Mutiara Retak

Mutiara Retak

Selaksa Kenangan

Rumahku!

Bangunan sederhana di mana tertanam selaksa kenangan di setiap sudut dan bagiannya itu, kutatap dengan perasaan hancur.

Aku berdiri tepat lurus di pintu pagar dengan tubuh bergetar.

Tak sekali pun pernah terbersit, akan kutinggalkan semuanya dengan cara seperti ini--bahkan sesaat lagi. Meninggalkan jutaan kisah yang terukir dari manisnya menjadi seorang putri yang begitu dicintai ayahnya.

Tenggelam dalam kepiluan tanpa bisa berontak walau satu hentak untuk bersikap.

Aku jatuh dan luluh seolah tak bernyawa.

Kuseka lagi-lagi air mata bodoh yang tak juga mau berhenti.

Kata 'ayah' sepertinya akan terus menjadi luka yang mungkin tak akan pernah mengering. Akan terus menganga seiring perginya ia dari hidupku.

“Ayo, Nak!”

Suara itu menyentakku kemudian. Aku menoleh ke arah sosok pria paruh baya berkacamata minus yang berdiri di sampingku, menatapnya sejenak, lalu mengangguk sekian detik setelahnya dengan berat hati. “Iya, Om.” Suara serakku terasa fals untuk didengar.

Sebelum berlalu, kusempatkan memeluk tubuh gempal Bu Saida, sosok yang selalu menemaniku selama ini. Dia adalah tetangga kami---aku dan ayah. Penghuni rumah sebelah yang begitu kusayangi karena kehangatan sikapnya. "Kepergian ayahmu bukan akhir dari segalanya, Nak," ucap wanita tua itu seraya terus mengelus kepalaku yang membenam di ceruknya. "Masa depanmu masih panjang. Jangan berlarut dalam kesedihan, ya?" Aku mengangguk dengan wajah ... tentu saja basah berderaian air mata.

Setelah lepas pelukan Bu Saida, aku bergeser mencium punggung tangan Pak Nandar--suaminya Bu Saida. “Jaga dirimu baik-baik, Nak. Jangan lupa main-main ke sini, jenguk kami,” ujarnya disertai senyuman seakan berat melepaskanku.

Aku mengangguk lagi. “Pasti, Pak.”

Pada akhirnya aku mengalah. Mengikuti alur baru yang sedikit pun tak bisa kugambarkan seperti apa rangkaiannya.

Aku masuk ke dalam mobil mewah yang pintunya sudah tersibak. Lalu duduk di jok paling ujung deretan kedua setelah kemudi, dengan bahu lemas dan kepala merunduk sedih, disusul pria paruh baya bernama Krisna itu di sampingku. Pintu tertutup, mobil mulai merangkak perlahan dan hati-hati menjauh dari halaman rumahku.

Terlihat dari spion luar, bayangan Bu Saida dan Pak Nandar masih berdiri menatap kepergian kami di kejauhan dengan tangan melambai-lambai melepas kepergianku.

“Tuhan ....”

Kupejamkan mata beberapa jenak, meresapi betapa ini bukanlah mimpi. Dadaku teramat sesak, seakan dihantam sesuatu yang sangat berat.

Aku benar-benar akan meninggalkan semuanya.

Dalam terjangan kacau, seolah menabur lukaku ke sekian kalinya, mataku melihat sehamparan luas lapangan berumput tak merata di tepi jalan masih sekitaran daerahku, yang beberapa waktu lalu kugunakan untuk belajar mengemudi motor bersama Ayah. Seketika semua bayangan itu muncul seperti memaksa merasuki pikirku. Tangisku pecah lagi-lagi.

“Muti!” Om Krisna merenggutku dalam dekapnya. “Sabar, Nak. Semua akan segera berakhir.”

Kalimat penenangnya tak menembus di kepalaku walau seulas. Aku terlalu kacau. Tapi dia terus mengelus rambut dan punggungku tak lelah memberi penenangan. Sampai beberapa saat kemudian, tangisku akhirnya mereda. Aku berhasil menguasai diri.

Tak nyaman berlama-lama dalam posisi ini, aku melepaskan diri dari pelukan Om Krisna, kembali ke posisi semula. Aku tak ingin melihat betapa matanya saat ini menatapku dengan raut iba. Aku tak ingin dikasihani.

Pada akhirnya aku memilih kembali tenggelam dalam beragam kenangan yang sebenarnya hanya membuatku sesak. Tapi aku tak bisa menyangkal untuk setidaknya mengatakan 'aku tak ingin berlarut'. Aku terlalu lemah untuk berontak.

