NovelToon NovelToon

SELAQ

Episode "Malam Panjang di Desa Bunge" (1)

***

“Sudah ibu bilang, jangan main dengannya!”

Suara wanita paruh baya itu menekan, memendam amarah. Nafasnya tersengal berpacu dengan emosi menyesakkan dada.

Bocah perempuan yang adalah anaknya diseret dengan kasar. Namun jerit kesakitan anak 5 tahun itu tidak membuat sang ibu melunak. Tangannya malah semakin bertenaga menyeret bocah berparas manis itu.

“Ampun ibu, ampun,”

“Dikasih apa kau sampai melanggar larangan ibu?” bentaknya dengan kasar.

Tak ada jawaban dari bocah mungil itu. Selain erangan mengaduh kesakitan. Ibunya tak ubahnya Singa yang baru saja menerkam mangsa.

“Dimakannya kamu baru tahu rasa!” sungut ibu itu gemas.

Sesosok anak perempuan, menatap sendu kepergian ibu dan anak itu. Sampai usianya 11 tahun, ia tidak pernah tahu alasan apa para orang tua di desanya, meminta anak-anaknya menjauhinya: suka atau terpaksa.

Kini tinggal, boneka kayu yang setia menemaninya. Boneka itu baru saja digunakannya bercerita tentang kisah pahlawan desa. Tapi belum selesai bercerita, ibu bocah perempuan itu, datang memaksa anaknya pulang.

Tangan kirinya menggenggam boneka kayu. Sedangkan tangan kanan meremas dada.

“Kok di sini sakit sekali,” katanya parau.

Untuk kesekian kalinya, gadis belia itu sendiri lagi di tanah lapang. Tak ada sesiapa yang berani mendekatinya.

***

Tirai malam telah dibentangkan. Desa Bunge perlahan terlelap diselimuti kabut basah.

Cahaya lampu di rumah-rumah warga telah dipadamkan. Kecuali satu rumah yang terlihat ramai orang berkumpul di sana.

“Pak Kades, kok anak itu dibiarkan berkeliaran!” pekik seorang pria dengan emosi yang membakar ubun-ubun.

“Anda berjanji menjaganya agar tidak berkeliaran, tapi tadi siang anak itu nyaris menangkap anak saya,” kata seorang ibu meledak-ledak.

“Sudahlah Bu Kerimasih jangan berlebihan,” kata pria yang dipanggil pak Kades atau Kepala Desa itu.

“Oh, jadi Anda tidak percaya, anak saya cuma berdua dengan anak itu, Anda kok tenang sekali!” ia marah, penuturannya tidak berhasil membuat Kades itu panik.

“Tenang ibu, tenang bapak-bapak, mohon semuanya tenang!” kali ini suara pak Kades meninggi di hadapan puluhan warga yang mendatangi rumahnya.

“Jangan berandai-andai. Anak ibu baik-baik saja. Jangan terbakar oleh pikiran buruk yang kamu ciptakan dalam pikiranmu sendiri,”

“Memang belum terjadi, tapi kalau saya terlambat pasti akan terjadi!” sergah ibu itu sengit.

“Pokoknya pak Kades, kami tidak mau anak itu berkeliaran lagi!” sahut yang lain.

“Rantai saja, bila perlu pasung!”

“Bunuh saja, biar desa ini aman!”

Orang-orang yang bicara semakin tidak bisa dikendalikan. Menumpahkan kekesalan seperti membuang kotoran semaunya.

Malam yang harusnya dingin oleh angin basah di lereng gunung Rinjani, berubah panas dilamuri amarah yang membakar hati dan pikiran.

“Kalau kalian tidak mau diam dan tidak mau mendengarkan saya, silakan angkat tangan yang mau menggantikan saya sebagai kepala desa,”

Kata-kata pria 75 tahun itu bagai sihir yang seketika mengunci mulut warga. Mereka baru ingat pria tua yang duduk bersila di depan mereka, bukan pria sepuh biasa. Nama pria tua itu Baloq Darwire.

