NovelToon NovelToon

Permaisuri Hati

Gadis Itu.

Pov Ilham

Pagi itu, ketika matahari mulai menampakkan sinarnya. Burung-burung berkicau menyambut datangnya sang surya. Gadis manis berjilbab biru itu tak terusik ketika sinar mentari menerpa wajahnya. Gadis itu memandang lurus kedepan tanpa menghiraukan sekelilingnya. Entah apa yang mengusik pikirannya saat ini, Ia hanya berdiam diri di teras Masjid.

Gelisah, itu yang dapat kutangkap dari sorot matanya. Jika mengenalnya, ingin rasanya Aku menghampiri dan sekedar bertanya apa yang sedang mengusik fikirannya saat ini. Tak lama kemudian datang gadis lain menghampirinya. Terlihat mereka sedikit bercengkerama, ‘ah sudah pasti temannya’ pikirku.

“Ilham”

Aku menoleh ke samping, terlihat perempuan cantik berjalan kearahku. Cinta pertamaku. Bunda begitu Aku memanggilnya. Dialah cintaku, perempuan yang sangat penting dalam hidupku. Kusambut Bunda dengan senyum terindah yang kumiliki.

“sudah selesai Bun?” tanyaku ketika Bunda berada didepanku.

“sudah, kita bahas di Rumah ya,” katanya kemudian.

-

Muhammad Ilham, nama yang telah kusandang sejak 2 bulan dalam kandungan Bunda. Begitulah kisah yang sering Bunda ceritakan. Ketika kabar kehadiranku terdengar, tak henti-hentinya Bunda dan Abi mengucapan beribu-ribu rasa syukur kepada Sang Pencipta. Bagaimana tidak kehadiran sang buah hati adalah anugerah terindah bagi semua pasangan suami istri.

Ilham. Begitu sapaan sederhanaku. Aku dibesarkan dilingkungan keluarga yang cukup mengenalkanku kepada Al-Quran dan sunnah. Diajarkan bagaimana mengenal yang baik dan buuk. Tapi membutuhkan usaha extra untuk menerapkannya. Belum genap sebulan Aku berada di tempat kelahiran, ada surat masuk agar Aku bersedia mengajar di Pondok Pesantren Al Hikmah di daerahku.

Entah bagaimana caranya hingga tawaran itu sampai kepadaku.

“Abang kan lulusan Pesantren,” celetuk Hana adikku. Saat pertanyaan-pertanyaaan heran kulontarkan kepada Abi. Abi hanya tersenyum menanggapinya.

“kan bisa to Bang, biar ilmunya bermanfaat gitu” begitu komentar Bunda.

“bener iku” Abi membenarkan.

Aku hanya diam tanpa menanggapi, yah mungkin rezekiku. Tidak bias mengabdi di Pesantren tempatku belajar, di Pesanren lainnya pun tdak masalah bagiku. Aku kemudian pamit masuk kamar kepada Bunda. Di kamar, aku duduk memikirkan apa yang harus kulakukan terlebih dahulu. Mengajar kah? Atau permintaan Bunda yang belum terlaksanakan.

Terlintas dipikiran permintaan Bunda yang dibenarkan Abi dua Minggu lalu. Sore itu, setelah pulang dari Masjid, aku mendapati Bunda duduk merenung dengan menggenggam buku kesayangganya, WANITA MUSLIMAH begitu yang tertulis di sampul buku berwarna merah muda itu. Tak seperti biasanya, Bunda yang kerap terlihat membaca buku disaat-saat senggangnya, kini hanya duduk merenung, menatap lurus kedepan tanpa membuka buku yang berada di genggamannya.

Segera kuhampiri untuk bertanya apa yang sedang mengusik pikirannya.

“Assalamualaikum Bunda,” sapaku, sambil mencim tangannya.

“Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh,” jawab Bunda dengan senyum indahnya yang tak pernah sirna dari wajah ayu yang mulai menua itu.

“mikirin apa Bun?, Ilham Llihat kok kayak banyak pikiran gitu.” Bunda tersenyum kemudian meletakkan buku yang digenggamnya di atas meja.

“ndak kok Ham” jawaban yang tidak memuaskanku, pikirku. Bunda sadar dengan perubahan mimic wajahku yan terlihat tidak puas dengan jawabannya.

