota asalmu, Jogjakarta. Jadi, katakan apa yang kau inginkan dariku, Velicia.” Ujar gadis itu lagi.

Veli langsung memasang senyum kecil sewaktu mendengar apa yang baru saja dikatakan gadis itu. “Eh? Kupikir kau tidak menyadari keberadaanku, Fennah,” katanya sembari melangkah ke samping gadis itu—Fennah. “Jadi cerita itu memang benar, ya? Kalau kamu bisa mendengar semua suara yang ada di seluruh alam semesta.”

“Tentu,” jawab Fennah singkat. Jari-jarinya terus bergerak lincah dan gemulai di atas tuts pianonya. Berpindah-pindah dari kunci nada satu ke yang lain untuk membuat melodi merdu yang menenangkan jiwa dan raga.

“Wah, kau ternyata memang pandai bermain piano rupanya.” Mata Veli dibuat berbinar-binar karena kagum dengan cara Fennah memainkan pianonya.

“Hey, jangan sentuh pianoku.” Cegat Fennah yang entah bagaimana bisa tahu kalau Veli barusan berniat menekan tuts pianonya.”Aku tahu kau datang ke sini untuk membantuku menyelesaikan kisahku.”

“Oh? Dari mana kau tahu tentang tugasku?” Tanya Veli penasaran sambil beralih memandang paus itu.

“Aku mengenal baik Pemilik Dunia sebelum dirimu. Juga yang sebelumnya lagi. Dan yang sebelumnya lagi. Bahkan Pemilik Dunia yang paling pertama,” jelas Fennah. “Bisa dibilang, aku mengenal kalian semua.” Fennah memutar kepalanya, dan menoleh pada Veli. Tapi sepertinya, dia tetap tidak bisa melihat wujud Veli.

Mata Veli langsung melebar kala mendengar pernyataan Fennah. Dia agak terkejut. “Tunggu-tunggu. Kalau kau memang mengenal semua Pemilik Dunia yang sebelumnya, juga yang sebelumnya, bagaimana bisa kamu masih berada di sini? Harusnya kau sudah mati.”

Fennah tiba-tiba memasang senyum kecil yang aneh. “Jawabannya sudah jelas, bukan? Mereka semua gagal melakukannya.”

“Hmm... gagal, ya?” gumam Veli pelan sembari mendongak menatap angkasa. Benaknya berkecamuk bak badai. “Apa, ya, yang terjadi jika aku gagal sekali saja dalam tugas ini?”

“Sepertinya tidak apa-apa, kok. Buktinya, pendahulumu saja bisa menyelesaikan jatah mereka walaupun mereka tidak bisa membantuku,” jelas Fennah. “Jadi, bagaimana? Apa kau masih tetap ingin mencoba membantuku?”

“Hmm... Apa kau tahu? Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali aku merasakan keraguan seperti ini,” ujar Veli masih sambil menatap angkasa senja, yang tak lama lagi akan dikuasai oleh kegelapan malam. “Tapi, ya... aku akan tetap mencobanya, kok. Apalagi, ini baru tugas keduaku. Coba pikirkan, jika aku menyerah sekali saja tanpa mencoba terlebih dahulu, bagaimana bisa aku menyelesaikan miliaran kisah rumit yang lain? Lagipula, aku tidak pernah menyerah seumur hidupku. Dan sebisa mungkin, aku tetap tidak akan pernah menyerah sekalipun sampai tugasku selesai.”

Fennah tertawa pelan mendengar jawaban Veli. “Kau memang benar,” katanya. “Sekali saja kau mengetahui rasa dari menyerah itu sendiri, maka suatu hari nanti, kau pasti akan melakukannya lagi... Lagi... Lagi... dan lagi. Hingga kau mulai berpikir, bahwa berserah itu merupakan sesuatu yang sangat nikmat untuk dilakukan.”

Mata Veli membulat mendengar penjelasan Fennah yang agak terkesan aneh itu.

“Oh... begitu, ya?” Bahkan, Veli sempat berpikir kalau kata menyerah yang dimaksud Fennah itu adalah nama dari satu jenis makanan. Tapi, untung saja suara piano Fennah berhasil menyadarkan Veli dari lamunannya. Veli menunduk menatap jari-jari Fennah. “Hmm ... bisa nggak kamu berhenti bermain piano sedetik saja?”

Fennah memasang senyum anehnya lagi, lalu angkat bicara, “maksudmu ... kamu ingin agar aku menghancurkan bumi menjadi debu, gitu?”

“Hah?! Maksudmu?” Pekik Veli kaget.

