Tok... Tok... Tok...
"Sayang, buka pintunya Nak," panggil Mila, Bunda dari seorang gadis cantik yang tengah mengurung diri di dalam kamarnya.
"Ngak Bun! Aku ngak akan membuka pintunya, sebelum Bunda sangatalkan perjodohan dengan lelaki itu!" jawab Cici sambil sesegukan dari dalam kamarnya. Sangat jelas terdengar dari indra pendengar Mila.
"Bunda ngak bisa ngebatalinnya Sayang, ini semua sudah kesepakatan antara Bunda, Ayah, dan orang tua calon suami kamu, Nak." balas Mila lembut kepada putri semata wayangnya. Mila berharap sang putri memahami maksud dirinya. Lagian itu semua juga demi kebaikan Cici.
Sudah hampir setengah jam Mila berada di depan pintu kamar putrinya, dan akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke bawah menemui sang suami yang sedang duduk sambil menonton televisi.
Sampai di ruang tamu, Mila langsung duduk di samping suaminya dengan ekpresi sedikit lesu, lantaran sang putri yang tidak membukakan pintu kamarnya.
Lalu, Miko melirik ke arah Mila dengan tatapan berharap istrinya mengatakan anaknya menerima pernikahan ini.
"Sayang, gimana? Apa Cici menerima perjodohan ini?" tanya Miko dengan penuh harap.
Mila hanya menggeleng 'kan kepalanya petanda ia belum berhasil. Miko yang melihat jawaban istrinya langsung berdiri dan pergi dari dekat istrinya menuju kamar sang putri.
" Mas, mau kemana?" tanya Mila kepada suaminya.
"Mau nemuin Cici," jawab Miko sambil melangkah dengan cepat ke kamar putrinya.
"Mas tunggu! Aku yakin Cici akan menerima perjodohan ini." ucap Mila dengan nada lembut kepada suaminya yang sudah agak jauh dari tempat ia duduk.
Hufff, Miko mengehela nafasnya dengan kasar, lalu menghadap ke arah istrinya dan kembali duduk ke tempat semula.
Esok harinya, Cici akan pergi ke sekolah, dan sebelum ia berangkat gadis itu menyalami tangan kedua orang tuanya.
"Sayang, makan dulu Nak?" ucap Mila.
"Ngak Bun, nanti saja di sekolah." tolak Cici dengan jutek.
Miko yang hendak menanyakan soal semalam mengundur 'kan niatnya karena, melihat ekspresi putrinya yang sangat buruk. Sangat terlihat jelas dari jawaban yang dia berikan kepada sang istri.
Sekitar lima belas menit Cici telah sampai di sekolah dan ia memilih duduk di dalam kelas sambil melamuni tentang perjodohannya dengan laki-laki yang bahkan tak Cici kenali.
Tak lama setelah itu, Lili sahabat Cici datang dan langsung saja menyapa Cici yang tak dia sadari bahwa Cici tengah melamun.
"Pagi sahabat tercinta ku," sapa Lili dengan sangat riangnya dan menghempaskan bobot tubuhnya di samping Cici.
Tetapi, tidak ada sahutan dari sahabatnya, karena Cici hanya fokus menghadap ke depan dengan tatapan kosong.
"Heiiiiii, kamu kok ngelamun sih Ci? Kamu ngelamunin apa sih?" tanya Lili sambil mengibaskan tangannya di depan wajah Cici.
Cici yang tidak juga sadar dari lamunannya membuat Lili semakin kesal. Dengan cepat Lili mencondongkan kepalanya dekat dengan telinga Cici.
"Cici!!" teriak Lili dengan suara keras. Membuat gadis itu langsung saja terjingkat kaget.
"Aihhhh, sakit tau kuping aku, Li. Kamu kalau mau teriak jangan di dekat telinga aku napa?!" ujar Cici dengan nada kesal. Sungguh gedang telinganya terasa mau pecah mendengar teriakan sarkas dari sahabatnya.
"Hufff, habisnya dari tadi aku panggil-panggil kamunya malah ngak nyaut nyaut." Lili ikut kesal dengan sahabatnya, tak lupa dia menghembuskan nafasnya dengan kasar.
Sekitar sepuluh menit, bel masuk sudah berbunyi dan datanglahlah seorang guru yang paling muda di antara guru-guru yang ada di sekolah itu, yang tak lain adalah Putra.
Guru itu banyak di kagumi oleh siswanya karena, memiliki paras yang sangat tampan dan memiliki hidung yang mancung. Bukan mancung seperti Pinokio, tapi mancung yang membuat istrinya nanti tergila-gila.