“ilham Tanya beneran ini lo Bun,” kataku menegaskan “la wong kelihatan bunda lagi mikir sesuatu gitu” ujarku.

"Bunda mikirin Kamu itu loh” balasnya kemudian.

Aku cukup terkejut dengan jawaban Bunda yang diluar dugaan. Kupikir tadinya Bunda memikirkan tentang Hana. Ya adik semata wayang yang cukup membuat seluruh anggota keluarga sakit kepala. Bagaimana tidak? benar kata orang , jika bungsu pasti sangat dimanja begitulah yang viral dikalangan masyarakat dan benar terbukti adanya. Padahal Abi dan Bunda selalu mengajarkan Hana agar mandiri , tapi tetap saja tak ada perubahan pada sikap manjanya. Ketika Abi memintanya untuk mesantren Dia kekeuh tidak mau, dengan dalih tidak mau jauh dari Abi dan Bunda. Alhasil sikap manja yang semakin menumpuk itu makin menjadi-jadi hingga sekarang.

Tak jarang Bunda mengeluh pada sikap Hana yang apa-apa masih Bunda. Bunda iniku mana? Bunda ituku mana? Begitu yang masuk digendang telinga setiap pagi ketika memulai aktivitas. Kalau ditegur, dia selalu menjawab “kata Abi nggak papa nanti kalau waktunya mandiri ya mandiri sendiri” jika kalimat itu keluar Akulah orang pertama yang akan melengos mendengar ucapannya. Namun ada kebanggaan tersendiri, walaupun Hana begitu menyebalkan, Dia mmasih menjunjung tinggi kehormatannya sebagai wanita, menutup aurat dan mengerti batasan-batasannya sebagai wanita muslimah.

“kok diam Bang?” pertanyaan Bunda membuyarkan lamunanku.

Aku tesenyum

“Ilham kenapa Bun? Ilham ada buat salah ya sama Bunda?” tanyaku kemudian dengan raut wajah khawatir, takut jika ada sikap tak baik tanpa sadar menyakiti perasaan wanita tercinta dihadapanku ini.

“nggak” kata Bunda

“lah terus kenapa?” cecarku.

“kapan Kamu nikah?”

Deg.

Pertanyaan maut pikirku, bagaimana tidak? untuk sekedar mencoba menjawab saja Aku tak punya keberanian. Tapi pertanyaan inilah yang sudah menjadi ancang-ancang untukku beberapa tahun terakhir. Setelah S2 ku selesai, mondokku katam, dan ketika Abi memintaku melanjutkan bisnis Kafe yang sudahh dirintisnya dan memiliki beberapa cabang di luar kota. Aku sudah memikirikannya, tapi ketika keluar langsung dari mulut Bunda, aku gelagapan tak tau bagaimana menanggapinya.

Bunda tersenyum dan menggeser posisi duduknya ke arahku. “ apa yang buat kamu ragu Ham?” Tanya bunda kemudian. Bunda menatap kearahku, aku melihat keseriusan dimatanya. Aku tahu Bunda pasti mengerti apa yang membuatku ragu untuk melangkah kejenjang pernikahan.

“ehm” aku coba menetralkan degup jantung yang sedari tadi berdetak tak teratur.

“Ilham takut belum bisa menjadi seperti Abi Bun” kulihat Bunda menghembuskan nafas berat.

“sampai kapan pun kamu tidak bisa menjadi seperti Abi Abang” ujar Bunda.

“bimbing keluarga kecilmu sebagai Muhammad Ilham, bukan seperti Abdul Ghani atau siapapun itu” jelas Bunda.

Pernyataan Bunda sedikit menjernihkan pikiranku. Pasalanya selama ini Aku menjadikan Abi sebagai penutan sebagai pemimpin rumah tangga. Ketika melihat Bunda dan Hana yang tak pernah sedetik pun terlihat bersedih karena Abi.

Kebahagiaan yang selalu Abi berikan kepada keluarga kecilnya, inilah yang membuatku ingin membangun keluarga kecil seperti yang Abi. Bagaimana Abi berusaha memberikan nafkah zahir dan batin kepada kami istri dan anak-anaknya. Hal itu juga yang ingin kuberikan kepada keluarga kecilku nanti.

”apalagi yang kamu tunggu Ham? Kuliahmu sudah selesai, mondok juga nggak nanggung-nanggung loh 6 tahun, umurmu juga sudah cukup matang untuk berumah tangga. Jangan menunda-nunda untuk berumah tangga, ingat Ham hal buruk datang dari arah mana saja, Bunda rasa bekal yang kamu punya saat ini sudah cukup untuk membimbing anak dan isterimu, jika ada kekurangan nantinya kalian bisa saling mendukung untuk sama-sama memperbaiki diri menjadi yang lebih baik lagi” nasehat Bunda.

Bunda menatapku penuh arti, seakan meminta tanggapan dariku. Namun kebingungan masih memenuhi benakku , entah bagaimana aku harus menanggapi perkataan Bunda.

“lah kok malah meneng to” terlihat Bunda sudah mulai tak sabar ingin mendengar tanggapanku.

“iya Bunda, Ilham sedang mencermati nasehat Bunda” ujarku kemudian.

“bunda sudah penah bahas ini dengan Abi, kamu tah to rumah ini sepi sekali rasanya, Bunda sama Abimu juga mau cepet –cepet nimang cucu Ham".

Serasa mati rasa. Bunda seakan tak menerima penolakan untuk perkara yang satu ini. Mengingat tak banyak waktu yang kuhabiskan untuk mengenal makhluk Allah yang bernama perempuan, aku tak tahu harus memulainya dari mana.

Aku memalingkan wajahku ke arah Bunda, kutunggu Bunda melanjutkan kata-katanya tapi tak kunjung bersuara. Kami hanya saling melempar pandang. Aku tahu Bunda menunggu jawabanku, sepertinya kali ini Aku tak bsa mengelak walau baru pertama kali Bunda mengangkat topic ini.

“Bunda tahu kan Ilham nggak punya banyak kenalan perempuan, kalaupun ada Bunda juga tahu kalau cuman teman dan Ilham tidak tertarik dengan mereka, jadi untuk masalah ini, Ilham seahkan kepada Bunda, Bunda pilihlah yang menurut Bunda pantas untuk Ilham dan Ilham pantas untuknya, Ilham sami’na waata’na” akhirnya itu yang keluar dari mulutku ‘aku pasrah atas kehendakMU Ya Allah’.

Kulihat Bunda sedikit terkejut dengan jawabanku. Tapi sedetik kemudian Ia tersenyum dan mengusap bahuku

”Kamu yakin Bang?” Bunda mencoba meyakinkan.

“iya Bun Ilham yakin, Abang tahu Bunda pasti tahu yang terbaik untuk Ilham” kataku mencoba meyakinkan.

“begini saja, Bunda ada kenalan Ustadzah di kampusnya Hana, dia enanggung jawab santri Putri di situ. Nanti coba Bunda tanyakan ada nggak yang sekiranya cocok buat kamu. Kalau ada, nanti kita rundingkan. Kamu cocok nggak sama dia, kalau kamunya srek, dianya mau . baru kita bicarakan lagi agaiman?” Tanya Bunda

“iya Bunda , mana yang terbaik untuk semua saja.” Pasrah. Itu yang sudah kusugesti dalam diri ini, semua kuserahkan kepada Allah semoga yang dipilihkan Bunda yang trbaik untukku dan agamaku.

Aku

Pov Umi

Pagi ini adalah pagi yang cukup mendebarkan bagiku. Pasalnya kemarin ustadzah Mirna memintaku datang menemuinya.

Tanpa kutahu apa yang akan beliau sampaikan sehingga ingi bertemu denganku secara pribadi, dipagi hari yang cukup cerah ini. Demi rasa hormatku kepadanya, aku datang tanpa bertanya sebab beliau memintaku datang menemuinya. Tanpa fikir panjang pagi-pagi buta aku melangkah menembus hawa dingin yang sangat terasa. menuju masjid kampus tempatku menempuh pendidikan 2,5 tahun ini.

Ya, Aku Umi Lathifatul Fitria biasa di sapa Umi, begitulah semua orang memanggilku. Aku bersuku Jawa tapi aslinya Maluku. Lucu bukan? Begitulah Aku. Tapi jangan salah, Aku lebih fasih berbahasa Jawa daripada bahasa asli Maluku. Ah mungkin banyak yang asing dengan kata Maluku. Maluku adalah salah satu provinsi di timur Indonesia. Kalau ada yang suka traveling ayolah datang ke Maluku dijamin mata kalian akan dimanjakan dengan keindahan alamnya.

