NovelToon NovelToon

SENJA DI BIBIR PUTIH

1. Joglo!

TANGAN yang tengah menyentuh pucuk - pucuk ilalang dengan sela - sela jemari seraya melangkah pelan dengan mata menahan silaunya Sinar Mentari yang menyinari wajah, seperti ingin merasakan kembali bahwa ilalang-ilalang di sisi jalan,

Benarlah sama dengan yang dahulu pernah melekat di telapak tangan kasarnya.

Benarlah sinar yang hangat kini sama dengan yang pernah menyengat kulit di masa kecilnya.

Langkah kakinya sesaat terhenti, menatap jauh di mana hembusan angin tengah jua menerpa di wajah.

Bukan di ketinggian Everst kini kakinya berpijak namun di ketinggian rindu masa lalunya kini kakinya berada.

Sayup kenangan seperti terkubur di balik rona violet yang menyebar di seluruh dedaunan yang hijau,bungkam rasa terlihat jelas di bibir yang tebal, di wajah yang mulai tertunduk seakan malu menatap jelitanya Mentari yang tengah tersenyum terang.

Hela nafas pun perlahan tertahan dengan kembali berjalan menapak lagi di jalan yang kian menanjak dan menyempit.

Suara-suara alam yang terdengar masih lagi dapat dengan jelas teringat bersama tatap mata yang menatapi jemari kakinya.

"Ada apa dengan langkah ini? Seperti tumpul di tanah yang subur, seperti mengambang di ombak yang tenang?"

Ya, suara hatinya seperti terpantul di dinding cadas dan berpakis yang tadi sempat di lalui.

Sesaat mendongakan kepalanya. Coba tersenyum diantara biru cerahnya langit, meski senyum di bibir tiada seindah putihnya Awan yang bergumpal tipis. Sekedar mengusir gulananya hati.

Desir memang terasa di sekujur tubuh, rasa di hati pun menyanjung tenangnya alam yang baru terjaga.

Hanya hingar Knalpot motor gunung itu pun terdengar sayup di kejahuan, tiada mengusik hati yang tengah memeluk kembali suasana yang telah di tinggalkan.

Rindu, ya! Rindu yang terasa kini kian menggigit hati akan aroma alami di balik rimbunya pepohonan lereng Bukit.

Senyumnya kembali terukir meski begitu kaku, sekaku jalan di belakang langkahnya penuh koral yang tak rata.

Lukijo mendehem. Sedikit kering di tenggorokanya.

kini Ia telah kembali pulang, meninggalkan jejak di tepi pantai dan pasar yang menjadi warna dalam perjalanan langkahnya.

Kini di Bukit, di balik kabut Ia akan terlena dan terjaga. Namun ada yang mengusik rasa di hati.

Ia tadi berniat mengunjungi sebuah Rumah di mana di dalamnya ada mesin genset yang selalu berbunyi di kala hari menuju gelap, di mana ada Pohon Randu bercabang seperti ketapel raksasa di samping depan halaman-nya, dengan Apotek hidup yang terawat, Kini tinggal rumput-rumput liar dan ilalang yang menumbuhinya.

Rumah yang ada kini tiada terawat dan tidak berpenghuni.

Kembali Lukijo mendehem.

Coba menghilangkan usikan di hatinya, menatap ke bawah lereng Bukit.

Benarlah! Hanya wajah Bukit yang tiada berubah, berkabut dalam dingin di saat malam. Apa yang pernah Ia tinggalkan seperti turut meninggalkan pula. Sepertinya kini Ia harus melewati kabut dengan lebih panjang lagi sendiri.

Meski kesendirian bukan lah hal yang baru baginya, namun kini semua benar-benar menghilang, hanya sapa ramah dari Bu Marimin yang masih tersisa menyambutnya seperti dahulu.

"Jo! Apa kabarmu Jo? Masuk Jo! Masuk!"

Wajah Bu Marimin seakan tiada menduga saat melihatnya pagi kemarin. Dan seperti tanpa jeda Bu Marimin menanyakan perihal keadaanya selama berada di kampung orang.

