Berjalan gontai menaiki tangga menuju ruangan yang mulai hari ini boleh disebut 'kamarku', aku masih merasa asing dengan suasana ini sebenarnya.
Lingkungan, makanan, bahkan cahaya lampu yang berpendar, semua terasa seperti mimpi. Aku berharap akan segera terbiasa dengan ini, tanpa tergulung kekacauan akibat rasa kehilangan yang teramat.
Kututup pintu tepat selangkah kakiku melewati ambangnya.
Duduk di ujung ranjang dengan kasur empuk yang sebenarnya sangat nyaman jika dinikmati dengan hati tanpa beban. Sayangnya aku tak sedang berada di mode itu. Pikiranku kembali berangan ke banyak situasi.
Selain kepergian Ayah yang tiba-tiba, di hari yang sama saat kematiannya, aku diputuskan oleh pacar yang sudah tiga tahun lamanya kucintai. Itu terjadi sesaat sebelum Ayah pergi meninggalkan rumah untuk menegur cowok itu, karena tak terima anak gadis kesayangannya disakiti dan dibuat menangis. Sampai satu jam setelahnya, aku mendapat telpon dari pihak kepolisian, kalau Ayah mengalami kecelakaan dan meninggal tak lama setelahnya.
Seolah dihantam jutaan tombak, seisi jiwaku serasa kebas. Keterkejutan lalu merangkak pada kesakitan yang teramat, membuatku ingin mati saja.
Hal itulah yang menjadi penyesalan terbesar dalam hatiku. Ayah pergi karena aku!
Digores lagi-lagi. Rasanya hatiku tak akan pernah ada penyembuhnya. Terlalu parah untuk bisa dipulihkan.
Beberapa waktu setelah puas berkelana pikir, aku lalu mengingat kembali susunan kalimat yang dijabarkan Om Krisna ketika di meja makan beberapa saat lalu.
Beliau bilang, lima hari lagi---atau hari senin tepatnya, aku sudah akan menjejakan kakiku di sekolah yang baru. Menghabiskan sisa smester, agar ijazah bisa kudapat lalu melanjutkan kuliah sesuai minatku.
Andai Ayah tak pergi begitu cepat, aku mungkin tak perlu pindah sekolah. Hanya sekitar tujuh bulan lagi, aku sudah akan lulus SMA di sekolah lamaku di Bandung. Sayangnya kenyataan memaksaku berpindah jalan. Sisa waktu SMA-ku terpaksa kuhabiskan di sekolah baru. Om Krisna tak setuju aku tinggal seorang diri di rumah lama. Beliau terlalu khawatir membiarkanku tak dengan siapa pun di sana. Itu sesuai permintaan Ayah juga pada pria itu di detik terakhirnya.
Siapa pun mungkin bertanya; Om Krisna ... siapa dia sebenarnya?
Akan kujabarkan dengan sejelasnya.
Flash back
Gaun monalisa biru selutut berlengan sesikut dengan aksen bunga-bunga sederhana, kupakai saat ini. Tas kecil putih yang kubeli minggu lalu di pasar raya bersama teman-teman, terselempang manis dari pundak kiri menyilang hingga ke pinggang kananku. Rambut panjangku kubiarkan tergerai begitu saja, terasa sesekali melecut seiring gerakku yang cukup bersemangat hari ini.
Aku ada janji pergi bersama seseorang sore hari ini. Padahal hal itu masih akan berlaku satu jam lagi, tapi aku sudah seperti cacing kepanasan. Bertingkah seolah akan bertemu Pangeran Inggris.
Ah, aku tak peduli. Aku harus total, agar tak ada yang terlihat kurang di matanya. Biar dia bukan Pangeran Inggris, tapi menurutku ... dia lebih dari sekedar itu. Aku memujanya dari segala sisi.
Suara sepatu kets yang kukenakan terdengar nyaring menghentak-hentak di lantai rumah. Aku keluar dari kamarku lalu berjalan menuju ke arah di mana Ayah tengah asyik membaca sehelai koran di ruang tengah. Kertas lebar dengan deretan tulisan ekstra kecil itu diangkatnya tinggi-tinggi, hingga menutupi wajahnya yang kadang terlihat arogan, namun kadang juga begitu manis. Yang jelas di mataku ... Ayah terlampau sempurna!
Aku sudah berdiri di sampingnya saat ini.
"Aku pamit, Yah," ucapku langsung aja, seraya menggamit tangan kanan yang membuat koran digenggamnya tercampak melambai di atas sofa. Izinku sudah terlontar beberapa saat setelah membaca pesan chat Nandan siang tadi. Jadi aku langsung pamit saja.