“Sedetik saja pianoku berhenti mengalun, maka paus keparat itu akan bangun dari tidur abadinya, dan berenang ke dunia dunia manusia untuk menghancurkan segalanya.”

Awalnya Veli tidak paham dengan maksud Fennah yang mengatakan hal mengerikan seperti itu. Tapi, setelah mencari dalam memorinya selama beberapa saat, Veli akhirnya paham. “Jadi ... paus itu adalah Pembawa Kiamat yang ke sembilan, ya?”

“Yap! Selamat! anda telah memenangkan hadiah yang berupa kenyataan! Hahahaha—” Fennah terkekeh-kekeh dan sukses membuat Veli kesal.

“Huh!”

“Eh—ngomong-ngomong, Vel, sebentar lagi malam, tuh. Kamu nggak pulang?”

“Oh, iya, Fen! malam ini aku menginap di sini saja, boleh, kan?” Tanya Veli sambil membuka tas sampirnya yang mungil, lalu mengambil dua buah kain tebal berwarna krem berukuran jumbo dari dalam tas itu. “Oke. Satu untuk alas, dan satunya kujadikan selimut.”

“Ya. Suka-sukamu saja.” Ujar Fennah tak acuh.

Segera setelah mendapatkan izin dari tuan rumah, Veli langsung mengatur tempat tidurnya tepat di samping Fennah. “Yap, tempat tidur sudah siap, jadi sekarang tinggal makanannya.”

Veli kembali membuka tas mungilnya, kemudian mengeluarkan sebuah keranjang yang berisikan bahan-bahan makanan, juga sebuah kotak berukuran besar yang di dalamnya tersimpan tungku dan sekantong batu bara. Veli menata dapur kecil-kecilannya tak jauh dari sana, dan bersiap untuk memasak makan malam.

Detik demi detik, langit perlahan-lahan berubah menjadi gelap, dan udaranya juga semakin bertambah dingin. Mentari kini terlelap, dan bulan pun datang membawa cahaya baru untuk menerangi dunia. Langit yang tadi selayaknya kanvas polos, sekarang telah dipenuhi titik-titik berpendar yang berwarna-warni.

Beberapa batang lilin tiba-tiba muncul entah dari mana dan melayang-layang di sekitar Fennah dan Veli. Di lantai tempat mereka berpijak juga mulai memancarkan garis-garis cahaya aneh yang bergerak-gerak dan meliuk-liuk layaknya aurora yang seharusnya menyala di langit.

Mata Veli terpaku pada suatu pemandangan yang ada di langit timur sana. Itu tampak seperti sebuah batang pohon raksasa yang memancarkan cahaya putih temaram, dan menjulang tinggi ke angkasa seakan tak ada akhirnya.

“Sepertinya pohon itu memang tidak ada ujungnya, deh.” gumam Veli tanpa sadar sembari mengaduk sup yang tengah dimasaknya di dalam panci, lalu menyicipinya sedikit. “Oke, sepertinya sudah matang.” Setelahnya, Veli kemudian menjentikkan jarinya, dan api yang ada di dalam tungku itu pun padam seketika.

“Wah! Kau pandai masak juga, ternyata!” Puji Fennah yang terkagum-kagum setelah menyicipi sup buatan Veli untuk yang pertama kalinya. “Serius! Masakanmu enak banget, lho, Vel! Daging sapinya benar-benar lembut gini!”

Veli hanya bisa ternganga melihat reaksi Fennah. Gadis itu menggunakan tangan kanannya untuk menyendok sup dan melahapnya dengan kecepatan super. Sedangkan jari-jari tangan kirinya masih terus bergelut dengan pianonya dan menciptakan musik yang sendu.

“A-ah—ya, makasih...”

“Wah! Syukurlah! Padahal aku tidak ingat kapan terakhir kali aku makan! Tapi aku bersyukur banget! Masih bisa membedakan mana yang enak dan nggak!”

Setelah mereka berdua selesai makan, Veli langsung memasukkan semua barang-barangnya yang sudah tak terpakai lagi kembali ke dalam tas mungilnya. Hanya dengan satu jentikan jarinya saja, semua peralatan masaknya tiba-tiba mulai melayang-layang, dan meluncur dengan sendirinya ke dalam tasnya.

Veli kembali ke tempat tidurnya yang terletak di samping Fennah, dan duduk bersila disitu, lalu membungkus tubuhnya dengan selimut.

“Orang-orang di daratan sering menyinggung tentang keindahan yang hanya ada tempat ini,” Veli angkat bicara sambil menengadahkan kepalanya ke atas menatap langit. “Seyilva, atau begitulah nama yang tertera di peta. Sarang para Ubur-ubur Angkasa, makhluk hidup nan indah yang lahir dari segala macam warna yang ada di semesta ini. Keindahan yang bahkan melebihi Tujuh Bulan Naros.”