Dan Ia pun kini telah mengetahui bahwa Nasib sahabatnya telah pergi bersama keba- hagianya yang telah di peroleh, sayangnya Ia tidak sempat melihat kebahagian itu.

Lukijo mengulum senyumnya menatap bebatuan koral di kakinya mengingat akan wajah Bu Marimin yang terlihat suka cita menceritakan keadaan Nasib.

"Nasib yang beruntung" gumamnya dengan mengehela nafas pelan.

Kini Ia hanya bisa berharap akan kelanggengan dan kebahagian sahabatnya itu.

"Ada yang terbangun di dalam selimut!"

Lukijo langsung celingukan mencari asal suara yang terdengar. membuyarkan semua angannya barusan.

"Ada yang terbangun di dalam selimut!"

Lukijo menggaruk kepalanya.

Terdengar seperti di bawahnya namun jelas di atasnya yang tertutup semak dan ilalang.

"Selimut dekil di saat malam," "Ternyata kabut membuatnya terbangun."

Meski penasaran dan jauh di lubuk hati ada rasa geli mendengarnya Lukijo mesem tertahan dengan mengamati ke dua kakinya yang memakai jeans kw dengan merek ternama.

"Apa karena dingin? atau .., atau! Atau?"

Kembali suara seperti orang yang tengah marah terdengar.

Dengan cepat Lukijo melangkah menuju asal suara yang jelas berada di puncak Bukit, sedikit lagi Ia pun memang hampir sampai di atas.

Sibakan tangannya akan semak yang menutupi jalan setapak membuat suara desik beradu pada daun-daun ilalang. Matanya pun tertuju pada puncak Bukit.

"Aku malu! Aku malu! Mengetahui apa yang sebenarnya terjadi,dasar enggak punya hidung! dasar!!!"

Lukijo langsung menghentikan langkahnya, kakinya seolah tertahan dalam akar ilalang yang rapuh.

Perlahan membalikan tubuhnya memutar langkahnya kembali turun.

nyaris! Tanpa suara kini gerak kakinya saat menyibak semak dan ilalang di dengkul dan pahanya sambil menerka-nerka suara siapakah yang berada di atas Bukit?

"Joglo!"

Lukijo langsung tercekat,matanya seakan terbeliak ke depan.

Joglo, sebutan Rumah adat Jawa itu seperti pernah Ia dengar dan pernah akrab di telinganya.

Lukijo kembali membalikan tubuhnya melihat ke arah atas Bukit, pikirnya seolah menembus ilalang yang tengah berdesik tertiup angin.

"Joglo!!"

Wajah Lukijo berubah tegang, suara di atas seperti menarik langkahnya untuk kembali naik ke atas.

Desir kian deras mengalir di antara pelan langkah kaki yang mendaki, seperti takut terdengar orang di atasnya.

Lukijo menahan nafasnya, saat matanya beradu dengan mata wanita yang tengah berdiri tidak jauh darinya, tengah tersenyum seolah memang tengah menanti dirinya.

Mematung diam dengan sedikit sekali senyum yang kini Ia lakukan, takut jika wanita di depanya salah tersenyum kepadanya.

Cantik, seperti di alam virtual melihat wajah dengan uraian rambut yang terkena angin, Lukijo memundukan pandanganya.

"Hai Jo!"

Lukijo berusaha melihat kembali wajah wanita yang menyapanya sembari mendekatinya. Desir kini seakan menerpa di hati seperti membekukan, kelu dan kaku terasa lidah untuk membalas sapa di matanya, dan wanita di depanya....

"Apa Kau masih ingat padaku jo?"

lemas terasa tangan Lukijo saat suara di bibir yang merah mengulurkan tangan kepadanya, berbonus senyum yang sungguh membuat keringat di wajahnya kian tiada terbendung laksana Banjir bandang Bro!.

"Lupa ya, Jo?"

Lukijo mesem seperti biasa,mesem pahit! sepahit buah maja yang mengkel.