Tidak ada satupun yang berani bicara setelahnya. Ibu Kerimasih yang tadi terus ngoceh kini membeku di sudut balai desa. Wajahnya pucat pasi diliputi rasa bersalah.

“Bagaimana ada yang mau menggantikan saya?” kata Baloq Darwire sekali lagi.

Semua terdiam. Tak ada yang berani menyahut. Bahkan beringsut pun segan.

Sesepuh desa itu kini murka. Dan itu bisa berarti buruk bagi siapa saja yang tak mau mendengarnya.

“Baiklah, malam ini silakan pulang. Masalah Jumindri itu urusan saya. Yakinlah kalian tidak pernah tahu apa yang kalian katakan dan lakukan malam ini,” sejenak dia menghentikan perkataannya lalu menyesap rokok dari pelepah kulit jagung.

“Pulang dan jaga istri dan anak kalian, karena bisa jadi malam ini akan sangat panjang,”

Warga pun patuh. Mereka meninggalkan Baloq Darwire yang masih tak beringsut dari tempatnya bersila sedari awal.

Baru setelah semua pergi pria sepuh itu memberesi penginang (tempat sirih), lalu melangkah keluar balai desa. Menembus keheningan malam yang pekat.

***

“Jumindri, bukakan pintu. Aku tahu kau belum tidur nak,” kata Baloq Darwire lembut.

Anak gadis yang dipanggil tak beringsut. Dia tetap duduk termenung di dipan bambu dalam gubuk tua dengan pagar bedek yang sebagian sudah lapuk.

Jumindri tahu siapa yang datang. Tapi ia malas membukakan pintu. Pria tua itu pasti datang untuk menyalahkannya lagi.

“Ayo nak, buka pintu. Kakek ingin bicara,”

“Pulang sajalah kek, aku tahu untuk apa Anda datang. Iya aku salah karena keluar gubuk yang seperti penjara ini. Sisakan saja tenaga berceramah itu untuk kembali ke rumahmu,” kata anak itu sekenanya.

Baloq Darwire menghela nafas. Dia kasihan pada anak perempuan yang tinggal sendiri di dalam gubuk tua itu.

Tangannya yang sudah keriput, menggenggam erat pilar gubuk yang penuh lubang dimakan rayap.

“Maukah kau aku ceritakan tentang Raden Djelange, pahlawan desa kita lagi?”

Jumindri menatap boneka kayu yang setia menemaninya.

Entah sejak kapan boneka itu ada. Ia hanya ingat begitu mengenali dirinya, boneka itu sudah ada.

“Cerita itu lagi. Siang tadi aku menceritakan kisah itu pada seorang anak perempuan, tetapi ibunya datang dan memintaku menjauhi anaknya. Aku pikir kisahmu tidak bermutu,”

“Bagaimana kalau Dewi Pujasari?” rayu Baloq Darwire.

“Siapa dia?”

“Dia istrinya Raden Djelange,”

“Kenapa aku harus mendengar cerita suami istri yang aku saja tidak tahu siapa mereka, bahkan karena cerita tentang si suami, hari ini aku kehilangan seorang teman lagi,” sungutnya.

“Aku pikir, kau akan menyukai cerita ini nak. Cerita Dewi Pujasari akan memberimu gambaran seperti apa cinta ibu seutuhnya,”

Jumindri terdiam. Tangannya kembali meremas dada. Rasa perih yang tak menusuk di sana. Tetapi kali ini diikuti dengan pelupuk matanya yang menghangat.

“Ya sudah ceritakan saja,” katanya pelan dengan suara bergetar.

“Ibalah sedikit anakku pada orang tua sepertiku. Kau tidak perlu menyiapkan air hangat sekadar untuk bayaranku mendongeng malam ini. Tapi paling tidak, bukakan pintu. Di luar dingin, kulit dan dagingku sudah mulai menipis tak kuat menahan hawa yang menusuk tulang,”

Dengan malas, Jumindri bangkit. Tangannya menarik palang pintu, lalu mempersilakan Baloq Darwire masuk.