“Oh, jadi itu sebenarnya alasanmu menginap di sini?” Terka Fennah.

“Ya... begitulah.” Jawab Veli ragu-ragu. “Tapi, aku sebenarnya punya tujuan lain juga, sih. Kalau bisa, aku ingin mengambil beberapa ubur-ubur itu untuk diekstrak menjadi suatu bentuk keajaiban yang mungkin akan berguna untuk tugasku nanti.”

“Oh? Ambillah. Ubur-ubur itu nggak ada hubungannya denganku, kok.”

Veli melirik ke arah Fennah dengan tatapan yang kosong dan terkesan sedih.

Entah kenapa ada perasaan aneh yang tiba-tiba menyeruak masuk ke dalam diri Veli. Perasaan yang meledak-ledak dan membuat dia serasa sedang terjun bebas ke dalam jurang tanpa dasar. Suatu perasaan dingin dan menyesakkan yang terasa amat tidak nyaman.

“Kamu kenapa?” Tanya Fennah.

“Eh? Kenapa, apanya?”

“Nggak usah mengelak. Aku bisa mendengar tarikkan nafasmu yang berat itu, kok.” Jelas Fennah. “Kalau ada apa-apa, cerita saja sekarang. Mumpung senggang, kan?”

Veli mengambil nafas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. “Begini... sejak semua perjalanan mengerikan itu berakhir, entah kenapa dadaku selalu saja terasa sesak tiap kali melihat suatu pemandangan yang indah seperti ini.”

“Hah? Kok bisa?”

“Yah... aku juga bingung, sih.” Jawab Veli takut-takut. Ia menyipitkan matanya, sedih. “Aku hanya masih heran... Kenapa semua perjalananku dulu selalu saja berakhir dalam kekacauan dan perang yang tak ada habisnya... Padahal, ada begitu banyak orang yang menitipkan harapannya pada kami dalam petualangan itu.”

Rahang Veli terkatup rapat.

“Kenapa kegelapan yang pekat itu selalu saja datang walaupun di atas sana jelas-jelas ada suatu cahaya terang benderang yang tengah menyinari dunia ini? Kenapa semua masalah itu tak ada habisnya? Kenapa—”

“Dan kenapa kamu baru mengeluh sekarang?” Tukas Fennah tajam.

“Hah...?” Veli mengalihkan pandang pada Fennah.

“Lihat aku,” Fennah menjelaskan. “Saat aku mendengar suara yang muncul di kepalaku berabad-abad lalu, aku langsung yakin kalau suara itu akan menolongku dan membebaskanku dari segala penderitaan itu. Namun, kenyataan malah berkata lain.”

Permainan piano Fennah yang tadinya lembut dan menenangkan, kini terdengar berbeda. Seakan-akan dia sedang mencurahkan seluruh kemarahannya dari masa lampau ke dalam nada-nada yang sedang dia ciptakan saat ini juga.

“Waktu itu... aku merasakan dengan jelas ada yang menggendongku dan membawaku terbang ke langit. Dan setelah orang itu mendudukkanku di atas kursi ini, dia pun memintaku agar aku memainkan piano ini sampai selama-lamanya...”

“Dan?! Apa jawabanmu?!” Pekik Veli penasaran.

“Ya... Aku hanya bisa tersenyum saja dan melakukan apa yang dia katakan. Dan sejak saat itu, aku terus memainkan piano ini sampai saat ini.”

“Hah...?” Itu kenyataan pahit yang amat menyakitkan menurut Veli. Sangat jelas malah. Tapi, kenapa gadis ini malah menerima permintaan itu mentah-mentah, meski pun saat itu dia tidak mengetahui apapun. “Jadi... kau langsung menerimanya begitu saja?”

“Hooh,” jawab Fennah kalem. “Aku juga selalu merasa kalau Tuhan menciptakan aku agar aku bisa menunaikan tugas ini. Dan kalau dugaanku memang benar, itu artinya aku telah menjalani hidupku seperti yang seharusnya. Toh, begini malah lebih baik, kan?”

“Hidup seperti yang seharusnya?” Suara Veli membawa keraguan yang kental.

“Yap, aku hanya perlu hidup dan melakukan segala kebaikan yang bisa kulakukan.”

