***
“Re...re...ncuk semarang seri jaq ku pencuk!”
“Kau harus belajar seni vokal untuk bisa menyanyi merdu, senior,” celetuk Ngeres Koneng.
Mopol Kesur mendengus. Moodnya seketika hilang meneruskan lagu yang beken di antara para Selaq itu.
Sahutan Ngeres Koneng membuat suasana hatinya semakin sumpek.
“Berhentilah mengomentari bakat orang lain,” cetusnya.
“Kau punya bakat jadi musisi senior. Tinggal mencari guru yang tepat dan akulah orangnya,”
“Berapa kali lagi aku katakan, tidak tertarik sama sekali dengan seni. Aku adalah pedagang! Camkan itu!”
“Wusss... Pletak!”
Kerikil tepat menghantam kepala Mopol Kesur yang tengah bergelantungan di salah satu dahan pohon.
“Kurang ajar!”
“Bukan aku, senior!”
Dua kasta Selaq itu seketika waspada. celingukan mencari arah datangnya lemparan itu.
“Hey orang tua, apa kalian tidak punya pekerjaan, selain mengintip orang buang hajat?”
Suara melengking itu datang dari semak rimbun yang bergerak-gerak. Tidak lama kemudian, menyembul kepala anak perempuan berkacak pinggang.
“Siapa yang mengintip bocah tengik. Kau butuh waktu 10 tahun lagi untuk membuatku tertarik!” Ngeres Koneng memasang wajah masam.
“Orang tuamu pasti tidak pernah mengajarkan sopan santun!” dalam kepekatan malam itu, Mopol Kesur merayap pelan turun, bersiap menyergap anak itu.
“Paman yang di pohon, kau terlihat aneh,”
“Maksudmu?”
“Kau cebol ya? atau jangan-jangan anak-anak juga sepertiku?”
Bocah perempuan yang ternyata Jumindri itu memincingkan mata. Berusaha melihat dalam kegelapan malam.
“Oh aku tahu, kalian pasti sepasang ayah dan anak berotak mesum!” imbuhnya lagi.
“Diam. Hina sekali kami, kau sebut mesum. Asal kau tahu bocah tengik, derajat kami lebih mulia dari bangsa manusia,” sahut Ngeres Koneng.
“Lebih mulia dari manusia? Tidak mungkin,” sahut Jumindri ragu.
“Senior yang ini boleh aku makan?” Ngeres Koneng emosinya sudah sampai ubun-ubun.
“Bocah manis. Kalau kau tahu siapa kami, sungguh sampai alam baka kau akan menyesal muncul di sini,” suara Mopol Kesur menggeram, bersiap menerkam.
“Kakak, tolong!”
Bocah yang ditawan dua Selaq itu merintih. Tubuhnya masih terbelit kencang usus Mopol Kesur.
“Siapa itu?” Jumindri ragu dengan pendengarannya. Tapi Ia seperti mengenal suara yang merintih.
“Serinah kak,”
Jumindri akhirnya sadar di depannya itu dua sosok penculik. “Oh, berarti kalian adalah ayah-anak berbahaya dan berotak mesum!”
“Jangan sebut kami mesum!”
Ngeres Koneng melesat cepat. Menerkam ke arah Jumindri. Tapi gerakan anak itu lincah mengelak lalu lenyap di balik rerimbunan belukar.
“Mau ke ujung dunia pun akan aku kejar!” cahaya kuning di keningnya menyala semakin terang. Menandakan amarahnya semakin membara.
Dalam usaha pengejarannya, Ngeres Koneng menyadari sesuatu yang aneh. Ia telah merapal ilmu meringankan tubuh, tapi kecepatan anak itu, tiga kali lipat lebih cepat darinya.
“Bukan bocah biasa!” geramnya.
Setelah melesat mencari ke sana-ke mari dengan kecepatan tinggi, Ngeres Koneng akhirnya berhasil menemukan Jumindri di tepi telaga.
“Kau tidak akan bisa lari dariku,"
“Aku tidak lari,” jawab Jumindri enteng.
“Lalu buat apa kau ke sini?” tanya Ngeres Koneng penasaran.
