NovelToon NovelToon

Real Dad

Perpisahan atau Hal Bodoh

Tujuh tahun yang lalu ....

"Dari mana saja, kau?" tanya seorang wanita dengan wajah ditekuk dan perangai penuh kesal.

Wanita yang mengenakan kaos oblong putih dan celana panjang itu duduk di tepian kursi seraya menyilangkan tangan di depan dada.

Pria yang baru saja tiba dan masih di ambang pintu, hanya mendelik seraya mengembuskan napas kasar, kemudian melepas sepatu serta menatanya di rak khusus. Tanpa berkata pria itu berjalan santai menuju dapur untuk menuang segelas air. Direguknya air tersebut hingga tandas, kemeja hitam yang dikenakan sudah cukup lusuh, sepertinya beberapa hari ini memang belum diganti.

"Lam!" bentak si wanita, karena pria bernama Lam itu hanya membisu.

Lagi, Lam mendelik ke arah wanita, kemudian menghampirinya kemudian menghempaskan tubuhnya di atas kursi yang bersebelahan dengan wanita itu.

"Kenapa kau bertanya? Bukankah kau sudah tahu jawabannya?" Wajah Lam masih tanpa ekspresi.

Wanita itu melemparkan ke arah Lam sebuah benda panjang berwarna putih dikombinasi dengan biru langit, dengan tanda dua garis merah di dalamnya.

"Kapan kau akan berubah? Apa kau tidak capek hidup seperti itu terus?" cecar wanita tersebut.

"Apa ini?" Lagi, Lam balik bertanya.

Wanita itu bergeming, kekesalan dalam hati membuatnya enggan untuk menjawab.

"Hana!" bentak Lam.

"Menurutmu apa? Bukankah kau tahu apa jawabannya, lantas kenapa kau bertanya?" Hana tak kalah berteriak, membalikkan ucapan Lam.

"Hana, apa ini artinya aku akan menjadi ayah?" tanya Lam dengan lembut seraya menghampiri Hana--istrinya--mencoba mencairkan hati Hana yang terlihat akan meledak.

Lam membelai lembut pucuk kepala Hana kemudian mengecupnya. Seulas senyum terukir dari wajah tampan yang terhalang oleh lebam dan goresan luka yang darahnya hampir mengering itu.

"Apa brengsek sepertimu, pantas menjadi seorang ayah? Pria yang tanpa rasa tanggung jawab, pergi berhari-hari tanpa kabar, kemudian pulang sesuka hati dengan keadaan babak belur, pantaskah? Kapan kau akan mengerti perasaanku, Lam?" Hana mengungkapkan kekesalannya, air mata meluruh tanpa henti.

"Beri aku waktu Hana, kumohon," pinta Lam kemudian memeluk erat sang istri.

Hana yang terlanjur kesal mendorong lam sekuat tenaga, dalam keadaan hamil muda Hana harus menanggung perasaan yang begitu menyakitkan. Sudah setahun keduanya berumah tangga, dan hidup di sebuah kota kecil di Provinsi Jawa Barat.

"Hiduplah seterusnya dengan para brengsek itu dan jangan pernah lagi mencariku," Hana menyeka air mata dengan lengan kaosnya.

"Apa maksudmu?" tanya Lam, alisnya bertaut.

"Hiduplah dengan bebas tanpa aku!" ketus Hana.

"Hana ...," lirih Lam.

Hana beringsut menuju kamar, lalu memakai jaket yang tergantung di kapstok. Dia menyeret koper yang sudah disiapkan beberapa hari lalu saat Lam memaksa pergi, padahal Hana sudah melarangnya. Lam mengekori Hana dan mencoba merayunya sekuat yang dia bisa. Namun, keputusan Hana sudah benar-benar bulat.

Lantas, Hana memakai sepatu yang ada di rak dekat pintu, kemudian bermaksud keluar dari rumah tersebut bahkan kehidupan Lam.

