Dalam simpuhan, Dibi menyeka air matanya, memaksa buliran bening itu agar berhenti membasahi pipi.
Hidung memerah dengan binar mata masih berkaca kaca, menghiasi wajah tampan tapi suram, karena rasa sedihnya yang masih dalam keadaan berduka.
Teruntuk Yang Tercinta
Dibi membaca dalam hati pada tiga kata tersebut yang tertulis di sampul amplop putih itu.
"Tulisan ini..." Gumamnya. Ia sangat mengenali coretan tangan mendiang Pelangi.
Penasaran, Dibi pun akhirnya membuka surat tersebut seraya melangkah tanpa menimbulkan suara derap kaki telanjangnya menuju ke kursi dekat bed bayinya.
Hai Kak Dibi....
Apakah aku harus menyapamu, seperti...apa kabar? Di surat ini?
Heem... tapi baiklah! Untuk suami yang aku cintai dan sayangi segenap jiwaku. Kau....Kak Dibi, apa kabar? Semoga selalu bahagia bersama orang yang selama ini kau puja-puja di depan maupun di belakangku.
Saat surat ini jatuh di tanganmu, baik itu cepat atau lambat...Maka mungkin, ragaku pasti tak ada lagi di muka bumi ini. Pelangi yang manja, menyebalkan dan terkesan memaksa kehendaknya padamu, telah pergi dan tak kembali lagi! Pribadi wanita yang kanak-kanakan ini pergi dengan bibir tersenyum manis.
Tes...!
Dibi tidak kuasa. Sesaat, ia menahan penglihatan dan bibirnya untuk tidak membaca surat itu.
Kembali, buliran air gratis dari matanya menganak dan jatuh tanpa permisi, tatkala membaca tulisan pergi dengan bibir tersenyum manis. Pelangi pasti berbohong padanya, karena tidak ada penolakan hati yang membuat wajah berseri-seri dengan bibir terlukis indah seperti bulan sabit.
Pelangi mungkin saja menghiburnya. Ya... pasti itu! Ia tahu Pelangi sangat terluka hati.
Masih penasaran, Dibi kembali menguatkan seluruh saraf-sarafnya untuk mengetahui isi surat tersebut.
Sebelum membacanya lagi, ia mengehela nafas panjang yang terasa sesak di dadanya.
Pergi dengan membawa cinta kasihku yang tak pernah kau butuhkan, memang sangat menyedihkan buatku yang rapuh.
Tapi sungguh, aku pergi dengan keadaan tersenyum indah seperti lukisan bulan sabitku yang ada di kamar kita, karena aku telah mampu menjaga kesehatan janin yang aku kandung dalam keadaan diriku yang penyakitan ini.
Ku mohon! jaga buah hati kita dengan baik, meskipun kau tidak mencintai wanita yang melahirkannya.
"Hiks...hiks... hiks..." Dibi sesunggukan. Bibirnya bergetar, ditambah dada yang tadinya sesak kini terasa ada ribuan anak panah yang tertancap.
"Pelangi, beri waktu untuk ku meski itu hanya sehari saja. Hiks...hiks..."
Dibi semakin pilu. Air mata berderai jatuh membasahi sehelai kertas yang dipegangnya. Hidung itupun saat ini mengeluarkan cairan encernya.
Ia menyesal! Dibi ingin mengulang waktu bersama Pelangi meskipun satu jam saja.
Kemarin, Pelangi minta digendong dan disuapin nasi olehnya dengan permintaan menggunakan tangannya langsung, namun ia menolaknya dengan alasan jangan manja. Andai ia tahu kalau itu sikap manja terakhir Pelangi, maka Dibi akan menggendong dan memberikan suapan untuk istrinya sampai kenyang. Menyesal dan menyesal. Kata itu meneriaki langkah hidup Dibi sekarang.
Ia ingin mengatakan kalau hati itu sebenarnya, sudah dilukisi indah nama Pelangi di sana, bukan wanita lain lagi. Ia terlambat! Tidak ada kata-kata yang bisa mendeskripsikan penyesalan terdalam yang melukai hatinya. Sakit nan perih, sangat!
"Aku akan menjaganya dengan baik, Pelangi. Percayalah padaku. Kamu bisa mengawasiku dari atas sana. Hukum aku lebih dalam lagi kalau aku menyia-nyiakan buah hati kita," parau Dibi bertekad. Mungkin dengan cara mendedikasikan hidupnya hanya terkhusus untuk anaknya, maka Pelangi akan tenang di alam sana.
Arpina, beri nama itu untuk putri ku. Aku menyukai makna simpel itu... 'terbitnya matahari.' Aku ingin kecerahan dalam hidupnya, Kak. Jangan seperti aku, Pelangi...nama dan panorama yang indah tapi hanya semu belaka. Pelangi tidak bisa ada terus, ia hanya bayangan hujan yang kadang hadir dalam ketidakpastian. Meski hadir, maka akan tenggelam sekejap mata di bumantara sana.
Maafkan aku! Pelangi ini sudah pernah menjadi orang ketiga dalam hubunganmu, bersama wanita yang telah kau dambakan. Aku seorang pelakor, hahahha. Miris sekali!
Dibi menggeleng seraya mengusap air matanya. "Kamu bukan pelakor, Pe. Aku lah yang bodoh, Sayang. Kamu istri sahku."
Kenapa aku sangat memaksakan kehendak? Pasti kau ingin tahu kan, Kak? Seperti yang sering kau tanyakan berulang kali padaku yang mempunyai sifat keras kepala ini.
