Debur angin terasa menerbangkan sayap-sayap Burung kecil yang berterbangan di areal persawahan.
Rumput-rumput liar yang bergoyang di tengah hijaunya dedaunan padi yang akan mengembangkan butir-butir di pucuknya, tercabut tangan orang bercaping yang tengah menyiangi sawahnya.
Lukijo segera mempercepat langkahnya menenteng ember berukuran sedang berisikan pakaian kotornya.
Suara air mengalir pun semakin terdengar jelas olehnya.
Sempat tadi beberapa orang merasa heran karena Ia akan mencuci di kali yang jaraknya dari Rumah, bisa di katakan Kekerdilan! Alias ke-keringan di jalan. Mengingat pula di Rumah Bu Marimin ada sumur untuk mencuci. Namun Ia ingin sekali pergi ke kali.
Matanya hampir tertutup menahan kesal di dalam hati, tertunduk lemas melihat kakinya yang berdebu. Hanya beruntung sandal jepit hitamnya menutupi telapaknya yang jika berwarna putih tentulah akan nampak bekas telapak kakinya.
Perlahan berjalan menuruni jalan ke kali Bak lemas kurang darah, perasaanya semalam tidak-lah hujan namun mengapa air kali keruh berwarna coklat.
Mengucek kesal rambutnya, menatap ke sekeliling, tiada satu pun orang yang terlihat. Melepaskan ember di tangannya ke tanah berumput, meloncat pelan ke atas batu yang besar, lalu duduk bersila melihat air keruh yang mengalir bagai empu yang tengah bertapa.
Lukijo mengurut pelan leher belakangnya.
Air keruh yang mengalir mengingatkan kembali tempat yang pernah Ia singgahi, di mana ada cinta yang tengah bersemi. Warna senja yang jatuh di bibir pantai begitu cerah bergurat kasih, aroma harum dari air kelapa yang masak terasa begitu wangi dalam tatap mata yang cinta.
Embun-embun pagi yang tertidur di rerumputan hijau terasa hangat saat tersentuh sayang.
Lukijo menegadah, melepasakan sesak sebuah kenangan yang terasa baru kemarin Ia lalui.
Sebuah nama dan wajah kini telah jauh, semua hanya karena Ia bukanlah seorang yang memiliki rupa dan harta, hanya buruh dalam kandang. Meski cinta terasa tulus menjalari dalam hati, namun restu di atas semua ketulusan.
Ia mengerti jika cinta hanya di rasa, tapi untuk menjalani biduk kebahagian, hanya kemapanan dan kedudukan yang akan mampu memegangnya. Tanpa rupa,harta dan tahta, kebahagian hanya angan-angan kosong saja.
Lukijo kembali melihat air yang mengalir di bawah kakinya duduk, tersenyum getir.
Perlahan duduk memeluk kedua kakinya, menatap kembali awan pagi yang cerah, coba mengingat kembali sebuah wajah.
sesaat bisik hatinya bagai terpampang di putihnya awan." Andai kau bukanlah seperti bintang di malam, mungkin ku enggak akan sulit mengapai cinta hatimu. Andai kau bukanlah secantik bulan purnama, mungkin aku akan dapat menatap lekat wajah mu, secerah senja yang berlumur warna, sebening embun di kala pagi,"
Lukijo menghela nafasnya berat,memejamkan matanya, terasa ada yang lirih di hati.
Kembali menatap putihnya awan, dimana bisik hatinya kembali bergema.
"semua memang hanya harap angan ku."
Lukijo benar-benar terkejut, dengan bangkit berdiri. Seseorang melemparkan ember yang berisi pakian kotornya ke air di depanya.
Suara tawa lepas pun terdengar.
Dengan kesal Lukijo langsung menceburkan diri ke dalam air yang keruh, sebelum baju dan celananya tenggelam dan terbawa arus.
"Bercandanya keterlaluan! Hanya ini yang paling bagus dan lumayan mahal bagiku Ti!" Serunya dengan memasukan kedalam ember kembali.
Wati semakin tertawa membahana.
Lukijo melebarkan bibirnya, dengan naik kembali ke atas batu.
"Aku ganti satu kardus Jo!" Wati sambil mendekati Lukijo.
"kau kan tau Ti, hanya baju dan celana ini yang aku pake jika pergi," oceh Lukijo melihat ke dalam embernya.
"Jika hanyut! harus nunggu setahun baru ke beli," ucapnya lagi meletakkan baju dan celana di atas batu.
"Mau lebaran maksud mu?" geli Wati menanggapi.
Lukijo terdiam.
"Iya-iya,"ucapnya kemudian.
Wati semakin geli, memberikan sabun cuci yang tergelatak di bawah batu.
"Jadi baju dan celana ini, baju lebaran kemarin jo?" dengan naik ke atas batu.
"Bukan, lebaran dua tahun lalu." Lukijo acuh meski Wati telah duduk di dekatnya.
Wati menghirup udara dengan dalam, menatap liku air mengalir di pinggir sisi kali yang berbatu.