Kukecup punggung tangan kekar itu lalu melenggang setelah Ayah mengiyakan dengan senyumnya diiringi sebait kata, "Hati-hati. Jangan pulang malam-malam."
Aku membalasnya cepat, "Oke, Komandan!" Telapak kanan tanganku kutempatkan tepat di pelipis, berlagak layaknya kopral menghormat seorang Jendral. Dengan senyum mengembang aku berlanting pergi menuju pintu keluar dengan senyum merekah.
Namun belum sampai kakiku mencapai deretan lantai terakhir di ambang pintu, suara Ayah tiba-tiba menghentikanku.
"Muti!"
Aku menyahut seraya membalik tubuhku menghadapnya. "Ya, Yah?!"
Kulihat Ayah telah bangkit dari tempatnya dan tengah berjalan menghampiriku setelah menaruh korannya ke atas meja. Dia kini sudah berdiri di hadapanku.
"Pulang nanti belikan Ayah martabak keju yang di belokan deket lampu merah. Ayah mau makan itu. Bisa, 'kan?"
Senyumku mengembang lagi. Kukecup sekilas pipinya sebelum akhirnya berkata, "Oke, Ayah," kataku. "Muti pergi, ya!"
“Eh, tunggu!” cegat Ayah lagi.
Aku menoleh setengah mengerang. “Apa lagi, Yaaahhh ...?”
“Kamu ada uang buat belinya?”
Pertanyaan itu membuatku tersenyum. “Ada, kok, Yah. Ayah tenang aja.”
Ayah mengangguk seperti biasa dengan senyumnya.
Namun tiba-tiba setelah itu ...?
Dia menarik tangan lalu memelukku begitu erat sebelum aku benar-benar hengkang dari hadapnya. Mengusap dan mengecup dalam pucuk kepalaku bahkan hingga berulang.
Aku tentu saja bingung.
Keningku mengernyit menanggapi kelakuan tak biasanya ini.
"Ayah kenapa?" tanya polosku dengan kepala menempel miring di dadanya yang selalu terlihat kekar walau usia tak lagi muda. Detak jantungnya terasa merdu menembus telingaku.
Ayah melerai pelukan kami kemudian, lalu menatap mataku dengan kepala menunduk karena tinggi badan kami yang tak sebanding. Ujung kepalaku hanya berada sebatas dadanya.
"Jaga diri baik-baik, Nak. Ayah sayang Muti."
Kerutan di keningku semakin menebal, namun juga tak bisa menemukan kata yang tepat untuk membalasnya, selain, "Muti juga sayang Ayah," balasku gamang. Aku bahkan merasa aneh dengan jawabanku sendiri. Kutatap wajah tuanya yang tak pernah hilang ketampanannya sepanjang waktu itu.
"Ya udah, sana pergi. Nanti Nandan kelamaan nunggu kamu," ujarnya dengan tangan terkibas seolah mengusirku.
Aku hanya menanggapi dengan anggukan tipis saja. Senyum ini terasa samar kusunggingkan. Aku merasa tatapannya begitu lain hari ini. Dia begitu manis, sekaligus rapuh di waktu yang bersamaan.
Sampai kemudian suara klakson di halaman membuyarkan pikiran dangkalku.
"Taksinya dateng tuh," kata Ayah menunjuk keluar dengan dagunya.
Aku mengikuti arah pandang, lalu kembali menatapnya. "Ya, udah. Muti pamit ya, Yah. Martabaknya pasti Muti beliin."
"Iya, Sayang. Hati-hati."
Lagi-lagi perasaanku berdesir aneh. Suara Ayah terasa sangat lembut dan merdu di telingaku. Aku berjalan keluar seraya menggelengkan kepala berkali-kali untuk menepis perasaanku yang tiba-tiba diserang resah.
Kutatap dia yang tersenyum di ambang pintu. Terus melihatku yang saat ini sudah duduk di dalam taksi. Kubalas senyumnya sesaat sebelum akhirnya taksi yang kutumpangi benar-benar melaju pergi meninggalkan pekarangan rumah.
“Ada apa sama Ayah?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
🎙🅰️dy🅿️acin☯️📖📻
bisakah saya ngedubbing novelmu nyak Magis-na? kite tukar pasangan yuk! uups🤭 maksud eik tukar guling, eh kite tukar novel untuk didubbing... cemangad, cemingid, cemungud, cemenged, dan cemongod nyak yang punya aura magis... !!! 🤣🤣🤣
2022-09-20
0
NA_SaRi
Jangan blg kematian ayah Mutiara ada kaitannya ama cowok itu
2022-07-30
0
Machan
gua titip sekalian martabaknya ya. males keluar gua
2022-07-28
1