“Baloq Darwire bilang tidak baik bicara dengan orang tua kalau belum cebok,”
Ngeres Koneng murka bukan main. Secepat kilat tubuhnya melesat. Jemarinya mengeluarkan kuku setajam pisau, bersiap mengoyak tubuh Jumindri.
“Bocah sialan. Akanku ukir tubuhmu dengan seni sesungguhnya!”
“Wusss!”
***
Desa Bunge mencekam. Semua warga dalam kewaspadaan tinggi.
Di balai pertemuan tak kalah menegangkan. Berkumpul para tetua desa dengan posisi duduk melingkar. Di tengah lingkaran, Tumban Kepala Desa Baloq Darwire memberi penjelasan.
“Kita tidak punya waktu banyak. Segera ungsikan warga ke tempat aman,” kata Tumban itu.
“Ini salahmu Darwire!” kecam Komandan Pasukan Pertahanan Desa Raden Rumasih, dengan suara meledak.
“Dari dulu aku tidak pernah setuju, para Selaq itu dibiarkan hidup, mereka harusnya dimusnahkan. Bagaimana mungkin kita berharap para iblis itu akan berubah menjadi baik?” katanya dengan sorot mata tajam.
“Kitab Undang-Undang Desa, mengharuskan kita tetap menghormati hak asasi mereka sebagai manusia. Tidak melihat para Selaq sebagai iblis, pamanda,” kata Komandan Krame Desa Raden Sentane, membela keputusan Baloq Darwire.
“Mereka sama sekali tidak layak disebut Manusia. Tubuh saja yang manusia. Sejatinya Iblis. Mereka saja menyebut dirinya sebagai Bangsa Selaq, apa kalian tidak menyadari itu ikrar pemisahan dari bangsa Manusia,” timpal Raden Rumasih.
“Mereka tetaplah manusia. Hanya jalan yang mereka tempuh untuk memburu kekuatan abadi yang keliru. Kalau masalah menyebut diri sebagai bangsa yang berbeda dengan manusia, sebenarnya itu cara mereka ingin diakui. Mereka tidak bisa mengingkari fisiknya yang terbuat dari tanah,” jawab Tumban.
“Lagipula, tidak mungkin aku melanggar apa yang telah menjadi sabda mulia dalam Kitab Undang-Undang Desa, Rumasih,” imbuh Tumban itu konstan.
“Sekarang mereka akan menghancurkan desa, kau masih membela diri? Terlalu lembek kepemimpinanmu Darwire,” bentak Raden Rumasih, masih dengan suara tinggi.
“Saya pikir tidak bijak saling menyalahkan. Waktu yang tersisa sangat singkat. Apa yang harus kita lakukan untuk menyelamatkan warga?” ujar Ketua Dewan Perwakilan Warga, Baloq Sawiye.
“Perang, sampai titik darah penghabisan!” potong Raden Rumasih.
“Anda gila, rakyat hanya akan jadi tumbal keganasan para Selaq,” tolak Baloq Sawiye.
“Saya tidak akan membiarkan desa direbut para iblis, rakyat harus berkorban demi tegaknya desa!” sengit Raden Rumasih.
“Raden, ada anak-anak, para wanita, orang tua, harus kita lindungi!” sergah Baloq Sawiye.
“Desa ini sudah memberikan segalanya bagi Rakyat Desa Bunge. Sekarang mereka wajib berkorban demi desa dan lembeknya pemimpin mereka. Saya komandan pasukan pertahanan yang akan memimpin perang melawan para Selaq!”
“Maaf, saya tidak setuju!” tolak Baloq Sawiye.
“Siapa yang meminta pendapatmu?” sergah Raden Rumasih.
“Maaf paman, bukan Anda yang memutuskan!” ujar Raden Sentane.
“Lalu siapa?”
“Pimpinan Desa, Kepala Desa!” tegas Raden Sentane.
“Kau cuma kencingku, jangan coba-coba mengatur!”
“Saya bicara sebagai Komandan Krame Desa, paman. Bukan sebagai keponakanmu,” tegas Raden Sentane.
“Jangan sebut aku paman!” Raden Rumasih naik pitam.
“Baiklah, Raden Rumasih, aku Raden Sentane, Komandan Krame Desa menolak pelibatan rakyat karena bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Desa!” tegas Raden Sentane.
Bukan main marahnya Raden Rumasih dengan sikap keponakannya itu. Matanya seakan mau meloncat keluar, mukanya merah padam.
“Kau memasang standar ganda. Kalau pedomanmu adalah aturan, maka seharusnya kau juga mengecam sikap plin-plan Darwire. Dia membuat perjanjian dengan para Selaq akan menyerahkan bocah terkutuk itu di malam Gerhana Merah. Tapi dia mengingkarinya!” serang Raden Rumasih.
“Jumindri bukan anak terkutuk, saya percaya dia anak baik dan kelak akan melindungi Desa ini,” kata Tumban parau.
“Perjanjian itu adalah keputusan politik dan merupakan sikap pribadi Kepala Desa. Dalam hierarki aturan, pedoman kami adalah Kitab Undang-Undang dan keputusan Kepala Desa. Jangan ragukan sumpah setia kami sebagai Krame Desa!” tegas Raden Sentane.
“Saya siap mempertanggungjawabkan keputusan ini, kalau dianggap sebagai pelanggan perjanjian. Tapi ketahuilah, kalaupun Jumindri kita serahkan malam ini, mereka tetap akan memberontak. Peristiwa ini telah direncanakan Selaq Bunge dan kelompoknya sejak lama,” ujar Baloq Darwire.
“Dalam Kitab Undang-Undang, siapa saja yang terbukti melanggar perjanjian harus dihukum mati!” tegas Raden Rumasih.
“Mati adalah kepastian. Lagipula umurku sudah sangat tua. Bila dengan mati aku bisa menyelamatkan hidup seorang anak manusia yang masih suci, maka aku menyambut kematian dengan bahagia,” tegas pria tua itu mantap.
“Setelah kejadian ini, kau harus diadili Darwire!” serunya.
“Semoga malam yang panjang ini bisa kita lalui dengan baik,” ujar Tumban.
“Tenanglah anak-anakku,” kata kakek yang duduk di depan Tumban.
Kepalanya gundul. Alis, kumis, dan jenggotnya memutih terjuntai panjang menyentuh lantai. Tubuhnya kurus kering berbalut kain putih.
Dialah yang paling sepuh di antara yang hadir. Dari penampilannya terlihat umurnya telah lebih dari 200 tahun.
“Kalian bahkan lupa tersenyum. Senyumlah. Apa yang terjadi saat ini merupakan takdir yang harus dihadapi dengan bijak,” katanya menasihati.
“Kami harus bagaimana Resi Wilahuni?” kata Baloq Sawiye.
“Makanlah dengan baik apa yang ditanganmu, jangan memakan yang bukan punyamu,” ujarnya.
Nasihat Resi Wilahuni itu sarat makna. Sejenak para tetua desa itu diam merenung. Memahami maksud sang Resi yang menjabat sebagai Ketua Adat Desa.
“Tapi kadang kita juga harus memakan, makanan orang lain kalau dia menyia-nyiakannya Resi!” sungut Raden Rumasih dongkol setelah memahami makna perkataan Resi Wilahuni.
Raden Rumasih sadar, tidak ada yang mendukungnya.
“Hehe..” Resi Wilahuni tertawa terkekeh, memperlihatkan giginya yang tinggal satu dan bibir merah berlamur sirih.
“Baiklah sebagai Kepala Desa, aku perintahkan Ketua Perwakilan Desa, Baloq Sawiye segera umumkan pada seluruh warga kondisi darurat ini dan secepatnya kumpulkan warga di alun-alun desa. Komandan Krame Desa, Raden Sentane, pimpinan pengungsian warga. Gunakan lorong rahasia, menuju Desa Akah. Kita punya hubungan baik, semoga mereka bersedia menampung warga kita, sampai situasi terkendali,”
“Selanjutnya Guru Besar Perguruan Bunga, Raden Aryadi, kerahkan pemuda-pemuda kita yang telah memiliki kemampuan bela diri dan olah kanuragan, bantu Komandan Pertahanan Desa, Raden Rumasih menghalau para Selaq,”
“Paman, kau sendiri akan ke mana?” tanya Raden Sentane.
