“Pak, minta uang saku.” Riri menengadahkan tangan pada Dayan.
“Minta sama Ibu, uang bapak habis,” sahut Dayan seraya memakai kaos kaki.
“Bu, kata Bapak, aku minta uang sakunya sama Ibu soalnya uang Bapak habis.” Riri masuk ke kamar kedua orang tuanya, menghampiri Bestari yang sedang berdandan di depan meja rias.
“Kok jadi semua minta uang sama aku,” gumam Bestari sambil menyapukan bedak di wajah. “Ambilkan dompet ibu di tas,” titahnya pada sang putri sulung.
“Tas yang mana, Bu?’ tanya Riri di depan deretan tas sang ibu.
“Yang cokelat,” jawab Bestari.
Riri segera membuka ritsleting tas yang disebutkan. Dia mengaduk-aduk isinya mencari dompet Bestari. Setelah ketemu dia berikan pada ibunya. “Ini, Bu.”
Bestari menerima dompet dari Riri. Membukanya lalu menyerahkan selembar uang lima puluh ribu pada putri sulungnya itu. “Nih buat seminggu.”
“Yah, kok seminggu sih, Bu. Ya kurang. Ini buat tiga hari biasanya,” protes Riri.
Bestari kembali mengambil selembar uang lagi dengan nominal yang sama. “Ini buat seminggu, sisanya ditabung,” pesannya.
“Terima kasih, Ibu.” Riri menerima uang itu dengan wajah berseri-seri. Dia mengecup pipi wanita yang sudah melahirkannya itu. “Ibu memang terbaik,” pujinya.
Bestari tertawa kecil mendengar pujian Riri. Kebiasaan yang selalu dilakukan kalau mendapatkan sesuatu yang dia inginkan. “Sudah sarapan, Ri?”
“Sudah, Bu. Ini juga mau berangkat.”
“Ayo berangkat, Ri,” panggil Dayan dari garasi.
“Iya, Pak,” sahut Riri. “Tuh sudah dipanggil Bapak. Aku berangkat sekolah dulu, Bu,” pamitnya seraya mencium punggung tangan Bestari.
“Ya, belajar yang rajin di sekolah.”
“Iya, Bu. Assalamu’alaikum .”
“Wa’alaikumussalam.”
“Bu, aku berangkat dulu,” pamit Dayan dari garasi.
“Ya, Pak. Hati-hati di jalan,” sahut Bestari dari dalam kamar.
Dayan mengeluarkan motor dari garasi, Riri mengikutinya dari belakang. Setelah motor dipanaskan, mereka meninggalkan rumah. Dayan setiap pagi memang mengantar Riri ke sekolah karena kantornya searah dengan sekolah putri sulungnya itu.
“Bu, minta uang.” Gantian Ratna yang menengadahkan tangan.
“Bukannya kemarin sudah ibu kasih?” Bestari mengerutkan keningnya.
“Aku ‘kan sudah mulai les sekarang, Bu. Masa aku enggak beli maem. Pulangnya ‘kan siang. Jadi uangnya buat beli maem.” Ratna mengutarakan alasannya.
Bestari menghela napas. “Mulai minggu depan bawa bekal saja ya biar lebih irit,” ucapnya seraya membuka dompet dan mengeluarkan selembar lagi uang pecahan lima puluh ribu. “Ibu buat empat hari.” Dia menyerahkan uang tersebut pada sang putri bungsu.
“Makasih, Ibu Sayang.” Ratna langsung memeluk dan mengecup pipi sang ibu.
“Iya, sudah lepaskan. Kamu sudah maem belum?”
“Sudah, Bu. Tinggal pakai kaos kaki sama sepatu.”
“Ibu juga sudah selesai. Sebentar lagi kita berangkat.”
“Siap, Bu.” Ratna menuju ke rak sepatu, mengambil sepatu lalu memakai kaos kaki.
Bestari berdiri di depan kaca, melihat lagi penampilannya. Setelah memastikan hijab, riasan dan pakaiannya rapi, dia mengambil tas lalu keluar dari kamar. Mengunci pintu kamar lalu meletakkan di dalam laci meja dekat kamar.