Alasannya adalah...Aku hanya ingin merasakan kebahagiaan sesaat bersama mu dalam sisa-sisa umurku yang sudah tidak panjang lagi. Meskipun itu hanyalah kebohongan terdahsyat yang aku jalankan. Aku sangat tahu, hati ku yang biasa-biasa saja tak mampu menggetarkan hati mu. Tetapi, apakah aku sama sekali tidak berhak mendapat cinta dari mu, suamiku?
Sebercanda itukah takdir padaku? Takdir tidak memikirkan perasaan ku. Sakit sekali rasanya! Ingin protes, tetapi aku bisa apa? Aku bingung! Ini yang salah adalah takdir atau aku yang salah nan terlalu bodoh karena terlalu jatuh cinta pada orang yang sudah terang terangan menolak ku sampai beberapa kali.
Kak...Mungkin bagimu, kehilangan aku bukanlah hal yang serius. Karena semua orang tau, kamu itu hebat dari segala bidang, jelas banyak orang yang menginginkanmu. Mungkin ketika aku pergi, tak sulit bagi kakak untuk mendapatkan kebahagiaan, karena aku tidak penting bagimu! Aku tidak akan dikenang olehmu.
Lagian ... di sini aku yang salah. Aku yang sudah berlebihan karena terlalu mencintaimu. Sedang kakak tidak pernah membalas cinta ku. Memikirikan sedikit perasaan ku saja, kakak tidak pernah. Dengan itu, aku mundur dengan cara pergi dan tak kembali lagi.
Kenapa aku menyembunyikan sakit ku? Pasti kau dan semua orang terdekat ku menanyakan itu setelah kenyataan terungkap, bukan?
Alasan ku...aku tidak ingin membuat kalian di depan mata sayu ku bersedih, menangis dan mengasihani aku seperti pengemis. Ah... meski aku sebenarnya pengemis cinta mu yang tak mampu ku gapai. Sekali lagi, aku tidak menyalahkan mu, Kak. Karena hati tidak bisa dipaksa.
Aku malah bersyukur dengan penyakit yang ku derita. Karena adanya penyakit itu, perasaan ini pun akan mati bersama ragu ku.
Terimakasih untuk semuanya. Dan bahagia selalu, Kak. Salam tulus dariku.... Pelangi yang hilang.
Tes...
Dug...
Dug...
Sesak begitu sesak, Dibi menangis terisak-isak seraya memukul dadanya yang susah bernafas karena tangisnya tidak bisa dihentikan.
Surat dari Pelangi sangat menyayat hatinya.
"Aku tahu, Pelangi. Menangisi kematian mu adalah salah, karena mungkin kamu tidak tenang di sana. Tetapi, aku tidak bisa mengikhlaskanmu, Istriku. Kamu pergi dengan cara menaruh besi panas di jantung ku. Kamu harus kembali, Pelangi. Harus! Jangan siksa aku dengan kata penyesalan. Hiks...hiks... maafkan aku. Maaf dan maaf..."
Perlahan, tubuh yang biasanya kokoh itu, bersimpuh di lantai dengan surat ia dekap di dada. Berharap surat bekas tangan Pelangi tersulap jadi raga wanita yang baru tadi siang dikuburkan. Ia ingin memeluk Pelangi-nya. Ia sudah merindukan wanita itu.
Ia mau keajaiban! Dibi menangis dengan meracau seperti orang gila yang ingin menuntut Tuhannya.
"Kembalikan, Istri ku! Ku mohon, Tuhan! Beri aku kesempatan ke dua..." pintanya dalam simpuhan nya. Meskipun itu mustahil, tetapi Pria yang berprofesi sebagai polisi itu semakin menuntut.
Ceklek...
"Dibi...." Bintang, Mamanya yang baru masui kamar itu, berlari kecil menghampiri Dibi yang menangis sesenggukan.
"Sayang..." Bintang merengkuh iba anak satu-satunya. "Kamu tidak boleh seperti ini terus, Nak. Kamu pasti bisa!"
Dibi menggeleng kecil. Mata berkabut air mata itu menatap kosong Sang Mama.
"Ma, Pelangi marah padaku, Ma. Bilang padanya agar kembali lagi. Aku akan mengutarakan perasaan ku. Ia harus tau kalau aku sangat mencintainya, meskipun aku terlambat menyadari hati ku yang bodoh ini."
Bintang tidak tahu harus berkata apa untuk menghibur kesedihan anaknya. Ia juga sangat kehilangan menantu sekaligus anak dari sepupunya itu. Pelangi sudah seperti anaknya, bukan menantu.
"Nak...kamu harus kuat! Demi putri kalian." Bintang menyeka air mata anaknya.
"Arpina. Nama putri kami adalah Arpina, Ma. Cantik 'kan?" racau Dibi.
Bintang mengangguk dengan mata yang tadinya kering kini ikutan basah.
"Pelangi yang memberikannya sendiri, Ma." Terang Dibi dengan suara paraunya.
"Dengan itu, bangkitlah! Jalanin hidup demi anak yang telah diberikan Pelangi padamu. Buktikan rasa cinta mu ke Pelangi melalui buah hati kalian!" Seru Bintang memberikan semangat untuk sang anak.
Dibi hanya diam dalam kekosongan. Mungkin, ia akan bernafas tetapi sebenarnya ia sudah mati bersama Pelangi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
Rosdiana Dian
sumpah nyesek,,🥲yah semoga aja ada keajaiban
2025-03-03
0
guntur 1609
mampus kau dibi, nyesal kau kn
2025-01-04
0
3sna
ini suraat
2024-11-04
0