"Hana, kamu mau ke mana?" tanya Lam.

"Aku akan pergi, kau tunggu saja surat cerai kita di sini dan jangan khawatir!" Ujar Hana.

"Apa yang kau lakukan, bagaimana dengan bayi kita?" tanya Lam mencoba meruntuhkan niat kuat Hana.

"Bayi ini baru beberapa minggu, Lam, kalaupun harus aborsi, itu belum terlambat," ucap Hana getir tanpa menoleh ke arah Lam.

Hana meneruskan langkah, menuju jalan raya yang tak jauh dari rumah mereka. Lam menyusulnya dengan perasaan yang kacau.

"Hana!"

"Han!"

"Hana!"

Panggilan yang dilakukan Lam tidak membuat hati Hana tergerak.

"Ibu macam apa kau ini?!" teriak Lam dengan penuh kesal karena Hana tak mengindahkannya.

Langkah Hana terhenti kembali, mendengar ucapan Lam yang sedikit tidak mengenakkan hati.

"Lalu, ayah macam apa kau? Pria yang dunianya hanya disibukkan dengan gangster dan kriminalitas, tanpa sedikit pun peduli terhadap ibu dari anaknya, dan sekarang kau menyalahkanku?" geram Hana.

Lam pun seketika terdiam dan tidak mampu menjawab, ucapan Hana.

"Apa kau peduli saat anakmu ini menginginkan sesuatu yang sulit kujangkau? Apa kau peduli setiap pagi aku kesakitan karena mual dan muntah hingga tak bisa menelan seteguk air? Apa kau pernah peduli tentang nutrisi dan kesehatanku saat aku tengah mengandung anakmu, Lam? Huh!" cecar Hana tanpa rasa malu lagi dia berteriak di tepi jalan.

"Dan kau sebut aku ibu macam apa? Di mana otakmu? Di simpan di koper nark*ba saja, bukan?" Hana semakin tidak terkendali.

Tanpa menunggu jawaban dari Lam, Hana bergegas mengambil langkah lagi, lantas menaiki angkutan umum yang melintas tepat di depannya. Lam yang tafakur terkesiap, lantas menyadari kepergian sang istri. Dia berusaha mengejar mobil angkot itu. Namun, sepertinya Hana meminta sang sopir untuk terus melaju dan tidak menghiraukan Lam.

"Hanaaa!" teriak Lam sekali lagi.

Lam yang kelelahan pun akhirnya pasrah melihat kepergian istrinya. Wanita yang selama setahun terakhir sudah menjadi pengisi kekosongan hati. Namun, secara bersamaan terabaikan oleh Lam yang memang bergelut di dunia hitam. Bukan Hana tidak tahu, Hana pikir ketika keduanya menikah dan berpindah tempat ke kota kecil, akan membuat Lam berubah. Ternyata kenyataan berkehendak lain, Lam masih sama dan sulit untuk diperbaiki.

Lam kembali ke rumahnya dengan tangan dan hati yang hampa. Langkah gontai dan deru kendaraan menjadi teman di pagi yang masih sejuk ini. Lam kemudian mengusap wajahnya dengan kasar, beberapa kali dia lakukan, berharap menghempaskan rasa sesak dan penat yang menjejali hati dan pikirannya.

"Aargh!" umpat Lam.

"Dasar Bodoh!" rutuknya pada diri sendiri.

"Bodoh! Bodoh! Bodoh!" teriaknya seraya memukul kepala dan sesekali meremas rambutnya.

Segelas bir menjadi teman setia pria tampan berperawakan tinggi besar itu, hidupnya semakin semrawut sepeninggal sang istri. Awalnya dia menganggap Hana akan kembali dalam beberapa minggu setelah kejadian tersebut, tetapi kini sudah tujuh tahun lamanya, Hana tak kunjung kembali.

Hati Lam terasa semakin kosong semenjak Hana meninggalkannya, hari demi hari yang dilalui di dunia hitam itu semakin membuatnya tidak mengenal lagi yang namanya kebenaran. Terlebih Lam menjadi tangan kanan seorang bos gangster yang cukup ditakuti di kota itu.

Ketika Lam mengingat kejadian tersebut, Lam akan merasa tersiksa hingga dia tidak mampu memejamkan mata. Bahkan, dia akan kehilangan jati diri dan tidak segan untuk menghajar atau membunuh siapa pun yang berurusan dengannya.

Lam nyaris bunuh diri ketika itu, saking rindunya pada Hana dan keingintahuan tentang kabar si jabang bayi. Namun, hal itu berhasil digagalkan oleh asistennya yang kebetulan berkunjung ke rumah Lam. Sengaja Lam tidak berpindah rumah, karena sebuah harapan--harapan untuk melihat Hana kembali lagi ke rumah itu.

Akan tetapi, sampai saat ini tidak ada kemunculan dari wanita yang telah menyita seluruh pikirannya hingga saat ini. Dengan mata sayu efek dari minuman ker*s tersebut, dia memandangi poto pernikahannya dengan Hana yang masih tersimpan rapi di sebuah nakas yang ada di ruang tengah.

Bahkan, interior di rumah itu oun masih sama persis seperti tujuh tahun lalu, dan Lam tidak berniat untuk mengubahnya. Dosa yang Lam lakukan dengan kontan Allah bayar, istri yang dia sia-siakan. Kini mampu membuat hidup Lam sia-sia dengan sendirinya.

Konsekuensi

"Bukankah saat kamu memilih menikahi dan ikut bersamanya, kamu sudah memikirkan ini?" Wanita baya dengan baju lusuh menyodorkan secangkir teh hangat pada Hana, yang masih dalam isak tangis.

"Aku pikir, dengan aku bersamanya dia akan memperbaiki masa lalunya, Bu," keluh Hana pada wanita baya yang dipanggilnya ibu.

"Seseorang yang berada dalam kegelapan cukup lama, perlahan dia tidak akan mengenali kegelapan itu sendiri," ujar sang ibu mencoba menenangkan hati sang putri yang masih risau.

"Aku harus bagaimana, Bu?" Hana kebingungan, bagaimana cara untuk melanjutkan kehidupannya.

"Bukankah saat kau memutuskan untuk pergi, kau sudah memikirkan semuanya?" selidik wanita itu.

Hana menggeleng kepala, disertai isak tangis yang belum juga berhenti sejak kejadian pagi tadi.

"Dasar anak ini!" rutuk sang ibu, "kenapa ketika kau mengambil keputusan tidak sekalian memikirkan dengan konsekuensinya," lanjutnya seraya mengembuskan napas kasar.

***

Ingatan akan hal itu masih terngiang dengan jelas di pikiran wanita baya yang saat ini sedang menatapi seorang gadis kecil di hadapannya. Gadis itu membantunya mengikat sayur kangkung hasil panen dari halaman rumah. Seperti biasa, sayur yang sudah diikat akan dijajakan keliling oleh wanita itu, sekadar untuk membeli kebutuhan harian untuk keduanya mengisi perut yang lapar.

"Eunsu, Nek Imah, apa hari ini kalian panen wortel?" teriak seorang pelanggan dari kejauhan.

"Kami belum panen, tapi ada yang sudah bisa dipanen jika memerlukan," sahut Imah, seraya beringsut menghampiri tanaman wortel yang dia sebutkan.

"Wah kebetulan kalau gitu," ujar pelanggan tadi.

"Iya, Neng Naya, mari silakan dipilih dan panen sendiri jika mau," tawar Imah.

Perempuan seumur Hana yang akrab dipanggil Naya itu, menghampiri Imah seraya memilih tanaman wortel yang dia mau. Manik mata Naya menangkap punggung Eunsu yang masih asyik mengikat kangkung. Naya, menghela napas meratapi nasib Eunsu.

"Teh Hana belum ada kabar juga, Nek?" tanya Naya, mencoba mencari tahu.

