Konsekuensi

"Bukankah saat kamu memilih menikahi dan ikut bersamanya, kamu sudah memikirkan ini?" Wanita baya dengan baju lusuh menyodorkan secangkir teh hangat pada Hana, yang masih dalam isak tangis.

"Aku pikir, dengan aku bersamanya dia akan memperbaiki masa lalunya, Bu," keluh Hana pada wanita baya yang dipanggilnya ibu.

"Seseorang yang berada dalam kegelapan cukup lama, perlahan dia tidak akan mengenali kegelapan itu sendiri," ujar sang ibu mencoba menenangkan hati sang putri yang masih risau.

"Aku harus bagaimana, Bu?" Hana kebingungan, bagaimana cara untuk melanjutkan kehidupannya.

"Bukankah saat kau memutuskan untuk pergi, kau sudah memikirkan semuanya?" selidik wanita itu.

Hana menggeleng kepala, disertai isak tangis yang belum juga berhenti sejak kejadian pagi tadi.

"Dasar anak ini!" rutuk sang ibu, "kenapa ketika kau mengambil keputusan tidak sekalian memikirkan dengan konsekuensinya," lanjutnya seraya mengembuskan napas kasar.

***

Ingatan akan hal itu masih terngiang dengan jelas di pikiran wanita baya yang saat ini sedang menatapi seorang gadis kecil di hadapannya. Gadis itu membantunya mengikat sayur kangkung hasil panen dari halaman rumah. Seperti biasa, sayur yang sudah diikat akan dijajakan keliling oleh wanita itu, sekadar untuk membeli kebutuhan harian untuk keduanya mengisi perut yang lapar.

"Eunsu, Nek Imah, apa hari ini kalian panen wortel?" teriak seorang pelanggan dari kejauhan.

"Kami belum panen, tapi ada yang sudah bisa dipanen jika memerlukan," sahut Imah, seraya beringsut menghampiri tanaman wortel yang dia sebutkan.

"Wah kebetulan kalau gitu," ujar pelanggan tadi.

"Iya, Neng Naya, mari silakan dipilih dan panen sendiri jika mau," tawar Imah.

Perempuan seumur Hana yang akrab dipanggil Naya itu, menghampiri Imah seraya memilih tanaman wortel yang dia mau. Manik mata Naya menangkap punggung Eunsu yang masih asyik mengikat kangkung. Naya, menghela napas meratapi nasib Eunsu.

"Teh Hana belum ada kabar juga, Nek?" tanya Naya, mencoba mencari tahu.

Imah hanya menggeleng, menandakan keputusasaannya. Hatinya berdesir hebat, jika mengingat putri semata wayangnya tersebut. Bahkan, tanpa kontrol matanya mengembun, ketika seseorang menyebutkan namanya.

"Kasihan Eunsu," gumam Naya, masih menatapi Eunsu.

"Ini wortelnya sudah siap," kata imah setelah selesai membungkus wortel yang masih segar itu, tanpa mengindahkan ucapan Naya.

Imah hanya berusaha untuk menjalani hidup sebagaimana mestinya, meski dia sadar usia yang sudah tidak muda membuatnya sedikit kesulitan untuk merawat Eunsu dan mencukupi kebutuhannya.

Neng terkesiap seraya menyodorkan selembar uang berwarna biru, membuat Imah membelalakkan mata.

"Ini kebanyakan, saya belum keliling. Jadi belum dapet uang," ujar Imah dengan enggan menerima uang yang Naya berikan.

"Gak usah dikembalian, enggak apa-apa," ujar Naya seraya beranjak meninggalkan Imah.

"Jangan, Neng Naya. Ini terlalu sering, nanti kami keenakan dan jadi pengemis," seloroh Imah.

"Kata siapa? Nek Imah jualan, bukan ngemis, ini saya dapat wortelnya," sahut Neng seraya mengacungkan bungkusan wortelnya, lantas berlalu tanpa mempedulikan Imah lagi.

Imah pun dengan terpaksa menerima uang itu, lantas dia kembali pada Eunsu dan melanjutkan mengikat dan mengemas sayuran lain.

"Kangkungnya sudah selesai, Nek," ucap gadis kecil berbaju pink itu.

"Yaudah sisanya biar nenek yang teruskan, kamu istarahat, ya," ujar Imah yang tidak tega harus membuat Eunsu terus membantunya.

"Iya, Nek, Eunsu mau nonton aja," ujar Eunsu seraya beringsut dari duduk dan meninggalkan Imah sendirian.

Imah mengangguk, seketika matanya berembun, mengingat betapa malangnya nasib sang cucu. Tumbuh kembang tanpa kedua orang tua, Lam yang tidak pernah sekali pun mendatangi mereka membuat Imah geram dan berulang kali mengutuk Lam dengan ucapan-ucapan kasar. Sementara Hana yang pamit untuk bekerja di luar negeri kini tidak ada kabar beritanya.