Pada titik ini, Veli akhirnya mulai paham dengan apa yang sebenarnya dimaksud Fennah. Selama ini, Veli hidup dengan menggantungkan mimpi dan angan-angan sebagai tujuannya. Kenyataannya, semua orang memang begitu—semua orang membutuhkan suatu piala penghargaan—tujuan—yang harus mereka capai di ujung jalan mereka, dan mereka pastinya akan melakukan apa saja demi mendapatkannya.

Namun, apa yang terjadi setelah orang-orang menggenggam piala itu? Tentu saja mereka tidak akan puas dan berusaha mencari piala penghargaan yang baru lagi, lalu meletakkannya di ujung jalan itu, kemudian berusaha untuk menggapainya lagi.

Siklus ini akan terus berulang dan tak akan ada akhirnya. Entah ini bisa disebut keuntungan atau kutukan, tapi selama orang-orang tetap berpikir bahwa itu perlu untuk kelangsungan hidup, maka mereka akan terus melakukannya dan tak peduli dengan segala persyaratan yang harus dipenuhi.

Termasuk melakukan kejahatan demi mencapai tujuan-tujuan itu.

“Ya, kalau dipikir-pikir... kita semua memang seperti itu, bukan? Kita memang mendambakan penghargaan yang layak.” Veli berbicara pada dirinya sendiri. “Tapi itu berarti kita tidak perlu tujuan untuk hidup, dong?” tanyanya pada Fennah.

Fennah mendesah. “Bukan berarti kau tidak memerlukan tujuan. Apa serunya, coba, hidup kalau tidak ada tantangan sama sekali.” Jelas Fennah. Permainan pianonya juga sudah kembali seperti semula—lembut dan menenangkan hati. “Nah, begini. Misalnya di depanmu ada sebuah pedang yang sudah kau cari-cari selama ini, tapi pada saat itu juga, di belakangmu ada seorang anak kecil yang tengah dikepung oleh sekelompok bandit. Jadi, coba beritahu aku, ke arah mana kedua kaki dan tanganmu akan bergerak lebih dulu?”

Veli tampak bingung. Bukan karena sulitnya menemukan jawaban untuk pertanyaan itu, melainkan karena keganjilan dari pertanyaan itu sendiri. “Eh... tentu saja aku akan menolong anak-anak itu lebih dulu. Aku bukan penjahat, lho.”

“Hmm... tak kusangka pemikiranmu sedangkal itu. Gimana kalau begini, pertama kau mengambil pedang itu dulu, terus kamu tolong, deh, anak-anak itu. Haduh... Vel, bisa-bisanya pikiranmu nggak sampai ke situ, padahal kamu ini sang Pemilik Dunia, lho. Tapi tenang saja, lagi pula itu hanya contoh.”

Veli menggembungkan pipinya, kesal. “Harusnya kau bilang kalau bisa begitu—”

“Jika tujuanmu adalah pedang itu, maka ambilah. Nggak ada yang akan menyalahkanmu, kok. Tapi, setelah kau berhasil mendapatkan apa yang kau inginkan, selanjutnya, adalah melakukan apa yang seharusnya kau lakukan. Selamatkanlah anak-anak itu. Dengan adanya sebilah pedang di tanganmu, pasti melakukannya tidak akan jadi masalah, bukan?”

Semua pembahasan ini menciptakan badai dahsyat di dalam benak Veli. Pelipisnya berdenyut nyeri karena penjelasan yang rumit dan kompleks itu. Otaknya terus menerus mengolah semua informasi itu, hingga akhirnya Veli sampai pada satu kesimpulan yang membuat bibirnya membentuk senyuman kecil tanpa arti.

“Intinya, yang perlu kita lakukan sekarang, adalah hidup. Kita harus hidup dan terus melangkah. Lakukan semua kebaikan yang bisa kau lakukan, jangan sekali-kali mencoba berpaling dari pekerjaan yang mampu kau selesaikan. Asal itu baik, maka perbuatlah.”

“Hmm... sepertinya aku mulai paham dengan cara berpikirmu.” Ujar Veli.

“Ya, baguslah kalau kamu paham. Apalagi bagi makhluk-makhluk abadi seperti kita, sebenarnya sangat tidak baik jika kita memiliki suatu keinginan dan impian. Mengingat kita tidak memiliki batas hidup sama sekali.”

“Yap, kau memang benar.” Veli menjatuhkan tubuhnya ke belakang, dan menutup matanya rapat-rapat untuk merenungkan semua kebenaran yang baru didengarnya itu. Dia terlihat seakan sedang tertidur pulas, tapi, jika kala itu Veli memang sedang tertidur, maka akan ada air liur yang mengalir keluar dari belahan bibirnya layaknya sungai. “Aku kadang lupa, kalau aku ini Selestial.”