Imah hanya menggeleng, menandakan keputusasaannya. Hatinya berdesir hebat, jika mengingat putri semata wayangnya tersebut. Bahkan, tanpa kontrol matanya mengembun, ketika seseorang menyebutkan namanya.

"Kasihan Eunsu," gumam Naya, masih menatapi Eunsu.

"Ini wortelnya sudah siap," kata imah setelah selesai membungkus wortel yang masih segar itu, tanpa mengindahkan ucapan Naya.

Imah hanya berusaha untuk menjalani hidup sebagaimana mestinya, meski dia sadar usia yang sudah tidak muda membuatnya sedikit kesulitan untuk merawat Eunsu dan mencukupi kebutuhannya.

Neng terkesiap seraya menyodorkan selembar uang berwarna biru, membuat Imah membelalakkan mata.

"Ini kebanyakan, saya belum keliling. Jadi belum dapet uang," ujar Imah dengan enggan menerima uang yang Naya berikan.

"Gak usah dikembalian, enggak apa-apa," ujar Naya seraya beranjak meninggalkan Imah.

"Jangan, Neng Naya. Ini terlalu sering, nanti kami keenakan dan jadi pengemis," seloroh Imah.

"Kata siapa? Nek Imah jualan, bukan ngemis, ini saya dapat wortelnya," sahut Neng seraya mengacungkan bungkusan wortelnya, lantas berlalu tanpa mempedulikan Imah lagi.

Imah pun dengan terpaksa menerima uang itu, lantas dia kembali pada Eunsu dan melanjutkan mengikat dan mengemas sayuran lain.

"Kangkungnya sudah selesai, Nek," ucap gadis kecil berbaju pink itu.

"Yaudah sisanya biar nenek yang teruskan, kamu istarahat, ya," ujar Imah yang tidak tega harus membuat Eunsu terus membantunya.

"Iya, Nek, Eunsu mau nonton aja," ujar Eunsu seraya beringsut dari duduk dan meninggalkan Imah sendirian.

Imah mengangguk, seketika matanya berembun, mengingat betapa malangnya nasib sang cucu. Tumbuh kembang tanpa kedua orang tua, Lam yang tidak pernah sekali pun mendatangi mereka membuat Imah geram dan berulang kali mengutuk Lam dengan ucapan-ucapan kasar. Sementara Hana yang pamit untuk bekerja di luar negeri kini tidak ada kabar beritanya.

Usia Imah sudah tidak muda lagi, terkadang pikirannya terusik jika suatu saat dia meninggal, bagaimana dengan nasib Eunsu gadis berusia enam tahun itu. Siapa yang akan mengurusnya, memberinya makan, atau apa pun.

Memikirkan hal itu membuat Imah tidak kuasa menahan sesak dalam dada, matanya kian memanas hingga buliran hangat dari sudut mata itu berurai deras, meskipun telah berusaha ditahannya.

Kehidupan yang Imah dan Eunsu lalui tidak terlalu baik, hidup sederhana dengan asupan makanan sekenanya. Berbekal memanfaatkan lahan kosong di halaman rumah, Imah menanam sayur dan mayur yang dipanen dan dijajakannya sendiri pada tetangga sekitar rumah.

Di usianya yang sudah tidak muda hanya itu yang bisa dia lakukan untuk menghidupi diri dan sang cucu yang kini menjadi tanggung jawabnya.

Sebuah rumah sederhana bergaya ornamen Belanda kuno itu, yang menjadi tempat berteduh dan satu-satunya harta milik Imah. Masih beruntung keduanya bisa tidur dengan nyaman dan tidak terlunta-lunta di jalanan. Hana yang tidak ada kabar membuat Imah frustasi, dia tidak tahu harus mencari Hana ke mana.