Bestari mengambil sepatu di rak, lalu memakainya. Mengenakan jaket dan helm lalu mengeluarkan motor matic-nya. “Ayo berangkat, Na,” ajaknya pada si bungsu.
“Iya, Bu.” Ratna memakai helm lalu menyusul sang ibu keluar dari garasi. Bestari mengunci garasi baru kemudian menyalakan kendaraan. Setelah Ratna membonceng di belakang, Bestari melajukan kuda besinya. Setiap pagi Bestari mengantar si bungsu ke sekolah karena searah dengan kantornya.
***
“Bu, aku ditawari bisnis sama kenalanku,” ujar Dayan saat mereka berkumpul di ruang keluarga usai makan malam bersama.
“Bisnis apa, Pak?” tanya Bestari seraya melipat baju yang sudah kering.
“Investasi gitu, Bu. Misalnya nanti kita investasi satu juta, kita dapat bagi hasil dua ratus ribu setiap bulan,” jawab Dayan.
Bestari mengernyit. “Investasi apa itu, Pak. Kok gede banget dapatnya. Jangan-jangan cuma nipu itu.”
“Ini beneran, Bu. Teman-temanku banyak yang sudah ikut dan memang benar dapat uang setiap bulan. Lumayan ‘kan Bu kalau kita investasi sepuluh juta nanti per bulan kita dapat dua juta,” terang Dayan.
“Mbok investasi itu yang jelas, Pak. Bikin usaha apa gimana. Jangan mudah tergiur dengan tawaran-tawaran enggak jelas kaya gitu,” sahut Bestari.
“Ini jelas, Bu. Teman-temanku sudah dapat hasil kok. Aku saja ini yang tahunya telat,” ujar Dayan.
“Bapak ini loh sudah berulang kali tertipu sama orang kok ya masih percaya saja kalau ada yang mengiming-imingi bisnis. Daripada buat investasi tidak jelas, uangnya mending dideposito saja, Pak. Itu lebih jelas, atau kalau tidak ditabung buat modal usaha. Memangnya Bapak punya uang buat ikut investasi itu?” Bestari menoleh pada suaminya.
“Ya, enggak punya, Bu. Gajiku ‘kan juga sudah kepotong buat bayar angsuran hutang. Sudah habis buat transport-ku setiap hari sama uang saku Riri,” aku Dayan.
“Lah, Bapak saja tidak punya uang kok mau ikut investasi. Buat apa sih, Pak?”
“Biar hidup kita lebih enak, Bu. Bisa melunasi utang di bank. Kita bisa buka usaha jadi tidak perlu kerja lagi sama orang,” ungkap Dayan.
“Aku pokoknya enggak setuju kalau Bapak mau investasi tidak jelas itu,” tegas Bestari.
“Iya, Bapak itu jangan mudah percaya sama orang begitu saja. Nanti kalau tertipu lagi bagaimana? Bapak kok lebih percata sama orang lain daripada keluarganya sendiri.” Riri yang sedari tadi menyimak pembicaraan kedua orang tuanya ikut bersuara.
Sejak gadis itu masih duduk di sekolah dasar, Dayan memang sering tergoda dengan bisnis yang ditawarkan oleh kenalannya. Namun, dari semua bisnis yang pria itu ikuti, tidak ada satu pun yang menghasilkan. Dia malah kerap kali tertipu dengan nominal uang yang tidak sedikit. Karena itu Riri memberanikan diri mengeluarkan pendapatnya berdasar yang sudah terjadi.
Meskipun usia Riri masih lima belas tahun, tapi pemikirannya sudah dewasa. Mungkin karena dia anak sulung dan sering bergaul dengan orang yang lebih dewasa jadi membuatnya lebih berpikir ke depan. Tidak hanya memikirkan kesenangannya sendiri.
“Kalian ini selalu menentang kalau aku mau maju,” protes Dayan.
“Maju bagaimana, Pak? Nyatanya selama ini Bapak ikut bisnis bukannya makin maju dan dapat untung malah selalu buntung. Ingat tidak soal investasi emas itu. Berapa juta uang yang masuk ke sana? Bapak dapat duit tidak? Tidak ‘kan?” Bestari mengungkit semua bisnis dan investasi yang pernah Dayan ikuti.
“Itu ‘kan dulu. Yang ini jelas-jelas menghasilkan, Bu. Soalnya teman-temanku sudah dapat bagi hasilnya. Pokoknya aku mau ikut. Titik!” putus Dayan tanpa mengindahkan masukan dari istri dan anaknya.
“Terserah kalau Bapak tetap mau ikut. Aku tidak mau mengeluarkan uang sepeser pun,” tegas Bestari.
“Aku mau pinjam sama Bu Heni, Ibu bisa ‘kan bantu bilangnya,” bujuk Dayan.
“Bilang saja sendiri, aku tidak mau. Tujuannya juga tidak jelas kok,” tolak Bestari.
“Tidak jelas bagaimana. Ini jelas buat investasi, Bu.”
“Ya itu investasinya tidak jelas. Pokoknya aku tidak mau bilang sama Bu Heni. Titik!” tegas Bestari lagi.
Dayan menghela napas panjang. Susah sekali meyakinkan istrinya kali ini. Memang dia sering tertipu berbagai bisnis, tapi tidak ada salahnya ‘kan mencoba bisnis baru lagi. Pria itu memutar otak bagaimana caranya mendapatkan uang dengan cepat.
“Boleh enggak boleh, rumah ini mau kujual.”
“Boleh tidak boleh, rumah ini mau kujual!” putus Dayan tanpa meminta pendapat anggota keluarganya.
“Apa?” pekik Bestari dan Riri bersamaan.
Ratna yang sedang belajar di kamar dan mendengar suara teriakan di ruang depan langsung datang menghampiri mereka bertiga. “Kenapa Ibu sama Mbak Riri teriak?” tanyanya dengan kening mengerut.
“Bapak mau jual rumah ini, Na,” jawab Riri dengan raut kesal.
“Apa? Mau jual rumah ini? Terus kita tinggal di mana?” teriak Ratna yang juga terkejut.
“Kita tinggal di rumah yang dibeli ibu,” jawab Dayan dengan tenang.
“Di sana ‘kan rumahnya kecil, Pak. Itu juga buat jualan tanaman.” Bestari tidak setuju dengan usul suaminya.
“Lagian buat apa sih jual rumah ini, Pak? Buat investasi?” Tampak kekesalan di wajah wanita berusia empat puluh tahun itu.
“Iya, sama buat membesarkan bisnis tanaman Ibu. Aku tidak suka lingkungan di sini, Bu. Aku lebih suka lingkungan di sana. Ibu kan juga lebih dekat ke kantor kalau kita pindah di sana.” Dayan memberikan banyak alasan agar istri dan anaknya menyetujui keinginannya menjual rumah
Riri menggelengkan kepala berkali-kali. “Enggak-enggak. Aku enggak mau pindah, Pak. Sudah enak lagi di sini. Rumahnya lebih gede. Punya halaman luas. Suasananya juga asri, tidak panas seperti di rumah sana.” Riri menyatakan keberatannya.
Ratna mengangguk mendengar ucapan sang kakak. “Aku juga enggak mau pindah, Pak. Di sini aku sudah punya banyak teman. Di sana aku tidak punya teman.” Ratna pun mengungkapkan ketidaksetujuannya.
Bestari menoleh pada suaminya setelah mendengarkan pendapat kedua putrinya. “Itu Bapak dengar sendiri, anak-anak juga tidak mau kalau kita pindah. Sudah enak tinggal di sini kenapa harus pindah. Kita juga sudah kenal baik sama semua tetangga, Pak.”
“Aku tetap mau jual rumah ini,” putus Dayan yang masih bersikeras dengan keinginannya.
Bestari menghela napas panjang, berusaha meredam emosi di depan kedua anaknya.
Ingin marah, bahkan mencakar wajah suaminya tersebut. Namun ditahan, agar tidak dilihat buah hatinya.
