SENJA DI BIBIR PUTIH
TANGAN yang tengah menyentuh pucuk - pucuk ilalang dengan sela - sela jemari seraya melangkah pelan dengan mata menahan silaunya Sinar Mentari yang menyinari wajah, seperti ingin merasakan kembali bahwa ilalang-ilalang di sisi jalan,
Benarlah sama dengan yang dahulu pernah melekat di telapak tangan kasarnya.
Benarlah sinar yang hangat kini sama dengan yang pernah menyengat kulit di masa kecilnya.
Langkah kakinya sesaat terhenti, menatap jauh di mana hembusan angin tengah jua menerpa di wajah.
Bukan di ketinggian Everst kini kakinya berpijak namun di ketinggian rindu masa lalunya kini kakinya berada.
Sayup kenangan seperti terkubur di balik rona violet yang menyebar di seluruh dedaunan yang hijau,bungkam rasa terlihat jelas di bibir yang tebal, di wajah yang mulai tertunduk seakan malu menatap jelitanya Mentari yang tengah tersenyum terang.
Hela nafas pun perlahan tertahan dengan kembali berjalan menapak lagi di jalan yang kian menanjak dan menyempit.
Suara-suara alam yang terdengar masih lagi dapat dengan jelas teringat bersama tatap mata yang menatapi jemari kakinya.
"Ada apa dengan langkah ini? Seperti tumpul di tanah yang subur, seperti mengambang di ombak yang tenang?"
Ya, suara hatinya seperti terpantul di dinding cadas dan berpakis yang tadi sempat di lalui.
Sesaat mendongakan kepalanya. Coba tersenyum diantara biru cerahnya langit, meski senyum di bibir tiada seindah putihnya Awan yang bergumpal tipis. Sekedar mengusir gulananya hati.
Desir memang terasa di sekujur tubuh, rasa di hati pun menyanjung tenangnya alam yang baru terjaga.
Hanya hingar Knalpot motor gunung itu pun terdengar sayup di kejahuan, tiada mengusik hati yang tengah memeluk kembali suasana yang telah di tinggalkan.
Rindu, ya! Rindu yang terasa kini kian menggigit hati akan aroma alami di balik rimbunya pepohonan lereng Bukit.
Senyumnya kembali terukir meski begitu kaku, sekaku jalan di belakang langkahnya penuh koral yang tak rata.
Lukijo mendehem. Sedikit kering di tenggorokanya.
kini Ia telah kembali pulang, meninggalkan jejak di tepi pantai dan pasar yang menjadi warna dalam perjalanan langkahnya.
Kini di Bukit, di balik kabut Ia akan terlena dan terjaga. Namun ada yang mengusik rasa di hati.
Ia tadi berniat mengunjungi sebuah Rumah di mana di dalamnya ada mesin genset yang selalu berbunyi di kala hari menuju gelap, di mana ada Pohon Randu bercabang seperti ketapel raksasa di samping depan halaman-nya, dengan Apotek hidup yang terawat, Kini tinggal rumput-rumput liar dan ilalang yang menumbuhinya.
Rumah yang ada kini tiada terawat dan tidak berpenghuni.
Kembali Lukijo mendehem.
Coba menghilangkan usikan di hatinya, menatap ke bawah lereng Bukit.
Benarlah! Hanya wajah Bukit yang tiada berubah, berkabut dalam dingin di saat malam. Apa yang pernah Ia tinggalkan seperti turut meninggalkan pula. Sepertinya kini Ia harus melewati kabut dengan lebih panjang lagi sendiri.
Meski kesendirian bukan lah hal yang baru baginya, namun kini semua benar-benar menghilang, hanya sapa ramah dari Bu Marimin yang masih tersisa menyambutnya seperti dahulu.
"Jo! Apa kabarmu Jo? Masuk Jo! Masuk!"
Wajah Bu Marimin seakan tiada menduga saat melihatnya pagi kemarin. Dan seperti tanpa jeda Bu Marimin menanyakan perihal keadaanya selama berada di kampung orang.
Dan Ia pun kini telah mengetahui bahwa Nasib sahabatnya telah pergi bersama keba- hagianya yang telah di peroleh, sayangnya Ia tidak sempat melihat kebahagian itu.
Lukijo mengulum senyumnya menatap bebatuan koral di kakinya mengingat akan wajah Bu Marimin yang terlihat suka cita menceritakan keadaan Nasib.
"Nasib yang beruntung" gumamnya dengan mengehela nafas pelan.
Kini Ia hanya bisa berharap akan kelanggengan dan kebahagian sahabatnya itu.
"Ada yang terbangun di dalam selimut!"
Lukijo langsung celingukan mencari asal suara yang terdengar. membuyarkan semua angannya barusan.
"Ada yang terbangun di dalam selimut!"
Lukijo menggaruk kepalanya.
Terdengar seperti di bawahnya namun jelas di atasnya yang tertutup semak dan ilalang.
"Selimut dekil di saat malam," "Ternyata kabut membuatnya terbangun."
Meski penasaran dan jauh di lubuk hati ada rasa geli mendengarnya Lukijo mesem tertahan dengan mengamati ke dua kakinya yang memakai jeans kw dengan merek ternama.
"Apa karena dingin? atau .., atau! Atau?"
Kembali suara seperti orang yang tengah marah terdengar.
Dengan cepat Lukijo melangkah menuju asal suara yang jelas berada di puncak Bukit, sedikit lagi Ia pun memang hampir sampai di atas.
Sibakan tangannya akan semak yang menutupi jalan setapak membuat suara desik beradu pada daun-daun ilalang. Matanya pun tertuju pada puncak Bukit.