Bahkan, Imah tidak mengetahui jejak tentang keberadaan Hana, yang Imah tahu Hana pergi ke luar negeri untuk mencari uang dengan dalih untuk membahagiakan Eunsu. Oleh karena itu, selepas Eunsu berhenti minum Asi, Hana pergi meninggalkannya bersama sang nenek.

Tanpa diketahui pasti keberadaan Hana sebenarnya, Imah hanya berharap Hana bisa kembali secepatnya, dan mengurus Eunsu dengan baik. Wajah renta itu kini basah terbanjiri air mata. Hatinya terasa dicabik-cabik meratapi nasib yang memang belum berpihak padanya.

***

Kring! Kring!

Dering gawai membuat Lam terkesiap dari lamunannya, di merogoh saku dan mengeluarkan benda pipih berbentuk persegi panjang itu. Dengan cepat menggulir tanda hijau di layar benda itu.

"Ya, Bos!" ucapnya seraya menempelkan benda itu ke telinga sebelah kanannya.

"Aku akan menugaskanmu untuk pergi ke Kota C, ambil sebuah barang, pastikan barang itu aman!" sahut seseorang di balik panggilan telepon tersebut, yang kerap dipanggilnya bos.

"Baik Bos!" jawab Lam dengan patuh.

Nada berakhirnya panggilan pun terdengar, dengan kasar Lam meletakkan gawai di meja kaca yang berada tepat di hadapannya.

"Apa lagi ini, David?" gerutu Lam seraya memijat dahinya.

Raut wajah Lam yang datar tanpa ekspresi, menambah kesan maskulin pria pertengahan tiga puluh tahunan itu. Dia cukup matang dan menawan. Banyak wanita yang menginginkannya, tetapi dia tidak menginginkan kegagalan lagi. Karena keterikatannya dengan jerat dunia hitam cukup sulit untuk dilerai.

Pria dengan bekas luka di pipi, beringsut dari duduk. Kemeja hitam yang melekat dari kemarin belum sempat diganti. Merasa akan ada sesuatu yang cukup besar menantikannya, Lam pun beranjak membersihkan diri dan mengganti pakaiannya.

Lam bertelanjang dada dengan hanya handuk yang melingkar sebatas pinggang hingga menutupi lututnya. Terlihat otot-otot di tubuh Lam terbentuk sempurna, dia membuka pintu lemari warna putih itu, untuk mengambil baju ganti. Nahas, di dalam lemari itu hanya tersisa satu kemeja lagi dan itu pun dengan warna hitam seperti kemeja yang dipakainya saat tadi.

Lam mengembuskan napas kasar, kemudian melirik tumpukan pakaian kotor dengan warna senada yang ada di pojokan kamar dalam sebuah keranjang.

"Apakah dunia akan membiarkanku terus seperti ini?" gumam Lam seraya beringsut menuju pakaian kotor itu.

Wajahnya masih tanpa ekspresi, memasukan baju-baju kotor tersebut ke sebuah mesin, lantas menyalakan mesin itu dan membiarkannya. Sembari menunggu cuciannya beres, Lam melanjutkan persiapan keberangkatannya menuju Kota C.

"Kota C, kenapa harus ke sana?" Lam bermonolog.

***

Serpihan Masa Lalu

"Kota C, kenapa harus ke sana?" Lam bermonolog.

Lam melanjutkan berpakaian, kemeja hitam berpadu dengan celana hitam serta sepatu senada, semakin menyempurnakan penampilan Lam. Siapa pun yang melihatnya akan terpana. Meski seorang gangster, dia tidak meninggalkan kebiasaannya yang rapi dan bersih, sebetulnya bukan kebiasaan diri Lam, kebiasaan menjadi rapi dan bersih itu terbentuk karena Hana--wanita yang sulit dia lupakan.

Setelah selesai mengenakan sepatu kulit yang mengkilat, Lam menghampiri sebuah lukisan abstrak yang tertempel di dinding dan sengaja dipasang terbalik, kemudian secara perlahan dia menurunkan lukisan itu, terdapat brangkas di balik lukisan yang tertempel di dinding tersebut.