" Selamat pagi anak-anak." sapa Putra dengan menebarkan senyum termanisnya.
"Pagi pak!" jawab serentak semua murid kecuali Cici. Pikirannya masih saja bergelut dengan perjodohan yang dikatan orang-tuanya. Sungguh pikiran yang membuat Cici agak strees.
"Cici, kenapa kamu ngak menjawab sapaan Bapak?" tanya Putra menatap muridnya yang masih saja terdiam tanpa menghiraukan ucapnya.
"Cici!!" Putra menyebut nama gadis itu dengan sedikit keras. Lantaran ucapan pertamanya tak membuat gadis itu menoleh. Bahkan gadis itu masih saja asik dengan pikirannya sendiri.
Cici terkejut mendengar namanya dipanggil begitu keras. Langsung saja netra itu menatap sang guru yang kini tengah menatap dirinya dengan pandangan tajam. "A... da apa Pak?" tanya Cici dengan gugup. Sungguh dia sangat gugup sekali saat ini. Karena pikiran yang seharusnya tidak dia bawa ke skolah malah membuat dirinya di panggil begitu keras. Apalagi ini pertama kalinya bagi Cici.
"Kamu kenapa Ci? Apa kamu lagi banyak pikiran atau gimana?," tanya Putra yang masih menatap gadis itu seperti tadi. Pandangan matanya masih saja sama tanpa berubah sedikitpun.
"Ng--ngak kok Pak." jawab Cici dengan gugup. Mana mungkin dia sakit, tapi sakit kepala mikirin masalah perjodhan mah, jangan ditanya. Jawabannya pasti IYA!!
"Yasudah," balas Putra dan membuka buku yang dia bawa untuk mengajar seluruh muridnya.
Sudah hampir dua jam mereka mengikuti pelajaran dengan Putra. Apa yang sedari tadi mereka tunggu akhirnya berbunyi. Bel tanda istirahat akhirnya sudah berbunyi dengan nyaringnya.
Seluruh siswa berhamburan keluar kelas. Ada yang pergi ke kantin, ke toilet, dan ada juga yang pergi ke perpustakaan.
Tetapi, ini semua tidak berlaku dengan Cici, ia tetap berada di dalam kelas walaupun Lili sudah memaksanya untuk ke kantin. Tetapi, gadis itu tetap pada pendiriannya.
Sudah hampir sepuluh menit jam istirahat, Cici tetap saja melamun meski Lili sudah berada di dekatnya. Rasanya ucapan orangtuanya seakan tidak bisa hilang dari pikirannya.
"Ci, kok kamu ngelamun terus sih? dari pagi aku perhatiin. Apalagi sekarang kamu nggak mau aku ajak ke kantin. Padahal biasanya kamu yang semangat jika sudah tiba waktunya istirahat." ujar Lili sambil menghadap ke arah Cici. Menatap gadis itu dengan lekat.
"Ngak papa kok Li," balas Cici sambil tersenyum.
"Ahhh, mending kamu bilang aja sama aku, kamu ada masalah apa?" tanya Lili dengan begitu penasaran.
Cici berfikir sejenak dan menceritakan semuanya pada Lili. Lagian juga tak masalah bukan jika sahabatnya itu tau. Yang Cici tau, sahabatnya itu bukanlah bermulut ember. Yang sedikit-sedikit cerita sana-sini. Tapi dia bisa menyimpan rahasia. Baik itu kecil maupun besar sekalipun.
"Kamu di jodohin Ci," ucap Lili dengan suara keras. Dia sangat terkejut mendengar cerita sahabatnya. Pasalnya tidak ada angin tidak ada hujan sahabatnya itu sudah dijodohkan saja.
"Isss, kalau ngomong jangan kenceng-kenceng dong, nanti semua orang denger lagi." kesal Cici kepada Lili.
"Hehehe, iya-iya aku minta maaf. Aku tadi juga spontan seperti itu." balas Lili dengan cengiran khasnya. Lagian tadi dia juga kaget mendengar ucapan Cici.
Cici hanya mengangguk 'kan kepalanya mendengar ucapan sahabatnya itu. Mungkin saja jika Cici yang berada di posisi Lili saat ini, dia mungkin akan melakukan hal yang serupa pula.
Sekarang bel istirahat sudah berbunyi. Seluruh siswa berhamburan untuk mengikuti pelajaran selanjutnya.
Sekitar dua jam mereka semua mengikuti pelajaran dan akhirnya mereka pulang ke rumah masing-masing.
