Pov Ilham
Motor yang kukendarai melaju menuju pesantren Al-Hikmah tempatku mengajar hampir memasuki bulan ketiga. Ada 2 mata pelajaran yang kupegang yaitu kitab Faroid yang menjelaskan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan ahli waris. Kitab kedua ialah aqidatul awwam merupakan kitab yang menjelaskan mengenai aqidah untuk orang-orang awam. Dua kitab inilah yang belakangan ini sering kukuasai dan kupelajari. Jadi mengajar bukanlah hal yang mudah tapi aku mulai menikmatinya.
Setelah meninggalkan rumah beberapa menit lalu, aku seperti kehilangan fokus dalam hal apapun, ada yang bersarang diotakku kala mengingat sosok berjilbab biru tadi pagi, ketika menjemput bunda.
Entahlah tak seharusnya Aku mengingatnya, tapi ketertarikan dengan mata teduhnya ketika tak sengaja mata kami saling bertemu, membuatku tak bisa untuk tidak memikirkanya. ‘manis’ begitu kesan awalku menatap wajahnya.
Terlalu larut dalam pikiran, tak terasa motor yang kukendarai memasuki halaman pesantren Al- Hikmah, sejuk sekali memandang para santri berkeliaran menggunakan sarung meskipun dipadupadankan dengan kaos lengan pendek, tak lupa songkok bulat menghiasi kepala mereka.
Tak jauh dari situ sekitar 20 meter kedepan terlihat gadis-gadis anggun dengan gamis dan jilbab menutupi mahkota mereka. Ah betapa damainya rumah Allah ini.
Aku segera melangkahkan kakiku menuju masjid Al-Hikmah yang kini sedang dikelilingi tenda untuk acara pengajian besok malam. Para ustadz dan juga santri putra berbondong-bondong mempersiapkan hal-hal yang diperlukan untuk memperlancar acar besok seperti tenda, soundsistem dan lainnya, sedangkan ustadzah dan santri putri berkutat didapur milik pesantren.
“ustadz Ilham, baru datang?” sapaan itu membuyarkan lamunanku.
Aku menoleh, terlihat ustadz Ilyas mendekat kearahku, aku tersenyum menyambut beliau. “ah iya ustadz, maaf baru datang tadi ada keperluan sebentar.” Ujarku.
Dia tersenyum kemudian merangkulku
“tidak apa-apa ustadz, kan sudah ada bagiannya sendiri” ujarnya.
Kami melangkah mendekati masjid, ustad Ilyas merupakan rekanku mengajar dipesantren Al-Hikmah, beliaulah yang banyak memberikanku wejangan setelah Pak Kyai, karena umur kami hanya berbeda setahun, kami sudah seperti sahabat lama yang baru saja dipertemukan.
Mendekati masjid, beberapa santri menyapa kami dengan takdzim, beginilah yang kusukai berada dilingkungan pesantren, kami saling menghargai karena ilmu bukan harta maupun jabatan.
Segera kumendekati soundsistem untuk melihat hal-hal yang perlu ditambah ataupun dikurang. Karena tenda dan tempat perasmanan sudah siap pakai saja.
“gimana Dam ada yang masih kurang?” tanyaku.
“su mantap ustadz” jawabnya dengan logat daerah Maluku. Aku tersenyum kemudian menepuk pundaknya.
Setelah selesai memantau petugas soundsistem aku menanyakan susunan acara untuk esok, tujuannya untuk mengecek apakah sudah sesuai dengan yang diinginkan, karena sebagai seksi acara yang bertanggung jawab atas segala hal yang berkaitan dengan pengajian besok, harus mengecek segalanya.
Setelah susunan acara mantap dan merasa semua sudah aman terkendali, aku melangkahkan kaki menuju pelataran pendopo untuk duduk melihat apakah ada yang perlu dipersiapkan selain tenda dan soundsistem.
Tak lama terlihat ustadz ilyas berjalan mendekatiku bersama istrinya, ya ustadz ilyas sudah beristeri, sedangkan diriku masih berproses mendekati hal itu. Aku tersenyum ramah kearahnya.
“assalamualaikum ustadz” sapanya.
“waalaikumsalam’ jawabku kemudian mempersilahkannya duduk disampingku dususul istrinya.
“jangan menyendiri ustadz” katanya
“ah ustadz ilyas, saya memang sendiri yang sudah berdua kan ustadz” ujarku sambil menepuk pundaknya.
Ustadz ilyas terkekeh “Alhamdulillah sekarang sudah bertiga” katanya menimpali.
Aku terkejut “masya Allah selamat ustad, ustadzah semoga kandungannya sehat hingga lahir” doaku ikut senang.
“terima kasih” jawab keduanya.
Aku tersenyum mengiyakan.
“ah sebenarnaya isteri saya ada keperluan untuk membicarakan soal konsumsi untuk besok ustadz” jelas ustadz ilyas.
Aku menoleh kearahnya “ada apa ustadzah?” tanyaku kepada isteri ustadz ilyas yang duduk di samping suaminya.
“begini ustadz, kemarin kan saya dimintai tanggung jawab untuk mengkoordinasi bagian konsumsi” jelasnya.
“iya” timpalku menunggu ustadzah rina melanjutan.
“maaf sebelumnya sepertinya saya tidak bisa Ustadz, bu nyai meminta saya untuk memantau santri putri,” jalasnya.
Aku menganggukkan kepala, mencoba memahami keadaanya. Meskipun hal ini membuatku memutar otak kedua kali untuk mencari penggantinya.
“tapi saya sudah mencari pengganti jika ustadz bersedia, tugasnya hanya mengkoordinir konsumsi besok saja, untuk menu dan segalanya sudah dipersiapkan ustadz, jadi apa tidak keberatan?” tanyanya.
“tidak ustadzah, monggo saja asal yang menggantikan bersedia dan tidak lalai saya aman saja” jawabku menenangkannya.
Ia menganngguk “kalau begitu saya permisi ustadz,” pamitnya.
“boleh saya bertemu dengan penggantinya ustadzah? Untuk memastikan kesediaanya.” Ujarku.
“bisa ustadz, tapi ustadzah Umi belum datang, mungkin masih ada kuliah, nanti kalau sudah ada saya akan memintanya menemui ustadz” sarannya.
“baik” jawabku. Kemudian ustadzah rina beranjak setelah berpamitan dengan ustadz ilyas.
“masih kuliah?” tanyaku kepada ustadz ilyas. Terlihat Ia mencoba memahami arahku berbicara.
“ah Umi, iya masih kuliah kalau nggak salah semester 6.”
Katanya kemudian. Aku manggut-manggut tanpa ingin tahu lebih lanjut.
“orang Jawa, dia bantu bu nyai ngajar ngaji, mangkanya jarang terlihat kalau sore dan malam mungkin kalau santri ada pelajaran tajwid baru dia datang,’” jelas ustadz ilyas.
“ustadz Ilham belum pernah ketemu?” tanyanya
Aku menoleh kemudian menggeleng.
“padahal sudah mau 3 bulan ngajar” lanjutnya sambil nyengir.
“sudahlah ustadz tidak wajib mengenal dan bertemu juga kan” kataku menimpali. Ia mengangguk.
Rasa penasaran menyeruak dalam diri ini, pasalnya ustadzah lainnya tak ada yang diminta Bu Nyai untuk menyimak santri mengaji, karena bu nyai terkenal cukup ketat dalam masalah Al-Quran. Jika ada yang dipercayai oleh beliau, pasti kemampuannya lumayan.
“Umi baik orangnya ustadz,” kata ustadz ilyas tiba-tiba.
Aku menoleh kearahnya menatap heran, terlihat ustadz ilyas menggeser tubuhnya menghadap kearahku.
“jadi bagaimana dengan pencarian jodohnya?” tanyanya mengalihkan topik.
“yah begitulahh ustadz sedang ikhtiyar,” tanggapku.
“kalau mau dengan Umj saya bantu,” ujarnya menawarkan.
Aku menatapnya tanpa arti kemudian berdehem untuk menetralkan pikiran “ah tidak ustadz, saya masih harus memberikan jawaban untuk wanita yang bunda carikan,” kataku menimpali.
Ustadz ilyas mengangguk “semua butuh proses tadz, jika ada kegagalan, bukan berarti Allah tak sayang, tapi Allah ingin memberikan yang benar-benar ustadz butuhkan bukan yang ustadz inginkan.” Nasehatnya.
Aku terdiam mencoba meresapi kata-katanya. Pasalnya mengenai pencarian jodoh ini sudah kukemukakan kepada pak yai dan ustadz ilyas. Selain abi dan bunda beliau berdualah yang senantiasa memberikan wejangan. Belum lagi ketika mengingat umurku yang sudah terbilang tidak muda ini, dan sedikitnya interaksi dengan wanita yang membuatku terlalu kaku jika berurusan dengan kisah percintaan.
Hingga pada titik bunda memintaku untuk segera menikahlah yang membuat aku memaksakan diri untuk melangkah. Jika tidak semuanya akan berjalan sesuai dengan yang aku inginkan. Sendiri dan berproses tanpa mengingat ada separuh agama yang harus segera kulengkapi, ada permaisuri yang sedang menungguku mendatanginya, ada abi dan umi yang menginginkan cucu ditengah-tengah mereka.
Pikiran-pikiran bertebaran di otak tanpa bisa dihentikan, belum lagi istikharah yang harus segera kujalankan untuk memberikan jawaban kepada gadis yang ditemui bunda pagi ini. ‘aku hanya dapat memohon petunjuk terbaik dariMU Ya Allah’
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Eka Widya
satu orang dengan dengan 2 nama😊😊
2023-01-11
0