“Dih... masa kamu yang baru jadi Selestial selama empat puluh lima tahun saja sudah pikun begitu. Padahal aku yang sudah hidup ratusan abad saja tak pernah lupa, tuh.”

Meskipun Veli tenggelam dalam lamunannya, dia masih mendengar suara Fennah dan memutuskan untuk meresponnya. “Kamu, sih, enak, Fen. Masalah yang kau miliki hanya paus itu saja, sementara aku masih punya banyak masalah, walau aku jelas-jelas sudah menjadi Pemilik Dunia.”

“Hahahaha—Tapi, ngomong-ngomong, bisa nggak kamu buka matamu sekarang?” Pinta Fennah tiba-tiba.

“Hmm? Kenapa memangnya?”

“Buka saja, kalau nggak, nanti menyesal, lho.”

Veli dengan ragu mengikuti permintaan Fennah. Kelopak matanya perlahan-lahan membuka, dan seketika, mata Veli langsung terbuka sangat lebar ketika mendapati suatu pemandangan yang sangat indah yang ternyata sedang berlangsung tepat di depan matanya.

“Wah...” Mata Veli berbinar-binar. Sudah hampir semenit berlalu, namun dia bahkan belum berkedip sekalipun karena terpaku akan pemandangan yang benar-benar mengagumkan itu.

Apa yang ada di atas langit sana bukanlah bintang-bintang, itu semua adalah lautan ubur-ubur yang menyala-nyala dan memancarkan beragam cahaya yang teramat sangat indah. Segala macam warna yang pernah dilihat Veli, maupun yang belum pernah dia lihat—semuanya ada pada makhluk-makhluk gaib yang kini mengambang di atas mereka itu.

“Apa-apaan... ini bukannya terlalu... megah, ya?” Veli perlahan-lahan bangkit.

“Hahahaha—semua orang juga selalu berkata seperti itu, tapi sayang, aku nggak bisa melihatnya.” Ujar Fennah yang terdengar senang.

“Eh...” Veli hanya mampu memasang senyuman kecut untuk menanggapi Fennah.

“Biasa aja, kali. Toh, aku juga sudah merasakan kebahagiaanku sendiri.” Jelas Fennah kalem. “Nah, buruan tangkap mereka biar semuanya selesai lebih cepat.”

“Baiklah...” bisik Veli lirih seraya melompat sangat tinggi ke langit bagai roket, dan pada saat itu pula, tiba-tiba saja ada debu-debu cahaya emas yang berkumpul di samping kanannya dan membentuk sebuah gelembung raksasa.

Dengan cekatan, Veli berhasil menangkap lima ekor ubur-ubur menggunakan gelembung itu. Setelah itu dia langsung mendarat kembali di samping Fennah.

“Hmm... ini terlalu cepat, kan?” Gumam Veli yang tengah menilik ubur-ubur di dalam gelembung itu. “Jadi... apa yang harus kulakukan sekarang?” Bisiknya sangat pelan.

“Jangan sampai gundah, Vel. Lebih baik kita selesaikan semuanya sekarang, oke?”

Veli tersentak mendengar Fennah. Tubuhnya terasa lemas dalam sekejap. Sorot matanya tampak sangat kosong, dan dia mulai menggigit bibirnya sendiri dengan sangat keras, sampai-sampai ada darah yang mengalir dari sela-sela bibirnya.

Veli mematung persis seperti sebuah patung.

“Hah...” Fennah menghela nafas dalam sembari menurunkan kedua tangannya dengan perlahan dari atas tuts, lalu ia bangkit berdiri seolah-olah tidak ada masalah yang akan terjadi.

Tiba-tiba, terdengar suara auman yang amat membahana dari si paus. Saat ini paus itu telah terbangun dari tidur abadinya, dan kini ia bersiap untuk meluluhlantakan dunia manusia dengan amukannya yang tanpa ampun—atau begitulah yang seharusnya terjadi.

Namun, Veli buru-buru menjentikkan jarinya sebelum semua itu terjadi, dan pada saat itu pula, sebuah pedang emas yang ukurannya lebih besar lagi dari pada paus itu—lebih besar dibandingkan sebuah bintang—tiba-tiba muncul di angkasa sana, di antara ubur-ubur, lalu jatuh layaknya kilat menembus tubuh paus itu, hingga membuat paus itu menjerit tak karuan dengan suara yang memekakkan telinga.

“A-apa yang kau lakukan, Fen!” Teriak Veli yang teramat sangat panik.

“Lebih cepat, lebih baik, bukan?” Jawab Fennah enteng.

