Keesokan harinya, Brenda terbangun dengan kepala yang pusing. Dia mencoba mengingat apa yang terjadi semalam, tetapi semua terasa kabur. Dalam usaha mengumpulkan ingatan, matanya tertuju pada secarik kertas yang tergeletak di atas meja riasnya. Dengan penuh rasa ingin tahu, dia mengambil kertas itu dan membaca tulisan di atasnya: "Semoga tidurmu lelap, Brenda. Dan ini nomor pria semalam: +44xxxx."
“Gila, aku benar-benar kehilangan akal semalam,” keluhnya sambil memijat pelipisnya. Rasa malu menyelimuti dirinya saat dia membayangkan kekonyolan yang mungkin telah dilakukan. Brenda segera bergegas ke kamar mandi, mencuci muka, dan berusaha mengusir rasa pusing yang masih menghantuinya.
Setelah merasa sedikit lebih segar, dia memutuskan untuk menghubungi nomor yang tertera di kertas tersebut. Dengan tangan bergetar, dia menekan nomor itu.
“Tuuttttt... tuuttttt... tuuttttt...”
“Halo, dengan siapa ini?” suara serak yang sangat sexy langsung menyambut telponnya.
“Ah, iya, itu, anu…” Brenda merasa terjebak dalam kata-kata, sambil menepuk jidatnya untuk mengusir kebodohan.
Suara di ujung sana terbahak, “Hahaha, ini pasti wanita cantik di restoran semalam ya.”
“Ah, iya, ini aku, tuan Richard,” jawabnya, berusaha terdengar percaya diri meskipun wajahnya memerah.
“Bisakah kita bertemu hari ini? Aku ingin meminta maaf dan mengganti kerugianmu semalam,” lanjutnya.
Kembali terdengar gelak tawa dari Richard, “Kau ini tak hanya cantik, Nona Brenda. Kau juga senang terburu-buru ya.”
“Maaf, mungkin aku sedikit gugup, mengingat hal konyol semalam,” jelasnya, merasa sedikit canggung.
“Baiklah, kita akan bertemu hari ini saat makan siang,” ucapnya.
“Baiklah, sampai bertemu nanti saat makan siang di Restaurant Big,” jawab Brenda, merasa sedikit lebih tenang sebelum menutup telepon.
“Ah, mungkin aku bisa sedikit mencari tahu dulu tentang siapa Richard itu, sebelum makan siang,” gerutunya dalam hati.
Brenda segera menghubungi Debora, sekretarisnya di Hoki Grup. “Debora, tolong kau cari tahu tentang Tuan Richard.”
“Baik, Nona Brenda, siap. Aku akan segera mendapatkan informasi mengenai dia untukmu,” sambut Debora.
Setelah menutup telepon, Brenda melanjutkan harinya dengan berkeliling gerai dan memeriksa apakah ada kesulitan di antara pegawainya. Bagi Brenda, sebagai CEO, melakukan ini adalah hal yang menyenangkan, dan dia tidak ingin melewatkannya.
Suara handphone berdering kembali. “Ya, Debora…” jawabnya.
“Nona Brenda, aku sudah mendapatkan informasi mengenai Tuan Richard. Aku akan mengirimnya lewat emailmu,” sahut Debora.
“Bagus, terima kasih,” balas Brenda, lalu segera memeriksa emailnya.
“Richard Elwinson, pengusaha muda usia 25 tahun. Memiliki beberapa perusahaan di Malaysia dan Australia. Perusahaan bergerak di bidang farmasi dan bioteknologi, lahir di Amsterdam, tanggal sekian dan bla..bla..bla...” Brenda membaca sekilas tentang Richard dengan antusias.
“Benar saja, perusahaan kami tak pernah bertemu, ternyata bidang kami berbeda,” gerutunya sambil menyirikan alis.
Tak lama kemudian, alarm makan siang berbunyi. “Ah, sudah waktunya ternyata. Emh, dia cukup membuatku ingin mengenalnya lebih dekat, agar perusahaanku juga dapat berkembang hingga luar negeri.” Pikirannya menerawang jauh untuk kemajuan perusahaannya.
Dengan semangat, dia berangkat menuju Restaurant Big. Restaurant ini adalah salah satu tempat favoritnya yang dipenuhi oleh gerai emas kebanggaannya. Sesampainya di sana, dia mengirim pesan kepada Richard bahwa dia sudah berada di restaurant dan duduk di meja nomor 22.
Tak lama kemudian, dari belakangnya, dia merasakan kehadiran seseorang. Setangkai bunga mawar muncul, diikuti dengan suara yang hangat.
“Selamat siang, Nona Brenda.” Dengan lembut, Richard menarik tangan Brenda dan menciumnya.
“Ahh, dia manis sekali…” pekiknya sambil tersenyum, merasakan getaran yang menyenangkan di dalam hatinya.
“Senang bisa bertemu denganmu di saat tenang seperti ini,” ucap Richard, matanya berbinar penuh ketertarikan.
“Apakah dia sedang menyindirku?” ucap Brenda dalam hati, mencoba menahan senyumnya.
“Ya, aku juga senang bertemu denganmu, Tuan Richard,” kataku, berusaha terdengar formal meskipun hatinya berdebar-debar.
“Ah, jangan terlalu formal kepadaku. Panggil saja Richard. Bagaimana, apakah kau sudah memesan makanan, cantik?” senyumnya menyeringai menggoda.
“Tentu saja belum, Tuan. Anda baru sampai, mana mungkin aku sudah memesan? Aku kan tidak tahu selera Anda,” sahutnya, berusaha santai.
“Seleraku? Tentu saja kamu, cantik,” jawabnya sambil menatapnya dengan tatapan nakal. Mukanya memerah mendengar pujian itu, dan dia tidak mengerti bagaimana harus merespons.
“Ahh baiklah, cantik, mari kita pesan sesuatu. Ntah mengapa, perasaanku berkata, untuk bertemu denganku siang ini, kau bahkan belum sarapan tadi pagi,” Richard meramal dengan senyuman penuh arti.
Brenda tertawa kecil, merasa terhanyut dalam suasana. “Ya, aku sedikit terburu-buru,” jawabnya sambil meraih menu.
Saat mereka memilih makanan, Brenda merasakan kenyamanan yang aneh dengan Richard. Satu hal yang pasti, setiap kali Richard tertawa, rasanya seperti ada magnet yang menariknya lebih dekat. Ada sesuatu dalam cara dia berbicara, membuat Brenda merasa istimewa dan dipahami.
“Makananmu sudah datang, cantik. Apa yang kau pilih?” tanya Richard sambil memandang hidangan yang diantar pelayan.
“Spaghetti carbonara. Cukup sederhana, tapi enak,” jawab Brenda dengan senyum manis.
“Sepertinya pilihan yang bagus. Tapi ingat, yang terpenting adalah menikmati makanan dan bukan hanya sekadar makan,” ucap Richard dengan penuh semangat.
Mereka pun mulai mengobrol tentang banyak hal, dari hobi hingga mimpi masa depan. Brenda merasa setiap detik berharga saat bersamanya. Richard memiliki pesona yang sulit ditolak, dan dia sangat menarik. Brenda mulai merasakan ketertarikan yang lebih dalam terhadapnya.
“Brenda, aku ingin tahu lebih banyak tentangmu. Apa yang membuatmu begitu bersemangat dalam menjalankan bisnis?” tanya Richard dengan serius, tetapi tetap dengan senyum yang menggoda.
“Bisnisku adalah hidupku. Aku ingin menciptakan sesuatu yang bisa memberikan dampak positif bagi banyak orang,” jawab Brenda, merasa terhubung dengan Richard.
“Bagus sekali. Aku suka semangatmu. Semangat seperti inilah yang diperlukan dalam bisnis,” puji Richard, membuat Brenda merasa bangga.
Setiap tawa dan senyuman Richard semakin membuat hatinya bergetar. Brenda tidak bisa menahan diri untuk tidak memikirkan masa depan. Seperti apa jika mereka bisa menjalin hubungan yang lebih dari sekadar teman?
Ketika makan siang berakhir, Richard membayar tagihan. Brenda merasa ada sesuatu yang spesial saat Richard mengeluarkan dompetnya. Dia tidak hanya memperhatikan kemewahan, tetapi juga bagaimana dia menghargai momen tersebut.
“Brenda, aku ingin kita bertemu lagi. Bagaimana jika kita merencanakan makan malam?” tawar Richard sambil menatapnya dengan intens.
Mendengar tawaran itu, Brenda merasa jantungnya berdebar. “Tentu, aku akan senang sekali. Kapan?” tanyanya dengan antusias.
“Bagaimana jika besok malam? Aku akan menjemputmu,” jawab Richard dengan senyum menawannya.
“Baiklah, aku akan siap menunggumu,” balas Brenda, merasa bahagia. Makan siang ini telah membawa harapan baru dalam hidupnya.
Setelah perpisahan yang manis, Brenda pulang dengan senyum tak tertahankan di wajahnya. Hari ini, dia telah menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar bisnis; dia menemukan kemungkinan baru yang membuat hidupnya lebih berwarna.
“Siapa tahu, mungkin ini adalah awal dari sesuatu yang luar biasa,” gumamnya sambil memandang bunga mawar yang masih berada di tangannya.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 193 Episodes
Comments
@Aryanazeanca
sma2 muda,dn sukses..
hmm seperti raffi ahmad dan nagita x ya
2020-03-13
3
Andryan Emmanuel
suka sekali.bakalan menarik bcnya thor.🤣☺👍
2020-03-12
2
Nur Rochimah
seru banget thor...
2020-02-29
3