"Aku malu! Aku malu! Mengetahui apa yang sebenarnya terjadi,dasar enggak punya hidung! dasar!!!"
Lukijo langsung menghentikan langkahnya, kakinya seolah tertahan dalam akar ilalang yang rapuh.
Perlahan membalikan tubuhnya memutar langkahnya kembali turun.
nyaris! Tanpa suara kini gerak kakinya saat menyibak semak dan ilalang di dengkul dan pahanya sambil menerka-nerka suara siapakah yang berada di atas Bukit?
"Joglo!"
Lukijo langsung tercekat,matanya seakan terbeliak ke depan.
Joglo, sebutan Rumah adat Jawa itu seperti pernah Ia dengar dan pernah akrab di telinganya.
Lukijo kembali membalikan tubuhnya melihat ke arah atas Bukit, pikirnya seolah menembus ilalang yang tengah berdesik tertiup angin.
"Joglo!!"
Wajah Lukijo berubah tegang, suara di atas seperti menarik langkahnya untuk kembali naik ke atas.
Desir kian deras mengalir di antara pelan langkah kaki yang mendaki, seperti takut terdengar orang di atasnya.
Lukijo menahan nafasnya, saat matanya beradu dengan mata wanita yang tengah berdiri tidak jauh darinya, tengah tersenyum seolah memang tengah menanti dirinya.
Mematung diam dengan sedikit sekali senyum yang kini Ia lakukan, takut jika wanita di depanya salah tersenyum kepadanya.
Cantik, seperti di alam virtual melihat wajah dengan uraian rambut yang terkena angin, Lukijo memundukan pandanganya.
"Hai Jo!"
Lukijo berusaha melihat kembali wajah wanita yang menyapanya sembari mendekatinya. Desir kini seakan menerpa di hati seperti membekukan, kelu dan kaku terasa lidah untuk membalas sapa di matanya, dan wanita di depanya....
"Apa Kau masih ingat padaku jo?"
lemas terasa tangan Lukijo saat suara di bibir yang merah mengulurkan tangan kepadanya, berbonus senyum yang sungguh membuat keringat di wajahnya kian tiada terbendung laksana Banjir bandang Bro!.
"Lupa ya, Jo?"
Lukijo mesem seperti biasa,mesem pahit! sepahit buah maja yang mengkel.
"Aku maklumi lah, soalnya sudah lama sekali."
Lukijo kembali tertunduk, coba mengingat-ingat siapakah gerangan wanita cantik di depanya, dan sepertinya Ia memang belum pernah bertemu denganya.
Sebuah lesung pipit kecil terlihat ketika matanya terangkat perlahan melihat senyum yang tengah terlukis, sederet gigi putih pun membuatnya semakin terpana.
Seperti suhu tubuh yang turun dengan drastis, rasa gerogi mulai mencekoki, diri kembali begitu terasa kerdil dari segala keindahan yang di lihat.
Cantik! Kata yang selalu membuatnya semakin menyesali diri.
"Jo,mungkin sebaikanya Aku memperkenalkan diri." Masih dengan senyum tipis.
Lukijo seperti kena mental, penyakit lamanya kambuh lagi, rasa gerogi menghinggapi di tubuhnya.
Ia biasa melihat wanita cantik meski sekedar lihat di jalan atau di pasar, tapi di dekati apalagi di senyumi jarang sekali terjadi, bisa sekali di hitung dengan kalender dari dekade ke dekade yang lain dan seterusnya.
Lukijo makin memutar otaknya dengan hanya terdiam.
" Shely."
Lukijo sesaat terpana.
"Seindah itu ?" Suara hatinya mendengar nama yang baru saja terucap.
Dengan kaku Ia pun menjabat tangan Shely.
"Aku saudara Cahaya! Apa Kau ingat?"
Shely berusaha mengingatkan kembali Lukijo.
"Shely? Shely?" Lukijo dalam hati, berusaha mengingatnya lagi.
Dan sepertinya kini Ia mengingatnya.
Jika memang Shely yang dahulu pernah memanggilnya joglo! Yang pernah tinggal seminggu bersama Cahaya dan sering di ajak bermain ke Rumahnya untuk ke atas Bukit, tentunya kini Ia merasa begitu pangling.
Hanya kata Joglo yang masih dapat teringat, sedang wajah Shely jelas berubah.
Wajar saja rasanya jika Ia tidak lagi mengingatnya.
" Begini aja Jo, Aku tinggalkan Kau dulu untuk berpikir. Aku hanya mau memberi taukan, Cahaya menyuruhmu ke rumahnya,"
"Capek Aku sedari tadi menunggumu di sini,"jelas Shely.
Lukijo mengangguk.
"Dah, Jo!"
Lambai Shely dengan sumringah.
Lukijo mesem mengangguk lagi.
"Cahaya?" Pikirnya seperti mengikuti gemulai tubuh yang beranjak pergi.
Rona wajah kembali berseri, Rona wajah ter-terpa Angin yang berhembus.
Desik ilalang laksana bernyanyi lagi, Ia tidak sendiri.
Lukijo segera mendekati tepian Puncak Bukit. Matanya mencari di mana atap Rumah Cahaya yang tertutup hijaunya rimbun pepohonan. Sebuah jalan lintas nampak pula terputus-putus terhalangi.
Jauh sekali terlihat.
Sejauh hatinya berharap,bisa kembali melihat Cahaya yang biasa Ia memanggilnya,
"Watiiiiiiii!!!"
.********
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments