Permaisuri Hati

Permaisuri Hati

Gadis Itu.

Pov Ilham

Pagi itu, ketika matahari mulai menampakkan sinarnya. Burung-burung berkicau menyambut datangnya sang surya. Gadis manis berjilbab biru itu tak terusik ketika sinar mentari menerpa wajahnya. Gadis itu memandang lurus kedepan tanpa menghiraukan sekelilingnya. Entah apa yang mengusik pikirannya saat ini, Ia hanya berdiam diri di teras Masjid.

Gelisah, itu yang dapat kutangkap dari sorot matanya. Jika mengenalnya, ingin rasanya Aku menghampiri dan sekedar bertanya apa yang sedang mengusik fikirannya saat ini. Tak lama kemudian datang gadis lain menghampirinya. Terlihat mereka sedikit bercengkerama, ‘ah sudah pasti temannya’ pikirku.

“Ilham”

Aku menoleh ke samping, terlihat perempuan cantik berjalan kearahku. Cinta pertamaku. Bunda begitu Aku memanggilnya. Dialah cintaku, perempuan yang sangat penting dalam hidupku. Kusambut Bunda dengan senyum terindah yang kumiliki.

“sudah selesai Bun?” tanyaku ketika Bunda berada didepanku.

“sudah, kita bahas di Rumah ya,” katanya kemudian.

-

Muhammad Ilham, nama yang telah kusandang sejak 2 bulan dalam kandungan Bunda. Begitulah kisah yang sering Bunda ceritakan. Ketika kabar kehadiranku terdengar, tak henti-hentinya Bunda dan Abi mengucapan beribu-ribu rasa syukur kepada Sang Pencipta. Bagaimana tidak kehadiran sang buah hati adalah anugerah terindah bagi semua pasangan suami istri.

Ilham. Begitu sapaan sederhanaku. Aku dibesarkan dilingkungan keluarga yang cukup mengenalkanku kepada Al-Quran dan sunnah. Diajarkan bagaimana mengenal yang baik dan buuk. Tapi membutuhkan usaha extra untuk menerapkannya. Belum genap sebulan Aku berada di tempat kelahiran, ada surat masuk agar Aku bersedia mengajar di Pondok Pesantren Al Hikmah di daerahku.

Entah bagaimana caranya hingga tawaran itu sampai kepadaku.

“Abang kan lulusan Pesantren,” celetuk Hana adikku. Saat pertanyaan-pertanyaaan heran kulontarkan kepada Abi. Abi hanya tersenyum menanggapinya.

“kan bisa to Bang, biar ilmunya bermanfaat gitu” begitu komentar Bunda.

“bener iku” Abi membenarkan.

Aku hanya diam tanpa menanggapi, yah mungkin rezekiku. Tidak bias mengabdi di Pesantren tempatku belajar, di Pesanren lainnya pun tdak masalah bagiku. Aku kemudian pamit masuk kamar kepada Bunda. Di kamar, aku duduk memikirkan apa yang harus kulakukan terlebih dahulu. Mengajar kah? Atau permintaan Bunda yang belum terlaksanakan.

Terlintas dipikiran permintaan Bunda yang dibenarkan Abi dua Minggu lalu. Sore itu, setelah pulang dari Masjid, aku mendapati Bunda duduk merenung dengan menggenggam buku kesayangganya, WANITA MUSLIMAH begitu yang tertulis di sampul buku berwarna merah muda itu. Tak seperti biasanya, Bunda yang kerap terlihat membaca buku disaat-saat senggangnya, kini hanya duduk merenung, menatap lurus kedepan tanpa membuka buku yang berada di genggamannya.

Segera kuhampiri untuk bertanya apa yang sedang mengusik pikirannya.

“Assalamualaikum Bunda,” sapaku, sambil mencim tangannya.

“Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh,” jawab Bunda dengan senyum indahnya yang tak pernah sirna dari wajah ayu yang mulai menua itu.