“Ta-tapi, jangan tiba-tiba begitu, dong!” Veli kembali menoleh pada si paus yang masih mengerang kesakitan.

Tampaknya, paus itu tengah berusaha melepas pedang Veli dengan menghantamkan tubuhnya berkali-kali ke daratan kaca ini. Tapi, bukannya pedang itu yang lepas, malahan lubang besar tercipta di daratan kaca tepat di mana ia menghantamkan tubuhnya tadi, karena bobot tubuhnya yang terlalu besar. Alhasil, paus itu kini terjun bebas ke daratan.

“Tiap kali ada Raja Cahaya baru yang ingin membantuku, aku selalu berkata “tidak” begitu mereka menginjakkan kaki di atas daratan ini.” Fennah menjelaskan. “Dan setelah mendengar jawaban itu, mereka langsung meninggalkanku tanpa menawariku kesempatan yang kedua.”

Fennah memasukkan tangannya ke dalam gelembung yang berisi ubur-ubur itu, lalu perlahan-lahan, kelima ubur-ubur itu mulai larut menjadi gelombang cahaya dan menyatu membentuk sebuah bola kecil berwarna-warni berukuran seperti sebuah kelereng.

“Semuanya pergi begitu saja, dan tak ada satupun dari mereka yang mau memberiku kesempatan kedua. Tapi, ya, mereka mungkin sadar, kalau aku saat itu memang belum siap.” Fennah menarik keluar kelereng itu dari dalam gelembung, dan memberikannya pada Veli. “Namun, untungnya kau berbeda, Vel. Aku sangat senang sewaktu kau memutuskan untuk tidak menyerah, dan ingin mencoba untuk membantuku.”

“Hmm... Aku tidak merasa kalau kau menolakku, kok, Fen.” Jawab Veli heran sambil menatap lekat-lekat pada kelereng cantik itu yang telah berubah menjadi sebuah senjata api—pistol. “Tapi, kalau kau memang memilih untuk mengambil kesempatan ini, itu berarti kau sudah siap, ya?” Tanya Veli ragu.

“Ya, begitulah. Waktu aku sadar kalau aku sudah hidup sangat lama, di saat itu juga aku sadar, bahwa bagi makhluk tanpa waktu seperti kita ini, hidup dan mati bukanlah takdir terakhir yang menunggu kita di ujung jalan itu, melainkan keduanya itu hanya sekadar pilihan semata yang sama-sama tak ada artinya.”

Pandangan Veli beralih pada angkasa yang masih dipenuhi ubur-ubur ajaib itu.

“Hah... pantas saja, kau terlihat tenang-tenang saja dari tadi. Ternyata kau sudah tau tentang segalanya.” Veli mengambil nafas dalam, dan membulatkan tekadnya. “Nah, kalau begitu, aku tidak akan ragu lagi. Jadi, kali ini, tolong biarkan aku yang menyelesaikan kisahmu, Fennah Leivth.”

“Yap, silahkan saja, Velicia Irene Meliona. Tolong akhirilah kisahku.” Pinta Fennah tulus sambil menyunggingkan senyum simpul penuh arti.

Meski Fennah tak dapat melihat Veli, tapi dia masih mampu membayangkannya dan merasakannya. Dalam wujud gadis kecil yang lugu dan polos, Veli berdiri di hadapan Fennah, dengan pistol yang dia arahkan tepat ke dahi Fennah.

“Jadi... bagaimana?” Tanya Veli.

“Bagianku sudah selesai. Suamiku juga telah mengetahui tentang ini. Jadi sekarang, selesaikan bagianmu, Vel.”

“Baiklah kalau begitu. Selamat tinggal, Fennah.”

“Ya... Selamat tinggal... Veli.” Air mata mulai mengalir keluar melalui sela-sela kain penutup mata Fennah. Meskipun begitu, gadis itu tetap saja memasang senyumnya yang manis.

Dor!

Diiringi dengan suara tembakkan yang menggelegar itu, Fennah akhirnya berhasil meninggalkan kehidupannya, menuju ketenangan yang hampa dan abadi, yaitu kematian.

“Ya, pada akhirnya... kita semua, memang harus siap, bukan? Dia terpilih karena hanya dialah yang sanggup melakukannya... dan begitu juga denganku. Ya... setidaknya aku mulai paham mengapa Engkau memilihku untuk memiliki dunia ini...”

