Lukijo menarik tangan Wati untuk keluar dari Rumah.
Wajah Wati yang bersungut jengkel mendahului langkah Lukijo.
Lukijo melihat tanganya yang seharusnya menarik jadi di tarik Wati.
"Apa yang ingin Kau tunjukan Jo?"
Wati dengan berdiri di dekat jalan.
Nampak Bu Marimin meperhatikan dengan senyum gelinya.
Tanpa kata Lukijo menunjuk Matahari yang hampir menempati di atas jidat kepala.
Bukan kepalang rasa jengkel bercampur hawa marah di dada Wati.
"Dari pada susah-susah menunggu di atas bukit," jelas Lukijo melihat pias wajah di depanya.
Wati berjalan mundar-mandir di depan Lukijo, seperti bingung mencari kata yang tepat agar bisa di mengerti.
"Lebih baik menunggu di depan rumah sambil menyapu," tambah Lukijo dengan tangan mengikuti kemana tubuh Wati bergerak. Mengingat tangannya masih lagi di pegang oleh Wati.
"Benar sekali Jo! Benerrrrrr!"
Seru gemes bercampur hawa jengkel di bibir Wati.
"Emang bener Wati, ada yang salah?"
Wati segera melepas pegangan tanganya seiring gerak kakinya, langsung mengurut-urut keningnya.
Kepalanya tiba-tiba migran dengan sikap enggak pahamnya! Lukijo.
"Shely Jo! Shely!" gereget Wati dengan kedua tangan terkepal.
"Aku enggak tega membangunkan-nya, Wati," ucap Lukijo menjelaskan.
"Kenapa enggak Kau biarkan saja Shely bangun siang sekalian?"
Kekesalan Wati kian memuncak.
Lukijo mesem pahit.
Semalam Ia memang sengaja membiarkan Shely yang ketiduran di dalam Rumah Pak Prapto, penghuni Rumahnya sekarang. Hingga Matahari pagi melawati waktu terbitnya, barulah Ia membangunkan-nya. Hal itulah tentunya yang membuat Wati uring-uringan.
"Aku selalu menghargai itikad baikmu Wati," pelan Lukijo.
"Buktinya? Kau sia-siakan!"
Lukijo menghela nafasnya.
"Aku hanya ingin membantu sebisaku Jo," suara Wati perlahan.
"Aku hanya ingin Kau berubah Jo," ungkapnya lagi. Menatap pias yang berkeringat.
Lukijo kembali mesem.
"Apa yang bisa ku rubah Ti, Aku hanya bisa menjalani."
Lukijo tertunduk, sorot mata Wati yang membuatnya.
"Aku ingin Kau berusaha lagi."
Lukijo kembali mesem.
"Aku sudah berusaha, mengikhlaskan semua yang ada di setiap perjalanan hidupku."
"Bukan itu ... Jo." Wati seperti ingin menangis dengan rasa kesalnya.
"Sampai kapan Kau seperti ini?"
Lukijo menggaruk kepalanya.
Wati seperti terbengong menatapi.
"Nanti lah Ti, kalo udah sampai ku beri tahukan padamu," lugas Lukijo.
Wati langsung mingkem, rasa ingin menangis bercampur ngedongkol mendengarnya.
"Apa Shely kurang cantik Jo?"
Lukijo mesem-mesem.
"Apa kah hidupmu kini bahagia Ti...?"
Wati tersenyum manis.
"Kadang-kadang Jo." Senyumnya semakin lebar.
"Secantik hidup mu Ti," tutur Lukijo bernada semu di pipi.
"Berarti kadang-kadang dong cantiknya?"
"Emang wanita kalo nangis masih terlihat cantik?" Balas Lukijo.
Wati seperti berpikir.
"Enggak usah di pikirin Ti, Nasib pasti bilang padamu jika menangis... cantik, jangan nangis," ucap Lukijo sebelum Wati berucap padanya.
Rona di wajah Wati kian terang, seterang Matahari yang tengah terik. Perkataan Lukijo menggugah kembali masa yang lama telah lewat bersama cintanya.
Rambut pendeknya kini menjadi saksi jalinan yang telah terputus dan berakhir, tergunting waktu dan keadaan.
Semua telah tersimpan rapih dalam bingkai kenangan hatinya.
"Jo, Shely tengah bersama anak-ku di rumah, Aku ingin kau menemuinya." Wati seperti ingin mengusir sebuah angan di benaknya.
"Aku takut Ti, Abang mu galak!"
Lukijo dengan berpaling, berjalan menuju Rumah Bu Marimin.
"Jo! Denger dulu!"
Wati bergegas mendahului langkah Lukijo.
Lukijo tidak menggubris, mempercepat langkahnya.
"Jo, kesempatan baik untukmu Jo!"
Seru Wati menghadang di depan pintu.
"Aku capek gagal terus Ti... jangan memutar lagi harapan yang kosong!"
"Harapan selalu ada Jo! Asal kau mau memulainya lagi!"
"Tapi Shely ...."
Lukijo seperti berat mengucapkan.
"Aku,Aku..."
"Kepalaku sakit Ti, bila dekat orang cantik!"
Terang Lukijo menerobos masuk kerumah.
Wati mesem kesal.
Dan belum sempat rasanya untuk mengikuti langkah yang baru saja masuk,Lukijo kembali menerobos keluar lagi.
"Jo?" Memegang tangan Lukijo.
"Aku lupa Ti...,"ucap Lukijo melihat ke arah di mana tadi berdiri.
Pandangan Wati pun mau tidak mau mengikuti.
"Enggak ada apa-apa Jo?" Wati heran.
Melihat wajah di dekatnya. Keringat dingin nampak menghiasi pula, berkilauan bagai embun ditanah yang gersang.
"Mengkel banget wajahmu Jo?"
Geli Wati lagi.
"Dari pada bosok!" kesal Lukijo menanggapi.
"Kelewat bosok Jo!"
Lukijo menggaruk keras kepalanya.
"Kenapa Jo?apa yang Kau lupakan?"
"Harapan Ku Ti, sepertinya telah hilang di sana...," lirih Lukijo dengan kembali masuk ke dalam.
Bukan kepalang rasa dongkol di kepala Wati , seperti mendengar kokok Ayam di siang bolong. "Harapan pake ditinggalin! " Gemuruh di hatinya.
Namun seketika mereda, wajahnya terlihat senang kembali, dengan senyum termanis Ia pun menyusul langkah masuk Lukijo.
"Jo."
wati mesem-mesem, mendapati Lukijo telah duduk menghadap dapur.
"Harapan mu telah kembali, coba kau lihat!"
Lukijo menoleh pelan.
Nampak di luar Shely mengendari Motor matic telah memasuki halaman.
Lukijo berdiri pelan.
Wati makin mesem,semesem-mesemnya!
"Sambut gehhhhh!" godanya melihat pias Bulan sabit Lukijo. Bukanya semakin bulat sempurna Eh! Semakin kian tertutup mendung.
Basah sudah kerah baju Lukijo, panik sudah rasa dalam hatinya melihat senyum di bibir yang berlesung pipit mendekati.
"Hai Jo!"
Laksana guntur di kelamnya hati, sapa yang di dengar.
Lukijo mesem di antara debar tak karuan hatinya.
Wati meringis geli.
Suara batuk sengaja terdengar dari arah dapur.
Lukijo langsung menoleh, sepertinya batuk Bu-de Marimin menyelamatkan rasa kaku di bibirnya.
"Kevin menangis mencarimu," ujar Shely mendekati Wati.
"Mungkin Kevin mengantuk."
Wajah Wati seperti menyesali akan tindakanya meninggalkan Kevin.
"Jo..."
"Pulang lah Ti...,"sahut Lukijo langsung.
"Cieeeee! mentang-mentang ada Shely! Ngusir nih?"
Wati melihat Shely.
Shely manyun memukul pundak Wati.
"Aduh Jo! Shely nyuruh cepetan pulang!" Wati dengan melihat Lukijo.
"Enggak Jo, Wati bisa aja!" Sangkal Shely.
"Iya udah lah, aku pulang sekarang." Wati seolah tidak ingin mengganggu keduanya.
lukijo terpana, melihat langkah dan senyum Wati yang menjahui.
Senyum yang berdiri di dekatnya pun menyertai.