“mikirin apa Bun?, Ilham Llihat kok kayak banyak pikiran gitu.” Bunda tersenyum kemudian meletakkan buku yang digenggamnya di atas meja.

“ndak kok Ham” jawaban yang tidak memuaskanku, pikirku. Bunda sadar dengan perubahan mimic wajahku yan terlihat tidak puas dengan jawabannya.

“ilham Tanya beneran ini lo Bun,” kataku menegaskan “la wong kelihatan bunda lagi mikir sesuatu gitu” ujarku.

"Bunda mikirin Kamu itu loh” balasnya kemudian.

Aku cukup terkejut dengan jawaban Bunda yang diluar dugaan. Kupikir tadinya Bunda memikirkan tentang Hana. Ya adik semata wayang yang cukup membuat seluruh anggota keluarga sakit kepala. Bagaimana tidak? benar kata orang , jika bungsu pasti sangat dimanja begitulah yang viral dikalangan masyarakat dan benar terbukti adanya. Padahal Abi dan Bunda selalu mengajarkan Hana agar mandiri , tapi tetap saja tak ada perubahan pada sikap manjanya. Ketika Abi memintanya untuk mesantren Dia kekeuh tidak mau, dengan dalih tidak mau jauh dari Abi dan Bunda. Alhasil sikap manja yang semakin menumpuk itu makin menjadi-jadi hingga sekarang.

Tak jarang Bunda mengeluh pada sikap Hana yang apa-apa masih Bunda. Bunda iniku mana? Bunda ituku mana? Begitu yang masuk digendang telinga setiap pagi ketika memulai aktivitas. Kalau ditegur, dia selalu menjawab “kata Abi nggak papa nanti kalau waktunya mandiri ya mandiri sendiri” jika kalimat itu keluar Akulah orang pertama yang akan melengos mendengar ucapannya. Namun ada kebanggaan tersendiri, walaupun Hana begitu menyebalkan, Dia mmasih menjunjung tinggi kehormatannya sebagai wanita, menutup aurat dan mengerti batasan-batasannya sebagai wanita muslimah.

“kok diam Bang?” pertanyaan Bunda membuyarkan lamunanku.

Aku tesenyum

“Ilham kenapa Bun? Ilham ada buat salah ya sama Bunda?” tanyaku kemudian dengan raut wajah khawatir, takut jika ada sikap tak baik tanpa sadar menyakiti perasaan wanita tercinta dihadapanku ini.

“nggak” kata Bunda

“lah terus kenapa?” cecarku.

“kapan Kamu nikah?”

Deg.

Pertanyaan maut pikirku, bagaimana tidak? untuk sekedar mencoba menjawab saja Aku tak punya keberanian. Tapi pertanyaan inilah yang sudah menjadi ancang-ancang untukku beberapa tahun terakhir. Setelah S2 ku selesai, mondokku katam, dan ketika Abi memintaku melanjutkan bisnis Kafe yang sudahh dirintisnya dan memiliki beberapa cabang di luar kota. Aku sudah memikirikannya, tapi ketika keluar langsung dari mulut Bunda, aku gelagapan tak tau bagaimana menanggapinya.

Bunda tersenyum dan menggeser posisi duduknya ke arahku. “ apa yang buat kamu ragu Ham?” Tanya bunda kemudian. Bunda menatap kearahku, aku melihat keseriusan dimatanya. Aku tahu Bunda pasti mengerti apa yang membuatku ragu untuk melangkah kejenjang pernikahan.

“ehm” aku coba menetralkan degup jantung yang sedari tadi berdetak tak teratur.

“Ilham takut belum bisa menjadi seperti Abi Bun” kulihat Bunda menghembuskan nafas berat.

“sampai kapan pun kamu tidak bisa menjadi seperti Abi Abang” ujar Bunda.

“bimbing keluarga kecilmu sebagai Muhammad Ilham, bukan seperti Abdul Ghani atau siapapun itu” jelas Bunda.

Pernyataan Bunda sedikit menjernihkan pikiranku. Pasalanya selama ini Aku menjadikan Abi sebagai penutan sebagai pemimpin rumah tangga. Ketika melihat Bunda dan Hana yang tak pernah sedetik pun terlihat bersedih karena Abi.

Kebahagiaan yang selalu Abi berikan kepada keluarga kecilnya, inilah yang membuatku ingin membangun keluarga kecil seperti yang Abi. Bagaimana Abi berusaha memberikan nafkah zahir dan batin kepada kami istri dan anak-anaknya. Hal itu juga yang ingin kuberikan kepada keluarga kecilku nanti.

”apalagi yang kamu tunggu Ham? Kuliahmu sudah selesai, mondok juga nggak nanggung-nanggung loh 6 tahun, umurmu juga sudah cukup matang untuk berumah tangga. Jangan menunda-nunda untuk berumah tangga, ingat Ham hal buruk datang dari arah mana saja, Bunda rasa bekal yang kamu punya saat ini sudah cukup untuk membimbing anak dan isterimu, jika ada kekurangan nantinya kalian bisa saling mendukung untuk sama-sama memperbaiki diri menjadi yang lebih baik lagi” nasehat Bunda.

Bunda menatapku penuh arti, seakan meminta tanggapan dariku. Namun kebingungan masih memenuhi benakku , entah bagaimana aku harus menanggapi perkataan Bunda.

“lah kok malah meneng to” terlihat Bunda sudah mulai tak sabar ingin mendengar tanggapanku.

“iya Bunda, Ilham sedang mencermati nasehat Bunda” ujarku kemudian.

“bunda sudah penah bahas ini dengan Abi, kamu tah to rumah ini sepi sekali rasanya, Bunda sama Abimu juga mau cepet –cepet nimang cucu Ham".

Serasa mati rasa. Bunda seakan tak menerima penolakan untuk perkara yang satu ini. Mengingat tak banyak waktu yang kuhabiskan untuk mengenal makhluk Allah yang bernama perempuan, aku tak tahu harus memulainya dari mana.

Aku memalingkan wajahku ke arah Bunda, kutunggu Bunda melanjutkan kata-katanya tapi tak kunjung bersuara. Kami hanya saling melempar pandang. Aku tahu Bunda menunggu jawabanku, sepertinya kali ini Aku tak bsa mengelak walau baru pertama kali Bunda mengangkat topic ini.

“Bunda tahu kan Ilham nggak punya banyak kenalan perempuan, kalaupun ada Bunda juga tahu kalau cuman teman dan Ilham tidak tertarik dengan mereka, jadi untuk masalah ini, Ilham seahkan kepada Bunda, Bunda pilihlah yang menurut Bunda pantas untuk Ilham dan Ilham pantas untuknya, Ilham sami’na waata’na” akhirnya itu yang keluar dari mulutku ‘aku pasrah atas kehendakMU Ya Allah’.

Kulihat Bunda sedikit terkejut dengan jawabanku. Tapi sedetik kemudian Ia tersenyum dan mengusap bahuku

”Kamu yakin Bang?” Bunda mencoba meyakinkan.

“iya Bun Ilham yakin, Abang tahu Bunda pasti tahu yang terbaik untuk Ilham” kataku mencoba meyakinkan.

“begini saja, Bunda ada kenalan Ustadzah di kampusnya Hana, dia enanggung jawab santri Putri di situ. Nanti coba Bunda tanyakan ada nggak yang sekiranya cocok buat kamu. Kalau ada, nanti kita rundingkan. Kamu cocok nggak sama dia, kalau kamunya srek, dianya mau . baru kita bicarakan lagi agaiman?” Tanya Bunda

“iya Bunda , mana yang terbaik untuk semua saja.” Pasrah. Itu yang sudah kusugesti dalam diri ini, semua kuserahkan kepada Allah semoga yang dipilihkan Bunda yang trbaik untukku dan agamaku.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!