"Aku maklumi lah, soalnya sudah lama sekali."

Lukijo kembali tertunduk, coba mengingat-ingat siapakah gerangan wanita cantik di depanya, dan sepertinya Ia memang belum pernah bertemu denganya.

Sebuah lesung pipit kecil terlihat ketika matanya terangkat perlahan melihat senyum yang tengah terlukis, sederet gigi putih pun membuatnya semakin terpana.

Seperti suhu tubuh yang turun dengan drastis, rasa gerogi mulai mencekoki, diri kembali begitu terasa kerdil dari segala keindahan yang di lihat.

Cantik! Kata yang selalu membuatnya semakin menyesali diri.

"Jo,mungkin sebaikanya Aku memperkenalkan diri." Masih dengan senyum tipis.

Lukijo seperti kena mental, penyakit lamanya kambuh lagi, rasa gerogi menghinggapi di tubuhnya.

Ia biasa melihat wanita cantik meski sekedar lihat di jalan atau di pasar, tapi di dekati apalagi di senyumi jarang sekali terjadi, bisa sekali di hitung dengan kalender dari dekade ke dekade yang lain dan seterusnya.

Lukijo makin memutar otaknya dengan hanya terdiam.

" Shely."

Lukijo sesaat terpana.

"Seindah itu ?" Suara hatinya mendengar nama yang baru saja terucap.

Dengan kaku Ia pun menjabat tangan Shely.

"Aku saudara Cahaya! Apa Kau ingat?"

Shely berusaha mengingatkan kembali Lukijo.

"Shely? Shely?" Lukijo dalam hati, berusaha mengingatnya lagi.

Dan sepertinya kini Ia mengingatnya.

Jika memang Shely yang dahulu pernah memanggilnya joglo! Yang pernah tinggal seminggu bersama Cahaya dan sering di ajak bermain ke Rumahnya untuk ke atas Bukit, tentunya kini Ia merasa begitu pangling.

Hanya kata Joglo yang masih dapat teringat, sedang wajah Shely jelas berubah.

Wajar saja rasanya jika Ia tidak lagi mengingatnya.

" Begini aja Jo, Aku tinggalkan Kau dulu untuk berpikir. Aku hanya mau memberi taukan, Cahaya menyuruhmu ke rumahnya,"

"Capek Aku sedari tadi menunggumu di sini,"jelas Shely.

Lukijo mengangguk.

"Dah, Jo!"

Lambai Shely dengan sumringah.

Lukijo mesem mengangguk lagi.

"Cahaya?" Pikirnya seperti mengikuti gemulai tubuh yang beranjak pergi.

Rona wajah kembali berseri, Rona wajah ter-terpa Angin yang berhembus.

Desik ilalang laksana bernyanyi lagi, Ia tidak sendiri.

Lukijo segera mendekati tepian Puncak Bukit. Matanya mencari di mana atap Rumah Cahaya yang tertutup hijaunya rimbun pepohonan. Sebuah jalan lintas nampak pula terputus-putus terhalangi.

Jauh sekali terlihat.

Sejauh hatinya berharap,bisa kembali melihat Cahaya yang biasa Ia memanggilnya,

"Watiiiiiiii!!!"

.********

2. Geger!

**Lukijo** menyandarkan tubuhnya kesal bercampur pegal di kakinya.

"Bagaimana Jo?"

Lukijo mesem.

"Cahaya, eh! ****Wati****, Bu-De,enggak ada di rumahnya," ucapnya kecewa.

Bu Marimin* yang hanya berdiri di pintu, tersenyum dengan kembali masuk ke dapur lagi.

"Enggak usah repot-repot Bu-De, biar Aku ambil sendiri!"

Lukijo merasa merepotkan.

"Siapa juga yang sudi di repotkan olehmu, Jo! Jo!"

Mata yang baru saja akan di pejamkan sejenak untuk menghilangkan rasa kesal dan pegal sehabis berjalan kaki ke Rumahnya Cahaya Alias*! Wati,langsung terbuka kaget.

