Pelukan

Saat ini waktu menunjukkan pukul 09.30 malam. Beruntung, Nandan sudah menghubungi Ayah, meminta izin membawaku pulang terlambat. Jadi ponselku tak berisik dengan suara panggilan atau pun pesan chat yang berjejer dari pria kesayanganku itu karena kecemasan akutnya.

Ini adalah tempat kelima yang kami datangi.

Sebuah taman yang terhampar di bawah kolong jembatan jalan raya kota--Kota Bandung tepatnya. Suasana millenial dengan anak-anak muda yang berkomplot berlainan aktifitas nampak seru sepertinya.

Aku melenggangkan kaki dari motor Nandan. Menapak petakan paving block yang terasa dingin menembus kakiku yang padahal terbungkus dalam balutan sepatu kets tebal.

Motor diparkirkan Nandan di tempat yang memang khusus teruntuknya. Dia mendekatiku setelah itu.

Walaupun kilat sesekali berkeredap, tapi suasana di tempat ini tak juga sepi.

Beberapa muda-mudi seperti kami nampak asik bercokol dengan tema yang tentu tak perlu kudengar. Itu urusan mereka, dan aku bukan stalker.

Saat aku dan Nandan menapak kaki menuju sebuah arah, aku sedikit merasa risih. Tak tahu bagian mana wajahku yang menarik perhatian. Banyak pasang mata--terutama cowok-cowok di beberapa titik, menatapku seraya tersenyum-senyum penuh minat. Aku bukan anak kelas enam SD yang cuek atas sebuah penilaian eskpresi seseorang. Mereka menatapku dengan tatapan seperti menginginkan sesuatu. Padahal sampai saat ini aku masih merasa, diriku terlalu biasa saja jika dibandingkan teman-temanku yang lain.

Dan sayangnya sampai saat ini, aku tak pernah bertanya juga tak ingin tahu, bagaimana bisa Nandan jatuh cinta padaku? Padahal jika didalami, Nandan sudah cukup menjadi jawaban, kelebihan apa yang aku miliki sebenarnya.

Cowok itu menarik tanganku ke salah satu bangku tembok yang berjejer terpisah-pisah. Satu yang kosong kami duduki. Kuedarkan pandang ke sekeliling seraya tersenyum. Tidak ada orang tua atau pun anak-anak kecil di sini. Nyaris semuanya adalah muda-mudi dengan rentang usia yang mungkin setara dengan kami--aku dan Nandan, atau mungkin lebih tua dan sebaliknya.

“Aku beli minum dulu bentar,” kata Nandan seraya bangkit. Aku hanya mengangguk sebagai tanda setuju. Kusandarkan punggung ke badan beton jembatan, dengan kaki terayun-ayun persis anak TK yang menunggu jemputan pulang.

Mataku masih sibuk mengedar. Sampai akhirnya tak sengaja pandangku bertabrakan dengan wajah seorang lelaki muda berkumis tipis namun terlihat sangat manis, yang duduk tak jauh di sisi kananku, mengisi bangku sejenis. Dia tersenyum padaku dengan mata berkedip-kedip nakal. Padahal jelas, seorang wanita yang mungkin adalah pacarnya, tengah bergelayut manja di pundaknya, di samping berlawanan denganku terhalang tubuhnya.

Aku memalingkan wajah untuk menghindari tatapan itu--sedikit merasa risih.

“Lagi sama cewek, masih aja genit,” batinku sebal.

Dari depan sana, kulihat Nandan mulai berjalan ke arahku bersama dua cup minuman yang masih mengepulkan asap dari bagian atasnya, di kedua tangannya. “Maaf ya, lama. Ngantri soalnya,” ujar pacarku itu seraya menyerahkan satu cup minumannya ke tanganku.

“Gak apa-apa. Makasih, Yang. Aku gak lagi PMS kok,” candaku receh sekali. “Gak bisa marah.”

Nandan menanggapi dengan senyuman, lalu duduk manis di sampingku.

“Gimana, seneng hari ini?” tanyanya setelah melakukan satu sesapan kopinya dengan elegan.

“Seneng banget,” jawabku singkat dan berbunga.

Nandan tersenyum seraya mengasak gemas rambutku seperti biasa. Namun lagi-lagi ... aku menangkap kejanggalan dari sirat yang ia tunjukkan itu. Seperti rasa kasihan yang aku pun sendiri sulit menelaah lebih dalam tentang itu. Kenapa seolah ada kesedihan di sana?

Tak ingin mengacaukan suasana yang tengah berlangsung, aku mencoba memalingkan pikiran. Kusandarkan kepalaku di pundaknya seraya memejamkan mata.

Suara rintik hujan mulai terdengar deras disertai hembusan angin yang kemudian menuntunku meringsutkan tubuh. Aku mulai kedinginan.

Nandan mungkin menyadari. Ia menggerakkan satu tangannya ke belakang lalu berakhir melingkar di punggungku. Dia merangkulku posesif. Aku merasakan kehangatan itu seperti biasa ketika di dekatnya. Menikmati dengan mata terpejam. Senyumku semakin mengembang, ketika sebuah kecupan dalam mendarat di keningku dengan sangat mesra. Aku terbuai dan aku tenggelam.

“Kamu harus tahu, Mut.” Nandan buka suara. “Aku sayaaaaang banget sama kamu.”

Ungkapan itu kudengar mungkin telah ratusan kali dari mulut Nandan sepanjang kami berpacaran. Tapi yang barusan itu ... kenapa terasa lain? Aku merasakan yang berbeda dari biasanya. Terasa bergetar. “Aku tahu itu,” balasku berusaha menyembunyikan rasa aneh di hati, tanpa menunjukkannya menjadi ekspresi di wajahku. “Aku juga sayang kamu.” Balasan singkat yang kuucapkan dengan perasaan resah. Bukan karena rasa sayangku pada Nandan berkurang, melainkan ... seperti sebuah rasa kehilangan. Aku tidak paham ini sama sekali.

Saat bergelut dengan pikirku, Nandan merubah posisinya. Yang semula ia merangkulku hanya dengan satu tangan dengan posisi menyamping, kini ia menghadap dan memeluk tubuhku sepenuhnya. “Jangan banyak gerak. Aku pengen meluk kamu kayak gini. Kalo perlu sampe pagi.”

Jantungku melonjak keras tentu saja.

“Apa-apaan dia ini?” Hatiku memprotes, tapi juga ... kesenangan sebenarnya. Selain ucapan anehnya, ia bahkan tak peduli pasang-pasang mata yang memandang kami dengan tatapan sebal, remeh, mengolok, atau mungkin ... iri bagi para jomblo yang menyedihkan di antaranya.

Sontak kudongakan wajahku ke wajahnya. “Yang ... kita diliatin banyak orang lho. Aku malu,” ujar pelanku seraya meringis merah. Aku menurunkan lagi wajahku kemudian kembali mengedar sekeliling dengan ekor mataku.

My God ... orang-orang itu bahkan terdengar cekikian meledek kami. Tak Nandan masih bergeming. Ia seolah tak peduli apa pun saat ini selain memelukku.

Aku memang merasa senang dengan keadaan ini, tapi ...

kenapa terasa ada berbeda?

Pikiranku kemudian terbang mundur pada klise ekspresi dan kelakuan ayah saat aku pamit pergi tadi sore.

Kenapa hari ini semuanya aneh?

Ayah ... dan sekarang ... Nandan.

Ada apa dengan mereka?

Pikiranku serasa tertekan sekarang. Aku kebingungan, dan hanya seorang diri.

Sibuk bergelut dengan isi kepalaku, sayup-sayup kudengar nyanyian kecil dari mulut Nandan. Sebuah lagu romantis yang sering kami nyanyikan bersama di belakang sekolah dulu saat ia masih berseragam sama denganku.

Kudongakkan sedikit kepala untuk meraih jarak pandang pada wajah cowok itu, lalu tersenyum.

Matanya terpejam tenang. Bibirnya bergerak-gerak sesuai ritme lagu. Begitu merdu, begitu lembut. Aku tersenyum senang, lalu kembali menurunkan wajah dan memejamkan mata. Lenyap sudah beban pikirku sesaat lalu.

Nyanyian Nandan seperti pengiring tidur. Aku mulai mengantuk sekarang. Tapi berusaha kutahan. Karena rasanya terlalu aneh jika aku tenggelam tidur di pelukan Nandan, bahkan di tempat seperti ini.

CTYAAAARRRR

Suara petir keras mengacau ketenangan. Aku tersentak refleks menutup telinga dengan sebelah tanganku yang semula menempel di dada Nandan.

Tapi kemudian tenang, setelah pacarku itu memperketat pelukannya seraya berkata, “Jangan takut ... ada aku.”

Terpopuler

Comments

miqaela_isqa

miqaela_isqa

Senyum-senyum penuh minat? Patut dipertanyakan tuh, 😂

2022-09-02

1

Machan

Machan

pamer kemesraan dikit gak ape ye, bang

2022-07-30

0

Machan

Machan

berkumis tipis modelan kek bang ata ya😂

2022-07-30

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!