Mau Sehidup Sesurga
Kita pasti memiliki luka,
yang hanya diri kita yang tau,
seberapa dalam luka itu terpatri.
♡♡♡♡
Nama panggilannya Agnia. yang adalah Zihan Agnia Nur Fauzan. anak kedua dari tiga bersaudara dan anak gadis satu satunya kesayangan semua orang di keluarga Fauzan Firdausi dan Khopipah Nuraini.
Agnia yang adalah sarjana ilmu sosial benar benar mendedikasikan hidupnya dalam sosial. Di pagi hari gadis berhijab itu mulai dengan mengajar kelas PAUD, Siang hari mengajar di madrasah diniyah, dan malam hari mengajar anak anak di mesjid dekat rumahnya.
Hampir tak ada hubungannya memang, kuliah yang ditempuh beberapa tahun dalam jurusan ilmu sosial dan akhirnya ia mengabdi mengajar. Kecintaanya pada anak anak dan rasa pedulinya terhadap pendidikan anak menggerakan hatinya untuk terus memperjuangkan kesadaran akan pendidikan di sekitarnya.
Gadis dengan semangat tinggi itu kini tengah berjalan keluar dari kamarnya dengan kantong besar di tangan, ini ke tiga kalinya ia mondar mandir. Tubuh mungilnya bergerak lincah tak lama kembali.
"Mbak!"
Seorang pria yang lebih tinggi sedagu dari Agnia itu menghadang, dengan tengilnya masih mengunyah permen karet di mulut. Sejenak menoleh ke arah luar. "Udah kaya setrika tau gak! Mindahin apa si?"
Agnia menatap pria itu sebentar. "Hari ini perpisahan anak anak PAUD. Ingat?"
Pria yang adalah adiknya itu mengangguk. "Masih banyak? Biar aku bantu."
"Boleh. Akbar tolong ambil yang di kotak ya. Mbak sisanya." Ucap Agnia, menunjuk dua kotak besar yang penuh dengan bingkisan kecil berwarna warni.
Akbar menilik sebentar dua kotak besar itu "Kecil inimah mbak. Tenang!." ucapnya dengan seringai menganggap enteng yang diikuti cebikan Agnia.
"Hati hati dek!" Agnia mengingatkan, mengingat kotak besar itu menutupi sebagian penglihatan Akbar dari jalan.
"Iya iya mbak. Bawel!" Keluh Akbar yang sama sekali tidak merasa kesulitan. "Loh!" Akbar spontan berhenti, ada yang pemandangan kurang mengenakan dihadapannya. Tak berlangsung lama aksi mematungnya, Akbar melanjutkan langkahnya dengan tatapan tak suka "Apaan nih!"
"Apa?" Tak kalah nyolot, Hafidz yang adalah kakak tertua dari tiga saudara itu memberi tatapan menantang pada adik bungsunya.
Akbar mendengus sebal "Giliran mbak Agni dijemput, giliran gue pinjem mobil gak boleh." Sindir Akbar, tanpa menengok musuh bebuyutannya itu.
Hafidz tak kalah angkuh, memasang ekspresi datar "Iyalah, Agni minta tumpangan untuk kegiatan penting. Tapi lo pinjem tumpangan buat pamer"
"Alah! Alesan. Pelit emang." Ledek Akbar "Dasar calon penghuni kuburan sempit"
"Terus nanti kuburan lo bakal luas gitu?"
Agnia menggeleng takjub, mulai lagi. Dua orang ini memang tak boleh bertemu, Hafidz yang sudah berumah tangga pun masih tidak mau mengalah dari Akbar yang umurnya selisih tiga tahun darinya dan lima tahun dari Hafidz. Satu hal yang membuat semua orang lega adalah mereka tidak satu rumah. Jangan pernah mencoba untuk membayangkan apa yang akan terjadi jika mereka tinggal satu atap. Bahkan sepagi ini mereka membawa kata 'kuburan' dalam perdebatan mereka.
"Mas.." Renggekan Agnia berhasil menghentikan cekcok antara Hafidz dan Akbar sejenak. "Udah dong! De! Satu lagi tolong ambilin ya.. cepet"
Akbar langsung menurut, melangkah cepat. Tak lama kembali. "Udah mbak!" Ucapnya, setelah menutup bagasi mobil hitam milik Hafidz.
"Makasih." Ucap Agnia riang, dari dalam mobil. Dari sisi ini tak banyak yang menyangka jika ia lebih tua dari Akbar.