"Wati!"

Mata Lukijo berbinar,mesem seneng. Melihat senyum lebar Wati dengan membawakan minuman keluar dari dapur.

Geger! Suasana dalam hati Lukijo.

Campur aduk dalam rasa yang memang jarang sekali terucap di bibirnya yang tebal dan hitam. Tidak terduga dan di nyana sama sekali Wati sengaja bersembunyi di dalam dapur.

Meski kesal mengingat tadi hanya mendapati Kakak Wati yang galak di Rumahnya.

"Tambah enggak jelas sih, Jo!" seru Wati.

Lukijo tetep,tetep! mesem pahit.

Wati pun tetep berdiri, senyum-senyum mengamati.Seperti melihat sebuah keganjilan yang belum pernah Dirinya lihat.

"Wajah ku?" tebak Lukijo.

Wati mesem mengangguk.

"Apa enggak ada sedikit saja rasa di hatimu, untuk sekali saja menyanjungku?" ucap Lukijo menyahuti anggukan kepala Wati.

"Dalam hal apa?" tanya Wati .

lukijo mengusap sisa butir keringat di dahinya.

Membenarkan apa yang di tanyakan Wati.

Ia sendiri pun bingung dalam menemukan Hal apa? di dalam Dirinya.

"Enggak ada memang." Senyum Lukijo tambah pahit.

Wati Sumringah.

Menghela nafasnyan kuat, duduk manis bertumpu dagu.

Lukijo salah tingkah.

Wati tertawa kecil.

"Jo-Jo!" di sela tawanya.

Namun wajah ke duanya berubah heran, diam bertatapan dengan tanya yang berkumandang.

Seperti sebuah tawa yang tidak kuat untuk di tahan pemiliknya.

Ternyata **Bu Marimin**** tengah tertawa di dapur.

Sepertinya sejak tadi pula mendengarkan keduanya yang tengah berbincang.

Namun lucu yang mana yang tengah ditertawakan-nya.

"Bu-De ... Kenapa?" Wati berdiri.

Lenyap seketika tawa yang baru saja terdengar.

"Aku tau! Bu-De menertawakan Ku ...?" timpal Lukijo bertanya.

Tiada sahutan.

Wati kembali duduk sumringah.

Dapur pun begitu hening ,seperti tiada seorang pun didalamnya.

Dapur mengapa harus dapur yang menjadi tempat menyimpan semua rahasia, selain bumbu-bumbu makanan?

Sepertinya memang Dapur bisa dijadikan salah satu Destinasi untuk mencurahkan semua isi hati.

"Jo, apa kabar mu Jo?"tanya Wati melihat bengong kecil di wajah Lukijo.

Bukan sembuh pias di wajah, bengong sebesar pohon Sengon tertancap dalam di bibir Lukijo.

"Maksud-Ku, hidung Mu! Tambah sakti aja, enggak kelihatan!"

Wati menarik hidungnya sendiri.

Lukijo, belum sempat Ia menelan ludah.

Kini suara tawa terdengar kembali dari arah dapur.

Namun kini Wati seperti sepaham, ikut menyahuti tawa dengan tawa yang lebih keras.

Wajah Lukijo kian pucat, menelan ludahnya cepat.

Dengan pasrah Terserah Dunia! tertawa apa? Ia ingin minum.

Lukijo meminum Air putih di atas meja, dengan melihat wajah Wati.

Wati kini terlihat gemuk, tidak seperti dahulu. Cerita Bu Marimin padanya Wati telah memiliki seorang anak, dan hanya sesekali saja pulang ke Bukit, jika ada acara keluarga atau menghabiskan waktu liburan-nya.

Lukijo mengusap bibirnya yang basah.

Wati masih lagi tertawa meski tidak se-seram tadi.

Jenjang waktu yang bergulir tiada terasa masih ada tawa untuknya, canda Wati masih berlaku atasnya.

Wati berdiri kembali.

"Jo!Jo!Jauh-jauh entah ke mana? Pulang tetep sendiri. Mending enggak usah kemana-mana!" Serunya berdiri di balik kursi.

