Penggoda Yang Tergoda
...Happy Reading...
...***...
Tatapannya tajam, bak elang yang siap menerkam mangsanya. Tidak sedikit pun pandangannya teralihkan. Setiap gerak-gerik ia awasi tanpa terlewatkan sedikit pun, hingga dua minggu berlalu sejak saat itu.
...***...
“Apa yang harus kita lakukan, Bun?” tanya wanita cantik itu. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang begitu mendalam.
“Bunda juga bingung. Kita harus segera mengosongkan rumah ini. Terlalu mustahil bagi kita untuk mengumpulkan uang sebanyak 250 juta dalam waktu tiga bulan.” Wanita tua itu terlihat putus asa.
“Apa tidak bisa dinego lagi, Bun?”
Seutas harapan menyelinap dalam benak wanita cantik itu. Ia berharap ahli waris dari pemilik panti asuhan ini mau berbesar hati memberikan waktu lebih banyak. Meski tidak bisa menebus tanah panti ini, setidaknya ia bisa mencari lebih banyak uang agar bisa mengontrak rumah untuk tinggal bersama adik-adik panti serta wanita yang sudah ia anggap sebagai ibu kandungnya sendiri.
Panti asuhan Kasih Bunda kini dalam sengketa. Pasalnya putra dan putri pemilik tanah tempat didirikannya panti asuhan ini saling berebut untuk menguasai tanah itu. Hal itu tentu berefek pada penghuni panti.
“Maafkan bunda, Zi.” Sebulir air mata jatuh merembas, lalu diikuti bulir berikutnya hingga terdengar isakan dari bibir wanita tua itu.
“Jangan menangis, Bun. Zi akan berusaha agar kita tidak sampai kehilangan tempat berteduh.”
Panti asuhan Kasih Bunda memang tidak seramai dulu. Banyak anak panti yang telah diambil orang lain untuk diadopsi, menyisakan beberapa anak saja dan tentunya itu meringankan beban Ziya, wanita cantik yang mendedikasikan hidupnya untuk panti.
Bekerja sebagai penyanyi di salah satu kafe milik kakak kelasnya dulu, Ziya memberikan semua gajinya untuk kebutuhan panti. Itu adalah wujud dari rasa terima kasih karena panti asuhan Kasih Bunda telah menampungnya sejak bayi.
Erna –yang bertanggung jawab atas anak-anak panti asuhan Kasih Bunda setelah pemilik panti yang asli meninggal sejak dua puluh tahun yang lalu. Erna sangat menyayangi Ziya, juga anak-anak panti yang lain. Sikapnya yang penyayang dan lemah lembut serta sabar membuat anak-anak panti sangat mencintainya.
“Seandainya dulu kamu mau diadopsi oleh keluarga kaya itu, tentu kamu tak harus kerja keras seperti ini, Zi,” sesalnya, mengingat kejadian 21 tahun yang lalu.
Di mana Ziya kecil yang berusia empat tahun menolak keras meninggalkan panti. Orang tua yang berniat mengadopsi Ziya pun turut menangis karena penolakan Ziya. Sepasang suami istri itu telah jatuh cinta pada Ziya kecil yang begitu cantik dan menggemaskan. Akan tetapi mereka harus mengubur mimpinya untuk mengadopsi Ziya karena Ziya sampai jatuh sakit saat dibawa ke luar dari panti.
“Dan meninggalkan Bunda kesusahan sendiri?” Ziya menggeleng, “Apa menurut Bunda, Zi bisa melakukan itu?” tanyanya.
Erna semakin terisak. Rasa bersalah terus mencekamnya saat melihat Ziya yang sudah ia anggap putrinya sendiri mengalami kesulitan karena kebutuhan panti yang tak ada habisnya.
“Bunda tenang, ya. Zi akan cari jalan keluarnya.” Kalimat penenang itu seperti meremas hatinya. Bagaimana caranya, ia pun tidak tahu. Pikirannya buntu. Tidak mungkin ia kembali merepotkan Arsen –pemilik kafe tempat Ziya bekerja. Hutangnya sudah menumpuk di kafe, meski Arsen tidak pernah menagihnya, tapi ia cukup tahu diri.
...***...
“Kamu kenapa?” tanya Arsen saat melihat Ziya melamun di depan meja rias.
“Eh, Kak, udah lama?”
“Jawab dulu, kamu kenapa?”
“Eng-enggak. Ziya nggak papa, kok,” ucapnya gugup.
Arsen memicing. Ia sudah hafal dengan body language seorang Khaira Ziya Zulima. Saat Ziya bahagia, saat Ziya galau, saat Ziya menyembunyikan kesedihan serta saat Ziya mengesampingkan rasa lelahnya. Arsen paham betul tentang apa dan bagaimana seorang Ziya. Wanita yang sudah mencuri hatinya saat duduk di bangku SMA.