Dan disinilah Aku sekarang, salah satu kota besar di Maluku yang menjadi tempatku menuntut ilmu, meniggalkan Ibu dan Kakakku. Jangan Tanya dimana Ayah, atau Aku akan menangis seharian nanti.

Ayah adalah cinta pertamaku, benar adanya jika ada yang bilang sosok Ayah adalah cinta pertama anak perempuannya. Betapa hancurnya Aku ketika cinta pertamaku menghembuskan nafas terakhir di depan mataku sendiri. Setelah hari itu, Aku mersakan sesak yang luar biasa hingga saat ini.

Dia sosok lelaki terhebat dan terbaik untukku dan keluarga. Tak sedikit yang menyayanginya, tak sedikit juga yang membencinya.

Ketika kecil dulu, ada saat beliau memarahiku karena terlalu banyak bermain dan lalai akan salatku. Ayahku bukan orang yang banyak mengerti tentang agama. Tapi ayah selalu mengajarkan agama kepada anak-anaknya dengan baik.

Karena itulah Aku dan kakakku, kami berdua sama-sama merasakan bagaimana hidup dilingkungan pesantren. Lingkungan yang mengajarkan hal-hal baik dalam hidup, dan menjadikan Aku mandiri dan berfikir dewasa seiring berjalannya waktu.

Flashback on.

Sampai disuatu ketika saat masih dalam proses belajar mengajar di sekolah, kala itu Aku duduk di kelas 3 Madrasah Aliyah. Aku melihat seseorang yang kukenal datang kesekolah, kemudian masuk kedalam kantor guru.

Teman sebangku yang kebetulan sahabatku dari kecil bertanya “Mi kenapa Mas Bagus kesini?” tanyanya penasaran. Aku menggeleng, tidak tahu.

Hingga beberapa menit kemudian ustadz Rizal salah satu ustadz di madrasahku datang menghampiriku. Aku menatap beliau dengan tatpan bertanya-tanya ‘ada apa?’ tanyaku.

“umi pulang dulu ya Ayahmu mencarimu,” begitu katanya.

Sekitika Aku terdiam bersamaan dengan itu air mata jatuh membasahi pipi tanpa henti, pikiran buruk menumpuk diotakku tanpa tahu harus berbuat apa sekarang.

Sahabatku memelukku, mencoba untuk menenangkanku. Bukannya tenang rasa sesak menjalar kedadaku.

“ jangan menangis, tidak ada apa-apa” kata ustadz Rizal.

Aku segera bangun dari tempat dudukku dan langsung menghampiri tetanggaku yang datang menjemputku. Saat itu aku sudah tidak berfikir apa-ap akecuali Ayah. ‘tolong ya Allahh, jangan ambil ayah saat ini,’ begitu yang kulafalkan sepanjang perjalanan kerumah.

Beberapa menit kemudian Kami sampai dipekarangan rumah. Jarak antara pesantren dan rumah tidak begitu jauh hanya membutuhkan waktu 15 menit jika menggunakan sepeda motor.

Aku segera turun ketika sampai didepan rumah, mempercepat langkah kaki agar segera sampai pintu masuk. Ketika sampai di ambang pintu, Aku melihat sudab banyak tetangga yang sedang duduk sambil bercengkerama, aku segera masuk dan mengucapkan salam.

“assalamualaikum” ucapku

“waalaikumsalam” jawab mereka serentak.

Aku berjalan menuju ruang tengah ada ayah yang sedang duduk diatas kasur dan sedang disuapi bubur oleh Ibu. Aku bergegas mencium tangan kedua orang tersayang yang tengah memandang heran kearahku.

“kenapa pulang?” begitu pertanyaan yang dilontarkan Ayahku.

Aku hanya diam sambil menelisik tubuh ayah yang berubah drastis, yang dulunya sehat dan berisi kini terlihat kurus tak bertenaga.

Namun satu hal yang tak lepas darinya yaitu kewibawaan yang selalu terpancar dari wajah tampannya.

"tenang nduk, walaupun ayah nggak ada, kamu tetap sekolah” kata ayah dengan air mata berlinang.

Kalimat yang begitu menyakitkan bagi semua orang yang mendenganya. Aku langsung menangis dan berhambur memeluknya.