Terasa kaku kembali tubuhnya, mendengar Motor matic terdengar di bunyikan. Bukan karena kepergian Wati, tapi senyum Shely yang membekukan lidahnya.
"Jo?"
Lukijo tergagap, mesem perlahan menutupi rasa grogi yang mulai menggerogoti.
"Duduk Shel."
"Aku baru duduk."
Telat! Gumam hati Lukijo menyalahkan diri sendiri. Baru saja Shely duduk di suruh duduk lagi.
"Iya udah Aku berdiri aja."
"Jangan Shel!" Lukijo seperti menahan gerak tubuh Shely.
"Aku aja yang biasa berdiri," mesem Lukijo malu di tatapi.
"Di jurang kepunahan maksudmu?" senyum Shely mengembang bagai camar yang putih. Hal itu membuat Lukijo serba salah untuk membalasnya, karena senyumnya bagai daun kering yang tergeletak di pinggir jalan.
"Iya udah duduk! Biar enggak punah!" Shely menarik tangan Lukijo untuk duduk.
"Enahhhh! Gitu kan enak, santai aja Jo," ucap Shely melihat Lukijo telah terduduk.
Santai! Lukijo menatap pilu meja di depanya. Di tatap dan di senyumi saja membuat duduk terasa dalam duri, bagaimana bisa santai?
Hati Lukijo seperti bergelut dengan rasa, rasa minder tentunya.
Sebuah deheman mengagetkan keduanya.
"Bude biar Shely ambil sendiri!" Shely kontan dengan berdiri melihat Bu Marimin membawa minuman ke padanya.
"Enggak apa-apa Shely," senyum Bu Marimin.
Lukijo mesem.
"Jo, kalo mau ke sumur."
Shely langsung tertawa melihat Lukijo.
"Iya Bude, bentar lagi," sahut Lukijo menggaruk rambutnya.
Bu Marimin tertawa geli. Lalu masuk kembali ke dapur.
"Enggak usah di masak-kin Bude, rumput di kebon hijau-hijua Bude!" seru Lukijo menoleh pintu dapur.
Shely semakin ngakak, bersahutan tawa di dalam dapur.
Lukijo menatap Shely yang telah duduk kembali.
Angan-nya kembali menyeruak di wajah cantik yang tengah tertawa. Sebuah tawa yang pernah Ia dengar dari canda yang melekat di dinginnya kabut.
Namun bukan Ia yang menjadi peneduh jiwa dari cantiknya sebuah wajah, bukan Ia penyejuk hatinya dan penghias mimpinya, bukan Ia cinta dalam hidupnya.
Lukijo menundukkan tatapan-nya. Wajah yang dahulu bermukim di hatinya, kian samar tertutup waktu yang berjalan.
"Kenapa Jo?"
Lukijo tergagap tak bersuara. Senyum Shely yang terlukis seperti bergurat secantik hidupnya pula.
"Melamun seorang penyamun." Shely lagi melihat Lukijo tadi sempat mencuri tatap kepadanya.
Lukijo tertunduk malu.
"Enggak usah malu-maluin gitu!"
Lukijo makin tertunduk.
"Enggak usah nunduk nutupin hidung juga! Masih kelihatan setengah!"
Lukijo semakin pucat. Perlahan berdiri.
"Mau kemana Jo?" Shely dengan berdiri pula.
"Jangan di masukin ke hati Jo," ucapnya tersenyum manis.
"Eng-enggak Shel..." Lukijo mesem pahit.
"Aku mau masukin dapur," ucapnya pelan.
Shely melebarkan bibirnya.
"Itu namanya marah Jo!" Melihat Lukijo meninggalkan-nya.
Lukijo balik badan di tengah pintu.
"Enggak, Aku hanya mau mengambil lap kotor," ucapnya berusaha tersenyum, berusaha pula menatap mata Shely.
"Lap Kotor? Buat apa?" heran Shely.
"Buat nutupin hidung, biar enggak kelihatan," jawab Lukijo
Shely yang akan tertawa kontan menahannya, suara tawa Bu Marimin mengagetkan-nya dan Lukijo.
Lukijo segera masuk ke dapur.
"Kebesaran lap-nya Bude, yang kecil aja!"
Shely terduduk kembali,menutupi mulutnya dengan kedua tangannya, dengan pipi merona menahan tawa.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments