NovelToon NovelToon

Mutiara Retak

Selaksa Kenangan

Rumahku!

Bangunan sederhana di mana tertanam selaksa kenangan di setiap sudut dan bagiannya itu, kutatap dengan perasaan hancur.

Aku berdiri tepat lurus di pintu pagar dengan tubuh bergetar.

Tak sekali pun pernah terbersit, akan kutinggalkan semuanya dengan cara seperti ini--bahkan sesaat lagi. Meninggalkan jutaan kisah yang terukir dari manisnya menjadi seorang putri yang begitu dicintai ayahnya.

Tenggelam dalam kepiluan tanpa bisa berontak walau satu hentak untuk bersikap.

Aku jatuh dan luluh seolah tak bernyawa.

Kuseka lagi-lagi air mata bodoh yang tak juga mau berhenti.

Kata 'ayah' sepertinya akan terus menjadi luka yang mungkin tak akan pernah mengering. Akan terus menganga seiring perginya ia dari hidupku.

“Ayo, Nak!”

Suara itu menyentakku kemudian. Aku menoleh ke arah sosok pria paruh baya berkacamata minus yang berdiri di sampingku, menatapnya sejenak, lalu mengangguk sekian detik setelahnya dengan berat hati. “Iya, Om.” Suara serakku terasa fals untuk didengar.

Sebelum berlalu, kusempatkan memeluk tubuh gempal Bu Saida, sosok yang selalu menemaniku selama ini. Dia adalah tetangga kami---aku dan ayah. Penghuni rumah sebelah yang begitu kusayangi karena kehangatan sikapnya. "Kepergian ayahmu bukan akhir dari segalanya, Nak," ucap wanita tua itu seraya terus mengelus kepalaku yang membenam di ceruknya. "Masa depanmu masih panjang. Jangan berlarut dalam kesedihan, ya?" Aku mengangguk dengan wajah ... tentu saja basah berderaian air mata.

Setelah lepas pelukan Bu Saida, aku bergeser mencium punggung tangan Pak Nandar--suaminya Bu Saida. “Jaga dirimu baik-baik, Nak. Jangan lupa main-main ke sini, jenguk kami,” ujarnya disertai senyuman seakan berat melepaskanku.

Aku mengangguk lagi. “Pasti, Pak.”

Pada akhirnya aku mengalah. Mengikuti alur baru yang sedikit pun tak bisa kugambarkan seperti apa rangkaiannya.

Aku masuk ke dalam mobil mewah yang pintunya sudah tersibak. Lalu duduk di jok paling ujung deretan kedua setelah kemudi, dengan bahu lemas dan kepala merunduk sedih, disusul pria paruh baya bernama Krisna itu di sampingku. Pintu tertutup, mobil mulai merangkak perlahan dan hati-hati menjauh dari halaman rumahku.

Terlihat dari spion luar, bayangan Bu Saida dan Pak Nandar masih berdiri menatap kepergian kami di kejauhan dengan tangan melambai-lambai melepas kepergianku.

“Tuhan ....”

Kupejamkan mata beberapa jenak, meresapi betapa ini bukanlah mimpi. Dadaku teramat sesak, seakan dihantam sesuatu yang sangat berat.

Aku benar-benar akan meninggalkan semuanya.

Dalam terjangan kacau, seolah menabur lukaku ke sekian kalinya, mataku melihat sehamparan luas lapangan berumput tak merata di tepi jalan masih sekitaran daerahku, yang beberapa waktu lalu kugunakan untuk belajar mengemudi motor bersama Ayah. Seketika semua bayangan itu muncul seperti memaksa merasuki pikirku. Tangisku pecah lagi-lagi.

“Muti!” Om Krisna merenggutku dalam dekapnya. “Sabar, Nak. Semua akan segera berakhir.”

Kalimat penenangnya tak menembus di kepalaku walau seulas. Aku terlalu kacau. Tapi dia terus mengelus rambut dan punggungku tak lelah memberi penenangan. Sampai beberapa saat kemudian, tangisku akhirnya mereda. Aku berhasil menguasai diri.

Tak nyaman berlama-lama dalam posisi ini, aku melepaskan diri dari pelukan Om Krisna, kembali ke posisi semula. Aku tak ingin melihat betapa matanya saat ini menatapku dengan raut iba. Aku tak ingin dikasihani.

Pada akhirnya aku memilih kembali tenggelam dalam beragam kenangan yang sebenarnya hanya membuatku sesak. Tapi aku tak bisa menyangkal untuk setidaknya mengatakan 'aku tak ingin berlarut'. Aku terlalu lemah untuk berontak.

“Muti.”

Suara lembut Om Krisna kembali memecah untaian bayang di kepalaku. Aku tersentak lalu mengangkat wajahku yang semula merunduk. Menolehnya sejenak, lalu menyahut, “Iya, Om.”

“Om harap kamu bisa menemukan kebahagiaanmu di kota sana. Suasana baru, lingkungan baru, sekolah baru ... semoga menjadi obat yang bisa membuat kamu lupa kesedihanmu.”

Aku paham kalimat itu. Aku ingin menyangkal, tapi suaraku tiba-tiba terasa tercekat di tenggorokan. Pada akhirnya hanya anggukan tak meyakinkan yang bisa kutunjukkan tanpa sepatah pun kata sebagai pendukung.

Aku tahu dia berdo'a untukku. Tapi kedalaman hatiku, tak siapa pun dapat menyelami, kecuali ... Tuhan!

Kugantungkan setiap detik napas dan hidupku pada-Mu, Tuhan. Aku menyerah--setidaknya untuk saat ini.

Tanpa terasa, mobil yang dikendarai seorang supir yang wajahnya bahkan tak bisa kulihat karena terhalang kursi yang didudukinya, sudah cukup jauh meninggalkan kampung halamanku. Aku menatap melalui kaca di sampingku.

Jalanan lengang yang hanya dilewati beberapa kendaraan serupa terasa hidup, karena roda mobil yang kutumpangi terus menggerusnya tanpa ampun.

Aku mendesah lagi-lagi. Sesak di dadaku masih betah tak ingin pergi.

Terlalu serius menikmati kepedihan dan dengan tolol menangisinya, membuatku akhirnya lelah. Kepalaku tersandar menyamping menghadap jalanan di balik kaca. Mataku layu dan mulai terasa berat walau sekedar untuk berkedip. Mengatup perlahan, lalu tenggelam dalam kegelapan, seolah hilang semua bebanku.

****

Setidaknya memakan waktu empat jam perjalanan, akhirnya kami sampai di tempat tujuan.

Aku tak percaya, sambutan keluarga Om Krisna begitu hangat terhadapku. Terlebih Tante Maria--istrinya. Wanita itu tak henti melontarkan pujian yang menurutku ... sedikit berlebihan. Katanya aku cantiklah, manislah, lugulah, baiklah, apa dan apalah. Padahal ini pertemuan pertama kami. Aku hanya menanggapinya dengan senyuman manis hambar karena sedikit dipaksakan. Sedang beberapa kulihat terus tersenyum menatapku. Termasuk di antaranya seorang pria tua yang tadi menyambut kami tergopoh di depan gerbang. Wajah hangatnya membuatku teringat pada Pak Nandar.

“Muti, ayo Tante anter ke kamar kamu, Sayang,” kata Tante Maria mengulurkan tangan ke arahku yang masih duduk tegang di atas sofa.

Kulirik Om Krisna yang duduk di sampingku seolah meminta pendapat. Pria itu mengangguk dan tersenyum. “Gak apa-apa, Nak. Sana ikut Tante.”

Tanpa sempat membalas kata, Tante Maria sudah lebih dulu menggamit tanganku dan menarik untuk berdiri. Kami berjalan beriringan dengan satu lengan Tante Maria melingkar di pundakku, menuju ke arah tangga di depan sana. Koper kecilku tertarik di tangan wanita paruh baya yang mungkin asisten rumah tangga di rumah ini, tepat di belakangku. Sedangkan ransel gendut masih tertekan dalam pelukku.

Mencapai pertengahan tangga, barulah aku menyadari, betapa megahnya rumah ini. Dan aku akan tinggal di dalamnya dalam jangka waktu yang ... aku pun tak tahu sampai kapan persisnya.

“Nah, sudah sampai. Ini kamarnya, Sayang.” Kalimat itu menyadarku dari beragam bayangan yang mengacau.

Sehelai pintu kamar yang baru saja dibuka Tante Maria, kulewati dengan langkah gontai. Mataku mengedar menyapu sekeliling petakan yang luasnya setara ruang tengah kamarku di kampung sana, adalah kamar yang akan aku tinggali mulai saat ini hingga ke depannya.

Kilas Balik

Berjalan gontai menaiki tangga menuju ruangan yang mulai hari ini boleh disebut 'kamarku', aku masih merasa asing dengan suasana ini sebenarnya.

Lingkungan, makanan, bahkan cahaya lampu yang berpendar, semua terasa seperti mimpi. Aku berharap akan segera terbiasa dengan ini, tanpa tergulung kekacauan akibat rasa kehilangan yang teramat.

Kututup pintu tepat selangkah kakiku melewati ambangnya.

Duduk di ujung ranjang dengan kasur empuk yang sebenarnya sangat nyaman jika dinikmati dengan hati tanpa beban. Sayangnya aku tak sedang berada di mode itu. Pikiranku kembali berangan ke banyak situasi.

Selain kepergian Ayah yang tiba-tiba, di hari yang sama saat kematiannya, aku diputuskan oleh pacar yang sudah tiga tahun lamanya kucintai. Itu terjadi sesaat sebelum Ayah pergi meninggalkan rumah untuk menegur cowok itu, karena tak terima anak gadis kesayangannya disakiti dan dibuat menangis. Sampai satu jam setelahnya, aku mendapat telpon dari pihak kepolisian, kalau Ayah mengalami kecelakaan dan meninggal tak lama setelahnya.

Seolah dihantam jutaan tombak, seisi jiwaku serasa kebas. Keterkejutan lalu merangkak pada kesakitan yang teramat, membuatku ingin mati saja.

Hal itulah yang menjadi penyesalan terbesar dalam hatiku. Ayah pergi karena aku!

Digores lagi-lagi. Rasanya hatiku tak akan pernah ada penyembuhnya. Terlalu parah untuk bisa dipulihkan.

Beberapa waktu setelah puas berkelana pikir, aku lalu mengingat kembali susunan kalimat yang dijabarkan Om Krisna ketika di meja makan beberapa saat lalu.

Beliau bilang, lima hari lagi---atau hari senin tepatnya, aku sudah akan menjejakan kakiku di sekolah yang baru. Menghabiskan sisa smester, agar ijazah bisa kudapat lalu melanjutkan kuliah sesuai minatku.

Andai Ayah tak pergi begitu cepat, aku mungkin tak perlu pindah sekolah. Hanya sekitar tujuh bulan lagi, aku sudah akan lulus SMA di sekolah lamaku di Bandung. Sayangnya kenyataan memaksaku berpindah jalan. Sisa waktu SMA-ku terpaksa kuhabiskan di sekolah baru. Om Krisna tak setuju aku tinggal seorang diri di rumah lama. Beliau terlalu khawatir membiarkanku tak dengan siapa pun di sana. Itu sesuai permintaan Ayah juga pada pria itu di detik terakhirnya.

Siapa pun mungkin bertanya; Om Krisna ... siapa dia sebenarnya?

Akan kujabarkan dengan sejelasnya.

Flash back

Gaun monalisa biru selutut berlengan sesikut dengan aksen bunga-bunga sederhana, kupakai saat ini. Tas kecil putih yang kubeli minggu lalu di pasar raya bersama teman-teman, terselempang manis dari pundak kiri menyilang hingga ke pinggang kananku. Rambut panjangku kubiarkan tergerai begitu saja, terasa sesekali melecut seiring gerakku yang cukup bersemangat hari ini.

Aku ada janji pergi bersama seseorang sore hari ini. Padahal hal itu masih akan berlaku satu jam lagi, tapi aku sudah seperti cacing kepanasan. Bertingkah seolah akan bertemu Pangeran Inggris.

Ah, aku tak peduli. Aku harus total, agar tak ada yang terlihat kurang di matanya. Biar dia bukan Pangeran Inggris, tapi menurutku ... dia lebih dari sekedar itu. Aku memujanya dari segala sisi.

Suara sepatu kets yang kukenakan terdengar nyaring menghentak-hentak di lantai rumah. Aku keluar dari kamarku lalu berjalan menuju ke arah di mana Ayah tengah asyik membaca sehelai koran di ruang tengah. Kertas lebar dengan deretan tulisan ekstra kecil itu diangkatnya tinggi-tinggi, hingga menutupi wajahnya yang kadang terlihat arogan, namun kadang juga begitu manis. Yang jelas di mataku ... Ayah terlampau sempurna!

Aku sudah berdiri di sampingnya saat ini.