"Hati hati ya mbak!" Akbar berucap lebih keras, dibalas anggukan oleh Agnia "Hati hati ketularan bego maksudnya." Tambahnya lagi, yang sukses membuat Hafidz kesal.
"Kurang ajar!"
Agnia langsung meredam ego Hafidz yang ingin sekali turun dan menarik telinga Akbar "Udah ya Mas.. gak usah didengerin"
Sementara Hafidz yang mengurungkan niatnya dari memberi pelajaran, Akbar justru tersenyum menang. Ia puas, mendapat tatapan tajam dari kakak sulungnya itu tak membuatnya takut, selama Agni berada di pihaknya.
...
"Mbak mu sudah berangkat?" Tanya Khopipah lembut, tangannya bergerak memindahkan nasi ke piring. Melayani sang suami yang sudah duduk di meja makan bersama Akbar.
"Sudah bu. Baru aja, di jemput Mas Hafidz." Jawab Akbar, kali ini ia mencari aman dengan tidak mengatakan hal buruk dan tidak memberi panggilan buruk pada kakak sulungnya dihadapan Khopipah dan Fauzan. Ia bisa kena marah jika ketahuan tidak menghormati kakaknya itu.
Sepasang suami istri di hadapan Akbar mengangguk samar. Keduanya kemudian fokus pada makanan di piring masing masing.
Lenggang sejenak, hanya suara sendok yang beradu dengan piring sesekali terdengar. Khopipah jadi ingat akan sesuatu, mengatakan sesuatu setelah terlebih dahulu menelan makanan yang dikunyah. "Oiya.. Pak, ingat teman ibu di pesantren dulu yang namanya Retno?"
"Yang mana bu, teman ibu kan banyak." jawab Fauzan santai, menoleh sekilas.
"Yang itu lah, pokoknya. Kalo dia main kesini Bapak pasti ingat."
Fauzan mengangguk, masih mendengarkan.
"Dia punya anak laki laki, masih mahasiswa. Tapi hebat loh pak anaknya, nyantri. Ibu pernah sekali ketemu anaknya, dia santun. Bukan hafidz tapi ngajinya bagus, ngerti agama lah pokoknya." Jelas Khopipah, berusaha merincikan apa yang ia senangi dari anak sahabatnya itu. Melupakan nasi yang sebenarnya sudah ia sendok sejak tadi. "Dan nilai plusnya, Ganteng." Tambahnya lagi, tersenyum diakhir kalimat.
Baik Fauzan dan Akbar masih mendengarkan. Keduanya saling tatap, penasaran dengan apa yang berusaha dikatakan Khopipah.
"Ibu mau deh punya mantu kaya gitu." Tandas Khopipah.
Dan itulah intinya, jodoh untuk mbak Agni. Gelengan kepala ditunjukan Akbar samar, ia jadi bingung kenapa perempuan selalu berbelit dulu sebelum mengatakan apa yang mereka maksud. Perempuan memang RUMIT. Pikir Akbar.
"Ibu itu, kemarin anaknya ustadz Habib. Sekarang anak sahabat ibu.. jadi Ibu mau mantunya siapa? Yang mana? " Tanya Fauzan yang berhasil membuat Akbar nyengir, Ia juga.
Khopipah kembali menghentikan gerakan makannya. Menatap sang suami, siap berbicara panjang lebar. "Tapi yang ini beda Pak! Ibu lebih srek. Kita coba kenalin sama Agni ya.."
Fauzan melirik Akbar, seakan meminta pendapat. Urusan Agni, kakak dan adiknya lah yang lebih mengerti, itu sebabnya. Akbar mengangguk samar. "Siapa namanya bu?"
"Akmal." Jawab Khopipah yakin, sorot matanya menunjukan harapan yang besar.
"Hah?! Akmal bu?"
"Kenapa? Akbar kenal?"
Akbar mengernyit sejenak, kemudian menggeleng. "Enggak bu." Nama itu sama dengan nama seseorang yang ia kenal. Tapi yang ia kenal adalah Akmal yang seusianya. Maka itu tidak mungkin orang yang sama pikir Akbar, Tidak mungkin.
...
"Setelah selesai jemput lagi gak?" Tanya Hafidz, setelah memindahkan properti Agnia kedalam ruangan kelas.
"Gak usah, aku pulang sendiri." Jawab Agnia langsung.
Hafidz mengangguk. Menepuk bahu Agnia pelan "Kalo gitu Mas pamit"
"Iya. Makasih Mas."
"Sama sama. Assalamualaikum"
"Waalaikumsalaam warahmatullah" jawab Agnia, sambil memperhatikan Hafidz yang berjalan semakin jauh menuju mobilnya.
