Gelas Pecah

Gelas Pecah

Bab 1

“Pak, minta uang saku.” Riri menengadahkan tangan pada Dayan.

“Minta sama Ibu, uang bapak habis,” sahut Dayan seraya memakai kaos kaki.

“Bu, kata Bapak, aku minta uang sakunya sama Ibu soalnya uang Bapak habis.” Riri masuk ke kamar kedua orang tuanya, menghampiri Bestari yang sedang berdandan di depan meja rias.

“Kok jadi semua minta uang sama aku,” gumam Bestari sambil menyapukan bedak di wajah. “Ambilkan dompet ibu di tas,” titahnya pada sang putri sulung.

“Tas yang mana, Bu?’ tanya Riri di depan deretan tas sang ibu.

“Yang cokelat,” jawab Bestari.

Riri segera membuka ritsleting tas yang disebutkan. Dia mengaduk-aduk isinya mencari dompet Bestari. Setelah ketemu dia berikan pada ibunya. “Ini, Bu.”

Bestari menerima dompet dari Riri. Membukanya lalu menyerahkan selembar uang lima puluh ribu pada putri sulungnya itu. “Nih buat seminggu.”

“Yah, kok seminggu sih, Bu. Ya kurang. Ini buat tiga hari biasanya,” protes Riri.

Bestari kembali mengambil selembar uang lagi dengan nominal yang sama. “Ini buat seminggu, sisanya ditabung,” pesannya.

“Terima kasih, Ibu.” Riri menerima uang itu dengan wajah berseri-seri. Dia mengecup pipi wanita yang sudah melahirkannya itu. “Ibu memang terbaik,” pujinya.

Bestari tertawa kecil mendengar pujian Riri. Kebiasaan yang selalu dilakukan kalau mendapatkan sesuatu yang dia inginkan. “Sudah sarapan, Ri?”

“Sudah, Bu. Ini juga mau berangkat.”

“Ayo berangkat, Ri,” panggil Dayan dari garasi.

“Iya, Pak,” sahut Riri. “Tuh sudah dipanggil Bapak. Aku berangkat sekolah dulu, Bu,” pamitnya seraya mencium punggung tangan Bestari.

“Ya, belajar yang rajin di sekolah.”

“Iya, Bu. Assalamu’alaikum .”

“Wa’alaikumussalam.”

“Bu, aku berangkat dulu,” pamit Dayan dari garasi.

“Ya, Pak. Hati-hati di jalan,” sahut Bestari dari dalam kamar.

Dayan mengeluarkan motor dari garasi, Riri mengikutinya dari belakang. Setelah motor dipanaskan, mereka meninggalkan rumah. Dayan setiap pagi memang mengantar Riri ke sekolah karena kantornya searah dengan sekolah putri sulungnya itu.

“Bu, minta uang.” Gantian Ratna yang menengadahkan tangan.

“Bukannya kemarin sudah ibu kasih?” Bestari mengerutkan keningnya.

“Aku ‘kan sudah mulai les sekarang, Bu. Masa aku enggak beli maem. Pulangnya ‘kan siang. Jadi uangnya buat beli maem.” Ratna mengutarakan alasannya.

Bestari menghela napas. “Mulai minggu depan bawa bekal saja ya biar lebih irit,” ucapnya seraya membuka dompet dan mengeluarkan selembar lagi uang pecahan lima puluh ribu. “Ibu buat empat hari.” Dia menyerahkan uang tersebut pada sang putri bungsu.

“Makasih, Ibu Sayang.” Ratna langsung memeluk dan mengecup pipi sang ibu.

“Iya, sudah lepaskan. Kamu sudah maem belum?”

“Sudah, Bu. Tinggal pakai kaos kaki sama sepatu.”

“Ibu juga sudah selesai. Sebentar lagi kita berangkat.”

“Siap, Bu.” Ratna menuju ke rak sepatu, mengambil sepatu lalu memakai kaos kaki.

Bestari berdiri di depan kaca, melihat lagi penampilannya. Setelah memastikan hijab, riasan dan pakaiannya rapi, dia mengambil tas lalu keluar dari kamar. Mengunci pintu kamar lalu meletakkan di dalam laci meja dekat kamar.

Bestari mengambil sepatu di rak, lalu memakainya. Mengenakan jaket dan helm lalu mengeluarkan motor matic-nya. “Ayo berangkat, Na,” ajaknya pada si bungsu.

“Iya, Bu.” Ratna memakai helm lalu menyusul sang ibu keluar dari garasi. Bestari mengunci garasi baru kemudian menyalakan kendaraan. Setelah Ratna membonceng di belakang, Bestari melajukan kuda besinya. Setiap pagi Bestari mengantar si bungsu ke sekolah karena searah dengan kantornya.

***

“Bu, aku ditawari bisnis sama kenalanku,” ujar Dayan saat mereka berkumpul di ruang keluarga usai makan malam bersama.

“Bisnis apa, Pak?” tanya Bestari seraya melipat baju yang sudah kering.