Tak terdengar obrolan selain suara tangisku dan ayah. Aku tahu kekhawatirnnya. Ayah sangat tahu Aku suka dengan belajar dan sekolah. Terlihat dari beberapa prestasiku selama berada di madrasah, aku selalu mendapat beasiswa setiap semesternya.

Aku hanya menganggukkan kepala tanda mengerti, tanpa mengucap sepatah katapun. Setidaknya aku bersyukur masih melihat ayah dalam keadaan sehat.

“siapa yang jemput?” kali ini Ibu yang bertanya

“mas Bagus “ jawabku

Ibu diam tanpa komentar. Suara obrolan mulai terdengar kembali. Ibu kemudian memintaku untuk berganti pakaian, setelah selesai aku duduk disamping ayah tidak mau beranjak sedikit pun.

Esok paginya aku berangakat sekolah seperti biasa menegendarai motor ayah. Tujuanku ke sekolah adalah meminta izin untuk sementara pulang pergi dari rumah, dengan alasan akan merawat ayah sampai membaik.

Sesampainya disekolah guru dan teman-teman bertanya keadaan ayah bagaimana. Karena memang ayah salah satu ustadz ditempatku menuntut ilmu. Ayah juga salah satu guru yang dituakan disana.

Aku sekolah seperti biasa, kemudian pulang dan beraktifitas selayaknya salat, membantu ayah berwudu, menyuapi makan bahkan mengobrol. Ayah juga berpesan berbagai hal mengenai sekolahku. Aku diam dan mendengarkan beliau.

Ketika tengah malam aku terbangun karena mendengar banyaknya orang berdatangan. Ternyata penyakit ayah kambuh malam itu, dokter menyarankan untuk membawa ayah ke ruamah sakit agar segera diberi pertolongan, karena peralatan yang mudah dijangkau. Ayah menyetujuinya dan subuh itu kami membawa ayah ke rumah sakit.

Sesampainya disana ayah diberi pertolongan pertama untuk asmanya. Hingga pada pukul 9 pagi ayah terlihat lebih tenang. Aku dan ibu duduk ditepi ranjang untuk memijit kaki ayah, tak lama kemudian ayah terbangun dan meminta minum, ibu memberikannya.

Tak berselang lama ayah menghembuskan nafas terakirnya dengan tenang dan damai, sehingga aku dan ibu tidak menyadarinya. Ibu melihat seperti keanehan pada Ayah kala itu, tak ada nafas yang keluar dari hidung ayah, ibu pun segera meminta kakak untuk memanggil dokter.

Ketika ayah diperiksa aku melihat dengan was-was, khawatir akan mendengar kabar buruk.

Hinggak kemudian

“innalillahi wainalaihi rojiun, sabar Bu” kata dokter.

Ayah tiada, itu yang kutangkap. Aku hanya bisa mematung di tempatku. Ibu menghambur memeluk ayah, disusul kakakku. Aku masih mematung ditempatku, hingga sadar bahwa semua ini nyata.

Tes tes tes. Tanpa sadar air mata menetes dan kakiku mulai lemah.

Bruk aku ambruk dibawah kaki ayah, ibu dan kakak segera menghampiriku dan memelukku.

Mereka tahu akulah yang paling hancur saat ini, cita-citaku ingin sekolah tinggi hingga wisuda bisa didampingi ayah, ketika akad nikahku nanti ayahlah yang menjabat tangan calon suamiku, semua sirna dalam hitungan jam. Meski begitu aku iklhas, karena sudah cukup ayah merasakan sakit selama 2 bulan ini. Allah lebih menyayanginya dari siapapun.

Flashback off

Terlalu panjang fikiranu berkelana jika menyangkut cinta pertamaku. Dan sekarang disinilah Aku melanjutkan amanah terakhir ayah untuk tetap melanjutkan pendidikan meski tanpanya.

Dengan didampingi ibu dengan segnap cintanya kepadaku, ibu berusah menjadi ibu dan ayah secara bersamaan. ‘terima kasih ibu’

Aku sengaja duduk di teras masjid, setelah pertemuanku dengan ustadzah mirna tadi. Bukan hanya ustadzah mirna ternyata, ada satu orang lagi yang menghadiri pertemuan pagiku tadi. Bunda Fatimah, begitu beliau memintaku memanggilnya.