Perlahan Lam memasukkan kode enam digit, kode yang cukup berkesan untuknya, kode yang dipilih bukan hari ulang tahun atau hari pernikahan dengan Hana, melainkan hari di mana Hana menyelamatkan Lam saat nyawanya di ambang kematian.

Saat memutar kode dan memunculkan angka-angka istimewa itu seketika ingatan Lam melayang jauh ke masa di mana Hana menyelamatkannya sekaligus hari pertama keduanya bertemu.

11 November 2011

Malam-malam di kawasan industri textile, cukup ramai ketika para buruh berseragam biru muda keluar-masuk dari pabrik tersebut untuk pergantian shift, buruh yang didominasi oleh perempuan-perempuan muda menjadikan ajang para pemuda sekitar mencuci mata.

Hana kebetulan bekerja di salah satu pabrik di wilayah itu, dia bekerja di departemen spining 16 sebagai salah satu buruh kontrak. Saat itu departemen tempatnya bekerja cukup sibuk karena ada komplain dari atasan, sehingga jam pulang Hana menjadi sedikit terlambat.

Padahal seharusnya pukul 22.00 sudah mengisi absen dan pulang, tetapi hari ini sudah terlambat lima belas menit dan mandor masih menyuruhnya mengerjakan bagian yang dikomplain tersebut. Meski kesal Hana harus menuruti, mau bagaimana lagi, Hana hanya seorang pekerja.

Keterlambatan tersebut membuat Hana ditinggalkan oleh teman indekosnya, mau tidak mau Hana pulang sendirian, memberanikan diri berjalan kaki menyusuri gang-gang dengan cahaya redup di sekitar.

Gadis tinggi semampai dengan rambut hitam lurus mengenakan jaket hijau army dan sepatu putih itu, menatap lurus ke depan tanpa berani menoleh ke arah mana pun. Dia sangat takut, tetapi tidak ditunjukannya. Dia hanya berusaha untuk sampai di kosan dengan cepat, tetapi entah kenapa jalan semakin terasa panjang untuk dijangkau.

Di tengah ketakutannya, tiba-tiba dari sela bangunan terbengkalai nan gelap yang berada tepat di hadapan Hana, muncul seorang pria dengan wajah babak belur dan berlumuran darah, pria itu terkapar tepat saat Hana akan melangkah, hampir saja terinjak, karena pandangan Hana yang fokus ke depan saja.

Sontak Hana berteriak, dia kaget tiada kira kemudian membanting badan ke arah belakang. Pria yang tak lain dan tak bukan adalah Lam, menempelkan jari telunjuk di bibirnya.

"Sstt ...," desisnya.

"Tolong ...."

Hana tafakur beberapa saat seolah tidak percaya bahwa yang di hadapannya itu adalah manusia, Hana gemetaran, penasaran dan takut bercampur menjadi satu.

"Tolong aku, Nona, seseorang mengejarku," lirih Lam kemudian.

Hana terkesiap, kemudian celingukan karena mendengar beberapa orang berteriak, sepertinya merekalah yang sedang mengejar Lam.

"Apa yang harus aku lakukan?" gumamnya.

"Apa aku harus menolongnya? Bagaimana kalau dia penjahat, bagaimana kalau dia perampok?" Hana masih kebingungan.

"Tolong, kumohon," pinta Lam sekali lagi yang membuat Hana terusik dan tidak tega melihatnya.

Lantas Hana pun membawa Lam, untuk bersembunyi di tempat pembuangan sampah, yang ada tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Kemudian gegas Hana mencari pasir untuk mengubur darah Lam yang berceceran. Hana juga memberikan jaket hijau army yang dikenakannya untuk menyumpal luka Lam agar tidak terus mengeluarkan darah.

Hana menghela napas dan berusaha untuk tetap tenang, di memasang handset si kedua telinga, dan berjalan kembali di gang itu. Ternyata orang yang mengejar Lam sudah ada di sana dan sedang memeriksa jejak darah Lam yang tercecer dan berakhir di sana.

