...Happy Reading...
...***...
Tatapannya tajam, bak elang yang siap menerkam mangsanya. Tidak sedikit pun pandangannya teralihkan. Setiap gerak-gerik ia awasi tanpa terlewatkan sedikit pun, hingga dua minggu berlalu sejak saat itu.
...***...
“Apa yang harus kita lakukan, Bun?” tanya wanita cantik itu. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang begitu mendalam.
“Bunda juga bingung. Kita harus segera mengosongkan rumah ini. Terlalu mustahil bagi kita untuk mengumpulkan uang sebanyak 250 juta dalam waktu tiga bulan.” Wanita tua itu terlihat putus asa.
“Apa tidak bisa dinego lagi, Bun?”
Seutas harapan menyelinap dalam benak wanita cantik itu. Ia berharap ahli waris dari pemilik panti asuhan ini mau berbesar hati memberikan waktu lebih banyak. Meski tidak bisa menebus tanah panti ini, setidaknya ia bisa mencari lebih banyak uang agar bisa mengontrak rumah untuk tinggal bersama adik-adik panti serta wanita yang sudah ia anggap sebagai ibu kandungnya sendiri.
Panti asuhan Kasih Bunda kini dalam sengketa. Pasalnya putra dan putri pemilik tanah tempat didirikannya panti asuhan ini saling berebut untuk menguasai tanah itu. Hal itu tentu berefek pada penghuni panti.
“Maafkan bunda, Zi.” Sebulir air mata jatuh merembas, lalu diikuti bulir berikutnya hingga terdengar isakan dari bibir wanita tua itu.
“Jangan menangis, Bun. Zi akan berusaha agar kita tidak sampai kehilangan tempat berteduh.”
Panti asuhan Kasih Bunda memang tidak seramai dulu. Banyak anak panti yang telah diambil orang lain untuk diadopsi, menyisakan beberapa anak saja dan tentunya itu meringankan beban Ziya, wanita cantik yang mendedikasikan hidupnya untuk panti.
Bekerja sebagai penyanyi di salah satu kafe milik kakak kelasnya dulu, Ziya memberikan semua gajinya untuk kebutuhan panti. Itu adalah wujud dari rasa terima kasih karena panti asuhan Kasih Bunda telah menampungnya sejak bayi.
Erna –yang bertanggung jawab atas anak-anak panti asuhan Kasih Bunda setelah pemilik panti yang asli meninggal sejak dua puluh tahun yang lalu. Erna sangat menyayangi Ziya, juga anak-anak panti yang lain. Sikapnya yang penyayang dan lemah lembut serta sabar membuat anak-anak panti sangat mencintainya.
“Seandainya dulu kamu mau diadopsi oleh keluarga kaya itu, tentu kamu tak harus kerja keras seperti ini, Zi,” sesalnya, mengingat kejadian 21 tahun yang lalu.
Di mana Ziya kecil yang berusia empat tahun menolak keras meninggalkan panti. Orang tua yang berniat mengadopsi Ziya pun turut menangis karena penolakan Ziya. Sepasang suami istri itu telah jatuh cinta pada Ziya kecil yang begitu cantik dan menggemaskan. Akan tetapi mereka harus mengubur mimpinya untuk mengadopsi Ziya karena Ziya sampai jatuh sakit saat dibawa ke luar dari panti.
“Dan meninggalkan Bunda kesusahan sendiri?” Ziya menggeleng, “Apa menurut Bunda, Zi bisa melakukan itu?” tanyanya.
Erna semakin terisak. Rasa bersalah terus mencekamnya saat melihat Ziya yang sudah ia anggap putrinya sendiri mengalami kesulitan karena kebutuhan panti yang tak ada habisnya.
“Bunda tenang, ya. Zi akan cari jalan keluarnya.” Kalimat penenang itu seperti meremas hatinya. Bagaimana caranya, ia pun tidak tahu. Pikirannya buntu. Tidak mungkin ia kembali merepotkan Arsen –pemilik kafe tempat Ziya bekerja. Hutangnya sudah menumpuk di kafe, meski Arsen tidak pernah menagihnya, tapi ia cukup tahu diri.
...***...
“Kamu kenapa?” tanya Arsen saat melihat Ziya melamun di depan meja rias.
“Eh, Kak, udah lama?”
“Jawab dulu, kamu kenapa?”
“Eng-enggak. Ziya nggak papa, kok,” ucapnya gugup.
Arsen memicing. Ia sudah hafal dengan body language seorang Khaira Ziya Zulima. Saat Ziya bahagia, saat Ziya galau, saat Ziya menyembunyikan kesedihan serta saat Ziya mengesampingkan rasa lelahnya. Arsen paham betul tentang apa dan bagaimana seorang Ziya. Wanita yang sudah mencuri hatinya saat duduk di bangku SMA.
Andaikan saja tidak ada perbedaan di antara mereka, tentu Arsen sudah mengutarakan cintanya yang teramat besar. Sayangnya, hingga sekarang ia hanya mampu memendam rasa yang sudah bercokol sejak bertahun-tahun lalu.
“Zi ke panggung dulu, ya, Kak.”
Kabur adalah salah satu cara yang paling ampuh bagi Ziya agar tidak menceritakan masalahnya pada Arsen. Lagu demi lagu ia nyanyikan dengan merdu. Terkadang ia menyanyi berdasarkan request dari pelanggan kafe.
Ziya adalah satu-satunya penyanyi di kafe Lenggah. Awalnya, Arsen sama sekali tidak berpikir untuk memberikan hiburan di kafenya dengan adanya penyanyi di sana.
Akan tetapi, saat Ziya tak kunjung mendapatkan pekerjaan setelah diberhentikan dari tempat kerjanya yang dulu karena virus Covid, Arsen begitu iba. Terlebih Ziya bekerja bukan untuk dirinya sendiri. Ada anak-anak panti yang menanti diberikan makan olehnya. Arsen pun meminta Ziya untuk menjadi penyanyi di kafenya dan ternyata hal itu membuat kafenya semakin ramai.
Tepuk tangan begitu meriah saat Ziya menyelesaikan lagunya. Wajahnya yang cantik, sedap dipandang, suara yang merdu, serta tutur katanya yang lembut dan ramah membuat pengunjung betah berlama-lama menghabiskan waktu di kafe Lenggah untuk mendengarkan suaranya. Begitu juga sosok yang sedari tadi mengamatinya dari jauh.
...***...
Tiga hari sudah berlalu, tetapi Zia masih belum mendapatkan jalan keluar akan permasalahan yang sedang menimpanya. Kepalanya terasa mau pecah.
“Zi, aku pulang duluan, ya. Ada acara keluarga di rumah,” pamit Arsen saat Ziya tengah duduk beristirahat di belakang panggung usai menyanyikan beberapa lagu.
“Iya, Kak. Hati-hati.”
“Kamu nggak papa nanti pulang sendiri?” Kekhawatiran jelas terlihat di wajah tampan Arsen.
Ziya tersenyum manis, kepalanya menggeleng pelan. “Kakak tenang aja.”
“Okey! Aku pergi. Kalau ada apa-apa segera hubungi aku.”
“Iya.”
Arsen mengusap kepala Ziya dengan sayang sebelum meninggalkan Ziya sendiri. Ziya menghembuskan napasnya kasar saat teringat beban yang tengah ia tanggung. Setidaknya ia harus mengantongi uang sedikitnya sepuluh juta untuk mengontrak rumah, sedangkan ia sama sekali tidak memiliki tabungan. “Aku harus cari ke mana?” tanyanya pada diri sendiri.
Ramai suara langkah yang mendekat tidak mengusik lamunan Ziya, hingga seseorang memegang bahunya baru ia tersadar.
“Eh!” Ziya menepis tangan yang memegang bahunya.
“Maaf atas kelancangan saya, Nona. Dari tadi Nona saya panggil tidak menjawab jadi terpaksa saya sentuh Nona,” terang seorang laki-laki yang memakai kaos berwarna hitam.
Di belakang lelaki itu ada beberapa orang lagi yang sama-sama memakai kaos berwarna hitam. Ada seorang wanita juga dengan rambut pendek yang dikuncir kuda.
“Dengan nona Ziya, betul?” tanya wanita itu.
“I-iya,” jawab Ziya dengan gugup. Ia merasa takut dengan kehadiran beberapa orang yang ada di sekitarnya saat ini.
“Jangan takut, Nona. Kami hanya ingin mengajak Nona untuk bertemu dengan atasan kami,” ujar wanita itu lagi. Kali ini, sedikit senyum yang diberikan wanita itu mampu membuat Ziya sedikit tenang.
“Ma-maaf. Tapi saya tidak kenal siapa kalian, bagaimana kalian bisa tahu nama saya?” Ziya benar-benar kebingungan dengan situasi yang terjadi saat ini.
Wanita itu tersenyum lagi tanpa menjawab pertanyaan Ziya. “Mari, kami antar menemui atasan kami. Beliau menunggu di kursi VVIP.”
“Tapi saya tidak ada urusan dengan atasan Anda.” Ziya ketakutan. Ia takut diculik seperti kisah-kisah yang ada dalam novel yang pernah ia baca. Ah, tingkat kehaluannya sangat tinggi.
“Atasan kami yang ada perlu dengan Nona. Tenang saja, kami bukan orang jahat. Mari, Nona.” Wanita itu dengan sabar membujuk Ziya.
Dengan rasa takut yang merajai dirinya, ia paksakan kakinya untuk melangkah mengikuti beberapa orang yang berpakaian serba hitam itu. Dalam hatinya ia berdoa semoga tidak akan terjadi masalah lain. Masalah panti sudah cukup membuatnya kalang kabut.
Setelah mengetuk pintu itu, Ziya dipersilahkan untuk masuk. Saat pintu terbuka, tampak seorang kakek-kakek yang terlihat bersahaja. Ia menyuruh Ziya untuk duduk di depannya.
“Ma-maaf. Sesungguhnya saya tidak mengenal Tuan. Ada apakah gerangan sampai Tuan bermaksud mencari saya?” tanya Ziya dengan ketakutan.
Melihat ketakutan Ziya, lelaki tua itu tersenyum. “Saya, Pramono—Agung Lubis Pramono. Saya ingin menawarkan kerja sama dengan Nona.”
“Kerja ... sama?” Dahi Ziya mengerut. Pertanda tidak paham dengan maksud perkataan kakek bernama Pram itu.
“Iya, saya akan to the point aja. Saya tahu permasalahan kamu soal panti asuhan. Maka dari itu saya menawarkan kerja sama agar kamu bisa menebus tanah panti itu.”
“Dari mana Tuan tahu masalah panti?” Lagi, Ziya dibuat bingung oleh kakek tua itu.
“Tidak penting saya tahu dari mana. Yang jelas, saya memiliki penawaran.”
“Kalau boleh saya tahu, kerja sama seperti apa?”
“Saya ingin kamu menggoda suami cucu saya hingga mereka bercerai. Jika kamu berhasil, maka uang 250 juta kamu dapat serta uang penunjang yang lain.”
“Hah????” Ziya melongo. Usai dengan keterkejutannya ia langsung menutup mulutnya.
“Ma-maaf.”
Pram hanya diam menanggapi respons Ziya. Setelah hening beberapa saat, “Jadi bagaimana?” tanya Pram.
“Apa saya tidak salah dengar? Anda yakin meminta saya untuk menggoda cucu menantu Anda? Apa menurut Anda saya tampak seperti ****** yang suka menggoda lelaki hidung belang?” marah Ziya. Kedua tangannya mengepal kuat.
“Justru karena kamu tidak tampak seperti ****** makanya saya memilih kamu. Saya yakin kamu wanita baik-baik. Saya butuh sosok seperti kamu untuk menggoda cucu mantu saya.”
Ziya menggelengkan kepala. Tidak habis pikir dengan pemikiran kakek satu ini. “Maaf. Saya menolak,” putus Ziya.
“Alasannya?” tanya Pram.
“Pertama, saya bukan penggoda dan saya tidak bisa menggoda. Kedua, saya tidak ingin menghancurkan pernikahan orang lain. Saya tidak habis pikir dengan Anda. Bagaimana bisa Anda berniat memisahkan cucu Anda sendiri dari suaminya.” Ziya semakin emosi.
“Lelaki brengsek itu tidak pantas mendapatkan cucu saya.” Pram melemparkan beberapa foto di depan Ziya.
Ziya melirik sekilas beberapa lembar foto di depannya. Tampak seorang lelaki tampan tengah merangkul mesra pundak seorang wanita. Di foto yang lain, lelaki itu terlihat membopong wanita itu masuk ke dalam kamar hotel.
“Dia main perempuan, tetapi cucu saya terlalu dibutakan oleh cinta hingga ia menolak semua bukti yang saya berikan. Apa menurut kamu, saya akan tinggal diam saja melihat cucu saya satu-satunya disakiti?”
Ziya terdiam, tangannya kembali mengepal kuat. Ia benci perselingkuhan. Bagaimana bisa seorang lelaki yang sudah berjanji setia pada pernikahan bermain hati dengan wanita lain.
“Tolong pikirkan. Saya sangat berharap kamu mau membantu saya, maka saya akan membantu kamu mengenai tanah panti asuhan.”
Hening. Kepala Ziya terasa berputar. Ia tak lagi bisa berpikir dengan jernih.
“Saya beri kamu waktu untuk berpikir. Ini kartu nama saya.” Pram menyodorkan sebuah kartu nama pada Ziya. “Hubungi saya jika kamu sudah mendapat jawabannya. Saya sangat ingin memberi pelajaran pada lelaki hidung belang itu agar ia tahu rasanya dicampakkan.”
Pram pergi meninggalkan Ziya yang masih membatu. Kini pikiran wanita itu semakin semrawut. Satu sisi, ia merasa kasihan dengan nasib cucu dari Pram. Sekaligus ia bisa menyelesaikan permasalahan panti tanpa campur tangan Arsen lagi. Namun, di sisi lain ia merasa begitu berat untuk menghancurkan sebuah ikatan pernikahan.
...***...
...To be continued...
...Happy Reading...
...***...
Bias cahaya mentari memantulkan butiran kristal yang menempel di dedaunan pagi itu. Seorang perempuan baru turun dari mobil mewahnya tak kalah bersinar bak seorang ratu. Penampilannya yang feminin, cantik, dan menawan dengan balutan midi dress berwarna hitam mengkilat, seolah menggambarkan siluet tubuhnya yang sexy. Serta tambahan tebaran kristal yang gemerlap memenuhi dress yang ia kenakan, dan tas branded ternama yang menggantung di lengannya, menonjolkan gayanya yang selalu terlihat glamour dan elegan.
Falencia Lubis Pramono–cucu satu-satunya Agung Lubis Pramono, berkunjung ke rumah kakeknya atas permintaan dari kakeknya tersebut. Pramono yang sering dipanggil dengan kakek Pram itu menggunakan alasan kesehatannya yang tidak baik, agar cucu kesayangannya itu mau menjenguknya dengan segera.
Falencia berjalan bak seorang model di atas catwalk. Berirama dan lentur dalam setiap langkahnya. Memasuki rumah mewah yang dihiasi pilar-pilar besar yang berjajar menopang bangunan mewah yang lebih pantas di sebut sebuah istana.
"Kakek." Sapaan dari Cia (nama panggilan Falencia) membuat Pram menolehkan kepalanya.
"Kakek sakit apa?" tanya Cia setelah berhasil mendekati kakeknya yang tengah sarapan di meja makan besar itu. Cia menyalami tangan sebelum mendaratkan satu kecupan sayang di pipi keriputnya Pram. Raut wajahnya terlihat khawatir dengan kondisi kakeknya yang katanya sedang tidak enak badan.
"Kakek nggak apa-apa, Cia. Biasalah kalau sudah tua, pasti ada aja yang dirasa," jawab Pram sambil mengulas senyuman.
"Udah sarapan?" tanyanya lagi.
Cia mengangguk, "Udah, Kek," jawabnya. Lalu menarik kursi kosong di sebelah sang kakek untuk ia duduki.
"Kamu apa kabar, Sayang? Sudah lama nggak pernah jengukin kakekmu ini. Mentang-mentang sudah punya suami, jadi lupa sama kakeknya." Pram memberenggut, pura-pura kecewa dengan sikap cucunya yang berubah setelah menikahi seorang Delfin Mahareksa, penyanyi pendatang baru yang baru merintis karier di dunia keartisan.
"Kakek, kok, ngomongnya gitu? Cia agak sibuk, Kek. Mas Delfin sekarang lagi sibuk-sibuknya konser dan tampil di sana sini. Cia sebagai istrinya kadang menemani, tapi kadang juga nggak ikut karena harus mengurus butik yang Kakek berikan buat Cia."
Mendengar nama Delfin disebut, Pram mengepal tangannya dengan kuat. Luapan emosinya terhadap lelaki itu sudah membuncah sampai ke ubun-ubun. Dari awal ia memang tidak menyukai lelaki yang menurutnya tidak punya masa depan itu untuk menikahi cucunya tercinta. Namun, cinta Cia terlalu besar kepada Delfin, hingga membuat Pram terpaksa mengalah dan akhirnya menyetujui pernikahan mereka.