Semilir angin yang berhembus dari persawahan membawakan rasa akan sejuknya alam pelosok. Tiada aroma khas kota, hanya ada lumpur tanah dan Belalang sangit yang terbang melewatinya.
"Ingat masa lalu iya, jo."
Lukijo mengangguk dengan menyikat celananya Jeans kw-nya.
"Jo!" Wati mendorong bahunya.
"Kau kan, tau Ti... Masa lalu ku enggak ada yang indah! Jadi untuk apa mengingatnya?"
"Aduhhhh!"
Lukijo melihat Wati yang baru saja menarik keras hidung mini kelewat mendem! Bagai Bulan Sabit di saat malam.
"Enggak bakal mancung Ti!" kesalnya dengan kembali mencuci.
Wati yang akan kembali menarik Hidung Lukijo, urung terlaksana mendengar suara klakson motor.
Lukijo pun sontak melihatnya.
Wati senyum-senyum.
"Jika masa lalu mu enggak ada yang indah? Nah! Sekarang jo, buat masa depan mu seindah -indahnya," ucapnya bersemangat melihat kedatangan Shely.
Lukijo terpana terdiam. Akan manggut salah, akan bilang tidak, Nanti di katakan nolak rezeki yang akan di beri, bilang mau! Nanti di katakan ke PD-an.
Lukijo hampir tertunduk saat Shely dekat dan tersenyum kepadanya.
Serba salah jadi orang yang tidak memiliki apa-apa, Lukijo seperti menyesali diri dalam manisnya bibir yang tengah mengembang.
"Hadehhhh! Asam di gunung, garam di laut! Di pinggir kali ketemunya!"
Lukijo langsung mengusap Bibir Wati dengan telapak tanganya.
"Bau sabun colet Jo!" kesal Wati mengusap-usap mulutnya.
Shely tertawa.
lukijo mesem.
"Cieee! Jo! bahagia banget Shely melihat mu Jo!" balas Wati dengan tawa meledeknya Shely.
"Aku enggak mentertawakan mu."
Wati tertegun.
Lukijo tetep, tetep serba salah.
"Anak mu! buang air besar di celana, kecepirit Ti!" Shely semakin terbahak dengan menutupi mulutnya.
"Apa?"
Lukijo menahan tawa nya melihat wajah Wati.
Dengan tergesa Wati loncat dari atas batu, menarik tangan Shely.
"Jo! Kami pulang dulu!"
Lukijo mengangguk mesem, senyum Shely terasa menggetarkan batu yang Ia pijak.
"Enggak usah pamitan segala!" Oceh Wati melihat Lukijo.
Lukijo makin mesem.
"Wati!"
Wati yang telah menghidupkan motor, menahan tarikan gasnya.
"Beri Oralit! Kalo enggak ada beri air garam, biar enggak kecepirit!" Seru Lukijo.
Shely kembali tertawa di belakang boncengan.
Wati hanya mencibirkan bibirnya.
Lukijo tertawa tertahan. Sekali lagi wajahnya harus coba bertahan menatap senyum indah Shely yang kembali menoleh kepadanya bersama motor yang perlahan menjauh. Dan kembali terasa lemas kedua lututnya.
Duduk perlahan menahan debar yang baru saja terjadi.
Menatap jauh ke langit yang biru.
Dimana angannya kembali menyeruak di masa yang lewat, dimana senja begitu indah berlumur warna mentari yang akan terbenam. Di mana embun begitu bening tertidur di pagi.
Kini senja terlewati terasa hitam, melanda di hati.
Semua karena perbedaan akan cinta yang bersemi, seperti langit dan bumi. Sangat jauh dan berbeda, tiada mungkin cinta di persatukan dalam segala hal. Semua berbeda, semua tidak lah sama dan sepadan, baik dari segi rupa dan materi.
Perlahan menghela nafas, menundukkan wajahnya membuyarkan angan sejenak melihat celana dan bajunya yang basah.
Keruh air kali masih keruh mengalir di bawah batu yang Ia duduki, membawa ranting kecil dan pucuk kering daun padi.
Menatap kembali langit yang biru, seperti ingin membenamkan dan melepaskan harapan dari mimpi-mimpi di hati. Seperti tidak ingin mengingat atau membuka lembaran langkah yang telah tertinggal jauh. Meski kini pun Ia telah memupuskan harapan akan cinta yang memang sulit akan dapat di raih, mungkin kah harapnya terlalu tinggi? Sedang Ia tidak pernah meminta dan berharap rembulan, Ia hanya berharap ada cinta yang mampu menerimanya dengan segala kekeuranganya, dan apakah mungkin itu pun harapan yang terlalu tinggi untuknya?
Lukijo kembali menundukkan wajahnya. Terasa senja kian hitam di hati, kian sirna harapan tiada mampu terlihat. Hanya senyum dari orang-orang yang telah menemukan harapanya yang terlihat.
Perlahan berdiri, menghirup udara yang berhembus. Senja di hatinya memang menghitam, dan akan terus menghitam dalam setiap langkah kakinya.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments