Aku mengerjap terperanjat, melepaskan diri sontak dari pelukan Nandan.
Sialan!
Aku benar-benar ketiduran. Gegas kulirik arloji di pergelangan tanganku yang tak kupedulikan sejak awal kami bertemu sore tadi.
Ya, Tuhan ... jam 11.30 malam.
"Ayah!"
Nama itu terlontar begitu saja dari mulutku.
Aku berdiri gegas dari posisi lalu mengedar ke sekeliling. Keadaan telah sepi. Hanya beberapa orang saja yang masih bersenda kata di satu titik bagian cukup jauh dari kami. Asyik dengan gitar dan nyanyian mereka.
"Kamu kenapa gak bangunin aku?!" omelku pada Nandan. "Ayah pasti marah besar!" sambung cemasku seraya merogoh ponsel di dalam tas selempangku yang tergolek di atas bangku.
"Aku udah hubungin ayah kamu.” Nandan berceletuk tiba-tiba. “Aku bilang, kamu udah tidur di kamar adik aku.”
???
Ponsel di tangan kuturunkan lambat, karena ternyata benda itu mati. Pandanganku lalu jatuh menusuk Nandan. “Apa?” tanya lemahku. “Kamu bilang apa?”
Terdengar hembusan napas kasar dari mulut Nandan. Sesaat ia memalingkan wajah ke lain arah. Seperti membuang sesuatu yang tak ingin kulihat. Lalu mendongak menatapku dengan raut sendu.
“Muti ...,” panggilnya pelan. “Duduk lagi sini.” Ia menarik tanganku, membuatku terpaksa kembali duduk di sampingnya.
Aku merasakan atmosfer lain dalam diri Nandan. Ia terlihat sedikit ... rapuh. Kutatap wajahnya yang menunduk. Nampak batang hidung mancungnya mendominasi penglihatanku.
“Ayah kamu gak marah kok,” ia menyambung, menghadap kembali ke wajahku dengan senyum lebar yang terkesan dipaksakan. Senyuman yang justru tersirat kerapuhan di dalamnya. Aku tahu itu.
“Kamu bohong!” hardikku. “Aku tahu gimana possesifnya Ayah. Kalo kamu bilang aku nginep di rumah kamu, dia pasti akan langsung datang buat jemput aku!”
Nampak jelas Nandan tersentak. Dalam beberapa saat ia diam. Menatapku penuh rasa bersalah. “Kamu bener, Mut.” Ia mengakui akhirnya. “Aku memang boong. Maafin aku.”
Demi apa pun, aku terhenyak. Siapa pun tidak akan mengira, dia adalah Nandan---terutama aku. Nandan anak hebat yang dikenal dengan kelembutannya oleh semua orang, termasuk ayahku. Sekarang dia sedang menculik aku. Bahkan berani mematikan ponselku tanpa berpikir akan seperti apa akibatnya untukku dan juga dia ke depannya di mata Ayah.
“Nandan, kamu jujur sama aku. Ada apa sebenernya sama kamu?” Pada akhirnya aku pun menuntut. Mencoba tetap lembut agar ia mau terbuka. Kukesampingkan perasaan takut tentang kemarahan ayah dengan seutuhnya.
Kelakuannya malam ini benar-benar di luar kebiasaan. Sedetik lalu, aku bahkan sempat mengira dia kesurupan, karena rela berbohong pada Ayah, hanya demi kenyamanan atas apa yang dilakukannya saat ini. Tapi mana mungkin seperti itu?
Nandan terpekur menatapku. Sekilas kulihat tenggorokannya naik dan turun, seolah sulit menelan ludahnya sendiri saking terguncang.
Tapi aku tak bisa pastikan apa pun. Apakah dia benar terguncang ... atau tidak.
“Nandan!” tegurku sekali lagi.
Saat ini aku tidak memanggilnya sayang ataupun panggilan mesra lainnya, itu artinya perasaanku benar-benar tengah tak sedap. Kutatap wajahnya yang malah terdiam seperti dibekukan sesuatu. Aku tak bisa memaknai ekspresinya yang aneh itu. Dia melampaui batasnya sebagai Nandan yang kukenal sejauh ini.
Sampai beberapa saat kemudian, kulihat sebutir bening menggelinding dari kelopak matanya.
“Ya, Tuhan! Apa itu?!” pekik batinku.
Tentu saja aku terkejut. “Ka-kamu ... kamu kenapa nangis?” Bening bola matanya kelam memerah seolah penuh luka. Luka yang bahkan aku tak tahu, apa itu penyebabnya.
“Mut,” lirihnya memanggilku sesaat setelahnya. Kedua tangannya terjulur ke depan untuk menarik kedua telapak tanganku yang kemudian digenggam dan dikecupnya. “Aku sayang kamu,” ucapnya dalam isakan kecil yang tertahan.