“Tapi jangan mati di sini ya, aku tak punya teman untuk menguburmu sendirian,”

“Bocah kurang ajar!”

“Pletakk!” tangan Baloq Darwire menjitak kepala Jumindri dengan keras.

“Aduh ampun kek, ampun,” Jumindri mengaduh.

Keduanya tertawa terbahak-bahak, di sela keheningan malam yang semakin larut. Di luar sana angin berhembus pelan membawa hawa dingin yang menusuk tulang.

Sekali waktu terdengar lolongan anjing hutan membelah kesunyian malam. Menambah lelap tidur Desa Bunge.

Episode "Malam Panjang di Desa Bunge" (2)

***

Baloq Darwire menyingsingkan selimut ke tubuh Jumindri. Dia baru saja selesai bercerita kisah Dewi Pujasari.

Di bawah cahaya lampu minyak, pria sepuh itu memandangi wajah anak perempuan malang itu memejamkan mata.

“Istirahatlah nak, tenangkan pikiranmu, kakek tahu kau belum terlelap,”

Jumindri bergeming. Dia hanya menghela nafas. Mendorong ke luar sesuatu yang menyesakkan dadanya.

“Jangan biarkan amarahmu tak bertuan,” nasihat tetua desa itu mengesankan ia sangat tahu banyak hal tentang Jumindri.

Di luar gubuk tua itu, desa Bunge disepuh cahaya rembulan. Mega-mega menepi, malu menyaingi pesonanya.

Namun seperti kata pituah bijak, jangan percaya pada apa yang terlihat menawan. Di baliknya, mengintai petaka yang tak kalah jahanamnya.

Baloq Darwire berdiri di luar gubuk. Susana benar-benar sunyi nan lengang. Seakan sesuatu yang besar bakal terjadi malam itu, binatang dan serangga malam, memilih tak berdendang tetapi melipat dir dalam sarang.

Pria sepuh itu mengelilingi gubuk tua sekali, searah jarum jam. Setelah itu persis di depan pintu gubuk, mulutnya komat-kamit, merapal bait suci.

“ ... mapan aku gaduh sikep Gumi ...” katanya pelan di ujung lidah dalam rapalan bait suci yang terdengar. Sisanya, melebur dalam desau angin semilir.

Setelah itu, kaki kanannya mengentak tanah tiga kali. Dan secara perlahan, gubuk mulai dikelilingi kabut putih yang terus menebal.

“Segel ini akan melindungi rumah ini, sisanya aku serahkan padamu,” katanya parau.

Di langit, cahaya dewi malam berubah temaram. Dari putih keperakan menjadi merah darah: gerhana darah.

Baloq Darwire melangkah pergi. Sesaat kemudian lenyap di telan kegelapan malam.

***

Dari arah semak belukar muncul beberapa sosok dengan langkah kaku.

Di kening mereka ada yang memancarkan sinar kuning dan merah tua. Mendengus dan sesekali menggeram dengan suara-suara mengerikan.

Menyusul tak kalah mengerikan kepala-kepala pucat dengan rambut panjang membawa isi perut tanpa badan. Ada yang bergerak dengan beringsut, satunya lagi melayang.

Kehadiran merekalah yang membuat penghuni malam melipat diri dalam keheningan yang hampa.

Sayup-sayup terdengar kepakan sayap semakin bising mendekati gubuk tua. Suaranya melebihi kepakan sayap burung. Namun, bukan juga kepakan rajawali raksasa karena yang terlihat selanjutnya tubuh melayang menghadap langit.

Ada juga yang terbang bersila dengan kaki diikat pada bambu.

Siapa mereka?

Tak ada makhluk yang berani menyapa. Tapi kedatangan mereka telah membuat alam menciut kecil sebesar keleong (nyiru - alat untuk membersihkan beras).

***

“Darrr...wireee...!” sesosok kepala melayang tanpa badan, menggeram.

Sosok misterius itu berjumlah enam orang.

“Setua itu ia masih bisa melakukannya," ujar sosok misterius dengan cahaya merah di keningnya.

“Apa yang kita cari di sini?” sosok misterius dengan cahaya kuning celingak-celinguk kanan kiri.

“Anak baru diam saja,” sahut kepala tanpa badan yang beringsut di tanah.

“Kekanak-kanakanmu merusak wibawa Bangsa Selaq saja,” sahut kepala yang terbang.

“Baru bisa terbang saja bangga. Badanmu mana?” balas sengit si kening kuning.

“Boleh juga nyalimu. Kasta terendah dari Selaq menunjukkan kesombongan pada salah satu kasta tertinggi Selaq. Sudah punya sabuk berapa?” ujarnya dengan nada meremehkan.

Sabuk adalah ikat pinggang yang terbuat dari kain hasil tenunan tradisional.

Dalam tradisi ilmu kesaktian Sasak setiap penuntut ilmu yang telah mempelajari ilmu kanuragan akan diberikan sabuk oleh gurunya setelah lulus.

Sabuk itu sebagai ijazah sekaligus ‘tempat menyimpan’ kesaktian.

Ada yang berpendapat ilmu mereka akan lenyap bila sabuk terbakar. Maka banyak yang menyimpan sabuk di tempat yang jauh dari api. Seperti dalam lemari atau langit-langit rumah.

“Mopol Kesur, Ngeres Koneng, cukup,” lerai sosok misterius yang datang dengan terbang menghadap langit tadi.

Tatapannya tajam pada dua kasta Selaq di bawahnya. Kepala terbang dan si kening kuning yang disebut namanya berurutan menoleh.

“Mopol Kesur. Bawa Darwire ke mari,” kata sosok misterius yang datang terbang bersila dengan kaki yang diikat pada bambu.

“Ampun paduka patih, ada tugas adakah upah?” celetuk Mopol Kesur.

“Dasar pedagang. Ke-Selaq-anmu layak dipertanyakan,”

“Ini adalah watak, paduka Patih,” jawabnya.

“Singkirkan watakmu di misi besar ini," sang Patih menggeram.

“Ampun paduka, bukankah Selaq itu ideologi? rugilah kita semua kalau tidak bisa mengambil keuntungan,”

“Tujuan hidupmu rendah sekali senior, segala sesuatu diukur dari untung dan rugi. Hidup ini adalah karya seni yang otentik. Dan menjadi Selaq adalah pengabdian terbaik dalam seni,” timpal Ngeres Koneng.

“Kau yang bodoh tukang pahat, bukankah tercapainya tujuanmu dalam seni itu keuntungan?”

“Kerugian juga adalah seni,” ujar Ngeres Koneng.

“Pikiranmu rumit!” sahut Mopol Kesur.

“Perdebatan bodoh lagi. Sebaiknya kalian tarung saja sampai ada salah satu yang mampus!”

“Maaf paduka Raja,” kata Mopol Kesur dan Ngeres Koneng hampir bersamaan.

“Mopol Kesur, Ngeres Koneng bawa kemari Darwire. Semoga satu di antara kalian ada yang mampus di tangan Darwire,” kata sang Raja mengumbar amarah melihat kelakuan dua anak buahnya.

Dua sosok misterius itu menurut patuh. mereka segera mencari Baloq Darwire sesuai perintah. Menembus kegelapan malam.

***

“Senior, siapa sih yang menunjuk Selaq Bunge jadi Raja?” tanya Ngeres Koneng.

Wajahnya masih terlihat dongkol karena ucapan Sang Raja yang berharap salah satu di antara mereka mati.

“Seperti kau berani saja melawannya,” sahut Mopol Kesur meledek.

“Lihat saja, kelak aku akan mengalahkannya dan aku yang akan menjadi Raja,”

“Kalau kau jadi raja, ujung-ujungnya jadi Selaq Bunge juga,” sahut Mopol Kesur.

“Beda. Kelak aku adalah Raja Selaq Bunge yang eksotis. Bukan seperti Selaq Bunge yang diktator!”

“Halah, omong-kosong,” cibir Mopol Kesur.

***

Jumindri belum bisa terlelap. Setelah kepergian Baloq Darwire pikirannya dilanda gelisah.

Satu-persatu, perlakuan warga desa muncul diingatkan. Dari kejadian tadi sore, beberapa hari lalu, dalam satu pekan, dan apapun yang mampu diingatnya.

Penduduk desa menjauhinya. Menatapnya dengan pandangan benci, tanpa ia tahu alasannya.

Kalau saja tidak ada Baloq Darwire maka sempurna alasannya meninggalkan desa itu.

“Aku ingin punya teman,” lirihnya.

Lama Jumindri merenung. Mencari tahu takdir macam apa yang dijalaninya.

“Anak itu,” gumamnya kemudian.

Jumindri teringat lagi kejadian tadi sore. Tentang bocah 5 tahun yang menemaninya di tanah lapang.

Mulutnya mengulum senyum. Perasaan riang mekar di dalam hatinya.

“Perasaan apa ini?” ujarnya bingung.

***

“Darwire tahu kita akan datang mencarinya,” ujar Mopol Kesur.

“Sepertinya ini Semputer, sudah beberapa kali kita berputar-putar di tempat yang sama,” timpal Ngeres Koneng.

Semputer adalah ilmu atau mantra untuk membuat bangsa Selaq kehilangan navigasi. Di bawah pengaruh Semputer bumi yang dipijak bangsa Selaq sebesar nyiru berputar-putar tidak jelas arahnya.

“Bukan. Ini Halimun. Kita bukan tersesat tapi tidak menemukan rumah Darwire. Aku kira ini ilmu yang sama digunakannya untuk menyembunyikan Jumindri dan rumahnya,"

“Top senior, bangga sekali aku padamu. Analisamu keren, lalu apa yang akan kita lakukan sekarang?”

“Ada yang mengajak kita bermain-main, maka tidak baik menolaknya,”

“Setuju senior. Jadi apa rencananya?"

“Ikuti aku,” kata Mopol Kesur.

***

“Ngomong-ngomong kau tinggal di mana badanmu senior?”

“Bukan urusanmu,” sahut Mopol Kesur.

“Apa kau pernah mengalami hal yang rumit, misalnya seperti ususmu tersangkut ranting kayu atau ada anjing yang mengejarmu dikira onggokan daging?”

Mopol Kesur dibuat kesal. Dia menatap tajam ke arah rekannya yang terlalu banyak bicara itu.

“Baiklah. Aku tutup mulut,” sahut Ngeres Koneng segera.

Tetapi baru saja beberapa langkah berjalan Ngeres Koneng kembali bertanya yang membuat Mopol Kesur tak bisa lagi menahan amarah.

“Senior bagaimana cara kau kentut?”

“Bangsaat!”

Dalam sekejap seluruh usus Mopol Kesur telah membelit tubuh Ngeres Koneng, tanpa sempat memberikan perlawanan.

“Kalau saja aku tidak menaruh hormat pada Ngeres Beaq, malam ini juga kau telah aku santap!”

Ngeres Koneng tak bisa berbuat apapun. Tubuhnya di bawah kendali sepenuhnya Mopol Kesur.

Episode "Malam Panjang di Desa Bunge"(3)

Desa Bunge terlelap. Namun gerhana bulan darah membuat desa seperti diintai petaka besar.

Dan benar saja kesunyian itu terusik oleh jerit tangis seorang wanita minta tolong. Disusul kentungan desa bertalu-talu.

“Ada apa Ibu Kerimasih?”

Warga desa berdatangan membawa senjata tombak, keris, parang, hingga sabit. Mereka belum tahu apa yang sebenarnya dialami wanita tua itu.

“Tolong pak... Tolong!”

“Tolong apa, ada apa?” kata warga.

“Anak saya Serinah,” ibu Kerimasih gelagapan. Nafasnya yang terengah-engah karena panik, membuatnya kesulitan bercerita.

“Tenang Bu. Ceritakan dengan benar,” saran warga lain.

“Anak saya Serinah, diculik Selaq pak,”

“Astaga!"

Seketika semua wajah diliputi ketegangan. Para ibu dan anak yang mengetahui alasan Ibu Kerimasih ikut panik.

Desa Bunge, geger seketika!

***

Kepanikan menyebar ke seantero desa. Warga pria segera berjaga-jaga di depan rumah, sebagian lain berkelompok menjaga titik strategis, dan lainnya patroli keliling desa.

Baloq Darwire yang telah mendapat laporan salah satu warganya diculik Selaq mengumpulkan pasukan elitenya.

“Akhirnya waktu ini tiba,” gumamnya seakan telah tahu peristiwa ini akan terjadi.

Ia telah bersiap. Berpakaian serba hitam, Sapuq atau Udeng hitam, kemudian menyelipkan sebilah keris di pinggang.

Pria yang paling dihormati di desa itu, kemudian berjalan mendekati sebelas pasukan elite yang menunggu di balai desa.

“Siapa kalian?” teriak Baloq Darwire merobek keheningan balai desa.

“Darah Desa!” timpal sebelas pasukan elite menjawab kompak, lugas.

“Siapa kalian?” pekik Baloq Darwire sekali lagi.

“Darah Desa!” jawab mereka, mengujam.

“Untuk apa kalian ada?”

“Hidup dan mati demi desa!” jawab mereka kompak.

Darwire mengangguk pelan. Ia kemudian melangkah ke ujung kanan syaf pasukan elite. Mendekati pimpinan pasukan elite yang berdiri perkasa.

“Pulanglah,” kata Baloq Darwire.

“Siap! kami belum menerima misi dari Kepala Desa!” jawab pria perkasa itu lantang. Menolak perintah pulang dari Baloq Darwire.

“Pulanglah, jaga anak istri. Mereka pasti sangat membutuhkan kehadiran kalian melindunginya malam ini,” kata Baloq Darwire.

“Siap! kami masih menunggu misi dari Kepala Desa!” jawab pria itu mengulangi jawabannya.

“Apa kalian tidak khawatir, anak istri diculik Selaq?” tanya Baloq Darwire

Tetapi untuk kesekian kalinya jawaban pimpinan pasukan elite itu sama: “Siap, kami belum menerima misi dari Kepala Desa!” tegasnya tanpa ragu.

“Kondisi desa saat ini berbeda dari berbagai level kegentingan yang pernah kalian pelajari di Perguruan,"

Sejenak Baloq Darwire mengatur nafas. Dadanya terasa sesak.

“Desa yang aku bangun 50 tahun lalu, bersama empat sahabat yang telah mendahuluiku pergi ke alam Baka. Mereka berpesan, agar aku menjaga desa ini dengan nyawaku,” suaranya berubah serak.

“Tapi perjanjian itu adalah antara aku dan mereka. Bukan dengan kalian. Jadi, pulang dan segera selamatkan anak istri kalian dan bila situasinya tak terkendali, segaralah mengungsi!"

Sebelas pasukan elite itu bergeming. Berdiri tegap di posisi masing-masing.

“Mereka kemungkinan memberontak malam ini dengan alasan aku mengingkari perjanjian. Jadi sesungguhnya tidak ada misi malam ini. Aku hanya ingin melihat pasukan elite yang telah aku bangun susah payah,"

Baloq Darwire meninggalkan sebelas pasukan elite yang mematung. Langkahnya tegas menerobos kegelapan malam.

“Para Selaq itu mencariku, bukan mencari warga,” katanya pelan.

Sebelum pergi Baloq Darwire memerintahkan warga Desa berjaga di beberapa titik strategis. Beberapa warga yang menawarkan untuk mengawalnya ditolak halus.

“Hanya aku sendiri yang bisa menyelesaikan ini, jika kalian ikut, malah nanti jadi beban,” jawabnya.

***

“Hoaaam ... ngantuk senior,”

“Selaq kok ngantuk,” sahut Mopol Kesur.

“Sampai kapan kita di sini?”

“Sampai rencana berhasil,”

“Terus anak ini bagaimana, apa bisa kita santap sekarang?”

“Goblok, kalau kau santap, lalu siapa yang jadi tawanan?”

“Tinggal menculik anak lagi. Gampang!”

“Punya kepala tapi gak ada otak,” gerutu Mopol Kesur.

“Lah kok ngegas?”

“Kau pikir warga desa akan sukarela menyerahkan anaknya sebagai tawanan? Mereka sekarang pasti waspada tinggi dan lebih solid menghadapi ancaman, setelah salah satu warganya kita culik,”

Mopol Kesur melirik ke arah Ngeres Koneng. “Apa setiap seniman otaknya kosong sepertimu?”

“Otakku bukan kosong. Tapi hatiku yang terlalu perkasa menguasai otakku. Ketahuilah seni itu membuat orang kagum tanpa logika,”

“Rumit,” sahut Mopol Kesur.

“Apa yang rumit senior, kau pernah jatuh cinta?”

Mopol Kesur yang ditanya tak menjawab.

“Saat cintamu hadir tanpa logika, maka itulah manifestasi seni yang ada di dalam jiwamu,” gestur Ngeres Koneng begitu semangat menjelaskan maka seni.

“Sampai kapan mulutmu ngoceh. Visi kita berbeda, percuma kau yakinkan aku dengan teorimu. Mau bagaimanapun seniman dan pedagang tidak akan pernah sejalan!” tukas Mopol Kesur.

***

“Mana anak itu?” ujar Baloq Darwire.

Pria sepuh itu telah berdiri di hadapan empat sosok misterius tak jauh dari Gubuk Tua.

“Anak yang mana Darwire, bukankah kau yang justru menyembunyikan Jumindri?” kata sang Raja Selaq Bunge.

“Kelompokmu, menculik anak desa,"

“Menculik? tidak mungkin kami menculik warga desa sendiri,” tolak Selaq Bunge.

Ngeres Beaq sosok misterius dengan cahaya merah di keningnya mendekati Selaq Bunge.

“Ampun Paduka Raja, sepertinya Mopol Kesur dan Ngeres Koneng melakukan sesuatu di luar yang kita rencanakan,” ujarnya.

Selaq Bunge menggeram. “Ngeres Beaq, Mopol Ngeros, dan kau Kembang Tereng, cari Ngeres Koneng dan Mopol Kesur. Biar aku bermain-main dengan Darwire,” perintahnya.

Baloq Darwire mencabut kerisnya. Menghalangi langkah tiga kasta Selaq yang akan pergi meninggalkannya.

“Tua-tua begini, naluriku masih tajam membaca strategimu,” kata Darwire bersiap menyerang.

“Maksudmu?” kata Selaq Bunge menyelidik.

“Sudahlah sebelum kau menganut paham Selaq kita dulu seperguruan. Aku tahu bagaimana cara berpikirmu. Percuma kau mengelabuhiku dengan mengatakan mereka akan pergi menjemput dua Selaq yang lain. Aku tahu maksudmu,”

“Apa yang kau tahu tentang rencanaku?”

“Setelah aku berdiri di sini, artinya kau berhasil memancingku jauh dari warga Desa, kan? Kau sengaja menyusupkan dua anggotamu memancingku keluar. Kau sudah bisa menebak aku akan menggunakan ilmu Halimun menyembunyikan rumah dan keluargaku, karena kita seperguruan,”

“Lalu?” tanya Selaq Bunge, tertarik.

“Dan rencanamu berhasil. Setelah menjauhkanku dari warga desa, sekarang kau bermaksud mengirim 5 Selaq mengacau di desa saat kita bertarung,”

“Luar biasa, Darwire. Pantas pilihan sebagai kepala desa tidak jatuh padaku melainkan padamu. Bahkan setelah setua ini, analisamu masih tajam. Sayangnya, sekarang kau hanya sendirian, tidak mungkin dapt menghalangi rencana kami,” Selaq Bunge tertawa menggelegar.

“Aku sudah mengira, perjanjian tentang Jumindri, hanya akal-akalanmu memberontak pada desa,”

“Bhwahaha ... Pintar. Jenius Darwire. Aku pikir kau tertipu, tapi rupanya aku terlalu meremehkanmu. Ah... sayangnya desa ini akan kehilangan sosok jenius yang dimilikinya. Setelah kematianmu aku yang akan memimpin desa ini dengan caraku sendiri. Kau terlalu lembek!”

Setelah berkata begitu, Selaq Bunge melompat menyergap Baloq Darwire. Pria sepuh itu segera bergerak lincah jauh ke belakang. Menghalangi usaha tiga Selaq lainnya yang ingin masuk ke desa.

Kibasan keris pusaka yang dipegang Darwire, menyemburkan hawa panas luar biasa yang dirasakan para Selaq. Mereka mundur, cukup jauh mengurangi hawa yang membakar.

“ ... Mas kuncinat, langit tepong pituq rampih ...”

Darwire tengah merapal mantra. Tubuhnya perlahan-lahan ringan, seringan kapas. Gerakannya luwes dan lentur.

“Darrrwirrre... kau memang murid kesayangan guru, tapi bukan berarti selamanya lebih hebat dariku. Selaq tidak akan pernah kalah oleh manusia,” geramnya.

Selaq Bunge kembali melanjutkan perkataannya, “Kalian manusia sibuk membelenggu diri dengan norma-norma dan aturan yang membatasi kemerdekaan menguasai kekuatan besar ,” serunya.

“Kami penganut paham Selaq menempatkan kekuatan sebagai tujuan utama. Dan dengan kekuatan yang besar kami akan membangun dunia yang lebih baik!”

Setelah berkata seperti itu, Selaq Bunge bergerak cepat. Secepat kilat. Tanpa disadari Darwire, tubuhnya telah terpental, kemudian terbanting berdebam di atas tanah hingga darah segar mengucur dari mulutnya.

Keris pusaka di tangan Darwire dalam sekejap berpindah tangan ke Selaq Bunge.

“Bagaimana Darwire, masih mampu menandingiku? Bhahaha, kau sama sekali tidak berkembang. Darwire, kekuatan adalah segalanya dan hanya dengan menganut ideologi Selaq kekuatan tertinggi bisa kita dicapai,”

“Bagaimana selanjutnya paduka Raja?” tanya Kembang Tereng.

“Aku mengira dia akan sedikit menghiburku, tapi sepertinya guru terlalu memujinya. Habisi saja,”

Baloq Darwire susah payah berdiri. Dia merasakan nyeri sekaligus panas di ulu hati. Gerakan Selaq Bunge yang sangat cepat bahkan tak bisa diimbangi dengan ilmu meringankan tubuh.

Tiga Selaq bersiap melancarkan serangan pamungkas bersamaan. Tapi tiba-tiba sejumlah sosok hitam bergerak cepat melindungi Darwire.

“Kenapa kalian tidak menuruti permintaanku,” Darwire menyadari siapa yang datang.

“Kami masih menunggu misi dari Kepala Desa,” kata pimpinan sosok hitam yang ternyata sebelas pasukan elite.

“Tidak ada misi, desa mau dihancurkan oleh pemberontak,” ujar Darwire terengah-engah.

“Desa tidak akan hancur sebelum kami dihancurkan. Sumpah setia kami sebagai Darah Desa. Kami tidak punya keluarga, tidak punya anak, tidak punya apapun, kecuali desa!”

Dalam keadaan terluka parah Baloq Darwire menyelipkan senyum, mendengar jawaban khas doktrin pasukan elite. Tangannya menepuk-nepuk pundak pimpinan pasukan elite yang siap bertempur melawan para Selaq.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!