“Aku tidak mau diceraikan, Mas. Aku cinta banget sama Mas,” tulis Royani dalam pesannya. Kemudian dia mengirimkan beberapa videonya sedang menangis tersedu-sedu dengan mengenakan mukena dan terus memohon agar tidak jadi diceraikan Dayan. Namun, pria itu bergeming. Dia hanya membuka video dan memperlihatkan pada istri sahnya.
Bestari tersenyum sinis saat melihat beberapa video yang dikirimkan oleh Royani. “Terus kalau dia nangis-nangis begini bikin aku kasihan gitu? Pelakor kaya dia tidak perlu dikasihani. Kalau Bapak masih mau kembali sama pelakor itu, kembali saja, Pak. Aku rela kok pisah sama Bapak. Aku bisa hidup sendiri sama anak-anak.” Dia mengembalikan gawai Dayan setelah melihat video-video itu.
“Aku tidak mau pisah sama Ibu. Aku masih cinta sama Ibu,” sahut Dayan yang masih terlihat sibuk dengan gawainya.
“Aku sakit hati dan sudah tidak percaya lagi sama kamu, Pak. Kalau Bapak masih cinta sama aku, harusnya tidak punya istri lagi dengan alasan apa pun,” sergah Bestari. Dia melipat kedua tangan di depan dada.
"Aku kasihan sama dia, Bu," timpal Dayan.
"Bapak, kasihan sama dia, tapi tidak kasihan sama aku?" Bestari menatap tajam suaminya.
"Ya, aku juga kasihan sama Ibu."
"Sudahlah Pak, kepalaku pusing. Mulai malam ini aku tidur sama anak-anak. Aku tidak mau tidur sekamar apalagi seranjang lagi sama Bapak." Bestari bangkit dari duduknya lalu masuk ke kamar. Mengambil bantal, guling, dan juga selimut. Membawanya ke kamar Riri, anak sulungnya.
Bestari mengetuk pintu kamar Riri. "Ri, kamu sudah tidur?"
"Belum, Bu," sahut Riri dari dalam kamar.
Bestari kemudian membuka pintu kamar si sulung. Riri terlihat sedang menunduk, mengerjakan sesuatu di meja belajarnya.
"Ibu mau tidur di sini, boleh 'kan, Ri?" Bestari meletakkan alat tidurnya di atas ranjang.
Riri mendongak lalu menoleh pada sang ibu yang duduk di sisi ranjang. "Tentu saja boleh. Ibu kenapa? Bertengkar sama Bapak?" tanyanya kemudian.
Bestari menghela napas panjang sebelum bicara. "Ri, apa pun yang terjadi sama ibu dan bapak, kamu dan Ratna harus tetap fokus belajar ya. Tahun depan kalian akan menghadapi ujian kelulusan. Jadi, ibu harap kalian tidak memikirkan hal lain. Cukup sekolah dan belajar," ujarnya.
Riri menghentikan kegiatannya. Dia bangkit lalu duduk di samping sang ibu. "Ada apa sih, Bu? Ayo cerita, biar aku enggak penasaran," desaknya.
"Bapak sudah menggadaikan rumah ini, Ri," ucap Bestari.
Rasanya bagai tersambar petir saat mendengar sang ibu mengatakan kebenarannya. Riri jadi gagap. "Ap-apa? Ib—Ibu bercanda 'kan?"
Bestari menggeleng. "Untuk apa ibu bercanda untuk hal yang serius ini, Ri. Bapak memang menggadaikan sertifikat rumah ini pada seorang rentenir. Bapak berhutang tiga ratus juta dan harus membayar empat ratus lima puluh juta. Dalam tempo satu setengah bulan, Bapak harus mengembalikan. Kalau tidak rumah ini akan diambil oleh rentenir."
Belum hilang rasa terkejutnya saat mendengar rumah digadaikan, sudah ada yang lebih mengejutkan lagi. Kepala Riri jadi berdenyut, mendadak rasa sakit menyerang kepalanya Segala hal yang dia pelajari tadi, langsung hilang tanpa bekas. Tertutup tragedi lainnya.
"Bapak hutang sebanyak itu buat apa, Bu? Apa buat bisnis yang kemarin Bapak bilang?" tanya Riri dengan kepala yang terasa pusing.
"Kayanya sih, Ri. Ibu belum tanya lebih lanjut. Kepala ibu pusing," aku Bestari.
"Ibu istirahat saja dulu. Aku juga ikut pusing, tapi aku harus mengerjakan tugas karena besok dikumpul." Riri beranjak kembali ke meja belajarnya.
