3. Cahaya di Atas Bukit.

Bukan karena dinginya kabut yang membuat rasanya kaku di tubuh, bukan pula sakitnya langkah berpacu di jalan yang memang tengah menanjak, tapi dingin dari senyum di sisi langkahnya yang membuatnya hanya mampu menatap sesal di rimbun gelap ilalang pinggir jalan.

Lukijo bagai memendam kata di hatinya untuk sekedar berucap dari orang di sampingnya.

"Jo, apa Kau enggak bosan dengan diam?"

Lukijo mesem di tahan. Pelan menggeleng, pandanganya selalu luruh saat mata Shely beradu dengan matanya.

"Udah bawaan dari orok," ucapnya berusaha tertawa meski terkesan di tutupi.

Shely mesem cantik.

Secantik Bulan yang tengah tertutup Awan putih berbaris dengan lesung kecil di bibir malam.

Gurat angker Bukit kian nampak di lereng-lereng yang telah di lewati, begitu kelam dan hitam dalam pandangan.

Suara hening lebih menarik di dengar di banding suara serangga malam yang membuat bulu kuduk sering berdiri sendiri jika mendengarnya.

Lukijo mengamati sebuah lampu listrik yang tergantung di tiang kayu yang akan di lewati di depan sebuah Rumah.

Serangga-serangga bersayap terlihat juga mengerubunginya.

Langkah ke duanya kian mendekati, dengan lebih banyak suara langkah kaki dari bibir yang berbincang.

Meski semenjak tadi Shely sudah banyak berbicara namun Lukijo terlalu sedikit untuk bisa mengimbangi dalam mengolah kata-kata di bibirnya.

Lukijo menghentikan langkahnya, mendekati Pohon Jambu kancing merah yang belum lagi berbuah.

Menegok ke arah Shely, lalu duduk di bangku panjang di bawah pohon.

Meski heran Shely mengikutinya.

Lagi dan lagi, setiap wajah-wajah cantik begitu berada di dekatnya, Lukijo seperti mati gaya, mati kata, mati -matian menahan rasa sesal di dalam dirinya.

"Jo?"

"Semakin malam semakin dingin oleh kabut, mungkin lebih baik kita disini aja," jelas Lukijo.

"Tapi Jo?"

Lukijo mesem tertunduk, menutupi rasa malu di hatinya untuk melihat wajah di sampingnya, yang ingin melihat cahaya pagi. Dan bukan pula Ia ingin memupuskan keingian Shely dan Wati, tapi untuk melewati malam di puncak Bukit itu yang kini Ia pertimbangkan, mengingat Shely belum terbiasa dengan kabut dingin di atas.

"Saat hampir pagi, baru kita ke atas,"jelas Lukijo. Melihat wajah Shely namun lekas kembali menatap gelap di kejauhan.

Shely mengangguk pelan.

Sedari tadi pun Ia sudah merasakan angkernya suasana malam di lerengnya, jaket tebalnya terasa dingin saat di pegang.

Bagimana jika di puncaknya? Sedangkan kabut tebal terlihat menyelimutinya

Jalan memang telah terang, namun gelap pun masih lagi melingkupi seluruh punggung Bukit semakin horor bila pikiran berkutat akan hal-hal di luar nalar.

"Apa Wati akan benar-benar menyusul kita?"

Lukijo dengan tertunduk memainkan kakinya dengan di ayun pelan, untuk mengurangi debar hatinya jika berbicara pada lawan jenis. Apalagi manis!

"Tadi sih, dia bilang begitu." Senyum cantik Shely melihat Lukijo.

Lukijo melayangkan kembali tatapanya di kejauhan, sedang senyum di sampingnya pun turut perlahan mengikuti.

Lukijo menelan ludah, terasa kering di tenggorkan meski udara terasa menggigit kulit wajahnya.

Sepertinya Wati sengaja untuk membuatnya dan Shely berdua, seperti yang pernah di lakukanya masa yang dahulu. Meski akhirnya berakhir dengan dingin juga.

"Jo, siapa pemilik rumahmu sekarang Jo?"

Shely melihat Rumah di belakangnya dan Lukijo duduk.

Lukijo pun segera menoleh.

Matanya seolah membuka pintu Rumah yang tertutup oleh kenangan di dalamnya.

Rumah di mana Ia di besarkan dengan segala kekurangan, kini telah di tempati orang lain.

"Aku kurang mengenalnya, hanya tau dari kampung seberang."

