SELAQ
***
“Sudah ibu bilang, jangan main dengannya!”
Suara wanita paruh baya itu menekan, memendam amarah. Nafasnya tersengal berpacu dengan emosi menyesakkan dada.
Bocah perempuan yang adalah anaknya diseret dengan kasar. Namun jerit kesakitan anak 5 tahun itu tidak membuat sang ibu melunak. Tangannya malah semakin bertenaga menyeret bocah berparas manis itu.
“Ampun ibu, ampun,”
“Dikasih apa kau sampai melanggar larangan ibu?” bentaknya dengan kasar.
Tak ada jawaban dari bocah mungil itu. Selain erangan mengaduh kesakitan. Ibunya tak ubahnya Singa yang baru saja menerkam mangsa.
“Dimakannya kamu baru tahu rasa!” sungut ibu itu gemas.
Sesosok anak perempuan, menatap sendu kepergian ibu dan anak itu. Sampai usianya 11 tahun, ia tidak pernah tahu alasan apa para orang tua di desanya, meminta anak-anaknya menjauhinya: suka atau terpaksa.
Kini tinggal, boneka kayu yang setia menemaninya. Boneka itu baru saja digunakannya bercerita tentang kisah pahlawan desa. Tapi belum selesai bercerita, ibu bocah perempuan itu, datang memaksa anaknya pulang.
Tangan kirinya menggenggam boneka kayu. Sedangkan tangan kanan meremas dada.
“Kok di sini sakit sekali,” katanya parau.
Untuk kesekian kalinya, gadis belia itu sendiri lagi di tanah lapang. Tak ada sesiapa yang berani mendekatinya.
***
Tirai malam telah dibentangkan. Desa Bunge perlahan terlelap diselimuti kabut basah.
Cahaya lampu di rumah-rumah warga telah dipadamkan. Kecuali satu rumah yang terlihat ramai orang berkumpul di sana.
“Pak Kades, kok anak itu dibiarkan berkeliaran!” pekik seorang pria dengan emosi yang membakar ubun-ubun.
“Anda berjanji menjaganya agar tidak berkeliaran, tapi tadi siang anak itu nyaris menangkap anak saya,” kata seorang ibu meledak-ledak.
“Sudahlah Bu Kerimasih jangan berlebihan,” kata pria yang dipanggil pak Kades atau Kepala Desa itu.
“Oh, jadi Anda tidak percaya, anak saya cuma berdua dengan anak itu, Anda kok tenang sekali!” ia marah, penuturannya tidak berhasil membuat Kades itu panik.
“Tenang ibu, tenang bapak-bapak, mohon semuanya tenang!” kali ini suara pak Kades meninggi di hadapan puluhan warga yang mendatangi rumahnya.
“Jangan berandai-andai. Anak ibu baik-baik saja. Jangan terbakar oleh pikiran buruk yang kamu ciptakan dalam pikiranmu sendiri,”
“Memang belum terjadi, tapi kalau saya terlambat pasti akan terjadi!” sergah ibu itu sengit.
“Pokoknya pak Kades, kami tidak mau anak itu berkeliaran lagi!” sahut yang lain.
“Rantai saja, bila perlu pasung!”
“Bunuh saja, biar desa ini aman!”
Orang-orang yang bicara semakin tidak bisa dikendalikan. Menumpahkan kekesalan seperti membuang kotoran semaunya.
Malam yang harusnya dingin oleh angin basah di lereng gunung Rinjani, berubah panas dilamuri amarah yang membakar hati dan pikiran.
“Kalau kalian tidak mau diam dan tidak mau mendengarkan saya, silakan angkat tangan yang mau menggantikan saya sebagai kepala desa,”
Kata-kata pria 75 tahun itu bagai sihir yang seketika mengunci mulut warga. Mereka baru ingat pria tua yang duduk bersila di depan mereka, bukan pria sepuh biasa. Nama pria tua itu Baloq Darwire.
Tidak ada satupun yang berani bicara setelahnya. Ibu Kerimasih yang tadi terus ngoceh kini membeku di sudut balai desa. Wajahnya pucat pasi diliputi rasa bersalah.
“Bagaimana ada yang mau menggantikan saya?” kata Baloq Darwire sekali lagi.
Semua terdiam. Tak ada yang berani menyahut. Bahkan beringsut pun segan.
Sesepuh desa itu kini murka. Dan itu bisa berarti buruk bagi siapa saja yang tak mau mendengarnya.
“Baiklah, malam ini silakan pulang. Masalah Jumindri itu urusan saya. Yakinlah kalian tidak pernah tahu apa yang kalian katakan dan lakukan malam ini,” sejenak dia menghentikan perkataannya lalu menyesap rokok dari pelepah kulit jagung.
“Pulang dan jaga istri dan anak kalian, karena bisa jadi malam ini akan sangat panjang,”
Warga pun patuh. Mereka meninggalkan Baloq Darwire yang masih tak beringsut dari tempatnya bersila sedari awal.
Baru setelah semua pergi pria sepuh itu memberesi penginang (tempat sirih), lalu melangkah keluar balai desa. Menembus keheningan malam yang pekat.
***
“Jumindri, bukakan pintu. Aku tahu kau belum tidur nak,” kata Baloq Darwire lembut.
Anak gadis yang dipanggil tak beringsut. Dia tetap duduk termenung di dipan bambu dalam gubuk tua dengan pagar bedek yang sebagian sudah lapuk.
Jumindri tahu siapa yang datang. Tapi ia malas membukakan pintu. Pria tua itu pasti datang untuk menyalahkannya lagi.
“Ayo nak, buka pintu. Kakek ingin bicara,”
“Pulang sajalah kek, aku tahu untuk apa Anda datang. Iya aku salah karena keluar gubuk yang seperti penjara ini. Sisakan saja tenaga berceramah itu untuk kembali ke rumahmu,” kata anak itu sekenanya.
Baloq Darwire menghela nafas. Dia kasihan pada anak perempuan yang tinggal sendiri di dalam gubuk tua itu.
Tangannya yang sudah keriput, menggenggam erat pilar gubuk yang penuh lubang dimakan rayap.
“Maukah kau aku ceritakan tentang Raden Djelange, pahlawan desa kita lagi?”
Jumindri menatap boneka kayu yang setia menemaninya.
Entah sejak kapan boneka itu ada. Ia hanya ingat begitu mengenali dirinya, boneka itu sudah ada.
“Cerita itu lagi. Siang tadi aku menceritakan kisah itu pada seorang anak perempuan, tetapi ibunya datang dan memintaku menjauhi anaknya. Aku pikir kisahmu tidak bermutu,”
“Bagaimana kalau Dewi Pujasari?” rayu Baloq Darwire.
“Siapa dia?”
“Dia istrinya Raden Djelange,”
“Kenapa aku harus mendengar cerita suami istri yang aku saja tidak tahu siapa mereka, bahkan karena cerita tentang si suami, hari ini aku kehilangan seorang teman lagi,” sungutnya.
“Aku pikir, kau akan menyukai cerita ini nak. Cerita Dewi Pujasari akan memberimu gambaran seperti apa cinta ibu seutuhnya,”
Jumindri terdiam. Tangannya kembali meremas dada. Rasa perih yang tak menusuk di sana. Tetapi kali ini diikuti dengan pelupuk matanya yang menghangat.
“Ya sudah ceritakan saja,” katanya pelan dengan suara bergetar.
“Ibalah sedikit anakku pada orang tua sepertiku. Kau tidak perlu menyiapkan air hangat sekadar untuk bayaranku mendongeng malam ini. Tapi paling tidak, bukakan pintu. Di luar dingin, kulit dan dagingku sudah mulai menipis tak kuat menahan hawa yang menusuk tulang,”
Dengan malas, Jumindri bangkit. Tangannya menarik palang pintu, lalu mempersilakan Baloq Darwire masuk.
“Tapi jangan mati di sini ya, aku tak punya teman untuk menguburmu sendirian,”
“Bocah kurang ajar!”
“Pletakk!” tangan Baloq Darwire menjitak kepala Jumindri dengan keras.
“Aduh ampun kek, ampun,” Jumindri mengaduh.
Keduanya tertawa terbahak-bahak, di sela keheningan malam yang semakin larut. Di luar sana angin berhembus pelan membawa hawa dingin yang menusuk tulang.
Sekali waktu terdengar lolongan anjing hutan membelah kesunyian malam. Menambah lelap tidur Desa Bunge.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
⍣⃝ꉣꉣAndini Andana
aku mampir thor,,baca bab awal aku syukak,,lanjut baca lg aaah..
2022-09-16
4
Surati
penulisannya bagus dgn gaya bahasa yg apik. semangat dlm berkarya thor👍👍💪💪
2022-09-16
1
La-Rayya
Bagus ceritanya... 👍
2022-09-12
2