Sebelum pulang, seperti biasa Cici mengantar Lili untuk pulang ke rumahnya menggunakan mobil biru kesayangannya. Sampai di rumah Lili, ia menawar 'kan Cici untuk masuk tetapi, di tolak gadis itu karena, ia bilang badannya lagi kurang sehat.
***
Malam hari Putra bersama keluarganya sedang berada di ruang tamu sambil menonton televisi. Siaran yang sangat disukai kaum Adam. Apalagi kalau bukan sepak bola. Sebenarnya bukan hanya kaum Adam bahkan sebagian kecil kaum Hawa juga menyukai permainan itu.
"Sayang, Mama mau bilang sesuatu sama kamu." ucap Mama dari laki-laki yang kini tengah fokus melihat televisi.
"Iya Ma, mau bilang apa?" tanya Putra yang masih menghadap ke arah televisi. Rasanya sangat malas untuk mengalahkan penglihatan pada siaran yang terasa sangat seru.
"Mama dan Papa sudah menjodohkan kamu dengan anak dari teman kami, Nak?" ucap Mama Putra dengan nada lembut.
Putra yang tadinya menghadap ke arah televisi, langsung saja mengalihkan penglihatannya pada wanita yang telah melahirkan dirinya pilihan tahun lalu.
"Di jodoh kan?! ngak Ma, aku bisa mencari pendamping hidupku sendiri." balas Putra dengan nada tidak suka. Lagian ini sudah zaman moderen, bukan lagi zaman siti Nurbaya yang isinya dijodohkan mulu. Emang dia tidak laku sampai-sampai orang-tuanya menjodohkan dirinya seperti ini.
"Sayang, kami tidak bisa lagi membatalkan perjodohan ini, dan kamu tau umur kamu sudah menginjak dua puluh empat tahun sayang, dan kami pengen punya menantu dan juga seroang cucu," ujar Mama Putra dengan menekan 'kan kata menantu serta cucu kepada anak bujangnya.
Putra mengeja nafas panjang. Lalu, ia berfikir bagai mana cara menolak perjodohan ini karena, sampai sekarang ia juga tidak mempunyai kekasih karena, ia sangat fokus kepada dunia pendidikannya. .eski sekarang ia sudah menjadi seorang guru di sebuah sekolah ternama di kota itu.
Sekitar lebih kurang delapan menit, Putra tidak merespon ucapan Mamanya, dan sekarang ia kembali bertanya kepada kedua orang-tuanya.
"Ma, Pa kalau aku boleh tau berapa umur wanita yang di jodoh 'kan sama aku? apa dia masih kuliah atau sudah bekerja?" tanya Putra sambil bergantian menghadap ke-dua orang-tuanya.
Mama dan Papa Putra yang mendengar pertanyaan dari Putra menyungging 'kan sebuah senyuman di bibir keduanya. Mereka berfikir mungkin saja anaknya akan menerima perjodohan ini. Meskipun anaknya menolak, maka pernikahan akan tetap saja berlangsung tampak bisa di ganggu gugat.
"Umurnya masih tujuh belas tahun, Nak, dan dia masih sekolah kelas tiga SMA." jawab Ayah dari Putra dengan senyuman.
Putra yang mendengar jawaban dari ayahnya langsung saja kaget karena, ia akan di jodohkan dengan anak yang masih menduduki bangku SMA. Nyatanya pikirannya tadi sangat jauh salahnya. Jika sudah kuliah itu tidaklah mengapa. Tapi ini, ini masih SMA. Astaga, ada-ada saja Mama dan Papanya.
Lalu, Mama Putra kembali menanyakan soal perjodohan itu dan Putra hanya merespon dengan mengangguk 'kan kepalanya petanda ia menyetujui perjodohan itu. Lagian mau menolak pun juga tidak ada gunanya. Orang-tuanya pasti akan pada pendirian mereka. Tanpa mau bernegosiasi dengan dirinya.
TBC
Satu minggu sudah berlalu, dan hari ini Putra beserta keluarganya akan datang ke rumah Mila untuk melamar anak semata wayangnya tersebut. Tepat pukul delapan malam, putra beserta kedua orang-tuanya sudah berada di rumah yang di penuhi bunga bagian depannya.
Tok... Tok... Tok...
Mila yang mendengar suara ketukan pada pintu rumahnya langsung saja melangkahkan kakinya menuju pintu. Mila sudah yakin yang datang itu adalah calon besannya.
"Assalamu'alaikum," Salam ketiga orang yang datang ke rumahnya. Dua calon besannya dan satu jelas calon menantunya.