Terpopuler

Comments

Sinta.737

Sinta.737

Jadiin buku, pasti laku tuh kak

2021-03-19

3

Djohan

Djohan

Semangat terus kak... Aku mendukungmu.. Sudah aku favkan, sama ksih bintang 5. Bila berkenan mampir juga ya ke ceritaku " Ayah, Aku juga ingin bermain" Terima kasih😆

2021-02-09

1

lihat semua
Episodes
1 KISAH: Api & Sungai yang Mengangkat Beban Dunia
2 KISAH: Paus yang Menari di Angkasa
3 KISAH: Kapal yang Berlayar di Langit Lama
4 KISAH: Untuk Dirinya yang Telah Pergi
5 KISAH: Kawan-kawannya yang Tak Terlihat
6 KISAH: Pembunuh yang Mendambakan Kehidupan
7 KISAH: Salah satu Nama Kutukan
8 KISAH: Senyuman Sang Malaikat Maut
9 KISAH: Surat Terakhir yang Menggoreskan Kebahagiaan
10 KISAH: Janji Empat Naga Berwarna
11 KISAH: Keajaiban Peri Keemasan
12 KISAH: Sahabat Sang Merapi
13 KISAH: Mereka Yang Terpilih & Mereka Yang Tak Terlihat
14 KISAH: Tangisan Kepasrahan yang Terbakar
15 KISAH: Pelukan & Sayatan Masa Depan
16 KISAH: Pulang
17 KISAH: Abu
18 KISAH: Kenyataan
19 KISAH: Perpisahan
20 KISAH: Laut
21 KISAH: Gaib
22 KISAH: Dalam Kegelapan Lebih Lagi
23 KISAH: Bagaikan Angin Yang Datang & Pergi
24 KISAH: Hadiah Sederhana Yang Tak Ternilai
25 KISAH: Seorang Yang Ingin Percaya
26 KISAH: Tangisan Yang Lahir Dari Perang
27 KISAH: Kepahitan Hidup Yang Telah Lewat
28 KISAH: Bebungaan Yang Menyembunyikan Kengerian
29 KISAH: Cerita Yang Menembus Batas Garis Kehidupan
30 KISAH: Terbang Meninggalkan Penyesalan Masa Lalu
31 KISAH: Kemegahan Di antara Rerumputan
32 KISAH: Kekuatan Yang Patut Disyukuri
33 KISAH: Malapetaka Dari Bintang Jatuh
34 KISAH: Antara Jawaban & Darah
35 KISAH: Mereka Yang Harus Ditaklukkan
36 KISAH: Mahkota Raja Ramah
37 KISAH: Ular Laut Yang Diamuk Si Pendendam
38 KISAH: Gereja Yang Terbakar & Akhir Bunga Kenyataan
39 KISAH: Kenyataan Dunia/ Mereka Yang Fana & Mereka Yang Memegang Pedang
40 KISAH: Kenyataan Dunia/ Sayap Yang Tertidur
41 KISAH: Kenyataan Dunia/ Apel Akhir
42 KISAH: Kenyataan Dunia/ Prajurit-Prajurit Yang Tersembunyi
43 KISAH: Kenyataan Dunia/ Hujan Tombak Semerah Darah
44 KISAH/ Waktu Keajaiban: Di Kala Senja
45 EDEN/ Kemana Perginya Keajaiban?
46 KISAH/ Waktu Keajaiban: Malam Bersalju
47 KISAH/ Waktu Keajaiban: Pohon Yang Bercahaya
48 KISAH/ Waktu Keajaiban: Angan-Angan Yang Jauh
49 KISAH/ Waktu Keajaiban: Pembawa Nasib Buruk
50 KISAH/ Waktu Keajaiban: Kereta Fajar Di Tengah Samudra
51 KISAH/ Waktu Keajaiban: Nyanyian Dari Dunia & Untuk Dunia
52 KISAH/ Waktu Keajaiban: Rasa Di Bawah Bintang Malam
53 KISAH/ Takut Bagai Mati: Terbakar Oleh Salju
54 KISAH/ Waktu Keajaiban: Si Pemanggil Bintang
55 KISAH/ Dunia Nan Jauh: Anak Dalam Tragedi Mula-mula
56 KISAH/ Emas Terkutuk: Jati Diri Dunia
57 KISAH/ Sekte: Kesempatan Kedua Bagi Yang Tersesat
58 KISAH/ Rahasia Duniawi I: Mereka Yang Lelah Bertempur
59 KISAH/ Rahasia Duniawi II: Menuju Sisi Dunia Lain
60 KISAH/ Rahasia Duniawi III: Gadis Yang Melihat Bayang-bayang
61 KISAH/ Rahasia Duniawi IV: Pertemuan Di Hutan Terkutuk
62 EDEN II/ Dia, Dunia Ini & Harapan Yang Sirna
63 EDEN III/ Setidaknya Dia Tidak Sendirian
64 EDEN IV/ Segalanya Terbakar
Episodes