Terdengar suara tawa Bu Marimin di sela dengan terbatuk.

"Bu-De'! bukan ucapan Wati yang membuatku sakit, Tapi tawa mu,Bu-De'!"

Lukijo menyahuti tawa batuk di dapur.

"Ternyata kedatangan Mu, memberikan kebahagian tersendiri pada Bu-De'." Wati melihat ke arah dapur.

"Sampe terbatuk-batuk tertawa!"ucapnya lagi.

"Minum obat Bu-De,"ucap Lukijo kembali menyahuti ucapan Wati.

"Jo!jo!"

Terdengar Bu Marimin menyahut, di susul dengan tawa kembali.

Lukijo melebarkan bibirnya, meski bibirnya pun memang telah lebar.

"Bu-De! kasihan Bu-De! Jangan di hujat terus!"

Wati menimpali lagi.

Lukijo makin berkeringat dingin.

"Bu-De! Lukijo marah Bu-De!"

Wati dengan melihat ke dapur.

"Enggak Bu-De! Enggak!" Lukijo menyahuti, ikut melihat ke.dapur.

Rasa tidak enak akan ucapan wati membuat wajahnya kian bermandikan keringat.

Melihat risih Wati yang memperhatikannya.

Hatinya mendehem pelan.

Ternyata oh! Ternyata ada yang berbeda di Wati, yang luput dari penglihatannya.

Rambut Wati tidak lagi panjang, sebahu sudah rebah berjuntai.

"Ada apa Jo? melihatku seperti itu?"

Wati berjalan dan duduk di samping Lukijo.

Lukijo tetep, tetep dengan mesem pahitnya.

"Baru sekarang Kau suka padaku?"tanya Wati lagi.

Lukijo melebarkan bibirnya jauh-jauh.

"Telat Jo! Sedari dulu Aku memang enggak suka padamu."

Lukijo makin goyah, seperti menyungsang di balik awan,terjun payung tanpa parasut.

"Sadari dulu pula Aku memang telah menggugurkan harapanku padamu Wati."

Lukijo menoleh Wati.

Wati tertawa kecil, menarik keras hidung mini yang kelewat masuk ke dalam.

Wati kian gencar tertawa. Mungkin Ia merasa memegang kutil yang basah, basah oleh keringat.

Lukijo yang mengaduh sakit, memegang hidungnya yang terlihat memerah bekas cubitan.

"Kenapa Jo? Apa Aku kurang cantik Jo?" Wati di sela tawanya.

Lukijo menggaruk keras rambutnya yang tidak gatal.

"Bukan Kau yang kurang cantik! Tapi Aku yang enggak tampan!" jelas Lukijo kesal. Wati seolah memancingnya untuk berkata hal tersebut.

"Nyada! Nyadar!"

Geli Wati.

"Dari dulu! Dari masih orok!"

Wati yang hendak tertawa lebih keras, langsung bungkam mendadak. Begitu pun Lukijo.

Keduanya berpandangan dengan rasa saling tidak menyangka.

Tawa Bu Marimin tiba-tiba pecah di dalam dapur.

"Aku turut bahagia Bu-De!" Seru Lukijo ke arah dapur.

Wati kembali menarik hidung Lukijo, tapi kini seolah Ia ingin membenamkannya. Biar hilang! tanpa jejak.

Lukijo mengaduh-aduh, memegangi tangan Wati di wajahnya.

"Aduuuuhhhh!"

Lukijo meringis sakit, Wati melepaskan tarikannya namun dengan amat keras dari yang tadi di lakukanya.

"Aku heran mengapa banyak orang yang enggak suka melihat hidung seperti yang Aku miliki? Tapi kenapa banyak yang suka memegangnya?" ungkap Lukijo dengan masih memegangi ujung hidungnya.

Kembali Bu Marimin tertawa.

"Mangkanya Jo! Sekali-sekali di gunakan untuk mencium cewek!"

Bu Marimin dengan muncul dari dalam dapur.

Wati terbahak meng-iya-kan.

"Sama aja Bu-De, enggak akan mancung!"

Lukijo melihat Bu Marimin yang langsung bergabung Nimbrung!

"Setidaknya, enggak ada lagi yang penasaran dengan rasa hidung mu Jo," kilah Bu Marimin menatap lucu wajah Wati.

Lukijo mesem-mesem.

Wati dan Bu Marimin yang tengah bertatap geli, langsung membuat kerut di dahi masing-masing.

"Malah mesem seneng Jo, apa ucapan Bu-de barusan ... Membangkitkan semangat di hatimu?" Wati merasa janggal.

"Enggak" sahut Lukijo. Kembali mesem.

"Aku hanya baru tau, jika benar apa yang di katakan Bu-de barusan,berarti Wati minta di cium Bu-De!"

"Soalnya Ia masih penasaran dengan hidungku yang terpendem, masih suka megang-megang!"

Bukan kepalang rasa dongkol dan gemesnya rasa di hati Wati mendengar lancarnya kata yang terucap di bibir Lukijo.

Dengan senyum manis Ia pun melihat lekat wajah di sampingnya.

"Bu-de, Aku pinjam arit Bu-De..,"ucap begitu manis.

Bu Marimin yang mengerti akan maksud perkataan Wati, segera berhambur kembali ke dapur menutupi mulutnya dengan tangan.

Lukijo makin mesem-mesem, beringsut pelan dengan berdiri.

"Aku mau ke dapur sebentar, mau ngambil minum lagi," kilahnya dengan melangkah pelan.

"Lebih mudah bagiku dengan cangkul yang ada di dapur."

Lukijo menghentikan langkahnya, mesem berputar arah ke arah pintu depan.

"Jo!"

Wati sigap berdiri.

Lukijo mesem-mesem.

"Saat Kau masuk kembali, jangan lupa bawa kembali setengah dari hidungmu yang Kau tinggalkan!" kesal Wati.

Geger! Sudah tawa Bu Marimin kembali di dapur. Membungkam langkah Lukijo untuk menghindari Wati yang tengah kerasukan rasa gemas ngedongkolnya.

Berputar kembali ke arah dapur dengan tatap awas yang tengah mengamati. Berdiri mesem di tengah pintu melihat tawa di dalam dapur.

"Bu-De, jika di ijikan, Aku di dapur aja?Perasaan Wati tengah terganggu, sebaiknya Bu-De mendampinginya," ucap Lukijo mesem tak manis.

"Aku sulit berbincang Bu-de, mungkin Bu-de dan Wati bisa saling tertawa dari hati ke hati."

Lukijo segera masuk ke dapur setelah berkata dan melihat sandal yang di pakai Wati telah berpindah pakai di tangan, siap untuk melangkah di angin Alias di lemparkan!

"Kau pikir kami orang gila!" Seru Wati dengan mengejar Lukijo.

Hanya terdengar tawa Bu Marimin yang belum lagi habis-habis menemani perjumpaan kembali keduanya, seperti sebuah sambutan yang cukup menguras rasa geli di hatinya.

...****************...

3. Cahaya di Atas Bukit.

Bukan karena dinginya kabut yang membuat rasanya kaku di tubuh, bukan pula sakitnya langkah berpacu di jalan yang memang tengah menanjak, tapi dingin dari senyum di sisi langkahnya yang membuatnya hanya mampu menatap sesal di rimbun gelap ilalang pinggir jalan.

Lukijo bagai memendam kata di hatinya untuk sekedar berucap dari orang di sampingnya.

"Jo, apa Kau enggak bosan dengan diam?"

Lukijo mesem di tahan. Pelan menggeleng, pandanganya selalu luruh saat mata Shely beradu dengan matanya.

"Udah bawaan dari orok," ucapnya berusaha tertawa meski terkesan di tutupi.

Shely mesem cantik.

Secantik Bulan yang tengah tertutup Awan putih berbaris dengan lesung kecil di bibir malam.