"Waalaikumsalam," jawab Mila dan mempersilahkan tamunya untuk masuk dan duduk di sofa ruang tamu.
Di dalam rumah Mila, Nini celingak celinguk melihat keberadaan putri dari sahabatnya.
"Mil, putri kamu mana?" tanya Nini kepada Mila. Wanita itu penasaran kenapa anak gadis sahabatnya tidak menampakkan batang hidungnya. Apa mungkin dia masih di dalam kamar. Sungguh Nini sangat ingin bertemu degan calon menantunya.
"Ehh iya, tunggu dulu ya aku panggilkan." jawab Mila melangkah menuju kamar dan putri yang berada di lantai atas.
Mila menaiki tangga dan masuk ke dalam kamar sangat putri untuk mengajaknya ke bawah untuk menemui calon mertua berserta calon suaminya. Tanpa babibu Cici langsung mengikuti Mamanya untuk turun ke bawah dan ia tak menegakkan kepalanya melainkan menunduk seperti orang ketakutan.
Sampai di bawah, Mila duduk di tempat semula. Sedangkan Cici ia duduk di samping Mila. Bahkan gadis itu tidak mau menegakkan kepalanya sedikitpun. Hatinya menolak perjodohan ini. Namun apa boleh buat jika orang-tuanya memaksa dirinya.
"Ehhh, menantu Mama cantik sekali," puji Nini menatap gadis yang duduk di samping Mila. Sungguh dia sangat menyukai gadis itu.
Cici yang mendengar pujian tersebut hanya mengembangkan senyumnya sebentar sambil melihat wanita paruh baya yang akan menjadi mertuanya. Lalu gadis itu kembali menunduk.
"Sayang, lihat deh calon istri kamu cantik loh." ucap Nini kepada Putra. Putra yang sedari tadi fokus ke ponselnya, sekarang menghadap ke arah Cici dan begitu pun dengan Cici, ia juga menghadap ke arah putra saat wanita berbicara kepada anaknya.
"Ba--bapak," ucap Cici terbata-bata. Sungguh dia sangat terkejut jika laki-laki yang akan di jodohkan dengan dirinya tak lain dan tak bukan gurunya sendiri.
"Ci... ci," ucap Putra yang tak kalah terbata-batanya. Sungguh ini juga membuat laki-laki itu terkejut. Anak murid yang dia ajari akan menyandang status sebagai istrinya. Yang benar saja. Terdengar sangat lucu ditelinga Putra.
"Kalian sudah saling mengenal?" tanya Nini sambil melihat ke arah Putra dan Cici secara bergantian. Pasalnya dia tidak tau jika calon menantunya itu satu sekolah dengan tempat sang putra mengajar.
"Iya Ma, dia murid aku di sekolah." jawab Putra sambil menatap Cici dengan tatapan yang tak bisa di tebak. Ntah apa yang difikirkan Putra saat ini.
Setelah mendengarkan jawaban dari Putra, semua keluarga melemparkan senyumannya kepada mereka berdua karena, mereka tak menyadari bahwa keduanya sudah saling mengenal. Memang dari awal mereka tidak menceritakan apakah anak mereka berada di tempat yang sama atau bukan. Mereka hanya membahas menjodohkan kedua anak mereka. Tanpa menyinggung yang lain.
"Lah, kenapa semuanya pada senyam-senyum ngak jelas sih?" tanya Cici menatap orang-tuanya serta orang-tuanya dari gurunya.
"Hmm, ngak apa-apa kok Sayang," jawab Mila kepada sang putri.
Sekitar lima menit kemudian, mereka akan menentukan hari pernikahan Cici dan putra.
"Gimana kalau dua hari lagi pernikahan anak-anak kita Mil?" tanya Nini denagn antusias.
"Apa?" ucap Putra dan Cici serempak sambil melempar pandang satu sama lain. Mereka sangat terkejut dengan ucapan Nini. Bukankah pernikahan itu bukanlah hal yang mudah. Dua hari itu bukan waktu yang lama. Bahkan itu sangat sebentar, hanya hitungan jam saja.
"Ehhh, ternyata kalian berdua ngak sabaran untuk menikah nih, buktinya saja ucapannya serentak gini," goda Papa Putra sambil ketawa, diikuti dengan yang lainnya. Bahkan mereka menyetujui ucapan Papa dari Putra.
Putra dan Cici hanya menghembuskan nafasnya dengan kasar dan menerima ketetapan tanggal nikah mereka. Bahkan untuk komentar saja rasanya mereka tidak akan mendapatkan keinginan. Bukan tak mau membantah, hanya saja mereka sudah tau bagaimana sifat kedua orang-tua mereka masing-masing. Yang tak akan mau menerima usulan dari mereka. diam, ya hanya diam yang bisa mereka lakukan saat ini.
