Real Dad
Tujuh tahun yang lalu ....
"Dari mana saja, kau?" tanya seorang wanita dengan wajah ditekuk dan perangai penuh kesal.
Wanita yang mengenakan kaos oblong putih dan celana panjang itu duduk di tepian kursi seraya menyilangkan tangan di depan dada.
Pria yang baru saja tiba dan masih di ambang pintu, hanya mendelik seraya mengembuskan napas kasar, kemudian melepas sepatu serta menatanya di rak khusus. Tanpa berkata pria itu berjalan santai menuju dapur untuk menuang segelas air. Direguknya air tersebut hingga tandas, kemeja hitam yang dikenakan sudah cukup lusuh, sepertinya beberapa hari ini memang belum diganti.
"Lam!" bentak si wanita, karena pria bernama Lam itu hanya membisu.
Lagi, Lam mendelik ke arah wanita, kemudian menghampirinya kemudian menghempaskan tubuhnya di atas kursi yang bersebelahan dengan wanita itu.
"Kenapa kau bertanya? Bukankah kau sudah tahu jawabannya?" Wajah Lam masih tanpa ekspresi.
Wanita itu melemparkan ke arah Lam sebuah benda panjang berwarna putih dikombinasi dengan biru langit, dengan tanda dua garis merah di dalamnya.
"Kapan kau akan berubah? Apa kau tidak capek hidup seperti itu terus?" cecar wanita tersebut.
"Apa ini?" Lagi, Lam balik bertanya.
Wanita itu bergeming, kekesalan dalam hati membuatnya enggan untuk menjawab.
"Hana!" bentak Lam.
"Menurutmu apa? Bukankah kau tahu apa jawabannya, lantas kenapa kau bertanya?" Hana tak kalah berteriak, membalikkan ucapan Lam.
"Hana, apa ini artinya aku akan menjadi ayah?" tanya Lam dengan lembut seraya menghampiri Hana--istrinya--mencoba mencairkan hati Hana yang terlihat akan meledak.
Lam membelai lembut pucuk kepala Hana kemudian mengecupnya. Seulas senyum terukir dari wajah tampan yang terhalang oleh lebam dan goresan luka yang darahnya hampir mengering itu.
"Apa brengsek sepertimu, pantas menjadi seorang ayah? Pria yang tanpa rasa tanggung jawab, pergi berhari-hari tanpa kabar, kemudian pulang sesuka hati dengan keadaan babak belur, pantaskah? Kapan kau akan mengerti perasaanku, Lam?" Hana mengungkapkan kekesalannya, air mata meluruh tanpa henti.
"Beri aku waktu Hana, kumohon," pinta Lam kemudian memeluk erat sang istri.
Hana yang terlanjur kesal mendorong lam sekuat tenaga, dalam keadaan hamil muda Hana harus menanggung perasaan yang begitu menyakitkan. Sudah setahun keduanya berumah tangga, dan hidup di sebuah kota kecil di Provinsi Jawa Barat.
"Hiduplah seterusnya dengan para brengsek itu dan jangan pernah lagi mencariku," Hana menyeka air mata dengan lengan kaosnya.
"Apa maksudmu?" tanya Lam, alisnya bertaut.
"Hiduplah dengan bebas tanpa aku!" ketus Hana.
"Hana ...," lirih Lam.
Hana beringsut menuju kamar, lalu memakai jaket yang tergantung di kapstok. Dia menyeret koper yang sudah disiapkan beberapa hari lalu saat Lam memaksa pergi, padahal Hana sudah melarangnya. Lam mengekori Hana dan mencoba merayunya sekuat yang dia bisa. Namun, keputusan Hana sudah benar-benar bulat.
Lantas, Hana memakai sepatu yang ada di rak dekat pintu, kemudian bermaksud keluar dari rumah tersebut bahkan kehidupan Lam.
"Hana, kamu mau ke mana?" tanya Lam.
"Aku akan pergi, kau tunggu saja surat cerai kita di sini dan jangan khawatir!" Ujar Hana.
"Apa yang kau lakukan, bagaimana dengan bayi kita?" tanya Lam mencoba meruntuhkan niat kuat Hana.
"Bayi ini baru beberapa minggu, Lam, kalaupun harus aborsi, itu belum terlambat," ucap Hana getir tanpa menoleh ke arah Lam.
Hana meneruskan langkah, menuju jalan raya yang tak jauh dari rumah mereka. Lam menyusulnya dengan perasaan yang kacau.
"Hana!"
"Han!"
"Hana!"
Panggilan yang dilakukan Lam tidak membuat hati Hana tergerak.
"Ibu macam apa kau ini?!" teriak Lam dengan penuh kesal karena Hana tak mengindahkannya.
Langkah Hana terhenti kembali, mendengar ucapan Lam yang sedikit tidak mengenakkan hati.
"Lalu, ayah macam apa kau? Pria yang dunianya hanya disibukkan dengan gangster dan kriminalitas, tanpa sedikit pun peduli terhadap ibu dari anaknya, dan sekarang kau menyalahkanku?" geram Hana.
Lam pun seketika terdiam dan tidak mampu menjawab, ucapan Hana.
"Apa kau peduli saat anakmu ini menginginkan sesuatu yang sulit kujangkau? Apa kau peduli setiap pagi aku kesakitan karena mual dan muntah hingga tak bisa menelan seteguk air? Apa kau pernah peduli tentang nutrisi dan kesehatanku saat aku tengah mengandung anakmu, Lam? Huh!" cecar Hana tanpa rasa malu lagi dia berteriak di tepi jalan.
"Dan kau sebut aku ibu macam apa? Di mana otakmu? Di simpan di koper nark*ba saja, bukan?" Hana semakin tidak terkendali.
Tanpa menunggu jawaban dari Lam, Hana bergegas mengambil langkah lagi, lantas menaiki angkutan umum yang melintas tepat di depannya. Lam yang tafakur terkesiap, lantas menyadari kepergian sang istri. Dia berusaha mengejar mobil angkot itu. Namun, sepertinya Hana meminta sang sopir untuk terus melaju dan tidak menghiraukan Lam.
"Hanaaa!" teriak Lam sekali lagi.
Lam yang kelelahan pun akhirnya pasrah melihat kepergian istrinya. Wanita yang selama setahun terakhir sudah menjadi pengisi kekosongan hati. Namun, secara bersamaan terabaikan oleh Lam yang memang bergelut di dunia hitam. Bukan Hana tidak tahu, Hana pikir ketika keduanya menikah dan berpindah tempat ke kota kecil, akan membuat Lam berubah. Ternyata kenyataan berkehendak lain, Lam masih sama dan sulit untuk diperbaiki.
Lam kembali ke rumahnya dengan tangan dan hati yang hampa. Langkah gontai dan deru kendaraan menjadi teman di pagi yang masih sejuk ini. Lam kemudian mengusap wajahnya dengan kasar, beberapa kali dia lakukan, berharap menghempaskan rasa sesak dan penat yang menjejali hati dan pikirannya.
"Aargh!" umpat Lam.
"Dasar Bodoh!" rutuknya pada diri sendiri.
"Bodoh! Bodoh! Bodoh!" teriaknya seraya memukul kepala dan sesekali meremas rambutnya.
Segelas bir menjadi teman setia pria tampan berperawakan tinggi besar itu, hidupnya semakin semrawut sepeninggal sang istri. Awalnya dia menganggap Hana akan kembali dalam beberapa minggu setelah kejadian tersebut, tetapi kini sudah tujuh tahun lamanya, Hana tak kunjung kembali.
Hati Lam terasa semakin kosong semenjak Hana meninggalkannya, hari demi hari yang dilalui di dunia hitam itu semakin membuatnya tidak mengenal lagi yang namanya kebenaran. Terlebih Lam menjadi tangan kanan seorang bos gangster yang cukup ditakuti di kota itu.
Ketika Lam mengingat kejadian tersebut, Lam akan merasa tersiksa hingga dia tidak mampu memejamkan mata. Bahkan, dia akan kehilangan jati diri dan tidak segan untuk menghajar atau membunuh siapa pun yang berurusan dengannya.
Lam nyaris bunuh diri ketika itu, saking rindunya pada Hana dan keingintahuan tentang kabar si jabang bayi. Namun, hal itu berhasil digagalkan oleh asistennya yang kebetulan berkunjung ke rumah Lam. Sengaja Lam tidak berpindah rumah, karena sebuah harapan--harapan untuk melihat Hana kembali lagi ke rumah itu.
Akan tetapi, sampai saat ini tidak ada kemunculan dari wanita yang telah menyita seluruh pikirannya hingga saat ini. Dengan mata sayu efek dari minuman ker*s tersebut, dia memandangi poto pernikahannya dengan Hana yang masih tersimpan rapi di sebuah nakas yang ada di ruang tengah.
Bahkan, interior di rumah itu oun masih sama persis seperti tujuh tahun lalu, dan Lam tidak berniat untuk mengubahnya. Dosa yang Lam lakukan dengan kontan Allah bayar, istri yang dia sia-siakan. Kini mampu membuat hidup Lam sia-sia dengan sendirinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Sir Fitz
saya mampir kak
2022-09-05
2