Gurat angker Bukit kian nampak di lereng-lereng yang telah di lewati, begitu kelam dan hitam dalam pandangan.

Suara hening lebih menarik di dengar di banding suara serangga malam yang membuat bulu kuduk sering berdiri sendiri jika mendengarnya.

Lukijo mengamati sebuah lampu listrik yang tergantung di tiang kayu yang akan di lewati di depan sebuah Rumah.

Serangga-serangga bersayap terlihat juga mengerubunginya.

Langkah ke duanya kian mendekati, dengan lebih banyak suara langkah kaki dari bibir yang berbincang.

Meski semenjak tadi Shely sudah banyak berbicara namun Lukijo terlalu sedikit untuk bisa mengimbangi dalam mengolah kata-kata di bibirnya.

Lukijo menghentikan langkahnya, mendekati Pohon Jambu kancing merah yang belum lagi berbuah.

Menegok ke arah Shely, lalu duduk di bangku panjang di bawah pohon.

Meski heran Shely mengikutinya.

Lagi dan lagi, setiap wajah-wajah cantik begitu berada di dekatnya, Lukijo seperti mati gaya, mati kata, mati -matian menahan rasa sesal di dalam dirinya.

"Jo?"

"Semakin malam semakin dingin oleh kabut, mungkin lebih baik kita disini aja," jelas Lukijo.

"Tapi Jo?"

Lukijo mesem tertunduk, menutupi rasa malu di hatinya untuk melihat wajah di sampingnya, yang ingin melihat cahaya pagi. Dan bukan pula Ia ingin memupuskan keingian Shely dan Wati, tapi untuk melewati malam di puncak Bukit itu yang kini Ia pertimbangkan, mengingat Shely belum terbiasa dengan kabut dingin di atas.

"Saat hampir pagi, baru kita ke atas,"jelas Lukijo. Melihat wajah Shely namun lekas kembali menatap gelap di kejauhan.

Shely mengangguk pelan.

Sedari tadi pun Ia sudah merasakan angkernya suasana malam di lerengnya, jaket tebalnya terasa dingin saat di pegang.

Bagimana jika di puncaknya? Sedangkan kabut tebal terlihat menyelimutinya

Jalan memang telah terang, namun gelap pun masih lagi melingkupi seluruh punggung Bukit semakin horor bila pikiran berkutat akan hal-hal di luar nalar.

"Apa Wati akan benar-benar menyusul kita?"

Lukijo dengan tertunduk memainkan kakinya dengan di ayun pelan, untuk mengurangi debar hatinya jika berbicara pada lawan jenis. Apalagi manis!

"Tadi sih, dia bilang begitu." Senyum cantik Shely melihat Lukijo.

Lukijo melayangkan kembali tatapanya di kejauhan, sedang senyum di sampingnya pun turut perlahan mengikuti.

Lukijo menelan ludah, terasa kering di tenggorkan meski udara terasa menggigit kulit wajahnya.

Sepertinya Wati sengaja untuk membuatnya dan Shely berdua, seperti yang pernah di lakukanya masa yang dahulu. Meski akhirnya berakhir dengan dingin juga.

"Jo, siapa pemilik rumahmu sekarang Jo?"

Shely melihat Rumah di belakangnya dan Lukijo duduk.

Lukijo pun segera menoleh.

Matanya seolah membuka pintu Rumah yang tertutup oleh kenangan di dalamnya.

Rumah di mana Ia di besarkan dengan segala kekurangan, kini telah di tempati orang lain.

"Aku kurang mengenalnya, hanya tau dari kampung seberang."

Lukijo kembali melihat kegelapan di kejauhan.

Shely mengamatinya.

Lukijo seperti tidak bergeming dengan tatapanya. Serba salahnya kembali menguras keringat dinginnya, diperhatikan sedemikan rupa, apalagi dengan wanita yang belum lama akrab membuatnya kocar-kacir dalam bersikap.

Diam sepertinya salah, banyak bicara tidak mungkin terucap di bibirnya.

Kadang Ia pun merasakan kurang nyamannya seserorang di dekatnya, kurang asyik untuk di jadikan teman bicara.

"Jo!"

Lukijo mesem tertunduk, tepukan sengaja di pundaknya.

"Apa kau enggak dingin?"

Lukijo menoleh pelan.

Dingin kabut yang Shely maksud tentunya, yang bukanlah sesuatu mengganggu dirinya, tapi dingin hati yang selalu membuatnya tergigit, tergigit sesal! tentunya.

"Udah biasa, selimut para penduduk Bukit," ucap Lukijo berusaha tertawa kecil.

Shely menghembuskan nafasnya.

"Jo, apakah di puncak enggak ada cahaya sama sekali?"

Shely dengan duduk bersila, mengurangi rasa dingin di tengkuknya.

Mesem kembali di bibir Lukijo. Menatap malu tiang listrik.

"Jangan malu-malu dengan ku jo," senyum manis Shely.

Lukijo menelan ludahnya pelan. Bukan malu yang berujung malu-malu-in! yang terasa di hati, tapi minder! berujung malu juga yang tengah menghimpit sempit rasa hatinya.

"Biasa aja jo,"tambah Shely lagi.

Lukijo berusaha menelan ludah kembali yang terasa lengket bagai permen karet, melihat wajah di dekatnya yang berlesung di dekat bibir.

Keram sudah lidah untuk sekedar mengusap bibir sendiri, tertahan dinginnya rasa yang kian jatuh. Jatuh dalam belenggu kerdilnya diri, diantara cahaya yang menerangi.

Lemas sudah langkah di hati untuk sekedar menyusuri telaga jernih keindahan hati, jalan menanjak penuh duri kecilnya hati yang memegali.

Arak kabut kian padat melayang menutupi jalan yang telah basah, samar dalam rasa akan sesalnya diri.

"Hanya ada gelap."

Lukijo mengusir debar hatinya. Tatap mata di dekatnya hampir sama dengan yang pernah menyentuh hatinya.

Kembali menatap gelap di kejauhaan, mengusir manis akan angan kosong yang coba kembali mengiris hatinya.

"Jo, Apa kau enggak bisa lebih diam dari ini?"

Shely seperti ingin mengusik lagi lamun jauhnya Lukijo.

"Bisa, kalo lagi tidur!"

Lukijo kini dengan tertawa kecil, meski terkesan ada yang di tutupi di bibirnya.

Wajah Shely sumringah senang, sedari tadi jarang sekali atau memang tidak pernah melihat Lukijo tertawa ke padanya.

"Apa lagi kalo lagi buang air besar, iya kan Jo!"

Tawanya kemudian.

Lukijo mengusap wajahnya yang berkeringat dingin, meski kabut menerpa dengan hawa yang dingin.

"Kalo lagi ma' plung! terus enggak diam, di pastikan lagi susah Be-A-Be," balasnya menanggapi.

"Ma' plung apa-an Jo?"

Lukijo mengulum senyumnya.

"Jo?"

"Iya itu, suara bom yang jatuh dari nongkrong," jelas Lukijo menahan tawa.

Shely menahan tawanya.

"Kalo yang duduk Jo?"

Tanyanya dengan hampir benar-benar tertawa.

Lukijo langsung menggaruk rambutnya.

"Aku belum pernah, ketemunya yang nongkrong melulu."

Shely langsung ngakak.

"Pernah duduk tapi kecepirit, itu juga di lantai bukan di wc," terang Lukijo.

Shely kian terpingkal.

Kabut yang kian pekat, kian buyar bersama tawa yang melayang di kegelapan suasana dan angkasa.

Geleng raut binatang malam, bagai heran dengan polah keduanya mengisi sunyi.

Angker wajah Bukit dari kejauhan tiadalah terlihat dari hangatnya keakraban yang mulai terjalin, seperti sebuah cahaya yang menerangi puncak Bukit yang kelam dengan pekatnya kabut.

cahaya yang mulai menerangi sisi gelap kekauan hati seorang Lukijo.

...****************...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!