Satu minggu sudah berlalu, dan hari ini Putra beserta keluarganya akan datang ke rumah Mila untuk melamar anak semata wayangnya tersebut. Tepat pukul delapan malam, putra beserta kedua orang-tuanya sudah berada di rumah yang di penuhi bunga bagian depannya.
Tok... Tok... Tok...
Mila yang mendengar suara ketukan pada pintu rumahnya langsung saja melangkahkan kakinya menuju pintu. Mila sudah yakin yang datang itu adalah calon besannya.
"Assalamu'alaikum," Salam ketiga orang yang datang ke rumahnya. Dua calon besannya dan satu jelas calon menantunya.
"Waalaikumsalam," jawab Mila dan mempersilahkan tamunya untuk masuk dan duduk di sofa ruang tamu.
Di dalam rumah Mila, Nini celingak celinguk melihat keberadaan putri dari sahabatnya.
"Mil, putri kamu mana?" tanya Nini kepada Mila. Wanita itu penasaran kenapa anak gadis sahabatnya tidak menampakkan batang hidungnya. Apa mungkin dia masih di dalam kamar. Sungguh Nini sangat ingin bertemu degan calon menantunya.
"Ehh iya, tunggu dulu ya aku panggilkan." jawab Mila melangkah menuju kamar dan putri yang berada di lantai atas.
Mila menaiki tangga dan masuk ke dalam kamar sangat putri untuk mengajaknya ke bawah untuk menemui calon mertua berserta calon suaminya. Tanpa babibu Cici langsung mengikuti Mamanya untuk turun ke bawah dan ia tak menegakkan kepalanya melainkan menunduk seperti orang ketakutan.
Sampai di bawah, Mila duduk di tempat semula. Sedangkan Cici ia duduk di samping Mila. Bahkan gadis itu tidak mau menegakkan kepalanya sedikitpun. Hatinya menolak perjodohan ini. Namun apa boleh buat jika orang-tuanya memaksa dirinya.
"Ehhh, menantu Mama cantik sekali," puji Nini menatap gadis yang duduk di samping Mila. Sungguh dia sangat menyukai gadis itu.
Cici yang mendengar pujian tersebut hanya mengembangkan senyumnya sebentar sambil melihat wanita paruh baya yang akan menjadi mertuanya. Lalu gadis itu kembali menunduk.
"Sayang, lihat deh calon istri kamu cantik loh." ucap Nini kepada Putra. Putra yang sedari tadi fokus ke ponselnya, sekarang menghadap ke arah Cici dan begitu pun dengan Cici, ia juga menghadap ke arah putra saat wanita berbicara kepada anaknya.
"Ba--bapak," ucap Cici terbata-bata. Sungguh dia sangat terkejut jika laki-laki yang akan di jodohkan dengan dirinya tak lain dan tak bukan gurunya sendiri.
"Ci... ci," ucap Putra yang tak kalah terbata-batanya. Sungguh ini juga membuat laki-laki itu terkejut. Anak murid yang dia ajari akan menyandang status sebagai istrinya. Yang benar saja. Terdengar sangat lucu ditelinga Putra.
"Kalian sudah saling mengenal?" tanya Nini sambil melihat ke arah Putra dan Cici secara bergantian. Pasalnya dia tidak tau jika calon menantunya itu satu sekolah dengan tempat sang putra mengajar.
"Iya Ma, dia murid aku di sekolah." jawab Putra sambil menatap Cici dengan tatapan yang tak bisa di tebak. Ntah apa yang difikirkan Putra saat ini.
Setelah mendengarkan jawaban dari Putra, semua keluarga melemparkan senyumannya kepada mereka berdua karena, mereka tak menyadari bahwa keduanya sudah saling mengenal. Memang dari awal mereka tidak menceritakan apakah anak mereka berada di tempat yang sama atau bukan. Mereka hanya membahas menjodohkan kedua anak mereka. Tanpa menyinggung yang lain.
"Lah, kenapa semuanya pada senyam-senyum ngak jelas sih?" tanya Cici menatap orang-tuanya serta orang-tuanya dari gurunya.
"Hmm, ngak apa-apa kok Sayang," jawab Mila kepada sang putri.
Sekitar lima menit kemudian, mereka akan menentukan hari pernikahan Cici dan putra.
"Gimana kalau dua hari lagi pernikahan anak-anak kita Mil?" tanya Nini denagn antusias.
"Apa?" ucap Putra dan Cici serempak sambil melempar pandang satu sama lain. Mereka sangat terkejut dengan ucapan Nini. Bukankah pernikahan itu bukanlah hal yang mudah. Dua hari itu bukan waktu yang lama. Bahkan itu sangat sebentar, hanya hitungan jam saja.