Andaikan saja tidak ada perbedaan di antara mereka, tentu Arsen sudah mengutarakan cintanya yang teramat besar. Sayangnya, hingga sekarang ia hanya mampu memendam rasa yang sudah bercokol sejak bertahun-tahun lalu.
“Zi ke panggung dulu, ya, Kak.”
Kabur adalah salah satu cara yang paling ampuh bagi Ziya agar tidak menceritakan masalahnya pada Arsen. Lagu demi lagu ia nyanyikan dengan merdu. Terkadang ia menyanyi berdasarkan request dari pelanggan kafe.
Ziya adalah satu-satunya penyanyi di kafe Lenggah. Awalnya, Arsen sama sekali tidak berpikir untuk memberikan hiburan di kafenya dengan adanya penyanyi di sana.
Akan tetapi, saat Ziya tak kunjung mendapatkan pekerjaan setelah diberhentikan dari tempat kerjanya yang dulu karena virus Covid, Arsen begitu iba. Terlebih Ziya bekerja bukan untuk dirinya sendiri. Ada anak-anak panti yang menanti diberikan makan olehnya. Arsen pun meminta Ziya untuk menjadi penyanyi di kafenya dan ternyata hal itu membuat kafenya semakin ramai.
Tepuk tangan begitu meriah saat Ziya menyelesaikan lagunya. Wajahnya yang cantik, sedap dipandang, suara yang merdu, serta tutur katanya yang lembut dan ramah membuat pengunjung betah berlama-lama menghabiskan waktu di kafe Lenggah untuk mendengarkan suaranya. Begitu juga sosok yang sedari tadi mengamatinya dari jauh.
...***...
Tiga hari sudah berlalu, tetapi Zia masih belum mendapatkan jalan keluar akan permasalahan yang sedang menimpanya. Kepalanya terasa mau pecah.
“Zi, aku pulang duluan, ya. Ada acara keluarga di rumah,” pamit Arsen saat Ziya tengah duduk beristirahat di belakang panggung usai menyanyikan beberapa lagu.
“Iya, Kak. Hati-hati.”
“Kamu nggak papa nanti pulang sendiri?” Kekhawatiran jelas terlihat di wajah tampan Arsen.
Ziya tersenyum manis, kepalanya menggeleng pelan. “Kakak tenang aja.”
“Okey! Aku pergi. Kalau ada apa-apa segera hubungi aku.”
“Iya.”
Arsen mengusap kepala Ziya dengan sayang sebelum meninggalkan Ziya sendiri. Ziya menghembuskan napasnya kasar saat teringat beban yang tengah ia tanggung. Setidaknya ia harus mengantongi uang sedikitnya sepuluh juta untuk mengontrak rumah, sedangkan ia sama sekali tidak memiliki tabungan. “Aku harus cari ke mana?” tanyanya pada diri sendiri.
Ramai suara langkah yang mendekat tidak mengusik lamunan Ziya, hingga seseorang memegang bahunya baru ia tersadar.
“Eh!” Ziya menepis tangan yang memegang bahunya.
“Maaf atas kelancangan saya, Nona. Dari tadi Nona saya panggil tidak menjawab jadi terpaksa saya sentuh Nona,” terang seorang laki-laki yang memakai kaos berwarna hitam.
Di belakang lelaki itu ada beberapa orang lagi yang sama-sama memakai kaos berwarna hitam. Ada seorang wanita juga dengan rambut pendek yang dikuncir kuda.
“Dengan nona Ziya, betul?” tanya wanita itu.
“I-iya,” jawab Ziya dengan gugup. Ia merasa takut dengan kehadiran beberapa orang yang ada di sekitarnya saat ini.
“Jangan takut, Nona. Kami hanya ingin mengajak Nona untuk bertemu dengan atasan kami,” ujar wanita itu lagi. Kali ini, sedikit senyum yang diberikan wanita itu mampu membuat Ziya sedikit tenang.
“Ma-maaf. Tapi saya tidak kenal siapa kalian, bagaimana kalian bisa tahu nama saya?” Ziya benar-benar kebingungan dengan situasi yang terjadi saat ini.
Wanita itu tersenyum lagi tanpa menjawab pertanyaan Ziya. “Mari, kami antar menemui atasan kami. Beliau menunggu di kursi VVIP.”
“Tapi saya tidak ada urusan dengan atasan Anda.” Ziya ketakutan. Ia takut diculik seperti kisah-kisah yang ada dalam novel yang pernah ia baca. Ah, tingkat kehaluannya sangat tinggi.
“Atasan kami yang ada perlu dengan Nona. Tenang saja, kami bukan orang jahat. Mari, Nona.” Wanita itu dengan sabar membujuk Ziya.
Dengan rasa takut yang merajai dirinya, ia paksakan kakinya untuk melangkah mengikuti beberapa orang yang berpakaian serba hitam itu. Dalam hatinya ia berdoa semoga tidak akan terjadi masalah lain. Masalah panti sudah cukup membuatnya kalang kabut.
