Dia Itu Pacarku

Keluar dari taksi, perasaanku masih dalam keadaan aneh karena kelakuan Ayah. Dahiku terus mengerut memikirkan betapa tak biasanya dia seperti itu. Namun semua berubah, setelah hidungku mencium aroma khas bunga melati yang berjejer di satu sisi halaman. Seketika aku tersenyum dengan tatapan sudah terkunci ke arah bunga-bunga itu.

Awalnya aku ingin bermain barang sekejap sebelum masuk ke dalam kafe. Mencium satu kelopak bunga dengan penuh perasaan. Namun sepertinya itu tidak akan terealisasi. Sesuatu menahanku seperti sihir.

“Muti!”

Aku menolehnya.

Sosok itu berdiri tepat di ambang lebar pintu kafe dengan pesona yang tak main-main. Kemeja flanel yang tak dikancing seluruhnya dengan kaos putih polos mengintip di sela dada. Bagian tangan yang digulung sekitar dua lipatan, berhias jam tangan hitam estetik di pergelangan, benar-benar style kesukaanku. Slim fit jeans diakhiri sepatu kets putih corak hitam, menambah macho pesona anak muda kekinian. Dan dia adalah ... pacarku!

Ah, tidak!

Aku meleleh.

“Eh, hay!” tanganku melambai kaku teriring cengiran aneh.

Dia berjalan mendekat ke arahku. “Kebiasaan mampir-mampir,” omelnya. “Ayo masuk! Aku udah pilihin kursi.”

Aku mengangguk dengan senyum sok kemanisan. “Oke!” balasku singkat saja.

Berjalan dengan perasaan gembira. Langkah kaki terayun riang dengan senyum mengembang. Bergandengan dengannya yang selalu nampak manis walau dilihat dari jarak yang tak dekat. Membuatku merasa menjadi wanita paling beruntung sejagat raya.

Dialah Nandan--Nandan Adiraksa--pacarku.

Kusombongkan sedikit tentangnya.

Dia itu manis. Dia selalu bisa membuatku tak bisa tidur semalaman hanya karena hal-hal kecil yang mungkin menurut orang biasa saja, namun justru terkesan ajaib menurutku.

Lihat! Wajah itu selalu tampan kapan pun dan di mana pun. Entah aku yang berlebihan, atau dia memang sesempurna itu.

Dia tak pernah membuatku menunggu. Selalu datang lebih awal saat kami janji bertemu seperti ini, begitu pun saat dia menjemputku ke rumah untuk ke sekolah bersama atau lainnya.

Saat Pak Sodikin keluar dari mushola di pagi buta ba'da subuh, Nandan sudah bertengger di atas motornya di depan rumahku dengan sekepal roti bakar yang dibelinya di ujung gang. Dan acapkali pula aku menegurnya karena datang terlalu pagi.

Sedikit tentang kami;

Aku dan Nandan menjalin hubungan itu dari tiga tahun lalu, tepatnya saat aku baru menjadi murid baru di SMA yang sama dengannya. Nandan kakak kelasku dengan jarak dua angkatan. Cinta kami terjalin begitu saja. Dia yang gencar mendekat dan aku yang akhirnya tak bisa menolak.

Kursi yang ditandai Nandan sudah kami duduki dengan posisi berdampingan.

Kutaruh tas selempangku di atas meja agar tak mengganggu. Sesaat mengamati sekitar. Hari cukup ramai pengunjung rupanya, kata hatiku.

“Liat apa, sih?” Nandan bertanya.

“Cari cowok,” balasku sekenanya.

“Cowok?”

"Humm. Siapa tahu aja ada yang lebih keren dari kamu di sini.” Aku kembali celingak-celinguk seperti orang sinting. “Tapi gak ada. semuanya jelek!”

Nandan terkekeh sembari mengasak gemas kepalaku. “Bilang aja kamu cinta mati sama aku.”

“Bisa jadi!” balasku terus terang.

Sisa kekehan Nandan masih belum memudar.

“Ya udah. Mau makan apa?” tanyanya lantas.

Sekarang aku yang memasang wajah berpikir. Membayangkan makanan apa yang enak untuk memanjakan lidah dan perutku yang sebenarnya tak begitu mendamba. Sebelum menjawab, pandangku bergeser pada sepiring kentang goreng yang baru disantap separuhnya oleh Nandan. Terlihat saus yang sedikit belepotan di tepian piringnya, yang menandakan ia sudah cukup lama berada di sini.

“Jus jeruk aja deh. Kalo makan aku masih kenyang,” kataku kemudian.

Tanpa banyak bertanya lagi, Nandan mengangguk saja. “Ya udah kalo gitu.”

Seorang pelayan lelaki menghampiri saat panggilan dan gestur Nandan dimengertinya, lalu kembali pergi setelah mencatat pesananku juga tambahan pesanan Nandan di nota kecil yang dibawanya.

Tak sampai sepuluh menit, dua gelas jangkung jus dengan rasa berbeda sudah apik berdiri di depan kami masing-masing. Aku mulai mengoceknya dengan sedotan bengkok yang sudah ada di dalamnya. Sedangkan Nandan malah terdiam dengan tatapan lurus ke arah wajahku.

“Ada apa? Kok liatin akunya kayak gitu banget?” tegurku ingin tahu.

Entah hanya perasaanku atau bukan, seulas senyuman getir tertarik di bibir Nandan. Padahal sesaat lalu dia baru saja terkekeh karena gombalan recehku. Cowok itu membuang wajah ke jendela kaca di mana terlihat jelas koleksi bunga melati yang tadi sempat mencuri perhatianku, lalu kembali menatapku dan berkata, “Gak ada apa-apa. Aku cuma mau minta maaf, tadi gak bisa jemput kamu ke rumah.”

Penjelasan kecil itu kutanggapi dengan senyuman juga sedikit kalimat, “Gak apa. Aku ngerti kok.”

Ya! Aku memang mengerti, lebih tepatnya berusaha mengerti. Ini seperti bukan Nandan-ku.

Bukan karena aku manja dengan terus merepotkannya untuk menjemputku kemana pun aku pergi, bukan pula karena curiga, tapi ... hanya sedikit merasa heran dan tak biasa.

Pasalnya, selama kami berpacaran, Nandan tak pernah sekali pun membiarkan aku bepergian sendiri, termasuk saat pergi ke sekolah. Ia juga tak suka aku diantar Ayah. Karena baginya semua itu tanggung jawabnya--walaupun cukup terdengar konyol sebenarnya, karena status kami---boleh katakan masih termasuk cinta monyet anak-anak labil.

Itu kata orang tua, termasuk ayahku. Tapi menurut kami--aku dan Nandan, kami tidak sedangkal itu. Cinta kami tak seperti cinta monyet yang bisa luruh dengan mudah. Cinta kami punya kekuatan! Begitu kenyataannya.

“Mut,” panggil pelan Nandan kemudian. “Kita jalan-jalan, yuk?” ajaknya tiba-tiba saja.

“Ha?” Aku sedikit tersentak. Sepasang mataku menatapnya dengan kening berkerut. Bukan karena ajakannya, melainkan ... dia tak memperpanjang bahasan sebelumnya. Dan ini aneh.

Nandan yang biasanya, akan mati-matian meminta maaf padaku hanya karena masalah kecil yang tak berarti, walaupun aku sama sekali tak mempermasalahkan itu. Tapi kali ini ... dia seperti bukan Nandan yang kukenal.

Belum habis aku bergelut dengan pikirku, dia sudah lebih dulu menarik satu tanganku untuk berdiri. Kulihat sehelai uang pecahan seratus ribuan sudah tercampak di atas meja. Seperti dia sudah menebak, bahwa harga makanan dan minuman yang kami pesan, tak akan kurang dari nominal yang ia taruh.

“Hey, kita mau kemana? Ini udah mendung lho!” Aku memprotes. “Aku juga bilang sama Ayah cuma pergi sebentar.”

Nandan terus menarikku. Helm putih yang biasa kupakai saat kami boncengan, ia pasangkan di kepalaku hati-hati saat berada tepat di samping motornya. “Aku telpon ayah kamu nanti. Kita senang-senang hari ini. Aku mau kita pergi ke berbagai tempat.”

Apalah daya, seperti biasa, senyumnya itu selalu akan membiusku. Aku mengangguk patuh seperti orang tolol.

Di suasana mendekat temaram, motor Nandan mulai melaju. Aku memeluk pinggangnya erat dengan kepala tersangga pundaknya yang semakin terasa kekar.

Ahh, aroma ini ... aroma tubuhnya. Aku ingin menikah dengannya sekarang juga!

Terpopuler

Comments

KOwKen

KOwKen

eaak mangat!! sumvah, pengn bngt baca tp ga punya waktu

2022-08-02

1

Machan

Machan

duuh, yang masih pacaran.

buruan atuh nikah, biar bebas kemanapun

2022-07-30

0

NA_SaRi

NA_SaRi

Masih sekula, Woooy

2022-07-30

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!