"Ehhh, ternyata kalian berdua ngak sabaran untuk menikah nih, buktinya saja ucapannya serentak gini," goda Papa Putra sambil ketawa, diikuti dengan yang lainnya. Bahkan mereka menyetujui ucapan Papa dari Putra.
Putra dan Cici hanya menghembuskan nafasnya dengan kasar dan menerima ketetapan tanggal nikah mereka. Bahkan untuk komentar saja rasanya mereka tidak akan mendapatkan keinginan. Bukan tak mau membantah, hanya saja mereka sudah tau bagaimana sifat kedua orang-tua mereka masing-masing. Yang tak akan mau menerima usulan dari mereka. diam, ya hanya diam yang bisa mereka lakukan saat ini.
Sekitar jam sepuluh malam, Putra dan keluarganya sudah pergi dari kediaman Mila untuk menuju rumah mereka. Tanggal nikah mereka juga sudah ditentukan. Yang akan mereka lakukan hanya mempersiapkan kebutuhan untuk pernikahan anak mereka dua hari lagi.
Sedangkan Cici, ia hanya memanyunkan bibirnya sepeninggal keluarga Putra. Sungguh dia tak ingin semua ini terjadi. Masa mudanya masih panjang namun orang-tuanya malah menjodohkan dirinnya di saat dia masih menduduki bangku SMA. Padahal dia masih ingin menikmati masa kesendiriannya untuk beberapa tahun kedepan.
"Sayang, bibirnya kok di manyunin sih?" tanya Ayah Cici dengan gemas kepada sang putri.
"Ngak papa kok Yah," jawab Cici dan langsung berdiri, lalu kaki jenjang itu berlari menuju kamarnya. Ingin sekali dia menangis dengan keras lantaran takdir hidupnya seperti ini. Takdir yang menurutnya sangat kejam.
Di dalam kamar, Cici langsung menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Memejamkan matanya dengan paksa untuk menghilangkan rasa gundah yang saat ini dia rasakan.
\*\*\*
Dua hari sudah berlalu. Kini Cici sedang berada di dalam kamarnya bersama seorang perias pengantin. Tak ada senyum yang menghiasi wajah cantik gadis itu. Sungguh dia belum bisa menerima sepenuhnya pernikahan ini.
Tak lama setelah itu, pintu kamar Cici terbuka dan masuklah wanita yang melahirnya dirinya dengan senyum mengembang di bibirnya. Meski sudah tak lagi muda, namun wanita itu tampak masih cantik.
"Masih lama lagi Mbak?" tanya Mila kepada perias pengantin. Karena yang dia lihat tangan perias itu masih berada di sekitaran wajah sang putri.
"Ngak Buk, sebentar lagi." balas perias tersebut.
Sekitar lima menit, Cici sudah selesai di rias dan ia mengenakan baju pengantin berwarna putih beserta hijab yang senada dengan bajunya. Lalu, Mila membawa Cici menuruni anak tangga dengan langkah yang pasti agar Cici tidak terjatuh saat turun. Lantaran baju gamis yang dia pakai memiliki lebar yang besar.
"Wah, pengantin wanitanya cantik banget." puji semua tamu. Ya menang itu nyatanya. Gadis itu memang sangat cantik, tidak dirias saja sudah cantik, apalagi kalau sudah dirias seperti ini. Sudah jelas akan banyak lontaran kata pujian untuk dirinya.
Putra yang mendengar pujian tersebut, langsung menoleh ke arah Cici tanpa berkedip sedikit pun. Ya pujian semua orang memang benar adanya. Gadis itu tampak seperti bidadari yang baru saja turun dari langit. Putra tak dapat menampik kecantikan gadis yang sebentar lagi akan menjadi istrinya.
Sekarang Cici sudah duduk di samping Putra, dan Putra tidak juga melepaskan pandangannya dari calon istrinya. Sungguh sayang rasa jika dia mengalihkan penglihatannya dari bidadari yang akan menjadi istrinya.
"Ya sudah Pak, mari kita mulai ijab qobulnya." ucap penghulu sambil menyodorkan tangannya pada Putra.
Putra tak merespon ucapan pak penghulu melainkan tetap melihat wajah cantik Cici. Sungguh dia tak sadar jika saat ini Bapak penghulu tengah berbicara dengan dirinya. Seakan-akan seluruh yang ada disini hanya patung yang tak dapat berbicara.
"Sayang, ayo mulai." ucap Nini sambil menyenggol pinggang Putra.
"Ehhh, iya Pak maaf," ujar Putra dengan terkejut. Sungguh dia tadi tidak mendengar jika Pak penghulu sudah berbicara dengannga. Dengan segera dia meraih tangan Pak penghulu yang masih terulur didepannya.