Pertemuan yang mengejutkan, hingga membuatku tak berkutik dan memilih untuk menenangkan diri diteras masjid. Hanyut dalam pikiranku dan terus memandang lurus kedepan. Sekilas aku melihat sosok laki-laki sedang memperhatikanku sedari tadi. Entah siapa, aku tidak begitu terganggu dengan kehadirannya.

Tak berselang lama datanglah temanku. Aku menyuruhnya menghampiriku tadi, jika akan berangkat kuliah.

“sudah selesai Mbak”tanyanya. Aku mengangguk dan memintanya duduk disampingku.

Winda begitu aku memanggilnya. Dia teman sekaligus sahabat di kota rantau ini.

“kenapa mba” tanyanya penasaran.

“kamu pasti kaget” ujarku sambil melempar tatapan kearahnya.

“emang ada apa” telisiknya

“ada yang ngajak nikah” kataku kemudian.

“hah” ujarnya dengan tatapan kaget mendengar kata-kataku.

“siapa?sampean kenal?orang mana?” cecarnya menyerangku.

“satu-satu to” jawabku “namanya Ilham, itu yang aku tahu tadi, kalau kenal nggak, baru aja denger namanya” kataku kemudian.

“sampean mau?” tanyanya

“belum tak jawab, aku cuman ketemu Bundanya tadi, lihat mukanya saja belum, tadi ceritanya Bundanya cuman mau lihat aku, sama kenalan nanti kalau anaknya srek, baru tinggal ke akunya gimana gitu kata Bundanya terus…

“sampean mau?” todongnya.

“sabar dong ceritaku belum selesai juga” jelasku.

“terus-terus” katanya tak sabar.

“ya aku bilang belum tahu, tapi kalau memang mau sama aku ya aku banyak kekurangan, terus kata bundanya manusia nggak ada yang sempurna” jelasku. Winda diam tanpa komentar.

“terus?”

“aku bilang in syaa Allah” jawabku sambil nyengir.

“hah mba sampean gila apa?” komentarnya

”kamu tahu kan win, aku memang nggak pingin pacar-pacaran,” .

Winda terdiam, aku tahu dia tak sependapat denganku, tapi dia juga tahu bahwa aku orang yang memiliki prinsip. Dia tahu bahwa cita-citaku selain memenuhi amanah orang tua adalah menikah muda, bukan tanpa alasan. Aku tak ngin terjerumus kepada pergaulan bebas yag merajalela saat ini. Menurutku jika sudah menemukan yang cocok dan sama-sama mau kenapa harus membuang-buang waktu untuk hal yang tidak baik. Tapi aku juga menyadari bahwa hal itu tidaklah mudah, karena siapa yang akan meminangku harus extra sabar meminta izin kepada ibu dan kakakku.

Keraguan

Perjalanan pulang terasa begitu lama bagi Ilham, meski begitu tak ada pembicaraan yang terdengar antara Dia dan bundanya.

Kekalutan semakin melanda, khawatir pertemuan kali ini tak membuahkan hasil yang baik. Sejak percakapannya dengan sang bunda sore itu, bundanya segera meminta ustadzah Mirna agar mencarikan calon istri yang sekiranya cocok untuk anaknya.

‘calon istri’ dua kata inilah yang terus terngiang beberapa waktu ini, bagaimana tidak hal yang seharusnya terasa mudah untuk orang lain, tapi bagi Ilham sangat menyesakkan.

Pasalnya semua tak berjalan sesuai dengan apa yang Ia harapkan. Berkenalan, cocok kemudian walimah.

Ternyata semua diluar dugaannya ada saja hal yang tidak cocok entah dari bundanya atau Ilham sendiri, belum lagi jika sang adik mengenal calon yang dikenalkan kepada kakaknya, sudah pasti informasi yang Hana sampaikan akan menggegerkan. Hanya Abinya yang sekedar memantau tak lupa selalu menyematkan nasehat diantara diamnya.

Sudah 2 kandidat yang dikenalkan oleh teman bundanya kepada Ilham, namun keraguan tetap selalu bersarang diotak dan hatinya.

Meskipun salat istikharah telah dijalankan, tapi Ia tak menemukan keyakinan dan petunjuk terbaik dari Allah. Hingga suatu ketika Abinya menyarankan agar Ilham mencari di Pesantren tempatnya mengajar, berharap disanalah jalan tempatnya menemukan sang permaisuri, tapi nihil.