Ponsel di saku Hafidz bergetar, pria itu tak langsung masuk kedalam mobilnya. Terlebih dulu menjawab panggilan "Halo.. Kenapa bangsat?" Tanyanya dengan ekspresi datar. Siapapun bisa menebak jika itu Akbar hanya dari gaya bahasa Hafidz kepada lawan bicaranya. Untuk sejenak Hafidz menjauhkan ponselnya dari telinga, dipastikan Akbar akan berteriak tak terima.
"Ada apa, gue buru buru. Gue kasih waktu lima detik. 1 2" Hafidz tak melanjutkan aksi berhitungnya, langsung menyimak. Alisnya terangkat. "Ok. Gue ke rumah sekarang."
.
.
.
.
Acara pembagian hadiah, juga sesi foto selesai. Tak ada hiburan di perpisahan PAUD dimana Agnia menjadi salah satu pengajar disana. Semua selesai dengan kepuasan anak anak yang tampak dari senyum merekah mereka. Dan itu memberikan kepuasan tersendiri bagi Agnia.
"Bu Agni.."
Agnia tengah bersiap untuk pulang, menunggu ojeg yang ia pesan sambil membantu merapihkan beberapa meja bersama dua guru lainnya. Agnia menoleh, dan mendapati beberapa wali murid yang masih belum pulang menemuinya.
Agnia tersenyum ramah, menatap anak dan wali murid bergantian "Ada yang perlu saya bantu bu?"
"Saya wali murid Afifah Bu."
Agnia kembali tersenyum "Saya tau bu. Saya mengenal semua wali murid anak didik saya."
"Saya mau berterima kasih. Afifah sangat bersemangat untuk belajar." ucapnya antusias
Agnia mengangguk "Alhamdulillah"
"Dia sangat menyukai ibu, dan sering membicarakan ibu. Kalo berangkat sekolah harus cium tangan orang tua dulu, disuruh ibu Agni katanya. Mau makan bismillah dulu, disuruh bu Agni katanya.."
Agnia kembali mengangguk, diselingi kekehan.
"Memang begitu bu, saya dan staff pengajar lainnya selalu berusaha menguatkan anak dengan membiasakan hal hak yang baik. Jadi mohon Ibu semua untuk selalu membimbing si kecil, ya. Karena kebiasaan yang dimulai dari kecil sangat luar biasa dampaknya. Dan itu saya rasakan secara pribadi" jelas Agnia, yang selalu diselingi senyum.
Tanya jawab pendapat antara Agnia dan beberapa wali murid itu terjadi normal hingga salah satu wali murid melayangkan pertanyaan yang paling dihindari Agnia.
"Maaf bu sebelumnya, apa Ibu sudah menikah?"
Agnia mengerjap, tidak menyangka pertanyaan itu bisa muncul dalam obrolan yang serius. Gelengan kepala menjadi jawaban. Senyum canggungnya terbit.
"Alhamdulillah." Ucap wali murid itu, masih terus akan berbicara tanpa menyadari ketidaknyamanan dari senyum Agnia. "Saya punya kenalan bu, pengusaha muda yang sedang mencari istri. Jika ibu tertarik saya bisa kenalkan"
Wali murid lain yang bisa melihat kerisihan Agnia segera menyikut pelan kawan sebelahnya. Memberi isyarat dengan pelototan. ITU TIDAK SOPAN begitu jika bisa diartikan.
"Jangan sembarangan bunda. Bu Agni pasti sudah punya calon, ya kan Bu?" timpal wali murid yang menyikut kawannya tadi, berusaha menetralkan situasi.
Agnia tersenyum lebih lepas, yang sebenarnya adalah baginya kalimat itu bahkan lebih tidak mengenakan dari pertanyaan sebelumnya. Kenapa orang orang begitu tertarik dengan status orang lain? Padahal pernikahan juga sesuatu yang bersifat pilihan.
Dan bukankah tak benar mempertanyakan pilihan orang lain? Pikir Agnia. Tanpa disadari yang lain, tangannya memilin bagian bawah bajunya. Ia gugup. Segala sesuatu tentang pernikahan beberapa tahun ini menjadi momok menakutkan untuknya.
Setiap saat membuka mata ia berharap tak seorang pun mengungkit tentang itu dihadapannya.
Setelah peristiwa tersulit di hidupnya, Agnia tak lagi melihat pernikahan sebagai hubungan yang luar biasa yang ia dambakan.
Satu hal yang pasti, ia takut untuk menikah. ia tak siap mengenal siapapun lagi di hidupnya.
...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 203 Episodes
Comments