Sekarang ijab qobulnya sudah selesai dengan satu tarikan nafas oleh Putra, dan semua tamu yang hadir mengucapkan kata sah bahwa Cici dan Putra sudah sah menjadi sepasang suami istri. Setelah itu, Pak penghulu membacakan doa untuk kedua pasangan tersebut.
***
Sekitar jam tujuh malam, kedua keluarga sedang duduk di ruang tamu, termasuk Putra dan Cici.
"Sayang, malam ini kamu akan pergi bersama suami kamu dan menginap di rumahnya," ujar Mila kepada anak semata wayangnya.
"Kenapa Bun?" tanya Cici yang tak mengerti ucapan Bundanya. Kan rumahnya disini kenapa harus pergi bersama laki-laki yang baru beberapa jam yang lalu mejadi suaminya.
"Karena, sekarang kamu sudah memiliki suami. Dan kamu harus ikut kemanapun suami kamu pergi." ucap Mila dengan tegas di sertai senyuman di bibirnya.
"Iya Bun," ucap Cici dengan menundukkan kepalanya. Dia pasrah dengan ucap sang bunda. Lagian dia juga tau meski sedikit, jika seorang wanita yang sudah menikah pasti akan ikut dengan suaminya.
Sekarang waktunya Cici akan meninggalkan Ayah dan Bundanya karena, ia akan pergi ke rumah suaminya. Tepat jam sepuluh malam, Cici sudah sampai di rumah Putra. Di dalam rumah, Cici celingak celinguk ntah apa yang ia cari saat ini.
"Sayang, kamu cari apa?" tanya Farhan, Papa dari Putra. Dia heran meluhat menantunya melihat kesana-kemari. Ntah apa yang dia cari menantunya itu.
"Hehe, aku mau cari kamar mandi Om," ucap Cici sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. Dia sudah tidak tidak tahan untuk menangani air pipisnya yang dirasa sudah di ujung tanduk.
"Jangan panggil Om dong Sayang, panggil Papa," ucap Farhan kepada menantunya dengan lembut. Kan aneh jika seroang menantu memanggil dirinya dengan sebutan Om.
"Hehe iya Om, ehh maksudnya Pa," ucap Cici.
"Ya sudah, Put antar Cici ke kamar mandi." ujar Farhan kepada Putra.
Putra hanya merespon dengan anggukan ucapan Farhan lalu, ia membawa Cici ke kamar mandi ruang tamu. Karena kalau ke kamar mandinya berada di lantai dua. Bisa saja gadis itu akan mengeluarkan pipisnya di tengah jalan jika memang dia sudah sangat sesak.
"Bapak, jangan masuk ya?" ucap Cici dengan memperlihatkan gigi putihnya. Dia takut Putra akan ikut masuk ke dalam kamar mandi. Meski mereka sudah sah, bukan berarti seenaknya Putra masuk begitu saja.
"Kenapa saya ngak boleh masuk? Kan saya suami kamu?" ucap Putra dengan senyuman.
"Ihh, Bapak pokoknya nggak boleh masuk. Titik!!" Cici langsung saja menutup pintu kamar mandi dengan keras. Sungguh dia sudah tidak tahan lagi untuk pipis.
Putra terkejut karena gadis itu menutup pintu didepannya cukup keras dan laki-laki itu terjingkat kaget. Membuat keseimbangan tubuhnya tidak sempurna. Laki-laki itu terjatuh ke lantai marmer, karena kakinya bersilangan sangking kagetnya.
"Auuuu," ringgis Putra di lantai dan langsung berdiri dan menghadap ke arah Cici dengan tatapan sangat tajam, karena gadis itu sudah keluar dari kamar mandi.
Cici yang melihat ekspresi Putra yang sangat seram membuatnya ketakutan.
"Pak, aku minta maaf ya Pak," ucap Cici dengan suara sedikit serak. Takut laki-laki itu akan dendam kepada dirinya. Apalagi Putra masih duduk di lantai marmer yang terasa dingin.
Tetapi, Putra tak mengubbris ucapan dari Cici dan ia berdiri dari lantai. Mendekat ke arah istrinya yang tampak sedikit pucat. Mungkin saja dia takut Putra akan melakukan sesuatu kepada dirinya untuk balas dendam.
Sekarang wajah mereka sudah sangat dekat dan bahkan deru nafas keduanya pun sudah sangat terasa. Cici semakin takut dengan apa yang dilakukan Putra saat ini. Dia berfikir apakah Putra akan menghempaskan kepalanya pada tembok di belakangnya. Atau bahkan lebih. Sungguh dia sangat takut untuk saat ini.
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
Erna Fadhilah
akhirnya sah jg mereka
2022-09-08
1
Maulana ya_Rohman
🙈🙈🙈🙈🙈🙈🙈🙈🙈🙈🙈🙈🙈🙈🙈
2022-08-08
3
iin indartik
aku mampir thor
2022-08-07
2