Usia Imah sudah tidak muda lagi, terkadang pikirannya terusik jika suatu saat dia meninggal, bagaimana dengan nasib Eunsu gadis berusia enam tahun itu. Siapa yang akan mengurusnya, memberinya makan, atau apa pun.

Memikirkan hal itu membuat Imah tidak kuasa menahan sesak dalam dada, matanya kian memanas hingga buliran hangat dari sudut mata itu berurai deras, meskipun telah berusaha ditahannya.

Kehidupan yang Imah dan Eunsu lalui tidak terlalu baik, hidup sederhana dengan asupan makanan sekenanya. Berbekal memanfaatkan lahan kosong di halaman rumah, Imah menanam sayur dan mayur yang dipanen dan dijajakannya sendiri pada tetangga sekitar rumah.

Di usianya yang sudah tidak muda hanya itu yang bisa dia lakukan untuk menghidupi diri dan sang cucu yang kini menjadi tanggung jawabnya.

Sebuah rumah sederhana bergaya ornamen Belanda kuno itu, yang menjadi tempat berteduh dan satu-satunya harta milik Imah. Masih beruntung keduanya bisa tidur dengan nyaman dan tidak terlunta-lunta di jalanan. Hana yang tidak ada kabar membuat Imah frustasi, dia tidak tahu harus mencari Hana ke mana.

Bahkan, Imah tidak mengetahui jejak tentang keberadaan Hana, yang Imah tahu Hana pergi ke luar negeri untuk mencari uang dengan dalih untuk membahagiakan Eunsu. Oleh karena itu, selepas Eunsu berhenti minum Asi, Hana pergi meninggalkannya bersama sang nenek.

Tanpa diketahui pasti keberadaan Hana sebenarnya, Imah hanya berharap Hana bisa kembali secepatnya, dan mengurus Eunsu dengan baik. Wajah renta itu kini basah terbanjiri air mata. Hatinya terasa dicabik-cabik meratapi nasib yang memang belum berpihak padanya.

***

Kring! Kring!

Dering gawai membuat Lam terkesiap dari lamunannya, di merogoh saku dan mengeluarkan benda pipih berbentuk persegi panjang itu. Dengan cepat menggulir tanda hijau di layar benda itu.

"Ya, Bos!" ucapnya seraya menempelkan benda itu ke telinga sebelah kanannya.

"Aku akan menugaskanmu untuk pergi ke Kota C, ambil sebuah barang, pastikan barang itu aman!" sahut seseorang di balik panggilan telepon tersebut, yang kerap dipanggilnya bos.

"Baik Bos!" jawab Lam dengan patuh.

Nada berakhirnya panggilan pun terdengar, dengan kasar Lam meletakkan gawai di meja kaca yang berada tepat di hadapannya.

"Apa lagi ini, David?" gerutu Lam seraya memijat dahinya.

Raut wajah Lam yang datar tanpa ekspresi, menambah kesan maskulin pria pertengahan tiga puluh tahunan itu. Dia cukup matang dan menawan. Banyak wanita yang menginginkannya, tetapi dia tidak menginginkan kegagalan lagi. Karena keterikatannya dengan jerat dunia hitam cukup sulit untuk dilerai.

Pria dengan bekas luka di pipi, beringsut dari duduk. Kemeja hitam yang melekat dari kemarin belum sempat diganti. Merasa akan ada sesuatu yang cukup besar menantikannya, Lam pun beranjak membersihkan diri dan mengganti pakaiannya.

Lam bertelanjang dada dengan hanya handuk yang melingkar sebatas pinggang hingga menutupi lututnya. Terlihat otot-otot di tubuh Lam terbentuk sempurna, dia membuka pintu lemari warna putih itu, untuk mengambil baju ganti. Nahas, di dalam lemari itu hanya tersisa satu kemeja lagi dan itu pun dengan warna hitam seperti kemeja yang dipakainya saat tadi.

Lam mengembuskan napas kasar, kemudian melirik tumpukan pakaian kotor dengan warna senada yang ada di pojokan kamar dalam sebuah keranjang.

"Apakah dunia akan membiarkanku terus seperti ini?" gumam Lam seraya beringsut menuju pakaian kotor itu.

Wajahnya masih tanpa ekspresi, memasukan baju-baju kotor tersebut ke sebuah mesin, lantas menyalakan mesin itu dan membiarkannya. Sembari menunggu cuciannya beres, Lam melanjutkan persiapan keberangkatannya menuju Kota C.

"Kota C, kenapa harus ke sana?" Lam bermonolog.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!