Dia sangat kecewa, suaminya jadi gelap mata. Sampai mempertaruhkan rumahnya demi ambisi pribadi. Bahkan sebagai istri, dia tidak diajak berunding. Merasa keberadaannya tidak dianggap sama sekali. Wajahnya tak bisa menyembunyikan rasa marah yang ada di dalam hati.
“Bapak kok egois sih cuma memikirkan diri sendiri,” protes Riri yang langsung pergi meninggalkan ruang tengah dan masuk ke kamarnya.
“Iya, bapak egois.” Ratna membeo sang kakak, dia pun ikut pergi dan kembali ke kamarnya sendiri. Sejak Riri masuk SMP, dia meminta kamar sendiri. Jadi Riri dan Ratna sudah tidur terpisah sejak tiga tahun silam.
Bestari menghela napas panjang begitu kedua putrinya pergi. “Bapak kok jadi ngotot begitu kenapa sih, Pak? Apa Bapak terjerat hutang?” tanya Bestari baik-baik.
“Tidak. Hutang apa? Aku mau ikut investasi itu saja kok,” jawab Dayan kalem.
Bestari mengernyit. “Aku sama anak-anak sudah menentang loh, Pak. Kenapa Bapak terus nekat sih? Bapak lebih memilih lebih percaya orang lain daripada keluarga sendiri,” protesnya.
“Aku tahu tanah ini hak milik Bapak karena ini warisan dari orang tua Bapak. Aku tidak berhak ikut campur. Tapi apa Bapak tidak memikirkan perasaanku dan anak-anak? Bagaimana perjuangan kita membangun rumah ini dari nol sampai bisa jadi seperti sekarang, Pak? Sayang sekali kalau rumah ini dijual.” Bestari mengambil napas sejenak sambil menenangkan diri.
“Aku terima Bapak apa adanya selama ini. Aku tidak pernah menuntut Bapak memberiku uang setiap bulan karena aku sudah punya gaji sendiri. Dari awal pernikahan pun Bapak tidak pernah memberiku uang. Aku tidak apa-apa. Aku ikhlas membiayai kebutuhan rumah tangga kita selama ini setiap bulan dari gajiku, Pak. Jadi, aku mohon, pertimbangkan lagi menjual rumah ini demi investasi yang tidak jelas itu. Bisa ‘kan, Pak?” ucap Bestari dengan lembut. Wanita itu memandang suaminya dengan tatapan memohon. Itu semua dia lakukan demi anak-anaknya. Bestari tidak mau membuat mereka kecewa agar tidak menganggu konsentrasi belajar kedua buah hatinya.
Dayan hanya mengangguk tanpa mengeluarkan suara. Bestari kemudian bernapas dengan lega.
Waktu berlalu begitu saja. Tidak ada pembicaraan lagi soal investasi dan rencana menjual rumah. Keluarga mereka kembali harmonis seperti biasanya, ya meskipun tetap ada pertengkaran kecil di antara mereka, tapi semua bisa dilewati. Sampai beberapa minggu kemudian.
“Bu, aku jadi menjual rumah ini. Aku sudah menawarkan ke mana-mana,” ujar Dayan saat mereka duduk-duduk di ruang tengah sambil menonton televisi.
“Bapak kok tetap nekat sih?” Bestari menoleh pada suaminya. Keningnya mengerut dan rasa kesal mulai menyerangnya.
“Aku sudah tidak betah tinggal di sini, Bu,” aku Dayan. “Ibu juga lebih dekat ke kantor ‘kan kalau dari rumah sana,” imbuhnya dengan tenang. Memanglah Dayan ini pria yang tenang dan tidak meledak-ledak, berbeda dengan Bestari yang ekspresif.
"Bapak tidak betah kenapa? Jangan bikin alasan yang mengada-ada," tukas Bestari yang mencoba tetap tenang meski hatinya merasa kesal.
"Ya, lingkungannya, Bu. Aku tidak sepaham dengan warga sini. Aku ingin hidup di lingkungan yang sepaham," ungkap Dayan. Memanglah pria berusia empat puluh dua tahun itu menganut prinsip yang berbeda dengan warga sekitar, hingga dia tidak mengikuti beberapa kegiatan yang biasanya dilakukan oleh para warga.
Kening Bestari semakin mengerut mendengar alasan klise sang suami. "Nyatanya selama ini kita hidup di sini juga baik-baik saja 'kan, Pak. Kita menghormati mereka. Mereka juga menghormati kita. Bapak bahkan dijadikan ketua RT sama warga."
"Pokoknya kita pindah, Bu, begitu rumah ini terjual." Dayan sudah bulat dengan keputusannya.
Bestari jadi meradang, padahal dia sudah berusaha menahan diri sejak tadi. "Bapak ini sebenarnya kenapa sih? Selama aku jadi istri, Bapak tidak pernah sengotot ini kalau punya keinginan. Bahkan sampai nekat mau menjual rumah padahal kami sudah menentang. Bapak bilang saja sejujurnya ada apa. Jangan sampai tiba-tiba terjadi apa-apa dan aku tidak tahu apa pun," desaknya.
"Tidak apa-apa, Bu. Beneran." Dayan meyakinkan sang istri dengan wajah yang tenang.
Bestari menggelengkan kepala. Dia tidak mau percaya begitu saja dengan ucapan suaminya. "Aku kok tidak percaya, Pak. Ini seperti bukan Bapak yang biasanya. Aku sudah tujuh belas tahun jadi istri Bapak, jadi aku tahu ini pasti ada sesuatu. Ayo, Bapak, bilang saja ada apa?" Bestari kembali mendesak suaminya untuk berkata jujur.
Sebagai wanita yang punya perasaan lebih halus dari pria, dia punya firasat kalau sesuatu sudah terjadi pada suaminya. Hanya dia tidak tahu apa itu. Bestari sudah bertekad harus tahu apa yang sedang disembunyikan suaminya. Apa pun itu, dia sudah siap mendengar dan menyiapkan hatinya. Meskipun apa yang akan didengarnya nanti mungkin adalah sesuatu yang sangat buruk dan menyakitkan.
Dayan mengambil napas panjang. Dia diam karena sedang berpikir, bagaimana menyusun kata-kata agar istrinya bisa menerima apa yang akan dikatakannya nanti.
"Bu, sebenarnya rumah ini sudah aku gadaikan," aku Dayan dengan nada pelan.
"Apa, Pak?"
"Bu, sebenarnya rumah ini sudah aku gadaikan," aku Dayan dengan nada pelan.
"Apa, Pak?" tanya Bestari yang tidak yakin dengan apa telinganya dengar karena nada suara Dayan yang pelan.
"Aku menggadaikan rumah ini," ulang Dayan. Kali ini suaranya lebih terdengar.
Netra Bestari membola. "Ya Allah, Pak. Astaghfirullah hal adzim. Astaghfirullah hal adzim." Dia sangat terkejut sampai mengucap istighfar berkali-kali. Mengelus dadanya yang naik turun karena menahan emosi. Siapa yang tidak emosi mendengar pengakuan Dayan yang diam-diam sudah menggadaikan rumah yang menjadi tempat tinggal mereka selama ini.
Sementara itu Dayan hanya diam menunduk. Menunggu tanggapan dari sang istri. Sisi hatinya merasa bersalah pada Bestari, tapi mau bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur. Dia sudah terlanjur melakukan hal yang berisiko tinggi itu.
"Ja—jadi rumah ini sudah digadaikan, Pak?" tanya Bestari setelah dia kembali tenang walaupun dadanya masih terlihat naik turun dengan cepat. Meskipun marah, logikanya harus tetap berjalan.
Dayan menganggut. "Iya, Bu. Dan, dalam satu setengah bulan lagi kalau aku tidak bisa menebus, rumah ini akan diambil sama pendana."
Bestari yang masih terkejut dengan pengakuan awal suaminya tadi, jadi semakin syok. Kepalanya mendadak berputar. Tubuhnya terasa lemas mendengar pengakuan yang kedua. Untung saja dia dalam posisi duduk, coba kalau berdiri. Mungkin tubuhnya akan melorot sendiri ke lantai.
Bestari coba menguasai dirinya lagi. Dengan sisa tenaga yang dipunya, dia merenungkan apa yang dikatakan Dayan. Rumah digadaikan dan akan diambil sama pendana. Tunggu, pendana? Maksudnya apa pendana itu?
"Pak, pendana itu siapa? Memangnya Bapak menggadaikan rumah ke mana?" tanya Bestari yang merasa bingung.
"Pendana itu ya orang yang punya dana. Yang ngasih aku utang. Ya menggadaikannya ke pendana, Bu," jelas Dayan kalem.
"Memangnya Bapak hutang berapa sama dia sampai harus menggadaikan rumah ini?" desak Bestari yang merasa penasaran.
Dayan mengambil napas panjang sebelum menjawab. "Tiga ratus juta, dan harus dikembalikan empat ratus lima puluh juta."
Netra Bestari kembali membola. "Apa? Tiga ratus juta dan bunganya seratus lima puluh juta? Itu lintah darat. Rentenir, Pak. Jadi, Bapak berhutang sama rentenir?" Bestari memastikan hal bodoh yang dilakukan suaminya.
Dayan mengangguk dan pilih tetap diam.
"Ya Allah, Pak. Empat ratus juta itu bukan uang yang sedikit loh. Banyak banget itu. Bagaimana cara Bapak mengembalikannya? Gaji Bapak saja belum ada sebulan sudah habis dan selalu minta sama aku kalau kurang." Kening Bestari semakin mengerut. Tak habis pikir dengan jalan pikiran pendek suaminya itu.
"Makanya aku harus jual rumah ini buat membayarnya, Bu. Kalian setuju atau tidak, rumah ini harus tetap dijual. Daripada rumah ini hilang begitu saja diambil sama pendana itu," ujar Dayan.
"Menggadaikan rumah ini berarti sertifikatnya dibawa sama rentenir itu?" tanya Bestari.
"Iya, ada disimpan sama notarisnya," jawab Dayan.
"Loh kok ada notaris segala, Pak?"
"Iya, aku tanda tangan surat perjanjiannya di depan notaris," jelas Dayan.
"Terus surat perjanjiannya mana?"
"Ya di sana, Bu. Disimpan sama notarisnya."
"Bapak enggak dikasih salinannya sama notaris?"
Dayan menggeleng. "Enggak, Bu."
Bestari menghela napas panjang. Menahan lagi emosinya karena kebodohan sang suami. "Harusnya Bapak minta itu surat perjanjiannya. Namanya surat perjanjian itu kedua belah pihak harus punya salinannya masing-masing," terang Bestari. "Memangnya Bapak tidak minta salinannya?" tanyanya kemudian.
"Aku minta, tapi tidak dikasih, Bu."
"Notarisnya enggak bener itu berarti," celetuk Bestari. Wanita itu kembali menghela napas panjang. Oke, dia tidak akan memperpanjang masalah surat perjanjian. Lebih baik mengorek hal lain yang menurutnya lebih penting.
"Pak, utang sebanyak itu buat apa? Apa buat investasi yang dulu Bapak bilang?" tanya Bestari dengan tenang walau amarah masih ada di dalam hatinya.
"I—iya."
"Ya Allah, Pak. Tiga ratus juta itu jumlahnya besar. Kalau uang itu dibawa lari sama orang yang ngajak investasi bagaimana? Bapak enggak dapat apa-apa malah rumah jadi hilang." Bestari meluapkan emosinya. Bagaimana tidak emosi kalau sampai uang ratusan juta itu lenyap begitu saja.
"Ibu tenang saja, orangnya tidak bakal menipu kok. Aku percaya sama dia." Dayan meyakinkan istrinya.
Bestari mengernyit. "Kok Bapak yakin banget?"
"Iya soalnya aku tahu dia enggak bakal nipu."
Bestari jadi semakin penasaran. Dia harus kembali tenang. "Aku mau tahu Bapak investasi sama siapa?"
"Sama orang keturunan keraton."
"Namanya?"
"Raden Panji."
"Apa orang itu yang selalu Bapak temui kalau pamit pergi sepulang kerja?" Bestari memandang suaminya, berniat mencari kebohongan di sana.
"Iya."
"Kok Bapak bisa kenal sama Raden Panji?"
"Ya, dikenalkan sama orang."
"Siapa orangnya?" tanya Bestari masih dengan tenang.
"Kenalanku," jawab Dayan.
"Teman kantor?"
Dayan menggeleng. "Ya, pokoknya kenalanku. Dia orangnya bisa dipercaya."
Bestari kembali meradang. "Bapak bisa ya gampang percaya sama orang yang baru dikenal, tapi enggak percaya sama keluarga sendiri. Aku mau ketemu itu sama kenalan Bapak."
Dayan langsung menoleh pada istrinya. "Buat apa, Bu?"
"Ya, aku cuma ingin tahu saja orangnya seperti apa dan mau tanya kenapa ngajak Bapak ikut investasi yang tidak jelas itu," ujar Bestari.
Dayan menggeleng. "Enggak perlu. Biar itu jadi urusanku sama dia. Sekarang kita pikirkan bagaimana bisa melunasi utangku dan mengambil sertifikat itu kembali. Jalan satu-satunya ya hanya menjual rumah ini. Atau kalau Ibu bisa ya pinjam ke bank atau ke Bu Heni."
Kepala Bestari mendadak pusing memikirkan cara mendapatkan uang ratusan juta hanya dalam waktu satu setengah bulan saja. Kalau hanya puluhan juta, dia masih bisa mengusahakan, tapi ratusan juta? Meminjam uang pada teman dengan nominal sebesar itu rasanya tidak mungkin. Apalagi dia juga tidak bisa menjanjikan kapan bisa mengembalikan uangnya.
Bestari memejamkan mata dan mulai mengatur napas agar lebih tenang. Dia menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskan lewat mulut perlahan-lahan. Kegiatan itu dilakukan selama beberapa kali sampai merasa tenang. Kalau dirinya tenang, pastinya dia bisa berpikir dengan jernih.
"Pak, aku masih penasaran sama kenalan Bapak itu, sebenarnya dia siapa sih sampai Bapak percaya begitu saja sama dia?" tanya Bestari dalam keadaan tenang.
"Aku 'kan sudah bilang tadi biar itu jadi urusanku," jawab Dayan yang Bestari yakini pasti menyembunyikan sesuatu darinya.
"Memangnya aku salah kalau ingin tahu, Pak? Aku ini istrimu loh, Pak. Kalau ada sesuatu yang terjadi sama Bapak, pasti orang akan tanya sama aku. Terus kalau aku tidak tahu apa-apa bagaimana? Istri macam apa aku ini." Bestari coba membujuk suaminya agar mau jujur.
"Ya, tidak salah. Aku cuma tidak mau Ibu jadi kepikiran masalah itu. Ibu cukup fokus ke masalah utangku saja." Dayan masih bersikeras menutup mulutnya.
Bestari jadi makin penasaran dan curiga dengan sikap Dayan. Kenapa suaminya itu begitu menutupi orang yang sudah mengajaknya berinvestasi? Bukan Bestari namanya kalau menyerah begitu saja.
"Kenalan Bapak itu wanita ya?" tebak Bestari. Dia tersenyum tipis saat melihat suaminya terkejut mendengar tebakannya. Berarti benar dugaannya.
"I—ya," jawab Dayan yang mulai gugup.
"Pantas Bapak gampang percaya," sinis Bestari yang sudah hafal dengan sifat suaminya yang mudah mengulurkan tangan untuk seorang wanita.
"Siapa namanya?" tanya Bestari dengan nada lembut tapi penuh tekanan.
"Royani. Ehm, Bu, di—dia itu—" Dayan mengusap tengkuknya.
"Royani? Dia kenapa?" Bestari mengerutkan keningnya.
"Di—dia sebenarnya is—istri mudaku."
"Hah? Siapa?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!