Bab 2

“Boleh tidak boleh, rumah ini mau kujual!” putus Dayan tanpa meminta pendapat anggota keluarganya.

“Apa?” pekik Bestari dan Riri bersamaan.

Ratna yang sedang belajar di kamar dan mendengar suara teriakan di ruang depan langsung datang menghampiri mereka bertiga. “Kenapa Ibu sama Mbak Riri teriak?” tanyanya dengan kening mengerut.

“Bapak mau jual rumah ini, Na,” jawab Riri dengan raut kesal.

“Apa? Mau jual rumah ini? Terus kita tinggal di mana?” teriak Ratna yang juga terkejut.

“Kita tinggal di rumah yang dibeli ibu,” jawab Dayan dengan tenang.

“Di sana ‘kan rumahnya kecil, Pak. Itu juga buat jualan tanaman.” Bestari tidak setuju dengan usul suaminya.

“Lagian buat apa sih jual rumah ini, Pak? Buat investasi?” Tampak kekesalan di wajah wanita berusia empat puluh tahun itu.

“Iya, sama buat membesarkan bisnis tanaman Ibu. Aku tidak suka lingkungan di sini, Bu. Aku lebih suka lingkungan di sana. Ibu kan juga lebih dekat ke kantor kalau kita pindah di sana.” Dayan memberikan banyak alasan agar istri dan anaknya menyetujui keinginannya menjual rumah

Riri menggelengkan kepala berkali-kali. “Enggak-enggak. Aku enggak mau pindah, Pak. Sudah enak lagi di sini. Rumahnya lebih gede. Punya halaman luas. Suasananya juga asri, tidak panas seperti di rumah sana.” Riri menyatakan keberatannya.

Ratna mengangguk mendengar ucapan sang kakak. “Aku juga enggak mau pindah, Pak. Di sini aku sudah punya banyak teman. Di sana aku tidak punya teman.” Ratna pun mengungkapkan ketidaksetujuannya.

Bestari menoleh pada suaminya setelah mendengarkan pendapat kedua putrinya. “Itu Bapak dengar sendiri, anak-anak juga tidak mau kalau kita pindah. Sudah enak tinggal di sini kenapa harus pindah. Kita juga sudah kenal baik sama semua tetangga, Pak.”

“Aku tetap mau jual rumah ini,” putus Dayan yang masih bersikeras dengan keinginannya.

Bestari menghela napas panjang, berusaha meredam emosi di depan kedua anaknya.

Ingin marah, bahkan mencakar wajah suaminya tersebut. Namun ditahan, agar tidak dilihat buah hatinya.

Dia sangat kecewa, suaminya jadi gelap mata. Sampai mempertaruhkan rumahnya demi ambisi pribadi. Bahkan sebagai istri, dia tidak diajak berunding. Merasa keberadaannya tidak dianggap sama sekali. Wajahnya tak bisa menyembunyikan rasa marah yang ada di dalam hati.

“Bapak kok egois sih cuma memikirkan diri sendiri,” protes Riri yang langsung pergi meninggalkan ruang tengah dan masuk ke kamarnya.

“Iya, bapak egois.” Ratna membeo sang kakak, dia pun ikut pergi dan kembali ke kamarnya sendiri. Sejak Riri masuk SMP, dia meminta kamar sendiri. Jadi Riri dan Ratna sudah tidur terpisah sejak tiga tahun silam.

Bestari menghela napas panjang begitu kedua putrinya pergi. “Bapak kok jadi ngotot begitu kenapa sih, Pak? Apa Bapak terjerat hutang?” tanya Bestari baik-baik.

“Tidak. Hutang apa? Aku mau ikut investasi itu saja kok,” jawab Dayan kalem.

Bestari mengernyit. “Aku sama anak-anak sudah menentang loh, Pak. Kenapa Bapak terus nekat sih? Bapak lebih memilih lebih percaya orang lain daripada keluarga sendiri,” protesnya.

“Aku tahu tanah ini hak milik Bapak karena ini warisan dari orang tua Bapak. Aku tidak berhak ikut campur. Tapi apa Bapak tidak memikirkan perasaanku dan anak-anak? Bagaimana perjuangan kita membangun rumah ini dari nol sampai bisa jadi seperti sekarang, Pak? Sayang sekali kalau rumah ini dijual.” Bestari mengambil napas sejenak sambil menenangkan diri.

“Aku terima Bapak apa adanya selama ini. Aku tidak pernah menuntut Bapak memberiku uang setiap bulan karena aku sudah punya gaji sendiri. Dari awal pernikahan pun Bapak tidak pernah memberiku uang. Aku tidak apa-apa. Aku ikhlas membiayai kebutuhan rumah tangga kita selama ini setiap bulan dari gajiku, Pak. Jadi, aku mohon, pertimbangkan lagi menjual rumah ini demi investasi yang tidak jelas itu. Bisa ‘kan, Pak?” ucap Bestari dengan lembut. Wanita itu memandang suaminya dengan tatapan memohon. Itu semua dia lakukan demi anak-anaknya. Bestari tidak mau membuat mereka kecewa agar tidak menganggu konsentrasi belajar kedua buah hatinya.