Setelah mengetuk pintu itu, Ziya dipersilahkan untuk masuk. Saat pintu terbuka, tampak seorang kakek-kakek yang terlihat bersahaja. Ia menyuruh Ziya untuk duduk di depannya.
“Ma-maaf. Sesungguhnya saya tidak mengenal Tuan. Ada apakah gerangan sampai Tuan bermaksud mencari saya?” tanya Ziya dengan ketakutan.
Melihat ketakutan Ziya, lelaki tua itu tersenyum. “Saya, Pramono—Agung Lubis Pramono. Saya ingin menawarkan kerja sama dengan Nona.”
“Kerja ... sama?” Dahi Ziya mengerut. Pertanda tidak paham dengan maksud perkataan kakek bernama Pram itu.
“Iya, saya akan to the point aja. Saya tahu permasalahan kamu soal panti asuhan. Maka dari itu saya menawarkan kerja sama agar kamu bisa menebus tanah panti itu.”
“Dari mana Tuan tahu masalah panti?” Lagi, Ziya dibuat bingung oleh kakek tua itu.
“Tidak penting saya tahu dari mana. Yang jelas, saya memiliki penawaran.”
“Kalau boleh saya tahu, kerja sama seperti apa?”
“Saya ingin kamu menggoda suami cucu saya hingga mereka bercerai. Jika kamu berhasil, maka uang 250 juta kamu dapat serta uang penunjang yang lain.”
“Hah????” Ziya melongo. Usai dengan keterkejutannya ia langsung menutup mulutnya.
“Ma-maaf.”
Pram hanya diam menanggapi respons Ziya. Setelah hening beberapa saat, “Jadi bagaimana?” tanya Pram.
“Apa saya tidak salah dengar? Anda yakin meminta saya untuk menggoda cucu menantu Anda? Apa menurut Anda saya tampak seperti ****** yang suka menggoda lelaki hidung belang?” marah Ziya. Kedua tangannya mengepal kuat.
“Justru karena kamu tidak tampak seperti ****** makanya saya memilih kamu. Saya yakin kamu wanita baik-baik. Saya butuh sosok seperti kamu untuk menggoda cucu mantu saya.”
Ziya menggelengkan kepala. Tidak habis pikir dengan pemikiran kakek satu ini. “Maaf. Saya menolak,” putus Ziya.
“Alasannya?” tanya Pram.
“Pertama, saya bukan penggoda dan saya tidak bisa menggoda. Kedua, saya tidak ingin menghancurkan pernikahan orang lain. Saya tidak habis pikir dengan Anda. Bagaimana bisa Anda berniat memisahkan cucu Anda sendiri dari suaminya.” Ziya semakin emosi.
“Lelaki brengsek itu tidak pantas mendapatkan cucu saya.” Pram melemparkan beberapa foto di depan Ziya.
Ziya melirik sekilas beberapa lembar foto di depannya. Tampak seorang lelaki tampan tengah merangkul mesra pundak seorang wanita. Di foto yang lain, lelaki itu terlihat membopong wanita itu masuk ke dalam kamar hotel.
“Dia main perempuan, tetapi cucu saya terlalu dibutakan oleh cinta hingga ia menolak semua bukti yang saya berikan. Apa menurut kamu, saya akan tinggal diam saja melihat cucu saya satu-satunya disakiti?”
Ziya terdiam, tangannya kembali mengepal kuat. Ia benci perselingkuhan. Bagaimana bisa seorang lelaki yang sudah berjanji setia pada pernikahan bermain hati dengan wanita lain.
“Tolong pikirkan. Saya sangat berharap kamu mau membantu saya, maka saya akan membantu kamu mengenai tanah panti asuhan.”
Hening. Kepala Ziya terasa berputar. Ia tak lagi bisa berpikir dengan jernih.
“Saya beri kamu waktu untuk berpikir. Ini kartu nama saya.” Pram menyodorkan sebuah kartu nama pada Ziya. “Hubungi saya jika kamu sudah mendapat jawabannya. Saya sangat ingin memberi pelajaran pada lelaki hidung belang itu agar ia tahu rasanya dicampakkan.”
Pram pergi meninggalkan Ziya yang masih membatu. Kini pikiran wanita itu semakin semrawut. Satu sisi, ia merasa kasihan dengan nasib cucu dari Pram. Sekaligus ia bisa menyelesaikan permasalahan panti tanpa campur tangan Arsen lagi. Namun, di sisi lain ia merasa begitu berat untuk menghancurkan sebuah ikatan pernikahan.
...***...
...To be continued...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
𝕸𝖆𝖘𝖎𝖙𝖆𝖍 𝕬𝖟𝖟𝖆𝖍𝖗𝖆
Aq baru tahu nich kalau sudah up 😊 semangat Thor 🥰
2022-08-28
2
Ruang Rindu
Salken Ziyaaaa
2022-08-06
0
Ruang Rindu
Lanjuttt torrrr
2022-08-06
0