Sekitar jam sepuluh malam, Putra dan keluarganya sudah pergi dari kediaman Mila untuk menuju rumah mereka. Tanggal nikah mereka juga sudah ditentukan. Yang akan mereka lakukan hanya mempersiapkan kebutuhan untuk pernikahan anak mereka dua hari lagi.
Sedangkan Cici, ia hanya memanyunkan bibirnya sepeninggal keluarga Putra. Sungguh dia tak ingin semua ini terjadi. Masa mudanya masih panjang namun orang-tuanya malah menjodohkan dirinnya di saat dia masih menduduki bangku SMA. Padahal dia masih ingin menikmati masa kesendiriannya untuk beberapa tahun kedepan.
"Sayang, bibirnya kok di manyunin sih?" tanya Ayah Cici dengan gemas kepada sang putri.
"Ngak papa kok Yah," jawab Cici dan langsung berdiri, lalu kaki jenjang itu berlari menuju kamarnya. Ingin sekali dia menangis dengan keras lantaran takdir hidupnya seperti ini. Takdir yang menurutnya sangat kejam.
Di dalam kamar, Cici langsung menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Memejamkan matanya dengan paksa untuk menghilangkan rasa gundah yang saat ini dia rasakan.
\*\*\*
Dua hari sudah berlalu. Kini Cici sedang berada di dalam kamarnya bersama seorang perias pengantin. Tak ada senyum yang menghiasi wajah cantik gadis itu. Sungguh dia belum bisa menerima sepenuhnya pernikahan ini.
Tak lama setelah itu, pintu kamar Cici terbuka dan masuklah wanita yang melahirnya dirinya dengan senyum mengembang di bibirnya. Meski sudah tak lagi muda, namun wanita itu tampak masih cantik.
"Masih lama lagi Mbak?" tanya Mila kepada perias pengantin. Karena yang dia lihat tangan perias itu masih berada di sekitaran wajah sang putri.
"Ngak Buk, sebentar lagi." balas perias tersebut.
Sekitar lima menit, Cici sudah selesai di rias dan ia mengenakan baju pengantin berwarna putih beserta hijab yang senada dengan bajunya. Lalu, Mila membawa Cici menuruni anak tangga dengan langkah yang pasti agar Cici tidak terjatuh saat turun. Lantaran baju gamis yang dia pakai memiliki lebar yang besar.
"Wah, pengantin wanitanya cantik banget." puji semua tamu. Ya menang itu nyatanya. Gadis itu memang sangat cantik, tidak dirias saja sudah cantik, apalagi kalau sudah dirias seperti ini. Sudah jelas akan banyak lontaran kata pujian untuk dirinya.
Putra yang mendengar pujian tersebut, langsung menoleh ke arah Cici tanpa berkedip sedikit pun. Ya pujian semua orang memang benar adanya. Gadis itu tampak seperti bidadari yang baru saja turun dari langit. Putra tak dapat menampik kecantikan gadis yang sebentar lagi akan menjadi istrinya.
Sekarang Cici sudah duduk di samping Putra, dan Putra tidak juga melepaskan pandangannya dari calon istrinya. Sungguh sayang rasa jika dia mengalihkan penglihatannya dari bidadari yang akan menjadi istrinya.
"Ya sudah Pak, mari kita mulai ijab qobulnya." ucap penghulu sambil menyodorkan tangannya pada Putra.
Putra tak merespon ucapan pak penghulu melainkan tetap melihat wajah cantik Cici. Sungguh dia tak sadar jika saat ini Bapak penghulu tengah berbicara dengan dirinya. Seakan-akan seluruh yang ada disini hanya patung yang tak dapat berbicara.
"Sayang, ayo mulai." ucap Nini sambil menyenggol pinggang Putra.
"Ehhh, iya Pak maaf," ujar Putra dengan terkejut. Sungguh dia tadi tidak mendengar jika Pak penghulu sudah berbicara dengannga. Dengan segera dia meraih tangan Pak penghulu yang masih terulur didepannya.
Sekarang ijab qobulnya sudah selesai dengan satu tarikan nafas oleh Putra, dan semua tamu yang hadir mengucapkan kata sah bahwa Cici dan Putra sudah sah menjadi sepasang suami istri. Setelah itu, Pak penghulu membacakan doa untuk kedua pasangan tersebut.
***
Sekitar jam tujuh malam, kedua keluarga sedang duduk di ruang tamu, termasuk Putra dan Cici.