“Aku akan menemui Perhimpunan Seluruh Kepala Desa di kaki Rinjani. Akan sangat berbahaya, kalau para Selaq dapat menguasai Desa Bunge. Ini bisa berarti kiamat bangsa manusia sudah sangat dekat,”
“Katakan saja, kau ingin lari dari pertempuran?” sungut Raden Rumasih.
“Aku tidak lari, aku sedang bertempur Rumasih. Ini hanya tumbanku,”
Para tetua kaget, saling berpandangan. Kecuali Resi Wilahuni yang terlihat tenang.
“Kau tidak sopan. Mengajak kami bicara menggunakan Tumban. Kau sama sekali tidak menghargai Resi Wilahuni!” geram Raden Rumasih.
“Ampun Resi, beribu-ribu ampun,” Tumban itu langsung menyungkurkan kepala di hadapan Resi Wilahuni.
“Sudahlah anakku. Aku sudah tahu kalau ini hanya Tumban,” ujar Resi Wilahuni
“Bagaimana Resi tahu?” tanya Raden Sentane heran.
“Perhatikan baik-baik, Tumban ini tidak punya bayangan. Walaupun yang menghadap ini Tumban, sejatinya ini Darwire yang sedang bertarung melawan Selaq. Aku bangga. Sekaligus senang. Setidaknya Tumban ini masih mewujud. Ini pertanda, Darwire masih hidup,” kata Resi Wilahuni, meneduhkan.
“Berarti paman Darwire masih bertarung?”
“Benar. Saya masih bertarung,” jawab Tumban itu.
“Aku tidak mau diperintah oleh Tumban!” cetus Raden Rumasih, masih keras.
“Kalau begitu pasukan Krame Desa akan saya bagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok membantu warga mengungsi, satu lagi bergerak ke posisi Paman Darwire,” ujar Raden Sentane.
“Begitupun murid-murid di Perguruan Bunge, akan saya bagi dua. Kelompok pertama akan bergerak ke posisi Paman Darwire, sebagian lagi akan membantu pasukan pertahanan,” ujar Guru Besar Perguruan Desa, Raden Aryadi.
“Apa tidak sebaiknya kita minta bantuan Dewi Anjani?” ujar Baloq Sawiye.
“Tidak ada yang pernah tahu keberadaan sang Ratu Jin. Dia hanya muncul, pada orang yang dikehendakinya,” Resi Wilahuni menarik nafas pelan.
“Konon, portal menuju alam Jin ada di puncak Rinjani. Tapi umurku yang telah lebih dari dua abad ini, tidak pernah melihatnya langsung. Aku hanya pernah mendengar satu kali kakekku bercerita,” ungkapnya.
“Kita memang tidak bisa menggantungkan harapan pada sesuatu yang belum pasti. Izinkan saya pamit untuk segera menghadap ke Perhimpunan Kepala Desa, waktu kita tidak banyak,” kata Tumban.
Maka setelah itu, para tetua desa bergerak cepat. Menjalankan misi tugas masing-masing. Kecuali Raden Rumasih dan Resi Wilahuni yang masih duduk di tempat semula.
Raden Rumasih tiba-tiba melompat, mendekati tiang balai desa yang terbuat dari kayu jati seukuran pelukan orang dewasa. Dan dengan sekuat tenaga, meninjunya.
“Aaaaaa!”
“Bruaaaak!”
Tinju Raden Rumasih begitu dahsyat. Tiang itu hancur di bagian yang terkena pukulan. Nyaris saja, bangunan balai desa itu roboh, kalau tidak ada lima tiang lainnya.
Melihat gelora kemarahan Raden Rumasih, Resi Wilahuni hanya tertawa ringan di tempatnya semula.
“Aduhai kasihan, tiang yang malang. Tidak punya salah, tapi harus menanggung amarah seorang anak manusia yang menyimpan api yang besar. Suatu saat semoga kau mengerti anakku,”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
⍣⃝ꉣꉣAndini Andana
mengakak lah ini...😂😂
2022-09-17
3