“Muti.”

Suara lembut Om Krisna kembali memecah untaian bayang di kepalaku. Aku tersentak lalu mengangkat wajahku yang semula merunduk. Menolehnya sejenak, lalu menyahut, “Iya, Om.”

“Om harap kamu bisa menemukan kebahagiaanmu di kota sana. Suasana baru, lingkungan baru, sekolah baru ... semoga menjadi obat yang bisa membuat kamu lupa kesedihanmu.”

Aku paham kalimat itu. Aku ingin menyangkal, tapi suaraku tiba-tiba terasa tercekat di tenggorokan. Pada akhirnya hanya anggukan tak meyakinkan yang bisa kutunjukkan tanpa sepatah pun kata sebagai pendukung.

Aku tahu dia berdo'a untukku. Tapi kedalaman hatiku, tak siapa pun dapat menyelami, kecuali ... Tuhan!

Kugantungkan setiap detik napas dan hidupku pada-Mu, Tuhan. Aku menyerah--setidaknya untuk saat ini.

Tanpa terasa, mobil yang dikendarai seorang supir yang wajahnya bahkan tak bisa kulihat karena terhalang kursi yang didudukinya, sudah cukup jauh meninggalkan kampung halamanku. Aku menatap melalui kaca di sampingku.

Jalanan lengang yang hanya dilewati beberapa kendaraan serupa terasa hidup, karena roda mobil yang kutumpangi terus menggerusnya tanpa ampun.

Aku mendesah lagi-lagi. Sesak di dadaku masih betah tak ingin pergi.

Terlalu serius menikmati kepedihan dan dengan tolol menangisinya, membuatku akhirnya lelah. Kepalaku tersandar menyamping menghadap jalanan di balik kaca. Mataku layu dan mulai terasa berat walau sekedar untuk berkedip. Mengatup perlahan, lalu tenggelam dalam kegelapan, seolah hilang semua bebanku.

****

Setidaknya memakan waktu empat jam perjalanan, akhirnya kami sampai di tempat tujuan.

Aku tak percaya, sambutan keluarga Om Krisna begitu hangat terhadapku. Terlebih Tante Maria--istrinya. Wanita itu tak henti melontarkan pujian yang menurutku ... sedikit berlebihan. Katanya aku cantiklah, manislah, lugulah, baiklah, apa dan apalah. Padahal ini pertemuan pertama kami. Aku hanya menanggapinya dengan senyuman manis hambar karena sedikit dipaksakan. Sedang beberapa kulihat terus tersenyum menatapku. Termasuk di antaranya seorang pria tua yang tadi menyambut kami tergopoh di depan gerbang. Wajah hangatnya membuatku teringat pada Pak Nandar.

“Muti, ayo Tante anter ke kamar kamu, Sayang,” kata Tante Maria mengulurkan tangan ke arahku yang masih duduk tegang di atas sofa.

Kulirik Om Krisna yang duduk di sampingku seolah meminta pendapat. Pria itu mengangguk dan tersenyum. “Gak apa-apa, Nak. Sana ikut Tante.”

Tanpa sempat membalas kata, Tante Maria sudah lebih dulu menggamit tanganku dan menarik untuk berdiri. Kami berjalan beriringan dengan satu lengan Tante Maria melingkar di pundakku, menuju ke arah tangga di depan sana. Koper kecilku tertarik di tangan wanita paruh baya yang mungkin asisten rumah tangga di rumah ini, tepat di belakangku. Sedangkan ransel gendut masih tertekan dalam pelukku.

Mencapai pertengahan tangga, barulah aku menyadari, betapa megahnya rumah ini. Dan aku akan tinggal di dalamnya dalam jangka waktu yang ... aku pun tak tahu sampai kapan persisnya.

“Nah, sudah sampai. Ini kamarnya, Sayang.” Kalimat itu menyadarku dari beragam bayangan yang mengacau.

Sehelai pintu kamar yang baru saja dibuka Tante Maria, kulewati dengan langkah gontai. Mataku mengedar menyapu sekeliling petakan yang luasnya setara ruang tengah kamarku di kampung sana, adalah kamar yang akan aku tinggali mulai saat ini hingga ke depannya.

Terpopuler

Comments

Dam Lusitania

Dam Lusitania

mampir nih thor

2022-09-20

1

miqaela_isqa

miqaela_isqa

Nikmati aja, mana tau bisa pindah tangan 😂 awokwokwok

2022-08-05

1

miqaela_isqa

miqaela_isqa

🤧

2022-08-05

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!