“Investasi gitu, Bu. Misalnya nanti kita investasi satu juta, kita dapat bagi hasil dua ratus ribu setiap bulan,” jawab Dayan.

Bestari mengernyit. “Investasi apa itu, Pak. Kok gede banget dapatnya. Jangan-jangan cuma nipu itu.”

“Ini beneran, Bu. Teman-temanku banyak yang sudah ikut dan memang benar dapat uang setiap bulan. Lumayan ‘kan Bu kalau kita investasi sepuluh juta nanti per bulan kita dapat dua juta,” terang Dayan.

“Mbok investasi itu yang jelas, Pak. Bikin usaha apa gimana. Jangan mudah tergiur dengan tawaran-tawaran enggak jelas kaya gitu,” sahut Bestari.

“Ini jelas, Bu. Teman-temanku sudah dapat hasil kok. Aku saja ini yang tahunya telat,” ujar Dayan.

“Bapak ini loh sudah berulang kali tertipu sama orang kok ya masih percaya saja kalau ada yang mengiming-imingi bisnis. Daripada buat investasi tidak jelas, uangnya mending dideposito saja, Pak. Itu lebih jelas, atau kalau tidak ditabung buat modal usaha. Memangnya Bapak punya uang buat ikut investasi itu?” Bestari menoleh pada suaminya.

“Ya, enggak punya, Bu. Gajiku ‘kan juga sudah kepotong buat bayar angsuran hutang. Sudah habis buat transport-ku setiap hari sama uang saku Riri,” aku Dayan.

“Lah, Bapak saja tidak punya uang kok mau ikut investasi. Buat apa sih, Pak?”

“Biar hidup kita lebih enak, Bu. Bisa melunasi utang di bank. Kita bisa buka usaha jadi tidak perlu kerja lagi sama orang,” ungkap Dayan.

“Aku pokoknya enggak setuju kalau Bapak mau investasi tidak jelas itu,” tegas Bestari.

“Iya, Bapak itu jangan mudah percaya sama orang begitu saja. Nanti kalau tertipu lagi bagaimana? Bapak kok lebih percata sama orang lain daripada keluarganya sendiri.” Riri yang sedari tadi menyimak pembicaraan kedua orang tuanya ikut bersuara.

Sejak gadis itu masih duduk di sekolah dasar, Dayan memang sering tergoda dengan bisnis yang ditawarkan oleh kenalannya. Namun, dari semua bisnis yang pria itu ikuti, tidak ada satu pun yang menghasilkan. Dia malah kerap kali tertipu dengan nominal uang yang tidak sedikit. Karena itu Riri memberanikan diri mengeluarkan pendapatnya berdasar yang sudah terjadi.

Meskipun usia Riri masih lima belas tahun, tapi pemikirannya sudah dewasa. Mungkin karena dia anak sulung dan sering bergaul dengan orang yang lebih dewasa jadi membuatnya lebih berpikir ke depan. Tidak hanya memikirkan kesenangannya sendiri.

“Kalian ini selalu menentang kalau aku mau maju,” protes Dayan.

“Maju bagaimana, Pak? Nyatanya selama ini Bapak ikut bisnis bukannya makin maju dan dapat untung malah selalu buntung. Ingat tidak soal investasi emas itu. Berapa juta uang yang masuk ke sana? Bapak dapat duit tidak? Tidak ‘kan?” Bestari mengungkit semua bisnis dan investasi yang pernah Dayan ikuti.

“Itu ‘kan dulu. Yang ini jelas-jelas menghasilkan, Bu. Soalnya teman-temanku sudah dapat bagi hasilnya. Pokoknya aku mau ikut. Titik!” putus Dayan tanpa mengindahkan masukan dari istri dan anaknya.

“Terserah kalau Bapak tetap mau ikut. Aku tidak mau mengeluarkan uang sepeser pun,” tegas Bestari.

“Aku mau pinjam sama Bu Heni, Ibu bisa ‘kan bantu bilangnya,” bujuk Dayan.

“Bilang saja sendiri, aku tidak mau. Tujuannya juga tidak jelas kok,” tolak Bestari.

“Tidak jelas bagaimana. Ini jelas buat investasi, Bu.”

“Ya itu investasinya tidak jelas. Pokoknya aku tidak mau bilang sama Bu Heni. Titik!” tegas Bestari lagi.

Dayan menghela napas panjang. Susah sekali meyakinkan istrinya kali ini. Memang dia sering tertipu berbagai bisnis, tapi tidak ada salahnya ‘kan mencoba bisnis baru lagi. Pria itu memutar otak bagaimana caranya mendapatkan uang dengan cepat.

“Boleh enggak boleh, rumah ini mau kujual.”

Terpopuler

Comments

Citoz

Citoz

hadir kk ☺

2023-10-09

0

VLav

VLav

episode pertama yang langsung bikin emosi
salam dari keluarga besar arsgaf 🙏

2023-05-09

0

Risfa

Risfa

Hadir ka

2023-05-08

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!