"Sayang, malam ini kamu akan pergi bersama suami kamu dan menginap di rumahnya," ujar Mila kepada anak semata wayangnya.
"Kenapa Bun?" tanya Cici yang tak mengerti ucapan Bundanya. Kan rumahnya disini kenapa harus pergi bersama laki-laki yang baru beberapa jam yang lalu mejadi suaminya.
"Karena, sekarang kamu sudah memiliki suami. Dan kamu harus ikut kemanapun suami kamu pergi." ucap Mila dengan tegas di sertai senyuman di bibirnya.
"Iya Bun," ucap Cici dengan menundukkan kepalanya. Dia pasrah dengan ucap sang bunda. Lagian dia juga tau meski sedikit, jika seorang wanita yang sudah menikah pasti akan ikut dengan suaminya.
Sekarang waktunya Cici akan meninggalkan Ayah dan Bundanya karena, ia akan pergi ke rumah suaminya. Tepat jam sepuluh malam, Cici sudah sampai di rumah Putra. Di dalam rumah, Cici celingak celinguk ntah apa yang ia cari saat ini.
"Sayang, kamu cari apa?" tanya Farhan, Papa dari Putra. Dia heran meluhat menantunya melihat kesana-kemari. Ntah apa yang dia cari menantunya itu.
"Hehe, aku mau cari kamar mandi Om," ucap Cici sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. Dia sudah tidak tidak tahan untuk menangani air pipisnya yang dirasa sudah di ujung tanduk.
"Jangan panggil Om dong Sayang, panggil Papa," ucap Farhan kepada menantunya dengan lembut. Kan aneh jika seroang menantu memanggil dirinya dengan sebutan Om.
"Hehe iya Om, ehh maksudnya Pa," ucap Cici.
"Ya sudah, Put antar Cici ke kamar mandi." ujar Farhan kepada Putra.
Putra hanya merespon dengan anggukan ucapan Farhan lalu, ia membawa Cici ke kamar mandi ruang tamu. Karena kalau ke kamar mandinya berada di lantai dua. Bisa saja gadis itu akan mengeluarkan pipisnya di tengah jalan jika memang dia sudah sangat sesak.
"Bapak, jangan masuk ya?" ucap Cici dengan memperlihatkan gigi putihnya. Dia takut Putra akan ikut masuk ke dalam kamar mandi. Meski mereka sudah sah, bukan berarti seenaknya Putra masuk begitu saja.
"Kenapa saya ngak boleh masuk? Kan saya suami kamu?" ucap Putra dengan senyuman.
"Ihh, Bapak pokoknya nggak boleh masuk. Titik!!" Cici langsung saja menutup pintu kamar mandi dengan keras. Sungguh dia sudah tidak tahan lagi untuk pipis.
Putra terkejut karena gadis itu menutup pintu didepannya cukup keras dan laki-laki itu terjingkat kaget. Membuat keseimbangan tubuhnya tidak sempurna. Laki-laki itu terjatuh ke lantai marmer, karena kakinya bersilangan sangking kagetnya.
"Auuuu," ringgis Putra di lantai dan langsung berdiri dan menghadap ke arah Cici dengan tatapan sangat tajam, karena gadis itu sudah keluar dari kamar mandi.
Cici yang melihat ekspresi Putra yang sangat seram membuatnya ketakutan.
"Pak, aku minta maaf ya Pak," ucap Cici dengan suara sedikit serak. Takut laki-laki itu akan dendam kepada dirinya. Apalagi Putra masih duduk di lantai marmer yang terasa dingin.
Tetapi, Putra tak mengubbris ucapan dari Cici dan ia berdiri dari lantai. Mendekat ke arah istrinya yang tampak sedikit pucat. Mungkin saja dia takut Putra akan melakukan sesuatu kepada dirinya untuk balas dendam.
Sekarang wajah mereka sudah sangat dekat dan bahkan deru nafas keduanya pun sudah sangat terasa. Cici semakin takut dengan apa yang dilakukan Putra saat ini. Dia berfikir apakah Putra akan menghempaskan kepalanya pada tembok di belakangnya. Atau bahkan lebih. Sungguh dia sangat takut untuk saat ini.
TBC
Sekarang wajah mereka sudah sangat dekat dan bahkan deru nafas keduanya pun sudah sangat terasa. Cici semakin takut dengan apa yang dilakukan Putra saat ini. Dia berfikir apakah Putra akan menghempaskan kepalanya pada tembok di belakangnya. Atau bahkan lebih. Sungguh dia sangat takut untuk saat ini.