Dayan hanya mengangguk tanpa mengeluarkan suara. Bestari kemudian bernapas dengan lega.

Waktu berlalu begitu saja. Tidak ada pembicaraan lagi soal investasi dan rencana menjual rumah. Keluarga mereka kembali harmonis seperti biasanya, ya meskipun tetap ada pertengkaran kecil di antara mereka, tapi semua bisa dilewati. Sampai beberapa minggu kemudian.

“Bu, aku jadi menjual rumah ini. Aku sudah menawarkan ke mana-mana,” ujar Dayan saat mereka duduk-duduk di ruang tengah sambil menonton televisi.

“Bapak kok tetap nekat sih?” Bestari menoleh pada suaminya. Keningnya mengerut dan rasa kesal mulai menyerangnya.

“Aku sudah tidak betah tinggal di sini, Bu,” aku Dayan. “Ibu juga lebih dekat ke kantor ‘kan kalau dari rumah sana,” imbuhnya dengan tenang. Memanglah Dayan ini pria yang tenang dan tidak meledak-ledak, berbeda dengan Bestari yang ekspresif.

"Bapak tidak betah kenapa? Jangan bikin alasan yang mengada-ada," tukas Bestari yang mencoba tetap tenang meski hatinya merasa kesal.

"Ya, lingkungannya, Bu. Aku tidak sepaham dengan warga sini. Aku ingin hidup di lingkungan yang sepaham," ungkap Dayan. Memanglah pria berusia empat puluh dua tahun itu menganut prinsip yang berbeda dengan warga sekitar, hingga dia tidak mengikuti beberapa kegiatan yang biasanya dilakukan oleh para warga.

Kening Bestari semakin mengerut mendengar alasan klise sang suami. "Nyatanya selama ini kita hidup di sini juga baik-baik saja 'kan, Pak. Kita menghormati mereka. Mereka juga menghormati kita. Bapak bahkan dijadikan ketua RT sama warga."

"Pokoknya kita pindah, Bu, begitu rumah ini terjual." Dayan sudah bulat dengan keputusannya.

Bestari jadi meradang, padahal dia sudah berusaha menahan diri sejak tadi. "Bapak ini sebenarnya kenapa sih? Selama aku jadi istri, Bapak tidak pernah sengotot ini kalau punya keinginan. Bahkan sampai nekat mau menjual rumah padahal kami sudah menentang. Bapak bilang saja sejujurnya ada apa. Jangan sampai tiba-tiba terjadi apa-apa dan aku tidak tahu apa pun," desaknya.

"Tidak apa-apa, Bu. Beneran." Dayan meyakinkan sang istri dengan wajah yang tenang.

Bestari menggelengkan kepala. Dia tidak mau percaya begitu saja dengan ucapan suaminya. "Aku kok tidak percaya, Pak. Ini seperti bukan Bapak yang biasanya. Aku sudah tujuh belas tahun jadi istri Bapak, jadi aku tahu ini pasti ada sesuatu. Ayo, Bapak, bilang saja ada apa?" Bestari kembali mendesak suaminya untuk berkata jujur.

Sebagai wanita yang punya perasaan lebih halus dari pria, dia punya firasat kalau sesuatu sudah terjadi pada suaminya. Hanya dia tidak tahu apa itu. Bestari sudah bertekad harus tahu apa yang sedang disembunyikan suaminya. Apa pun itu, dia sudah siap mendengar dan menyiapkan hatinya. Meskipun apa yang akan didengarnya nanti mungkin adalah sesuatu yang sangat buruk dan menyakitkan.

Dayan mengambil napas panjang. Dia diam karena sedang berpikir, bagaimana menyusun kata-kata agar istrinya bisa menerima apa yang akan dikatakannya nanti.

"Bu, sebenarnya rumah ini sudah aku gadaikan," aku Dayan dengan nada pelan.

"Apa, Pak?"

Terpopuler

Comments

🍭ͪ ͩFajar¹

🍭ͪ ͩFajar¹

sudah ditentang masih saja ngotot.kurang apa coba istrinya menerima dia apa adanya.hanya wanita yang di bekali dengan hati yang ikhlas dan lapang yang masih sanggup bertahan dengan hal seperti itu.

2022-09-14

2

💕Erna iksiru moon💕

💕Erna iksiru moon💕

kenapa gak kamu aja yg di gadaikan Yan...eh gak laku lah kamu mah mana ada yg mau kecuali pelakor yg doyannya laki orang😁

2022-08-14

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!