Jantung Hana berdegub kencang, keringat dingin mulai membasahi pelipis dan telapak tangan. Lantas Hana yang hobi menonton drama Korea itu mengingat pesan detektif favoritnya agar tidak ketahuan berbohong dia tidak boleh terlihat kaku.

Benar saja, baru saja Hana mengambil langkah kembali, dia dihampiri pria-pria besar tersebut.

"Hei, kamu yang di sana! Apa kamu melihat seseorang yang terluka di dekat sini?" tanya pria tersebut.

"Entahlah, aku baru sampai sini dan tidak bertemu siapa pun di jalan yang sudah aku lalui," Hana berusaha tenang dan menjawabnya.

Pria-pria itu pun tidak bertanya lebih lanjut, akting Hana berhasil.

"Bolehkah saya lewat?" tanya Hana yang merasa jalannya terhalangi.

Tanpa menjawab pria-pria tersebut memberi Hana jalan, dan beralih ke tepi gang dan terus mencari jejak.

Hana pun melewati pria tinggi besar itu, mereka berjumlah empat orang. Namun, belum juga Hana berhasil melewati mereka, salah satu dari pria tersebut mencoba lagi bertanya pada Hana, seolah menyimpan rasa curiga.

"Nona, di mana jaketmu? Bukankah kau akan terkena flu," tanyanya sepertinya memang mencurigai Hana.

Sontak pertanyaan itu membuat Hana ketakutan, lantas menghentikan langkah.

Hana menoleh kemudian melepas handset yang sedang dipakainya.

"Jaket? Aku tidak memakai jaket, karena aku bekerja shift siang, Bang, kebetulan tadi cuaca panas jadi aku meninggalkannya di rumah," sanggah Hana.

Pria itu menatap lekat ke arah Hana, tanpa berbicara apa pun lagi, sepertinya sengaja ingin membuat Hana ketakutan. Namun, dengan sekuat tenaga Hana menahan rasa takut tersebut.

"Pergilah!" tukas pria itu setelah puas menatapi Hana.

Tanpa basa-basi Hana pun pergi dengan keadaan yang cukup membuatnya seolah akan mati lemas.

"Syukurlah, semoga kamu baik-baik saja, Bang," batin Hana.

Akhirnya Hana telah sampai di kamar Kos yang tidak cukup jauh dari tempat kejadian tadi. Dilihatnya di bawah sinar lampu teras kamar petak ukuran tiga kali empat meter itu, ada tetesan darah Lam di sepatunya. Hana panik dan bergegas ke kamar mandi untuk mencuci tetesan darah itu, kemudian merendam sepatu itu. Dia takut orang-orang tersebut mengikutinya.

Namun, setelah satu jam Hana meringkuk di atas kasur, karena ketakutan tidak ada tanda-tanda orang mengikuti, lantas dia masih kepikiran tentang Lam dan jaketnya. Jika Lam mati di sana otomatis Hana akan menjadi tersangka utama. Pemikiran itu membuat Han jadi tidak karuan dan semakin tidak tenang.

"Apa yang harus ku lakukan?" ujarnya seraya menggaruk kepala yang tidak gatal.

Sejurus kemudian, terdengar pintu kamarnya diketuk, tanpa ucapan salam, membuat Hana yang sedang berpikir keras seketika merasa kaget dan ketakutan.

Perlahan Hana menghampiri pintu dan mengintip dari balik jendela, tetapi tak didapatinya siapa pun sebab di luar tidak terlalu terang. Pintu terus saja diketuk dengan jeda yang semakin meningkat.

Dengan segenap keberanian yang tersisa akhirnya Hana membuka pintu tersebut dan mendapati Lam terkapar di depan pintunya. Lagi-lagi Hana kaget setengah mati. Seribu pertanyaan berkecamuk dalam batin, gadis bermata belok itu.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!