Kuikuti gerak kepalanya yang terangkat, lalu beralih melihat punggung tanganku sendiri yang basah karena terkena lelehan air matanya. Perasaanku bergerak merambah kacau.
Ada apa ini sebenarnya?
Pertanyaan itu berulang menggema dalam pikirku. Ketenangan di dadaku mulai samar terendam situasi.
Lidahku entah kenapa malah terasa kelu, seolah tergerak hanya untuk menunggu Nandan mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi.
Kulihat dia membuang muka ke lain arah, seperti menghindari tatapanku yang masih memasang raut berharap.
Napas ditariknya dalam seraya menunduk. Setelah mungkin dirasanya cukup, ia lalu tegak memandangku kembali. Dalam beberapa jenak ia terdiam, menatapku seperti ada keraguan dalam yang terlihat begitu sulit dilontarkan.
Dipejamkannya mata sesaat sebelum akhirnya mengungkapkan, “Mut ... maafin aku.” Cukup lama dia membeku, lalu kembali melanjutkan dengan nada dipenuhi keraguan.
“Maaf?” tanyaku menyela. “Untuk apa?”
Dia diam, cukup lama. Dan aku masih menunggu.
“Aku ... aku ... aku harus akhirin hubungan kita sampai di sini.”
Hening ....
Susah payah kutelan salivaku. Pikiranku masih mencoba mencerna setiap kata-kata itu, dan .... “Nan ... ini ... maksud kamu ...?”
“Aku serius, Mut!” sergah Nandan meyakinkan. “Kita bener-bener harus putus!”
Tidak! Aku tidak salah dengar! Telingaku benar-benar masih berfungsi dengan baik. Jika dilukiskan dalam suara, maka gelegar petirlah yang paling tepat mewakili perasaanku saat ini. Aku menanggapinya dengan mata membulat penuh keterkejutan, dan tentu saja ... tak percaya!
“Nan ... ka-kamu pasti lagi ngeprank aku, 'kan?” Terbata aku bertanya, masih tak percaya tentu saja.
Tapi anehnya, sepasang mataku menyikapinya lain. Berkaca-kaca dengan air mata yang menggenang di ujung kelopak, lalu menitik jatuh kemudian. Seolah tak menyangkal bahwa itu bukan sebentuk lelucon.
“Plis, Nandan ... ini gak lucu!”
Bukan jawaban yang kuinginkan dari mulutnya, Nandan malah menarik leherku mendekat ke arahnya, lalu mendaratkan ciuman lekat di bibirku. Begitu dalam dan kuat seolah mengunci, meskipun aku terus meronta meminta dilepaskan. Aku tak butuh peluk dan kecupan. Aku hanya mengharapkan kejujuran yang menarik situasi ini semakin jelas.
Sekali lagi ... ada apa ini sebenarnya?
Ia melepaskan ciumannya setelah aku menekan dadanya cukup kuat oleh kedua tanganku yang terjepit di antara tubuh kami yang saling menempel.
“Jawab aku, Nandan?!” desakku sesak. Lelehan air mataku mulai deras menganak sungai.
Namun Nandan seperti kehilangan kata-katanya. Ia hanya terisak. Isakan yang kemudian menarik kesadaranku, bahwa semua yang dikatakannya itu ... bukan sebuah prank ataupun kebohongan belaka. Aku tidak tolol hanya untuk membedakan guratan ekspresi seseorang, antara jujur dan tidaknya dia.
Nandan ... dia benar-benar serius mengucapkan keputusan itu.
Nandan ... dia benar-benar mengungkapkan perpisahan.
Menyadari semua bukan bualan, tangisku pecah seketika. Aku menarik tubuhku menjauh darinya, dan ia tak mencegah. Aku mundur dengan telapak tangan membekap mulut seraya menggeleng-geleng.
“Mut ...,” panggil rapuh Nandan. “Maafin aku.”
Tangisku semakin sesenggukan. Kata maaf yang diucapkannya benar-benar terasa seperti belati yang mengoyakku hingga hancur seperti remah.
“Kenapa? .... Kenapa, Nandan, kenapa?! .... Apa aku ada salah sama kamu? .... Jelasin semuanya, Nandan!”
Cowok itu memaut kasar wajah lalu mencengkram rambutnya seraya berteriak frustasi. Aku menghempaskan diriku kembali ke atas bangku--duduk di sana seraya terus menangis.
Tak peduli sekitar dengan tatapan pasang mata mereka.
Tekanan perasaan dan emosi lebih mendominasi dibanding pandangan orang lain terhadap kami.
Akan kutunggu! Akan kutunggu sampai Nandan siap menjelaskan. Aku harus dapat jawabannya saat ini juga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Machan
gua belom bisa memprediksi apapun masalah s nandan. oke, lanjut nangis dulu mut
2022-08-04
0
NA_SaRi
Belum bisa nebak sih ada masalah apa di sini, hey ... tolong
2022-07-31
0