Keesokan harinya, Brenda terbangun pukul 07.00 dengan kepala yang masih sedikit pusing setelah semalam. Setelah mandi dan sarapan, suasana rumahnya terasa lebih tenang.
"Selamat pagi, Nona Brenda," sapa Bik Sora sambil tersenyum, matanya berbinar-binar penuh kehangatan.
"Selamat pagi," jawab Brenda sambil menikmati sarapannya tanpa menengok ke arah Bik Sora. Pikirannya melayang-layang, teringat pada kejadian kemarin malam dengan Richard. Tiba-tiba, Bik Sora mendekat membawakan sebuah buket bunga.
"Nona, tadi pagi tukang bunga datang kemari dan mengantar bunga ini," jelasnya.
Brenda melihat siapa pengirimnya. "Ahh, ini dari Richard! Bagaimana dia bisa tahu rumahku..." pikirnya dalam hati, jantungnya berdebar-debar.
Tak lama kemudian, handphone-nya berbunyi. Pesan masuk dari Richard: "Selamat pagi, bunga cantik ku."
"Ya, selamat pagi juga, Richard," balasnya, mencoba terlihat santai.
"Kau suka bunganya?" tanyanya lagi.
"Yaa, tapi kuharap ini adalah bunga bank, hahaha," jawabnya sambil tertawa.
"Jangankan hanya bunga bank, segala asetku adalah milikmu. Bahkan diriku pun siap ku berikan asalkan kau mau menjadi pendampingku," balas Richard dengan nada serius.
"Astaga, lelaki ini... Dia membuat otakku membeku," gerutunya dalam hati. Tanpa sadar, ia tidak membalas lagi dan langsung bersiap pergi ke Perusahaan Hoki untuk menyelesaikan beberapa berkas yang menanti.
"Selamat pagi, Nona Brenda!" sapa para pegawai berjejer menyambutnya, dengan kepala tertunduk.
"Ya, selamat pagi. Kembalilah pada pekerjaan kalian. Jika ada keluhan, silakan ke ruanganku," titahnya dengan dingin.
Para pegawai mengerti bahwa Brenda memang terlihat cantik, anggun, dan mempesona, namun juga dingin. Tapi di dalam hatinya, ia sangat baik dan pengertian terhadap pegawai.
"Debora, segera ke ruanganku dan bawa berkas yang perlu aku tanda tangani," ucapnya singkat.
"Baik, Nona Brenda. Ini sembilan berkas yang perlu Anda tanda tangan, dan ini satu pengajuan kerjasama dari perusahaan EL," jelas Debora dengan hati-hati.
"Perusahaan EL? Mengapa aku baru mendengarnya?" ucap Brenda terkejut.
"Itu adalah perusahaan yang dipimpin oleh CEO Tuan Richard El. Yang bekerja di bidang farmasi dan bioteknologi," terangnya.
"Richard? Ahh, biarkan saja itu dulu. Aku akan menghubungi Richard secara langsung," jelasnya.
"Apa saya perlu melakukan reservasi pada perusahaan EL terlebih dahulu, Nona Brenda?" tanya Debora penuh perhatian.
"Ah, tidak perlu. Biar aku yang mengurusnya sendiri," jawabnya tegas.
"Baik, Nona Brenda. Mungkin ada hal lain yang bisa saya lakukan untuk Anda?" Debora menawarinya.
"Cukup kau bawa berkas-berkas ini dan kembalilah pada pekerjaanmu," terangnya.
"Ahh, mungkin ini cara Richard mendekati aku. Hahaha. Tapi... bagaimana jika dia bicara mengacau seperti di pesan tadi pagi?" Brenda mulai kebingungan lagi.
Tiba-tiba, handphone-nya berbunyi. Sebuah panggilan masuk. "Halo, Richard?"
"Bagaimana? Apakah hari ini kita bisa bertemu dan membicarakan bisnis?" tanyanya.
"Boleh, kita bertemu di gerai makanan saat pertama kali kita bertemu," jawabnya, berusaha tenang.
"Baik, aku akan segera kesana." Tiba-tiba, telepon langsung mati. "Astaga, sangat tidak sopan tuan El ini," gerutunya.
Brenda langsung pergi keluar kantor menuju Restaurant Big, tempat mereka bertemu kemarin. Tak disangka, Richard sudah berada di meja nomor 22, tempat mereka kemarin.
"Maaf, sepertinya aku terlambat," ucap Brenda saat melihatnya.
"Oh, tidak cantik. Aku memang sudah ada di sini sebelum menelfonmu," jawab Richard sambil tersenyum lebar.
"Hahaha, niat sekali kamu."
"Yaa, aku tidak ingin wanitaku menunggu," katanya sambil melipat tangannya di atas meja, tatapannya serius namun hangat.
Brenda terdiam, tidak mengerti apa yang dia ucapkan. "Katamu, kau akan membicarakan tentang bisnis? Bagaimana soal itu?" tanyanya, berusaha mengalihkan perhatian.
"Sesungguhnya, aku ingin mengatakan hal yang lebih penting dari sebuah bisnis. Brenda, sebenarnya, sejak pertama aku bertemu denganmu, aku sudah menyukaimu, dan aku ingin mengenalmu lebih dekat. Atau... aku langsung saja melamar mu?" katanya sambil menatapnya dalam-dalam.
Brenda tersipu, merasa seolah hatinya berdegup kencang. "Eh... Richard, ini terlalu cepat. Mungkin kita bisa berpacaran terlebih dahulu sebagai perantara hubungan kita di awal ini?"
"Bagaimana dengan syaratmu?" tanya Richard, tertawa kecil.
Brenda berpikir sejenak. "Aku ingin kau bisa membawa produk perusahaanku hingga ke luar negeri. Jika itu bisa kau lakukan, barulah aku mau memikirkannya."
Richard terdiam sejenak, tampak terkejut dengan permintaan mendalam itu. "Tentu, itu bisa kita bicarakan lebih lanjut. Tapi kau harus tahu, aku akan berusaha keras untuk mencapai itu."
Brenda mengangguk, merasa lebih percaya diri dengan syarat yang diajukan. "Deal! Kita harus bekerja sama untuk mewujudkannya."
Setelah membahas rencana bisnis mereka, Richard tampak sangat serius. Dia berjanji akan membantu mengembangkan perusahaan Hoki dan membawanya ke pasar internasional. Mereka pun menjalin hubungan pacaran yang mesra dan manis. Richard adalah sosok yang sangat menghargai wanita, dan dia membuat Brenda nyaman dengan perhatian-perhatian kecil yang tak terduga.
Hari-hari berlalu, Richard dan Brenda semakin akrab. Namun, suatu hari, saat Brenda tiba di kantor, ia melihat pintu ruangan Richard terbuka sedikit. Dengan rasa ingin tahunya, ia berusaha melihat perlahan ke dalam. Namun, ia malah menemukan Richard dan seorang sekretarisnya bergumul di lantai, berguling-guling dengan napas terengah-engah.
"Ah, Emh... "
Brenda terkejut dan langsung membuka pintu itu lebar-lebar. "Richard!" teriaknya.
Richard, yang terkejut setengah mati, segera menghentikan aksinya dan merapikan pakaiannya. Namun, Brenda sudah tidak bisa menahan perasaannya. Ia langsung menangis dan berlari keluar ruangan, hatinya dipenuhi rasa sakit dan bingung.
"Brenda, tunggu!" teriak Richard, segera mengejar keluar ruangan. Ia berlari mengejar Brenda yang sudah melesat ke luar gedung, merasa cemas dan tidak tahu bagaimana menjelaskan situasi itu.
"Brenda, berhenti! Ini bukan seperti yang kau kira!" Richard berusaha menjelaskan sambil terus berlari. Namun, Brenda terus berlari tanpa mendengarnya, air mata mengalir di pipinya.
"Brenda!" seru Richard, kini berhasil mengejarnya dan memegang tangannya. "Dengarkan aku!"
Brenda menatap Richard dengan penuh kemarahan dan kesedihan. "Aku tidak ingin mendengarkan penjelasanmu! Semua ini terlalu menyakitkan!"
Richard menggenggam tangan Brenda lebih erat, berusaha menenangkannya. "Kau harus percaya padaku. Itu hanya salah paham. Aku bisa menjelaskan semuanya."
"Penjelasan apa yang bisa memperbaiki ini? Aku tidak ingin ada di dalam hubungan yang penuh kebohongan!" Brenda berusaha melepaskan pegangan Richard, tetapi ia tidak mau melepaskannya.
"Brenda, tolong! Aku berjanji, tidak ada yang terjadi di antara aku dan sekretaris itu. Kami sedang membahas pekerjaan, dan semuanya menjadi salah paham!" Richard berusaha menjelaskan dengan nada mendesak.
Brenda menarik napas dalam-dalam, berjuang melawan emosinya. "Aku butuh waktu. Mungkin kita perlu berpisah dulu," katanya, air mata masih mengalir di pipinya.
Richard merasakan hatinya hancur mendengar ucapan itu. "Tidak, Brenda. Tolong jangan lakukan ini. Aku mencintaimu dan ingin bersamamu!"
"Jika kau benar-benar mencintaiku, kau harus membuktikannya. Aku butuh waktu untuk merenungkan semuanya," jawab Brenda pelan sebelum berbalik pergi, meninggalkan Richard yang merasa sangat kecewa dan kehilangan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 193 Episodes
Comments
🌼mami cia🌼
ini direvisi ya... soalnya gak ada bagian richard yag jahatin brenda
2021-07-04
0
Triisnaa Rahayyu
haduhh. trus mnurutmu apa yg kamu lkukan babang richard klo ktamu tdk spt yg kau lihat. emang brenda lg make kaca mata kuda
2020-04-11
2
@Aryanazeanca
sadis bnget nasibmu brenda,ternyata wajah cantik,sukses san pinter bisa2nya dibohongin juga.
atau sengaja si richard berbuat begitu krn persaingan bisnis.
2020-03-13
2