Alhasil yang bisa dilakukan oleh Ilham hanya menunggu perkembangan perjodohannya dari Bundanya. Tapi entah mengapa dalam perjalanan pulang kali ini bundanya tak banyak membicarakan mengenai sosok yang Ia temui pagi ini. Hingga hal ini menumbuhkan kerisauan di dalam hatinya. ‘Mungkinkah bundanya sudah menyerah’ begitulah yang menggema dipikirannya saat ini.

Sampailah mereka dipelataran rumah, bundanya turun dari motor disusul oleh ilham setelah memarkirkan motornya digarasi.

“assalamualaikum” seru bunda ketika berada di depan pintu.

“waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh” jawab Abi dan Hana dari dalam rumah.

Bunda dan Ilham kemudian memasuki rumah disambut oleh abi dan adiknya. Setelah menyalimi abi, bunda duduk begitu juga dengan yang lain.

“bagaimana Bun? Dapat?” celetuk Hana

“sst Hana” tegurku sambil menatap tajam Hana.

“hehe maaf Bang, penasaran banget nih” jawabnya sambil cengegesan tanpa dosa.

Abi dan bundanya tersenyum melihat tingkah dua kakak beradik itu. Sudah menjadi tontonan apik disetiap harinya antara ketegangan Ilham dan kekonyolan Hana.

Bagaimana tidak, Ilham yang setiap harinya merasakan kekhawatiran yang luar biasa setelah gagalnya dua perjodohan sebelumnya, tapi Hana yang paling antusias atas segala hal. Dengan dalih “biar ada temen ngerumpi” hal ini membuat semua penghuni rumah geleng-geleng kepala.

“ada satu perempuan yang usadzah Mirna sarankan” bunda memecah ketegangan.

Ilham menatap bunda dengan rasa penasaran, pasalnya dengan diamnya bunda selama perjalanan pulang tadi membuatnya berfikir bahwa tak akan ada kemajuan pada pertemuan ini, tapi nyatanya ada.

“siapa Bun? Cantik nggak? Lihat dong.” Lagi si perusak suasana nimbrung. Sambil merangsek diantara Abi dan Bundanya.

“Hana” tegur Abinya dengan lembut.

“maaf Abi” ujar Hana dengan menunduk, tanda dia paham akan kesalahannya.

“tapi bukan anak asrama” lanjut Bunda sambil melempar pandang kepada Ilham.

“maksud Bunda?” Tanya Ilham tidak mengerti.

“ustadzah Mirna bilang, kalau yang satu ini Dia tidak tinggal di asrama, melainkan kos” jelas Bunda

Ilham mengerinyit. Bunda mengerti apa yang mengganjal di dalam pikiran anaknya, karena memang dari awal Ia meminta ustadzah Mirna untuk mencarikan santri yang mondok atau menetap di asrama.

Tapi nyatanya ustadzah Mirna malah mengenalkan santri yang tinggal di luar. Hal inilah yang membuat Ilham semakin ragu, bahkan Ia berfikir tak ada harapan sedikit pun yang bisa dijanjikan oleh dirinya.

“ tapi Dia sudah mengajar dari semester 2, kalau memang patokan kamu harus anak yang tinggal di asrama agar setidaknya dia sedikit mengamalkan agama, yang tinggal diluar pun bisa begitu Ham. Toh yang Bunda tau setelah ngobrol sebentar dengan gadis itu dia dulunya mesantren 6 tahun dari mulai lulus sekolah dasar,” jelas bunda dengan menatap tajam Ilham.

“jadi mau kenal atau tidak?” lanjut Bunda.

Ilham terdiam tanpa tahu harus berkomentar apa, karena yang Ia pikirkan saat ini mengenai prinsip. Jika sejak awal sudah berbeda dengan apa yang Ia inginkan bagaimana kedepannya nanti. Begitulah yang mengaduk-aduk pikirannya kali ini.

“di coba dulu Ham,kalau belum kenal bagaimana mau tahu? Abi sudah sering memintamu untuk sedikit berkonsekuensi dengan prinsipmu, toh yang sesuai prinsipmu nyatanya gagal semua. Kalaupun memang dia tidak paham agama dan Allah takdirkan menjadi jodohmu, yang harus kamu pikirkan bagaimana membimbingnya untuk menjadi isteri yang kamu inginkan. Bukankah begitu yang diajarkan oleh Nabi?” nasehat Abi.