"Ri, masih ada yang belum ibu katakan."
Ucapan Bestari membuat Riri membalikkan badan lagi, menghadap sang ibunda. "Apa, Bu?" Keningnya tampak mengerut.
"Bapak diam-diam punya istri lagi, Ri," ungkap Bestari.
"Ap-apa, Bu? Bapak punya istri lagi?" Riri tak mau percaya dengan apa yang dia dengar.
Bestari mengangguk. "Iya, Ri. Bapak punya istri siri."
"Ya, Allah. Bapak kok tega banget sama ibu dan kita. Tidak ingat apa selama ini Bapak selalu bergantung sama Ibu." Riri menjadi emosi. Rahangnya mengeras dan tangannya mengepal. Ingin rasanya dia memaki-maki bapaknya yang selama ini terlihat pendiam. Ternyata di balik sikap diamnya menyimpan sebuah rahasia besar.
"Astaghfirullah hal adzim." Riri mengucap zikir berulang kali sambil mengelus dadanya.
"Kamu jangan bilang dulu sama Ratna soal ini ya. Nanti ibu akan beri tahu dia secara pelan-pelan," pesan Bestari pada si sulung yang dibalas anggukan oleh Riri.
"Ibu cerita sama kamu karena ibu percaya kamu bisa berpikir lebih dewasa. Bisa mengesampingkan masalah ini dan tetap fokus sekolah. Meskipun ibu tahu kamu pasti akan tetap kepikiran. Tapi ibu percaya kalau kamu mampu, Ri." Bestari memandang putri sulungnya dengan penuh rasa cinta.
"Iya, Bu. Insya Allah kita bisa melewati ini bersama-sama."
"Susah, kamu lanjutkan belajarmu. Ibu mau coba istirahat biar besok bisa berpikir jernih."
"Iya, Bu." Riri kembali menghadap meja belajar dan membelakangi sang ibu yang sudah berbaring. Tanpa dia sadari air mata menetes dari sudut netranya. Rasa sakit yang dia rasakan karena pengkhianatan sang bapak membuatnya menangis. Beragam rasa berkecamuk di dalam dada, tapi yang lebih mendominasi rasa marah dan sakit hati.
Riri berpikir kalau bapaknya sungguh tidak tahu diri. Kalau tidak ada ibunya yang menyokong kehidupan mereka, entah apa yang akan terjadi. Sudah selalu meminta uang pada istri, tapi malah diam-diam mengkhianati. Suami yang saleh menurut pendapat orang-orang, karena selalu menjalankan salat lima waktu di masjid, tapi nyatanya begitu tega mengkhianati dan menyakiti keluarganya sendiri. Itu bukti kalau dia tidak memahami ajaran agamanya. Padahal sebaik-baiknya suami adalah yang paling baik kepada istrinya.
Keesokan paginya rutinitas tetap berjalan seperti biasa. Hanya saja Bestari jadi tidak banyak bicara seperti biasa, begitu juga Riri. Hanya Ratna yang tetap ceria setiap pagi karena dia belum tahu ada masalah besar di dalam keluarganya.
Andai saja sekolah Riri jaraknya dekat, dia lebih memilih naik sepeda saja. Namun, karena sekolahnya berada di kota dan jarak tempuhnya puluhan kilo, dengan terpaksa dia membonceng sang bapak sampai di sekolah.
Siang hari saat Bestari, Riri, dan Ratna berada di rumah. Mereka mengobrol bertiga tanpa Dayan yang belum pulang dari kantor.
"Bagaimana kalau kita tinggal di ruko bertiga?" tanya Bestari pada kedua putrinya. Dia menatap mereka bergantian.
"Memangnya kenapa, Bu? Sudah enak tinggal di sini kenapa harus di ruko?" protes Ratna.
"Kamu 'kan tahu Bapak mau menjual rumah ini. Daripada kita nanti harus pindah secara mendadak, jadi lebih baik pindah dari sekarang." Bestari beralasan.
"Kalian mau ikut tinggal di ruko atau akan tetap di sini?" tanya wanita berusia empat puluh tahun itu.
"Aku ...."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
🍭ͪ ͩFajar¹
gak usah pikir panjang.lebih baik tinggal sendiri dengan anak².dari pada punya lelaki hanya jadi benalu.gak tau diri.
2022-09-14
1
💗Erna iksiru moon💕
tinggalin aja tinggalin....saking solehnya lakinya ampe punya istri siri plus rumah di gadein pula
2022-08-25
1
💗Erna iksiru moon💕
maksudnya menjual gt apa gimana mak Aya?aq kurang ngeh
2022-08-25
1