"Aku pamit, Yah," ucapku langsung aja, seraya menggamit tangan kanan yang membuat koran digenggamnya tercampak melambai di atas sofa. Izinku sudah terlontar beberapa saat setelah membaca pesan chat Nandan siang tadi. Jadi aku langsung pamit saja.

Kukecup punggung tangan kekar itu lalu melenggang setelah Ayah mengiyakan dengan senyumnya diiringi sebait kata, "Hati-hati. Jangan pulang malam-malam."

Aku membalasnya cepat, "Oke, Komandan!" Telapak kanan tanganku kutempatkan tepat di pelipis, berlagak layaknya kopral menghormat seorang Jendral. Dengan senyum mengembang aku berlanting pergi menuju pintu keluar dengan senyum merekah.

Namun belum sampai kakiku mencapai deretan lantai terakhir di ambang pintu, suara Ayah tiba-tiba menghentikanku.

"Muti!"

Aku menyahut seraya membalik tubuhku menghadapnya. "Ya, Yah?!"

Kulihat Ayah telah bangkit dari tempatnya dan tengah berjalan menghampiriku setelah menaruh korannya ke atas meja. Dia kini sudah berdiri di hadapanku.

"Pulang nanti belikan Ayah martabak keju yang di belokan deket lampu merah. Ayah mau makan itu. Bisa, 'kan?"

Senyumku mengembang lagi. Kukecup sekilas pipinya sebelum akhirnya berkata, "Oke, Ayah," kataku. "Muti pergi, ya!"

“Eh, tunggu!” cegat Ayah lagi.

Aku menoleh setengah mengerang. “Apa lagi, Yaaahhh ...?”

“Kamu ada uang buat belinya?”

Pertanyaan itu membuatku tersenyum. “Ada, kok, Yah. Ayah tenang aja.”

Ayah mengangguk seperti biasa dengan senyumnya.

Namun tiba-tiba setelah itu ...?

Dia menarik tangan lalu memelukku begitu erat sebelum aku benar-benar hengkang dari hadapnya. Mengusap dan mengecup dalam pucuk kepalaku bahkan hingga berulang.

Aku tentu saja bingung.

Keningku mengernyit menanggapi kelakuan tak biasanya ini.

"Ayah kenapa?" tanya polosku dengan kepala menempel miring di dadanya yang selalu terlihat kekar walau usia tak lagi muda. Detak jantungnya terasa merdu menembus telingaku.

Ayah melerai pelukan kami kemudian, lalu menatap mataku dengan kepala menunduk karena tinggi badan kami yang tak sebanding. Ujung kepalaku hanya berada sebatas dadanya.

"Jaga diri baik-baik, Nak. Ayah sayang Muti."

Kerutan di keningku semakin menebal, namun juga tak bisa menemukan kata yang tepat untuk membalasnya, selain, "Muti juga sayang Ayah," balasku gamang. Aku bahkan merasa aneh dengan jawabanku sendiri. Kutatap wajah tuanya yang tak pernah hilang ketampanannya sepanjang waktu itu.

"Ya udah, sana pergi. Nanti Nandan kelamaan nunggu kamu," ujarnya dengan tangan terkibas seolah mengusirku.

Aku hanya menanggapi dengan anggukan tipis saja. Senyum ini terasa samar kusunggingkan. Aku merasa tatapannya begitu lain hari ini. Dia begitu manis, sekaligus rapuh di waktu yang bersamaan.

Sampai kemudian suara klakson di halaman membuyarkan pikiran dangkalku.

"Taksinya dateng tuh," kata Ayah menunjuk keluar dengan dagunya.

Aku mengikuti arah pandang, lalu kembali menatapnya. "Ya, udah. Muti pamit ya, Yah. Martabaknya pasti Muti beliin."

"Iya, Sayang. Hati-hati."

Lagi-lagi perasaanku berdesir aneh. Suara Ayah terasa sangat lembut dan merdu di telingaku. Aku berjalan keluar seraya menggelengkan kepala berkali-kali untuk menepis perasaanku yang tiba-tiba diserang resah.

Kutatap dia yang tersenyum di ambang pintu. Terus melihatku yang saat ini sudah duduk di dalam taksi. Kubalas senyumnya sesaat sebelum akhirnya taksi yang kutumpangi benar-benar melaju pergi meninggalkan pekarangan rumah.