Lukijo kembali melihat kegelapan di kejauhan.

Shely mengamatinya.

Lukijo seperti tidak bergeming dengan tatapanya. Serba salahnya kembali menguras keringat dinginnya, diperhatikan sedemikan rupa, apalagi dengan wanita yang belum lama akrab membuatnya kocar-kacir dalam bersikap.

Diam sepertinya salah, banyak bicara tidak mungkin terucap di bibirnya.

Kadang Ia pun merasakan kurang nyamannya seserorang di dekatnya, kurang asyik untuk di jadikan teman bicara.

"Jo!"

Lukijo mesem tertunduk, tepukan sengaja di pundaknya.

"Apa kau enggak dingin?"

Lukijo menoleh pelan.

Dingin kabut yang Shely maksud tentunya, yang bukanlah sesuatu mengganggu dirinya, tapi dingin hati yang selalu membuatnya tergigit, tergigit sesal! tentunya.

"Udah biasa, selimut para penduduk Bukit," ucap Lukijo berusaha tertawa kecil.

Shely menghembuskan nafasnya.

"Jo, apakah di puncak enggak ada cahaya sama sekali?"

Shely dengan duduk bersila, mengurangi rasa dingin di tengkuknya.

Mesem kembali di bibir Lukijo. Menatap malu tiang listrik.

"Jangan malu-malu dengan ku jo," senyum manis Shely.

Lukijo menelan ludahnya pelan. Bukan malu yang berujung malu-malu-in! yang terasa di hati, tapi minder! berujung malu juga yang tengah menghimpit sempit rasa hatinya.

"Biasa aja jo,"tambah Shely lagi.

Lukijo berusaha menelan ludah kembali yang terasa lengket bagai permen karet, melihat wajah di dekatnya yang berlesung di dekat bibir.

Keram sudah lidah untuk sekedar mengusap bibir sendiri, tertahan dinginnya rasa yang kian jatuh. Jatuh dalam belenggu kerdilnya diri, diantara cahaya yang menerangi.

Lemas sudah langkah di hati untuk sekedar menyusuri telaga jernih keindahan hati, jalan menanjak penuh duri kecilnya hati yang memegali.

Arak kabut kian padat melayang menutupi jalan yang telah basah, samar dalam rasa akan sesalnya diri.

"Hanya ada gelap."

Lukijo mengusir debar hatinya. Tatap mata di dekatnya hampir sama dengan yang pernah menyentuh hatinya.

Kembali menatap gelap di kejauhaan, mengusir manis akan angan kosong yang coba kembali mengiris hatinya.

"Jo, Apa kau enggak bisa lebih diam dari ini?"

Shely seperti ingin mengusik lagi lamun jauhnya Lukijo.

"Bisa, kalo lagi tidur!"

Lukijo kini dengan tertawa kecil, meski terkesan ada yang di tutupi di bibirnya.

Wajah Shely sumringah senang, sedari tadi jarang sekali atau memang tidak pernah melihat Lukijo tertawa ke padanya.

"Apa lagi kalo lagi buang air besar, iya kan Jo!"

Tawanya kemudian.

Lukijo mengusap wajahnya yang berkeringat dingin, meski kabut menerpa dengan hawa yang dingin.

"Kalo lagi ma' plung! terus enggak diam, di pastikan lagi susah Be-A-Be," balasnya menanggapi.

"Ma' plung apa-an Jo?"

Lukijo mengulum senyumnya.

"Jo?"

"Iya itu, suara bom yang jatuh dari nongkrong," jelas Lukijo menahan tawa.

Shely menahan tawanya.

"Kalo yang duduk Jo?"

Tanyanya dengan hampir benar-benar tertawa.

Lukijo langsung menggaruk rambutnya.

"Aku belum pernah, ketemunya yang nongkrong melulu."

Shely langsung ngakak.

"Pernah duduk tapi kecepirit, itu juga di lantai bukan di wc," terang Lukijo.

Shely kian terpingkal.

Kabut yang kian pekat, kian buyar bersama tawa yang melayang di kegelapan suasana dan angkasa.

Geleng raut binatang malam, bagai heran dengan polah keduanya mengisi sunyi.

Angker wajah Bukit dari kejauhan tiadalah terlihat dari hangatnya keakraban yang mulai terjalin, seperti sebuah cahaya yang menerangi puncak Bukit yang kelam dengan pekatnya kabut.

cahaya yang mulai menerangi sisi gelap kekauan hati seorang Lukijo.

...****************...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!