Dan sekarang, ternyata kesempatan yang diberikan oleh Pram disia-siakan oleh Delfin. Lelaki itu malah tertangkap basah oleh penglihatan Pram tengah menggendong seorang perempuan di sebuah hotel berbintang. Di situlah Pram seolah mempunyai alasan yang kuat untuk memisahkan Cia dan Delfin. Maka dari itu dia menyuruh anak buahnya untuk mencari perempuan yang bisa dijadikan sebagai umpan yang digunakan Pram untuk membuat pernikahan cucunya hancur berantakan. Dan perempuan yang terpilih itu adalah Ziya.
"Oh, iya, Cia. Bagaimana dengan pekerjaan suamimu? Apa dia masih sering berangkat konser sendiri tanpa kamu?" tanya Pram membuka obrolan yang memicu tujuannya membongkar aib Delfin.
Cia mengangguk yakin. "Iya, Kek. Baru-baru ini Mas Delfin memang sering pergi konser tanpa aku. Soalnya butik lagi rame dan butuh aku buat nge-handle. Tapi Kakek tenang aja, Mas Delfin pergi bareng-bareng sama kru di agencinya, kok," terang Cia.
Pram tersenyum miris mendengar penuturan cucunya yang terkesan sangat percaya pada suaminya. "Kamu nggak takut kalau semisalnya suami kamu ada main sama perempuan lain? Mungkin aja, kan, dia bilangnya ada konser padahal dia ada skandal terselubung di belakang kamu."
Kening Cia berkerut mendengar tuduhan sang kakek. "Maksud Kakek apa?"
"Ya, dunia artis, kan, memang seperti itu. Kakek sering lihat acara gosip di televisi. Isinya kebanyakan tentang skandal artis. Apalagi pendatang baru kayak suami kamu. Pasti ada aja, tuh, skandal yang dibikin buat mendobrak popularitas mereka." Pram berkata santai sambil melanjutkan melahap sarapannya yang sempat tertunda karena kedatangan Cia.
Bukannya marah, Cia justru tertawa mendengar perkataan kakeknya. "Apanya yang lucu? Kakek sedang membahas keburukan suami kamu." Pram bertanya heran, tangannya sibuk menyimpan sendoknya dengan posisi terbalik di atas piring yang masih menyisakan sedikit makanan. Lantas menenggak air guna melancarkan tenggorokannya yang hampir saja tersedak karena melihat kelakuan cucunya tersebut. Jujur, dia kesal. Cucunya itu terlampau percaya kepada suaminya.
"Kakek nggak usah komporin aku sama Mas Delfin. Aku percaya sama dia. Dia nggak akan mengkhianati aku." Cia sengaja berkata seperti itu kepada kakeknya, untuk meyakinkan jika cinta Cia dan suaminya begitu besar dan selalu dilandasi oleh rasa percaya. Dengan begitu, sang kakek bisa merestui hubungan mereka.
Namun, Pram tidak bisa menerima itu. Dalam otaknya masih sangat jelas bayangan Delfin yang menggendong perempuan lain. "Gimana kalau kakek bilang, kakek pernah melihat suami kamu masuk hotel dengan perempuan lain"
Cia terdiam sejenak, tetapi Cia tetap berpikir jika Pram mencoba untuk menunjukkan keburukan Delfin. Akhirnya Cia memilih untuk tidak percaya kepada kakeknya. Bagaimanapun juga, dari awal Pram tidak setuju dengan pernikahannya dengan Delfin. Sudah pasti kakeknya itu akan terus berusaha untuk memisahkan mereka berdua.
"Udahlah, Kek. Kalau Kakek menyuruhku ke sini cuma mau mengatakan ini. Aku lebih baik pulang saja." Cia beranjak berdiri, lalu meraih tangan Pram untuk ia kecup punggung tangannya sebelum dirinya pergi dari sana.
"Tapi, Cia. Kakek bisa buktikan kalau suamimu itu adalah lelaki tidak benar. Dia berselingkuh di belakang kamu, Nak." Pram berkata sedikit berteriak, karena Cia terus berjalan menjauhinya.
"Aku nggak denger Kakek ngomong apa," seru Cia sedikit berteriak juga. Lalu pergi dari sana pura-pura menulikan telinganya.
Pram geram dengan sikap Cia. Ia menggebrak meja makan sekuat tengah, hingga terdengar bunyi, 'Brak!' dan bunyi benturan piring yang sedikit memantul di atas meja tersebut. Lantas ia mengambil ponselnya yang tergeletak di meja yang sama. Mencari fitur panggilan hendak menelepon seseorang.
"Halo, Burhan. Aku perintahkan kamu untuk menghubungi gadis itu lagi. Pastikan dia menerima tawaran dariku. Aku tidak mau tahu bagaimana caranya. Pokoknya dia harus mau menggoda suaminya Cia, dan membuat Cia bercerai dengan suaminya."
Setelah mendengar kalimat jawaban dari orang di seberang teleponnya, Pram mengakhiri panggilan tersebut, lalu melemparkan ponsel itu untuk meluapkan rasa kesalnya.
...***...
Di sisi lain, di waktu yang sama, di panti asuhan kediaman Ziya berada. Erna tiba-tiba mendapatkan panggilan telepon dari pihak pemilik lahan panti asuhan, dan kebetulan Ziya sedang berada si samping ibu pantinya tersebut. Wajah muram dan sendu seolah melukiskan kabar buruk dari panggilan telepon ibu angkatnya.
"Kenapa, Bu? Telepon dari siapa tadi?" tanya Ziya merasa khawatir setelah panggilan itu berakhir.
Erna menarik napas panjang sebelum mengembuskannya perlahan. Seolah menampung kekuatan untuk menghadapi masalahnya yang semakin melebar. "Itu ... dari pihak pemilik lahan panti, Zi. Mereka ... mau uang muka pembayaran tanah ini dibayar tiga hari lagi. Kalau nggak, kita harus keluar dari sini hari itu juga," terang Erna sedikit ragu. Sebenarnya ia tidak mau membenani Ziya dengan masalah itu, tetapi ia tidak punya pilihan lain selain memberitahu anak angkatnya yang ingin membantu.
"Berapa yang mereka minta?" tanya Ziya.
"Lima puluh juta."
Ziya tercenung, pikirannya jauh menerawang ke mana dia harus mencari uang. Lima puluh juta bukan uang yang sedikit. Dari mana ia bisa mendapatkan uang itu dalam waktu tiga hari saja? Hingga ingatannya kembali pada kejadian beberapa hari yang lalu, saat dirinya bertemu dengan Pramono. Kakek tua yang menawarinya pekerjaan menjadi seorang penggoda suami orang. Ziya jadi berpikir, apakah Pram akan mau memberinya uang muka untuk pekerjaan tersebut sebesar 50 juta, jika Ziya bersedia? Kalau begitu, berarti Ziya harus menghubungi Pram sekarang juga.
...***...
...To be Continued...
...Happy Reading...
...***...
Saat ini Ziya sudah berada di sebuah restoran bintang lima. Usai menelfon Pramono, gadis cantik itu langsung menuju lokasi di mana mereka bertemu.
Duduk berdua bersama Pramono di meja yang ada di sudut ruangan yang dihiasi dengan desain klasik, Ziya menyeruput jus yang ada di hadapannya untuk menghilangkan rasa gugupnya. Seumur hidup, ia tidak pernah memiliki niat jahat untuk merusak rumah tangga seseorang. Namun, karena keadaan panti yang sulit, membuat ia terpaksa menerima tawaran tersebut.
“Nona Ziya, silahkan baca baik-baik isi dari dokumen ini. Jika ada yang kurang paham, silahkan Anda bertanya!" Seorang laki-laki tinggi dan berpakaian rapi menyodorkan sebuah berkas ke hadapan Ziya. Ziya melihat sebuah berkas berwarna coklat di depannya. Dengan perlahan tangannya bergerak membuka berkas tersebut.
“Ini bukan pekerjaan yang sulit bukan?” tanya Pramono usai menyeruput kopi hitam yang masih mengepulkan asap di udara.
“Kapan saya mulai bekerja?” tanya Ziya menatap laki-laki keriput di depannya. Bukannya menjawab, wanita berkulit putih itu langsung menanyakan ketersediaannya bekerja.
Bagi Ziya, dirinya tidak punya kesempatan lagi untuk berpikir, yang ada hanyalah sebuah keputusan. Saat ini yang terpenting baginya adalah keselamatan panti asuhan dan adik-adiknya di sana. Ia tidak bisa membayangkan jika panti asuhan tersebut diambil alih oleh orang lain dan digusur begitu saja. Terlalu banyak kenangan di panti yang membuat Ziya berat hati untuk melepaskan panti. Karena dari sanalah ia mendapatkan keluarga dan kasih sayang yang tidak ia dapatkan dari orang tua kandungnya.
“Ini adalah kartu nama agency Star Production. Datang saja besok pagi. Pak Lukman sudah menunggumu,” kata Pramono seraya menyodorkan kartu nama berwarna silver. Lukman Sujarwo–pemilik agency Star Productions.
“Baik. Saya mengerti, Tuan!”
...***...
Keesokan harinya, Ziya berangkat lebih awal menuju kantor agency. Sepanjang perjalanan ia terus meyakinkan diri, kalau keputusan yang ia ambil sudah tepat. Buktinya semalam, sebuah notifikasi dari bank masuk di ponselnya. Uang senilai 100 juta rupiah masuk di rekeningnya. Pramono benar-benar menepati janjinya. Sisanya akan Pram lunasi jika Ziya sudah berhasil melakukan tugasnya.
Ziya turun dari bus tepat di depan kantor agensi yang ia tuju. Bersama karyawan lainnya, ia menyebrangi zebra cross saat lampu rambu lalu lintas berubah menjadi merah. “Gedungnya tinggi banget. Pasti di dalamnya artis-artis terkenal,” gumam Ziya memperhatikan gedung agensi nomor satu tempat rumah produksi para artis ibu kota.
Gadis cantik itu pun mengayunkan kedua tumitnya menapaki lantai Star Production. Sampai di dalam, Ziya menuju meja resepsionis yang ada di lantai dasar. “Permisi, Nona. Saya ingin bertemu dengan Pak Lukman.”
Wanita yang berada di balik meja kerjanya itu sejenak memperhatikan penampilan Ziya dari atas sampai bawah. Satu kata yang terbungkam di dalam bibirnya, ‘cantik’. Untung saja, Ziya sudah mempersiapkan penampilannya untuk tidak terlihat norak atau pun kampungan, karena kemarin Pramono sempat menyampaikan agar Ziya datang dengan penampilan terbaik.
“Apa anda sudah membuat janji sebelumnya?” tanya wanita bergincu merah senada dengan warna baju yang dipakainya.
“Iya.”
“Baiklah, silahkan Nona duduk di sana dulu! Saya akan menghubungi beliau. Kalau boleh tahu Anda atas nama siapa?” tanya resepsionis ber-name tag Lia itu.
“Khaira Ziya Zulima. Bilang saja, utusan Pak Pram sudah datang.” Ziya pun menuju kursi yang sebelumnya ditunjukkan kepada dirinya.
Sembari menunggu informasi dari resepsionis, Ziya memandangi orang yang berlalu lalang di sana. Beberapa artis terkenal keluar masuk ke dalam kantor bersama dengan manajer mereka. Sampai ia juga melihat artis yang akhir-akhir ini tengah naik daun dan banyak dibicarakan oleh netizen. Siapa lagi kalau bukan Delfin Mahareksa.
Penampilan Delfin saat ini membuat kaum wanita kagum. Delfin yang berjalan seorang diri ke dalam kantor terlihat sedang resah. Bisa dilihat dari gerakan tangannya yang terus menekan panggilan pada ponselnya. Entah apa yang membuat raut wajahnya berubah. Namun, langsung berubah saat ada rekan sesama artis atau karyawan yang sedang menyapanya. Laki-laki tampan itu menarik sudut bibirnya menampakkan gigi putih berjejer rapi. Bahkan, Ziya yang duduk di kursi tunggu tidak berkedip menatap Delfin yang baru saja berlalu di hadapannya. Apakah ia sanggup menjadi manajer pendamping artis tersebut, bisiknya dalam hati.
Lamunannya buyar saat Lia memanggil namanya. “Nona Ziya, Anda sudah ditunggu Pak Lukman di ruangannya. Silakan naik ke lantai sepuluh! Beliau sudah menunggu di atas," ujar resepsionis dengan kostum merah dari atas sampai bawah. Ternyata tak hanya gincu dan pakaian ketat yang mencetak bentuk tubuhnya yang berwarna merah. Sendal yang dipakai Lia pun berwarna merah terang dengan hels 20cm. Ziya meringis setelah memindai penampilan perempuan itu. “Apakah bekerja di dunia hiburan harus berpenampilan seperti itu?" bisik Ziya dalam batinnya.
“Terima kasih, Mbak," pamit Ziya. Gadis itu masuk menuju benda persegi yang akan mengantarkannya naik ke ruangan Lukman Sujarwo. Sebelumnya, ia sudah menekan angka sepuluh. Setelah pintu lift terbuka, ia segera keluar menuju ke ruangan Pak Lukman.
Seorang wanita berambut brown panjang yang di curly di balik meja sekretaris berdiri menyambut Ziya.
“Dengan Nona Ziya?”
“Iya. Benar, Mbak,” sahut Ziya.
“Silakan! Pak Lukman sudah menunggu Anda di dalam,” ujar Sekretaris seraya mengantar Ziya masuk ke dalam.
Sekretaris berambut panjang mengetuk daun pintu coklat berbahan kayu jati kualitas tinggi. Setelah mendapat sahutan dari dalam mereka berdua pun masuk.
“Pak, Nona Ziya sudah datang,” ucap Sekretaris. Diikuti Ziya yang berdiri di samping sekretaris.
Lukman yang tengah fokus di depan laptop bermerk buah yang digigit pun langsung mengangkat kepalanya. “Nona Ziya, silahkan duduk!" Lalu beralih pada sekretarisnya, "Sara, tolong buatkan teh untuk tiga orang!” perintah Lukman.
“Baik, Pak.”
Setelah Sara keluar, Lukman langsung menjelaskan detail pekerjaan Ziya sebagai manajer Delfin yang baru. Tidak lama kemudian, pintu kembali terbuka menampilkan sosok artis yang sangat viral akhir-akhir ini.
“Delfin. Ayo, silakan duduk!” ajak Lukman.
Laki-laki berkulit putih dengan kaos putih dipadukan jaket kulit hitam dan jeans senada itu pun mendaratkan tubuhnya di sofa berhadapan dengan Ziya. Sara pun masuk membawa tiga buah cangkir teh. “Silakan diminum!” ucapnya kemudian berlalu.
“Aku tahu apa yang kamu rasakan, Delfin. Sakti, manajermu itu sedang menyelesaikan masalahnya di kampung bersama orang tuanya. Saat ini kita tidak bisa memaksanya. Dia juga butuh privasi dan itu haknya.”
“Dan kamu tahu, ‘kan, besok lusa konser di Senayan akan berlangsung. Kamu tahu apa akibatnya kalau kamu membatalkannya, hanya gara-gara Sakti yang bukan menjadi manajermu?” Lukman menatap anak di bawah naungannya itu dengan datar.
Delfin mendengus sebal. Selama ini ia bekerja keras menaikkan popularitasnya tidak lepas dari tangan Sakti. Dan sekarang saat dibutuhkan, manajer yang mengetahui segala kemauannya itu mendadak mengundurkan diri, dan membuatnya pusing.
Tidak mungkin ia membatalkan atau mengundur jadwalnya demi Sakti. Bisa-bisa fansnya nanti mengamuk dan bubar. Ia tidak bisa membayangkan cibiran dari berbagai netizen yang akan menyerang sosial medianya. Bisa-bisa popularitas yang ia bangun dengan kerja kerasnya malah berujung sia-sia.
“Jadi, apa solusi yang Anda berikan?” tanya Delfin menatap Lukman sang produser sekaligus pemilik dari Star Production tempat manajemennya bernaung.
Laki-laki berbalut jas hitam yang duduk di sofa single dengan kaki menyilang pun kembali buka suara. “Saya punya rekomendasi manajer pengganti Sakti.” Lukman menoleh ke Ziya. “Perempuan yang ada di hadapanmu ini siap menjadi manajermu menggantikan Sakti. Ia akan mengatur semua jadwal manggung, pemotretan, iklan, dan lainnya. Kamu tidak usah ragu dengan kemampuannya. Ia sama dengan Sakti. Mampu menghandle semua aktivitasmu dan kamu tidak usah pusing lagi. Cukup kamu fokus pada konser yang akan diselenggarakan besok lusa. Kamu paham, kan?”
“Baiklah. Kalau memang ia rekomendasi dari Pak Bos. Aku cukup tenang. Kalau gitu aku mau ke Senayan untuk re-hersal panggung buat besok!” Delfin berdiri usai menghabiskan tehnya. Lukman memberi kode kepada Ziya untuk mengikuti Delfin ke mana pun pergi. Ziya pun lekas mengejar Delfin yang baru saja menghilang dari balik pintu.
...***...
...To be Continued...
...Yuk, dukung karya terbaru Eskaer. Klik tombol favorit biar kalian nggak ketinggalan updatenya, ya ❤...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!