Ilham menghembuskan nafas, menatap Bundanya dengan sendu, ‘akankah aku harus sedikit berkonsekuensi dengan prinsipku?’ begitu pikirnya. Ia merenung beberapa menit, hingga 3 orang di depannya masih terdiam dan saling menatap.

“siapa namanya Bunda,” tanyanya kemudian.

"Fitri," jawab Bunda.

“Bunda sudah bertemu dengannya?”

“sudah” jawab Bunda singkat. Bunda ingin melihat antusias Ilham mengenai gadis ini.

“bagaimana keluarganya?’ kali ini Abi yang bertanya.

“dia yatim Bi, dua bersaudara sekarang ini Ibunya tinggal bersama kakak dan menantunya.” Begitu jawab Bunda.

Terlihat Ilham menegakkan duduknya, Ia mulai tertarik dengan kelanjutan cerita Bundanya. Bunda melihat itu sambil tersenyum.

“mana fotonya Bun?” Tanya Hana

Kemudian bunda mulai mengotak-atik ponselnya untuk meunjukkan hasil jepretannya kepada Hana, saat sudah menemukannya Bunda menyerahkan ponsel yang ada pada genggamannya kepada Hana, hana pun menerimanya dengan antusias yang kemudian menatap lekat layar ponsel digenggamanya.

Abi terlihat penasaran dan sedikit mencondongkan wajahnya mengintip layar ponsel yang sedang ditatap oleh Hana.

“orang jawa ya Bun?” Tanya Hana.

“iya,” kata Bunda.

“jawa Bun?” Tanya ilham memastikan.

“iya Ilham, anaknya ramah dan baik, sayangnya waktu foto tidak mau lepas masker.” Jelas Bunda.

“mau lihat Bang?” Tanya Hana, ilham menggeleng. Hal itu membuat yang lainya keheranan.

“ilham istikharah dengan namanya saja Abi,Bunda. Tidak apa kan?” katanya.

Abi dan Bundanya hanya mengangguk tanda mengiyakan. Kemudian suasana hening dengan hana yang masih menatap lekat jepretan di handphone itu.

Tak berselang lama terdengar dering ponsel disaku celana Ilham, ia pun mengangkat kemudian berbicara dengan orang di sebrang.

“em Abi Ilham mau ke pesatren dulu, mau mengadakan pengajian jadi ada hal yang harus dilakukan,” izinnya

“pergilah Abi dan Bunda tunggu jawabannya satu minggu lagi kita tunggu jawaban istikarah kamu Ham, jadi jangan menunda-nunda”. Kata Abi menegaskan.

Ilham terdiam. “baik abi, in syaa Allah ilham akan segera beri jawaban” Jawabnya.

Kemudian Ia beranjak berpamitan dengan kedua orang tuanya, lalu melangkan pergi meninggalkan rumah.

Bunda menghela nafas panjang “bagaimana jika kali ini tidak berjodoh lagi Bi?” Tanya Bunda.

Abi memalingkan wajah kepada istrinya “kita harus ikhtiyar lagi” jawab Abi.

“hana sepertinya kenal perempuan ini” ujar hana memecah keheningan, hal ini membuat kedua orang tuanya menatapnya penasaran.

“ bunda ingat tidak yang hana pernah marah-marah gara-gara ustadzah hana di mahad pulang kampung tanpa pemberitahuan, yang akhirnya kita satu kelas luntang lantung kesana kemari ganti-ganti ustadzah?”

“ingat, terus kenapa?” Tanya Bunda penasaran.

“dia ustadzah yang bikin kalian lontang-lantung?” kali ini Abi yang nyeletuk.

“buka Bi, nah setelah luntang-lantung kesana kemari, ustadzah mirna terus nyuruh satu ustadzah yang muridnya nggak pernah masuk untuk ngajarin kita, walaupun cuman seminggu sih sama ustadzah itu tapi aku paham kok sama bentuk wajahnya, tapi namanya buka Fitri.” Jelasnya.

"siapapun itu tetap diam saja, jangan beritahu apapun kepada Abangmu, karena Kamu juga belum tahu pasti mereka orang yang sama atau tidak. biar kali ini dia yang harus focus dengan pilihannya.” Ujar Abi.

Bunda dan hana mengangguk tanda menggerti.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!