Setelah itu Putra...
Tok... Tok... Tok...
Pintu kamar mereka di ketuk seseorang dari luar. Cici merasa lega, akhirnya dia selamat dan tidak terperangkap dengan putra seperti saat ini. Sungguh jantungnya serasa mau copot jika berhadapan seperti ini dengan suaminya. Suami yang belum ada sedikitpun rasa cinta dalam dirinya lantaran karena perjodohan konyol tersebut.
Cici langsung berjalan dengan cepat menuju pintu masuk, karena ketukan pada pintu kamar itu terus saja berbunyi.
"Mama, ada apa Ma?" tanya Cici setelah membukakan pintu bamar dan tersenyum manis kepada wanita yang kini menjadi mertuanya.
Nini memperhatikan wajah menantunya yang tampak memerah. "Kenapa wajah kamu merah begitu Sayang? apa terjadi sesuatu sama kamu? atau kamu lagi sakit Sayang?" tanya Nini tanpa menyelesaikan jawaban dari pertanyaan pertama.
"Nggak kok Ma, aku baik-baik saja." balas Cici dengan masih menampilkan senyum manis khas dirinya.
"Yaudah, yuk kita ke bawah. Mama ada sesuatu buat kamu," ajak Nini dengan senyuman. Menarik tangan menantunya dengan lembut untuk dibawa ke bawah. Karena ada sesuatu yang akan dia berikan kepada menantunya itu.
"Iya Ma, oh ya emang apa Ma. Apa begitu penting?" tanya Cici dengan penasaran. Gadis cantik itu tampak mengerutkan keningnya, lantaran sangat penasaran dengan apa yang akan di tunjukkan sang ibu mertua.
"Ya turun dulu ke bawah. Nanti kamu akan tau Sayang," jawab Nini yang tak mau memberitahu kepada menantunya apa yang akan dia berikan.
Sekarang, Nini dan Cici sudah berjalan ke bawah melalui anak tangga Karena, kamar Cici berada di lantai dua. Tak lama setelah itu, mereka sampai di ruang tamu. Dan Nini menyuruh Cici untuk duduk di sampingnya.
"Sayang ini hadiahnya," ujar Nini menyodorkan dua buah tiket kepada Cici, dan Cici langsung menerima kedua tiket tersebut dengan tanda tanya yang begitu besar di otaknya.
"Tiket buat apa Ma?" tanya Cici kepada Nini dengan sedikit bingung.
"Tiket buat kamu dan putra. Karena, kalian akan bulan madu ke Jepang. Dan Mama juga sudah meminta izin kepada pihak sekolah jika kamu akan libur selama satu minggu.
Sedangkan di dalam kamar, Putra hanya berputar-putar tak menentu karena, istrinya sampai sekarang belum juga kembali. Padahal sudah lebih dari sepuluh menit. Apa ada hal yang penting sehingga Mamanya itu membawa istrinya selama ini. Putra kesal, iya dia sangat kesal karena tidak jadi menjahili istrinya karena ulah sang mama.
Dirasa tak ada lagi yang akan dibicarakan ibu mertuanya, Cici memilih meminta izin untuk kembali ke kamar menemui sang suami.
"Ma, aku ke kamar dulu ya?" pamit Cici dengan lembut dan di balas anggukan oleh Nini.
Cici melangkah cepat dengan manaiki tangga agar lekas sampis dikamarnya serta kamar suaminya.
Klek
Cici membuka pintu kamar dengan pelan. Matanya menangkap Putra yang tengah mondar-mandir seperti ada sesuatu yang akan dia tunggu. Bahkan lebih jelas seperti seorang suami yang menunggu istrinya yang tengah melahirkan sang buah hati.
"Pak?" panggil Cici kepada Putra.
Laki-laki itu langsung menghentikan kakinya yang tak berhenti bergerak seperti cacing kepanasan. Lalu kaki panjang itu melangkah mendekati sang istri. Sedangkan cici yang melihat sang suami melangkah ke arahnya otomatis mundur ke belakang. Tapi tubuh gadis itu mentok pada tembok dan tak bisa lagi berlari ke arah lain.
"Bapak mau ngapain?" tanya Cici dengan gugup. Dia takut jika putra melakukan sesuatu pada dirinya.
"Kamu sudah membuat badan saya menjadi sakit karena, kamu menutup pintu terlalu keras. Membuat saya terjatuh karena kaget. Dan kamu sekarang harus bertanggung jawab!" ujar Putra yang terus maju dan akhirnya jarak mereka sudah sangat dekat. Bahkan deru nafas keduanya kembali terasa di wajah mereka masing-masing.