Updated 64 Episodes

1
KISAH: Api & Sungai yang Mengangkat Beban Dunia
2
KISAH: Paus yang Menari di Angkasa
3
KISAH: Kapal yang Berlayar di Langit Lama
4
KISAH: Untuk Dirinya yang Telah Pergi
5
KISAH: Kawan-kawannya yang Tak Terlihat
6
KISAH: Pembunuh yang Mendambakan Kehidupan
7
KISAH: Salah satu Nama Kutukan
8
KISAH: Senyuman Sang Malaikat Maut
9
KISAH: Surat Terakhir yang Menggoreskan Kebahagiaan
10
KISAH: Janji Empat Naga Berwarna
11
KISAH: Keajaiban Peri Keemasan
12
KISAH: Sahabat Sang Merapi
13
KISAH: Mereka Yang Terpilih & Mereka Yang Tak Terlihat
14
KISAH: Tangisan Kepasrahan yang Terbakar
15
KISAH: Pelukan & Sayatan Masa Depan
16
KISAH: Pulang
17
KISAH: Abu
18
KISAH: Kenyataan
19
KISAH: Perpisahan
20
KISAH: Laut
21
KISAH: Gaib
22
KISAH: Dalam Kegelapan Lebih Lagi
23
KISAH: Bagaikan Angin Yang Datang & Pergi
24
KISAH: Hadiah Sederhana Yang Tak Ternilai
25
KISAH: Seorang Yang Ingin Percaya
26
KISAH: Tangisan Yang Lahir Dari Perang
27
KISAH: Kepahitan Hidup Yang Telah Lewat
28
KISAH: Bebungaan Yang Menyembunyikan Kengerian
29
KISAH: Cerita Yang Menembus Batas Garis Kehidupan
30
KISAH: Terbang Meninggalkan Penyesalan Masa Lalu
31
KISAH: Kemegahan Di antara Rerumputan
32
KISAH: Kekuatan Yang Patut Disyukuri
33
KISAH: Malapetaka Dari Bintang Jatuh
34
KISAH: Antara Jawaban & Darah
35
KISAH: Mereka Yang Harus Ditaklukkan
36
KISAH: Mahkota Raja Ramah
37
KISAH: Ular Laut Yang Diamuk Si Pendendam
38
KISAH: Gereja Yang Terbakar & Akhir Bunga Kenyataan
39
KISAH: Kenyataan Dunia/ Mereka Yang Fana & Mereka Yang Memegang Pedang
40
KISAH: Kenyataan Dunia/ Sayap Yang Tertidur
41
KISAH: Kenyataan Dunia/ Apel Akhir
42
KISAH: Kenyataan Dunia/ Prajurit-Prajurit Yang Tersembunyi
43
KISAH: Kenyataan Dunia/ Hujan Tombak Semerah Darah
44
KISAH/ Waktu Keajaiban: Di Kala Senja
45
EDEN/ Kemana Perginya Keajaiban?
46
KISAH/ Waktu Keajaiban: Malam Bersalju
47
KISAH/ Waktu Keajaiban: Pohon Yang Bercahaya
48
KISAH/ Waktu Keajaiban: Angan-Angan Yang Jauh
49
KISAH/ Waktu Keajaiban: Pembawa Nasib Buruk
50
KISAH/ Waktu Keajaiban: Kereta Fajar Di Tengah Samudra
51
KISAH/ Waktu Keajaiban: Nyanyian Dari Dunia & Untuk Dunia
52
KISAH/ Waktu Keajaiban: Rasa Di Bawah Bintang Malam
53
KISAH/ Takut Bagai Mati: Terbakar Oleh Salju
54
KISAH/ Waktu Keajaiban: Si Pemanggil Bintang
55
KISAH/ Dunia Nan Jauh: Anak Dalam Tragedi Mula-mula
56
KISAH/ Emas Terkutuk: Jati Diri Dunia
57
KISAH/ Sekte: Kesempatan Kedua Bagi Yang Tersesat
58
KISAH/ Rahasia Duniawi I: Mereka Yang Lelah Bertempur
59
KISAH/ Rahasia Duniawi II: Menuju Sisi Dunia Lain
60
KISAH/ Rahasia Duniawi III: Gadis Yang Melihat Bayang-bayang
61
KISAH/ Rahasia Duniawi IV: Pertemuan Di Hutan Terkutuk
62
EDEN II/ Dia, Dunia Ini & Harapan Yang Sirna
63
EDEN III/ Setidaknya Dia Tidak Sendirian
64
EDEN IV/ Segalanya Terbakar

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!