“Ada apa sama Ayah?”

Dia Itu Pacarku

Keluar dari taksi, perasaanku masih dalam keadaan aneh karena kelakuan Ayah. Dahiku terus mengerut memikirkan betapa tak biasanya dia seperti itu. Namun semua berubah, setelah hidungku mencium aroma khas bunga melati yang berjejer di satu sisi halaman. Seketika aku tersenyum dengan tatapan sudah terkunci ke arah bunga-bunga itu.

Awalnya aku ingin bermain barang sekejap sebelum masuk ke dalam kafe. Mencium satu kelopak bunga dengan penuh perasaan. Namun sepertinya itu tidak akan terealisasi. Sesuatu menahanku seperti sihir.

“Muti!”

Aku menolehnya.

Sosok itu berdiri tepat di ambang lebar pintu kafe dengan pesona yang tak main-main. Kemeja flanel yang tak dikancing seluruhnya dengan kaos putih polos mengintip di sela dada. Bagian tangan yang digulung sekitar dua lipatan, berhias jam tangan hitam estetik di pergelangan, benar-benar style kesukaanku. Slim fit jeans diakhiri sepatu kets putih corak hitam, menambah macho pesona anak muda kekinian. Dan dia adalah ... pacarku!

Ah, tidak!

Aku meleleh.

“Eh, hay!” tanganku melambai kaku teriring cengiran aneh.

Dia berjalan mendekat ke arahku. “Kebiasaan mampir-mampir,” omelnya. “Ayo masuk! Aku udah pilihin kursi.”

Aku mengangguk dengan senyum sok kemanisan. “Oke!” balasku singkat saja.

Berjalan dengan perasaan gembira. Langkah kaki terayun riang dengan senyum mengembang. Bergandengan dengannya yang selalu nampak manis walau dilihat dari jarak yang tak dekat. Membuatku merasa menjadi wanita paling beruntung sejagat raya.

Dialah Nandan--Nandan Adiraksa--pacarku.

Kusombongkan sedikit tentangnya.

Dia itu manis. Dia selalu bisa membuatku tak bisa tidur semalaman hanya karena hal-hal kecil yang mungkin menurut orang biasa saja, namun justru terkesan ajaib menurutku.

Lihat! Wajah itu selalu tampan kapan pun dan di mana pun. Entah aku yang berlebihan, atau dia memang sesempurna itu.

Dia tak pernah membuatku menunggu. Selalu datang lebih awal saat kami janji bertemu seperti ini, begitu pun saat dia menjemputku ke rumah untuk ke sekolah bersama atau lainnya.

Saat Pak Sodikin keluar dari mushola di pagi buta ba'da subuh, Nandan sudah bertengger di atas motornya di depan rumahku dengan sekepal roti bakar yang dibelinya di ujung gang. Dan acapkali pula aku menegurnya karena datang terlalu pagi.

Sedikit tentang kami;

Aku dan Nandan menjalin hubungan itu dari tiga tahun lalu, tepatnya saat aku baru menjadi murid baru di SMA yang sama dengannya. Nandan kakak kelasku dengan jarak dua angkatan. Cinta kami terjalin begitu saja. Dia yang gencar mendekat dan aku yang akhirnya tak bisa menolak.

Kursi yang ditandai Nandan sudah kami duduki dengan posisi berdampingan.

Kutaruh tas selempangku di atas meja agar tak mengganggu. Sesaat mengamati sekitar. Hari cukup ramai pengunjung rupanya, kata hatiku.

“Liat apa, sih?” Nandan bertanya.

“Cari cowok,” balasku sekenanya.

“Cowok?”

"Humm. Siapa tahu aja ada yang lebih keren dari kamu di sini.” Aku kembali celingak-celinguk seperti orang sinting. “Tapi gak ada. semuanya jelek!”

Nandan terkekeh sembari mengasak gemas kepalaku. “Bilang aja kamu cinta mati sama aku.”

“Bisa jadi!” balasku terus terang.

Sisa kekehan Nandan masih belum memudar.

“Ya udah. Mau makan apa?” tanyanya lantas.

Sekarang aku yang memasang wajah berpikir. Membayangkan makanan apa yang enak untuk memanjakan lidah dan perutku yang sebenarnya tak begitu mendamba. Sebelum menjawab, pandangku bergeser pada sepiring kentang goreng yang baru disantap separuhnya oleh Nandan. Terlihat saus yang sedikit belepotan di tepian piringnya, yang menandakan ia sudah cukup lama berada di sini.

“Jus jeruk aja deh. Kalo makan aku masih kenyang,” kataku kemudian.

Tanpa banyak bertanya lagi, Nandan mengangguk saja. “Ya udah kalo gitu.”

Seorang pelayan lelaki menghampiri saat panggilan dan gestur Nandan dimengertinya, lalu kembali pergi setelah mencatat pesananku juga tambahan pesanan Nandan di nota kecil yang dibawanya.

Tak sampai sepuluh menit, dua gelas jangkung jus dengan rasa berbeda sudah apik berdiri di depan kami masing-masing. Aku mulai mengoceknya dengan sedotan bengkok yang sudah ada di dalamnya. Sedangkan Nandan malah terdiam dengan tatapan lurus ke arah wajahku.

“Ada apa? Kok liatin akunya kayak gitu banget?” tegurku ingin tahu.

Entah hanya perasaanku atau bukan, seulas senyuman getir tertarik di bibir Nandan. Padahal sesaat lalu dia baru saja terkekeh karena gombalan recehku. Cowok itu membuang wajah ke jendela kaca di mana terlihat jelas koleksi bunga melati yang tadi sempat mencuri perhatianku, lalu kembali menatapku dan berkata, “Gak ada apa-apa. Aku cuma mau minta maaf, tadi gak bisa jemput kamu ke rumah.”

Penjelasan kecil itu kutanggapi dengan senyuman juga sedikit kalimat, “Gak apa. Aku ngerti kok.”

Ya! Aku memang mengerti, lebih tepatnya berusaha mengerti. Ini seperti bukan Nandan-ku.

Bukan karena aku manja dengan terus merepotkannya untuk menjemputku kemana pun aku pergi, bukan pula karena curiga, tapi ... hanya sedikit merasa heran dan tak biasa.

Pasalnya, selama kami berpacaran, Nandan tak pernah sekali pun membiarkan aku bepergian sendiri, termasuk saat pergi ke sekolah. Ia juga tak suka aku diantar Ayah. Karena baginya semua itu tanggung jawabnya--walaupun cukup terdengar konyol sebenarnya, karena status kami---boleh katakan masih termasuk cinta monyet anak-anak labil.

Itu kata orang tua, termasuk ayahku. Tapi menurut kami--aku dan Nandan, kami tidak sedangkal itu. Cinta kami tak seperti cinta monyet yang bisa luruh dengan mudah. Cinta kami punya kekuatan! Begitu kenyataannya.

“Mut,” panggil pelan Nandan kemudian. “Kita jalan-jalan, yuk?” ajaknya tiba-tiba saja.

“Ha?” Aku sedikit tersentak. Sepasang mataku menatapnya dengan kening berkerut. Bukan karena ajakannya, melainkan ... dia tak memperpanjang bahasan sebelumnya. Dan ini aneh.

Nandan yang biasanya, akan mati-matian meminta maaf padaku hanya karena masalah kecil yang tak berarti, walaupun aku sama sekali tak mempermasalahkan itu. Tapi kali ini ... dia seperti bukan Nandan yang kukenal.

Belum habis aku bergelut dengan pikirku, dia sudah lebih dulu menarik satu tanganku untuk berdiri. Kulihat sehelai uang pecahan seratus ribuan sudah tercampak di atas meja. Seperti dia sudah menebak, bahwa harga makanan dan minuman yang kami pesan, tak akan kurang dari nominal yang ia taruh.

“Hey, kita mau kemana? Ini udah mendung lho!” Aku memprotes. “Aku juga bilang sama Ayah cuma pergi sebentar.”

Nandan terus menarikku. Helm putih yang biasa kupakai saat kami boncengan, ia pasangkan di kepalaku hati-hati saat berada tepat di samping motornya. “Aku telpon ayah kamu nanti. Kita senang-senang hari ini. Aku mau kita pergi ke berbagai tempat.”

Apalah daya, seperti biasa, senyumnya itu selalu akan membiusku. Aku mengangguk patuh seperti orang tolol.

Di suasana mendekat temaram, motor Nandan mulai melaju. Aku memeluk pinggangnya erat dengan kepala tersangga pundaknya yang semakin terasa kekar.

Ahh, aroma ini ... aroma tubuhnya. Aku ingin menikah dengannya sekarang juga!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!