Putra yang hendak mengangkat tangannya untuk mengambil kedua tangan Cici untuk dia pegang agar tak bisa bergerak leluasa, namun tangan gadis itu terangkat lebih dulu darinya. Memperlihatkan dua buah tiket kepada putra.
Putra kembali menurunkan kedua tangannya, lantaran matanya menangkap dua buah ***** ditangan sang istri.
"Tiket buat apa?" tanya Putra bingung. Padahal tadi saat keluar dari kamar, perasaan istrinya itu tidak membawa apa-apa. Namun sekarang istrinya tengah memegang tiket dan memperlihatkan kepada dirinya. Putra merasa bingung sekaligus penasaran dengan hal itu.
"Ini Mama yang ngasih di bawah tadi." jawab Cici merasa lega, karena Putra melangkah sedikit kebelakang dari dirinya. Jadi jarak mereka tidak lagi sedekat tadi.
"Emang untuk apa?" tanya Putra dengan bingung.
"Kata Mama, kita akan pergi bulan madu ke Jepang." balas Cici sambil menatap wajah tampan suaminya. Ya suaminya itu sangat tampan, Bahkan banyak temannya disekolah yang mengidolakan suaminya itu. Kata mereka suaminya itu persis seperti opo-opo gitu. Tapi bagi Cici biasa saja. Karena pendapat setiap orang pasti berbeda-beda.
Putra hanya menganggukkan kepalanya dan keluar dari kamar menuju ke lantai bawah untuk menemui Mamanya. Bahkan Cici dibuat bengong dengan tingkat suaminya yang dirasa berubah dalam seketika. Tak apa, lagian Cici juga malas di desak seperti tadi. Apalagi jantungnya serasa mau copot karena tingkah Putra.
Putra melewati banyak anak tangga dan akhirnya ia sudah sampai di ruang tamu dan duduk di hadapan Mama dan Papanya yang tengah menonton televisi.
"Ma, Pa, aku mau ngomong sesuatu?" ucap Putra kepada kedua orang tuanya, yang langsung menatap ke arah putra semata wayang mereka.
"Iya Sayang, kamu mau ngomong apa?" tanya Nini.
"Tadi Mama ngasih kepada istriku dua buah tiket untuk bulan madu. Nah yang aku mau ngomongin itu, gimana kalau bulan madunya di tunda dulu," Putra menatap lekat wajah suami istri yang merupakan orangtuanya. Berharap orang tuanya menyetujui pendapatnya.
"Ngak bisa!! kamu harus bulan madu. Dan Mama juga sudah minta izin kepada pihak sekolah, bahwa kamu akan izin selama satu minggu." jelas Nini panjang lebar tanpa mau mendengarkan ucapan anaknya. Karena dirasa ucapannya adalah perintah yang tidak bisa dilanggar.
"Tapi Ma--"
" Ngak ada tapi-tapian Putra, kamu akan berangkat besok karena, pesawat yang akan kamu naiki akan berangkat jam sembilan pagi." potong Farhan yang tidak mau mendengarkan alasan apapun yang keluar dari mulut putranya.
Putra hanya menghembuskan nafasnya dengan kasar dan menganggukkan kepalanya petanda ia menyetujui ucapan kedua orang tuanya. Lagian percuma saja jika dia terus menolak dengan cara apapun jika akhirnya keputusan orang-tuanya itu lebih utama tanpa bisa di ganggu gugat.
Putra kembali ke dalam kamar, dan ia mendapati Cici sudah tertidur pulas di atas ranjang king size miliknya.
Laki-laki itu melangkah menuju lemari dan langsung mengambil dua buah koper untuknya dan untuk sang istri yang kini tengah tertidur pulas tanpa tau jika suaminya sudah kembali ke dalam kamar. Putra masukkan beberapa helai pakaiannya ke dalam koper miliknya dan yang terakhir dia memasukkan pakaian istrinya ke dalam koper milik istrinya itu.
Sekitar setengah jam putra membereskan semua keperluan mereka dan sekarang ia naik keatas ranjang dan ikut tidur bersama istrinya. Menatap sebentar wajah ayu sang istri dengan mulut sedikit terbuka. Tampak lucu bagi Putra. Putra sedikit terkekeh dengan cara tidur istrinya yang sangat lucu. Sebelum Putra tidur dengan sempurna laki-laki itu mendekat wajahnya pada sang istri, hendak memberikan ciuman selamat malam. Namun hal itu tidak terjadi lantaran Cici berbalik memunggungi suaminya.
TBC
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!