MENIKAH DENGAN GURUKU
Tok... Tok... Tok...
"Sayang, buka pintunya Nak," panggil Mila, Bunda dari seorang gadis cantik yang tengah mengurung diri di dalam kamarnya.
"Ngak Bun! Aku ngak akan membuka pintunya, sebelum Bunda sangatalkan perjodohan dengan lelaki itu!" jawab Cici sambil sesegukan dari dalam kamarnya. Sangat jelas terdengar dari indra pendengar Mila.
"Bunda ngak bisa ngebatalinnya Sayang, ini semua sudah kesepakatan antara Bunda, Ayah, dan orang tua calon suami kamu, Nak." balas Mila lembut kepada putri semata wayangnya. Mila berharap sang putri memahami maksud dirinya. Lagian itu semua juga demi kebaikan Cici.
Sudah hampir setengah jam Mila berada di depan pintu kamar putrinya, dan akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke bawah menemui sang suami yang sedang duduk sambil menonton televisi.
Sampai di ruang tamu, Mila langsung duduk di samping suaminya dengan ekpresi sedikit lesu, lantaran sang putri yang tidak membukakan pintu kamarnya.
Lalu, Miko melirik ke arah Mila dengan tatapan berharap istrinya mengatakan anaknya menerima pernikahan ini.
"Sayang, gimana? Apa Cici menerima perjodohan ini?" tanya Miko dengan penuh harap.
Mila hanya menggeleng 'kan kepalanya petanda ia belum berhasil. Miko yang melihat jawaban istrinya langsung berdiri dan pergi dari dekat istrinya menuju kamar sang putri.
" Mas, mau kemana?" tanya Mila kepada suaminya.
"Mau nemuin Cici," jawab Miko sambil melangkah dengan cepat ke kamar putrinya.
"Mas tunggu! Aku yakin Cici akan menerima perjodohan ini." ucap Mila dengan nada lembut kepada suaminya yang sudah agak jauh dari tempat ia duduk.
Hufff, Miko mengehela nafasnya dengan kasar, lalu menghadap ke arah istrinya dan kembali duduk ke tempat semula.
Esok harinya, Cici akan pergi ke sekolah, dan sebelum ia berangkat gadis itu menyalami tangan kedua orang tuanya.
"Sayang, makan dulu Nak?" ucap Mila.
"Ngak Bun, nanti saja di sekolah." tolak Cici dengan jutek.
Miko yang hendak menanyakan soal semalam mengundur 'kan niatnya karena, melihat ekspresi putrinya yang sangat buruk. Sangat terlihat jelas dari jawaban yang dia berikan kepada sang istri.
Sekitar lima belas menit Cici telah sampai di sekolah dan ia memilih duduk di dalam kelas sambil melamuni tentang perjodohannya dengan laki-laki yang bahkan tak Cici kenali.
Tak lama setelah itu, Lili sahabat Cici datang dan langsung saja menyapa Cici yang tak dia sadari bahwa Cici tengah melamun.
"Pagi sahabat tercinta ku," sapa Lili dengan sangat riangnya dan menghempaskan bobot tubuhnya di samping Cici.
Tetapi, tidak ada sahutan dari sahabatnya, karena Cici hanya fokus menghadap ke depan dengan tatapan kosong.
"Heiiiiii, kamu kok ngelamun sih Ci? Kamu ngelamunin apa sih?" tanya Lili sambil mengibaskan tangannya di depan wajah Cici.
Cici yang tidak juga sadar dari lamunannya membuat Lili semakin kesal. Dengan cepat Lili mencondongkan kepalanya dekat dengan telinga Cici.
"Cici!!" teriak Lili dengan suara keras. Membuat gadis itu langsung saja terjingkat kaget.
"Aihhhh, sakit tau kuping aku, Li. Kamu kalau mau teriak jangan di dekat telinga aku napa?!" ujar Cici dengan nada kesal. Sungguh gedang telinganya terasa mau pecah mendengar teriakan sarkas dari sahabatnya.
"Hufff, habisnya dari tadi aku panggil-panggil kamunya malah ngak nyaut nyaut." Lili ikut kesal dengan sahabatnya, tak lupa dia menghembuskan nafasnya dengan kasar.
Sekitar sepuluh menit, bel masuk sudah berbunyi dan datanglahlah seorang guru yang paling muda di antara guru-guru yang ada di sekolah itu, yang tak lain adalah Putra.
Guru itu banyak di kagumi oleh siswanya karena, memiliki paras yang sangat tampan dan memiliki hidung yang mancung. Bukan mancung seperti Pinokio, tapi mancung yang membuat istrinya nanti tergila-gila.
" Selamat pagi anak-anak." sapa Putra dengan menebarkan senyum termanisnya.
"Pagi pak!" jawab serentak semua murid kecuali Cici. Pikirannya masih saja bergelut dengan perjodohan yang dikatan orang-tuanya. Sungguh pikiran yang membuat Cici agak strees.
"Cici, kenapa kamu ngak menjawab sapaan Bapak?" tanya Putra menatap muridnya yang masih saja terdiam tanpa menghiraukan ucapnya.
"Cici!!" Putra menyebut nama gadis itu dengan sedikit keras. Lantaran ucapan pertamanya tak membuat gadis itu menoleh. Bahkan gadis itu masih saja asik dengan pikirannya sendiri.
Cici terkejut mendengar namanya dipanggil begitu keras. Langsung saja netra itu menatap sang guru yang kini tengah menatap dirinya dengan pandangan tajam. "A... da apa Pak?" tanya Cici dengan gugup. Sungguh dia sangat gugup sekali saat ini. Karena pikiran yang seharusnya tidak dia bawa ke skolah malah membuat dirinya di panggil begitu keras. Apalagi ini pertama kalinya bagi Cici.
"Kamu kenapa Ci? Apa kamu lagi banyak pikiran atau gimana?," tanya Putra yang masih menatap gadis itu seperti tadi. Pandangan matanya masih saja sama tanpa berubah sedikitpun.
"Ng--ngak kok Pak." jawab Cici dengan gugup. Mana mungkin dia sakit, tapi sakit kepala mikirin masalah perjodhan mah, jangan ditanya. Jawabannya pasti IYA!!
"Yasudah," balas Putra dan membuka buku yang dia bawa untuk mengajar seluruh muridnya.
Sudah hampir dua jam mereka mengikuti pelajaran dengan Putra. Apa yang sedari tadi mereka tunggu akhirnya berbunyi. Bel tanda istirahat akhirnya sudah berbunyi dengan nyaringnya.
Seluruh siswa berhamburan keluar kelas. Ada yang pergi ke kantin, ke toilet, dan ada juga yang pergi ke perpustakaan.
Tetapi, ini semua tidak berlaku dengan Cici, ia tetap berada di dalam kelas walaupun Lili sudah memaksanya untuk ke kantin. Tetapi, gadis itu tetap pada pendiriannya.
Sudah hampir sepuluh menit jam istirahat, Cici tetap saja melamun meski Lili sudah berada di dekatnya. Rasanya ucapan orangtuanya seakan tidak bisa hilang dari pikirannya.
"Ci, kok kamu ngelamun terus sih? dari pagi aku perhatiin. Apalagi sekarang kamu nggak mau aku ajak ke kantin. Padahal biasanya kamu yang semangat jika sudah tiba waktunya istirahat." ujar Lili sambil menghadap ke arah Cici. Menatap gadis itu dengan lekat.
"Ngak papa kok Li," balas Cici sambil tersenyum.
"Ahhh, mending kamu bilang aja sama aku, kamu ada masalah apa?" tanya Lili dengan begitu penasaran.
Cici berfikir sejenak dan menceritakan semuanya pada Lili. Lagian juga tak masalah bukan jika sahabatnya itu tau. Yang Cici tau, sahabatnya itu bukanlah bermulut ember. Yang sedikit-sedikit cerita sana-sini. Tapi dia bisa menyimpan rahasia. Baik itu kecil maupun besar sekalipun.
"Kamu di jodohin Ci," ucap Lili dengan suara keras. Dia sangat terkejut mendengar cerita sahabatnya. Pasalnya tidak ada angin tidak ada hujan sahabatnya itu sudah dijodohkan saja.
"Isss, kalau ngomong jangan kenceng-kenceng dong, nanti semua orang denger lagi." kesal Cici kepada Lili.
"Hehehe, iya-iya aku minta maaf. Aku tadi juga spontan seperti itu." balas Lili dengan cengiran khasnya. Lagian tadi dia juga kaget mendengar ucapan Cici.
Cici hanya mengangguk 'kan kepalanya mendengar ucapan sahabatnya itu. Mungkin saja jika Cici yang berada di posisi Lili saat ini, dia mungkin akan melakukan hal yang serupa pula.
Sekarang bel istirahat sudah berbunyi. Seluruh siswa berhamburan untuk mengikuti pelajaran selanjutnya.
Sekitar dua jam mereka semua mengikuti pelajaran dan akhirnya mereka pulang ke rumah masing-masing.
Sebelum pulang, seperti biasa Cici mengantar Lili untuk pulang ke rumahnya menggunakan mobil biru kesayangannya. Sampai di rumah Lili, ia menawar 'kan Cici untuk masuk tetapi, di tolak gadis itu karena, ia bilang badannya lagi kurang sehat.
***
Malam hari Putra bersama keluarganya sedang berada di ruang tamu sambil menonton televisi. Siaran yang sangat disukai kaum Adam. Apalagi kalau bukan sepak bola. Sebenarnya bukan hanya kaum Adam bahkan sebagian kecil kaum Hawa juga menyukai permainan itu.
"Sayang, Mama mau bilang sesuatu sama kamu." ucap Mama dari laki-laki yang kini tengah fokus melihat televisi.
"Iya Ma, mau bilang apa?" tanya Putra yang masih menghadap ke arah televisi. Rasanya sangat malas untuk mengalahkan penglihatan pada siaran yang terasa sangat seru.
"Mama dan Papa sudah menjodohkan kamu dengan anak dari teman kami, Nak?" ucap Mama Putra dengan nada lembut.
Putra yang tadinya menghadap ke arah televisi, langsung saja mengalihkan penglihatannya pada wanita yang telah melahirkan dirinya pilihan tahun lalu.
"Di jodoh kan?! ngak Ma, aku bisa mencari pendamping hidupku sendiri." balas Putra dengan nada tidak suka. Lagian ini sudah zaman moderen, bukan lagi zaman siti Nurbaya yang isinya dijodohkan mulu. Emang dia tidak laku sampai-sampai orang-tuanya menjodohkan dirinya seperti ini.
"Sayang, kami tidak bisa lagi membatalkan perjodohan ini, dan kamu tau umur kamu sudah menginjak dua puluh empat tahun sayang, dan kami pengen punya menantu dan juga seroang cucu," ujar Mama Putra dengan menekan 'kan kata menantu serta cucu kepada anak bujangnya.
Putra mengeja nafas panjang. Lalu, ia berfikir bagai mana cara menolak perjodohan ini karena, sampai sekarang ia juga tidak mempunyai kekasih karena, ia sangat fokus kepada dunia pendidikannya. .eski sekarang ia sudah menjadi seorang guru di sebuah sekolah ternama di kota itu.
Sekitar lebih kurang delapan menit, Putra tidak merespon ucapan Mamanya, dan sekarang ia kembali bertanya kepada kedua orang-tuanya.
"Ma, Pa kalau aku boleh tau berapa umur wanita yang di jodoh 'kan sama aku? apa dia masih kuliah atau sudah bekerja?" tanya Putra sambil bergantian menghadap ke-dua orang-tuanya.
Mama dan Papa Putra yang mendengar pertanyaan dari Putra menyungging 'kan sebuah senyuman di bibir keduanya. Mereka berfikir mungkin saja anaknya akan menerima perjodohan ini. Meskipun anaknya menolak, maka pernikahan akan tetap saja berlangsung tampak bisa di ganggu gugat.
"Umurnya masih tujuh belas tahun, Nak, dan dia masih sekolah kelas tiga SMA." jawab Ayah dari Putra dengan senyuman.
Putra yang mendengar jawaban dari ayahnya langsung saja kaget karena, ia akan di jodohkan dengan anak yang masih menduduki bangku SMA. Nyatanya pikirannya tadi sangat jauh salahnya. Jika sudah kuliah itu tidaklah mengapa. Tapi ini, ini masih SMA. Astaga, ada-ada saja Mama dan Papanya.
Lalu, Mama Putra kembali menanyakan soal perjodohan itu dan Putra hanya merespon dengan mengangguk 'kan kepalanya petanda ia menyetujui perjodohan itu. Lagian mau menolak pun juga tidak ada gunanya. Orang-tuanya pasti akan pada pendirian mereka. Tanpa mau bernegosiasi dengan dirinya.
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
Hrawti
Salam Kak Author Dari Sulawesi Selatan
Aku Mampirr🤗
2023-05-12
2
Ummu Sakha Khalifatul Ulum
lanjut
2022-09-25
1
Erna Fadhilah
aku cb mampir thor,,, semoga bagus👍👍👍👍
2022-09-07
1