...♡♡♡...
...Manusia memiliki apa?...
...Saat hatinya saja Allah yang membolak balik....
...Manusia bisa apa?...
...Saat rencana saja hanya terwujud sesuai takdirNya....
...Manusia punya hak apa?...
...Saat rasa tertarik hingga penolakan kembali pada keputusanNya?...
...♡♡♡...
Akmal baru saja tiba di rumahnya. Wajah lelah tampak setelah ia membuka helm, turun dari kuda besinya.
"Assalamualaikum." Akmal mendorong pintu rumahnya yang belum dikunci. Tak ada jawaban, yang artinya kedua orang tuanya sudah beringsut dalam kamar.
Sejenak Akmal mendudukkan pantatnya di kursi, menghadap meja makan untuk sekedar minum. Baru setelah itu masuk ke kamarnya.
Deretan piala, piagam, serta foto foto yang tersusun cantik terlihat kala Akmal menekan saklar lampu kamarnya. Piagam dari lomba model anak, lomba mewarnai, siswa berprestasi, dan yang paling banyak lomba pidato anak, Itu semua tampak rapi menghiasi dinding kamar abu muda milik Akmal. Beberapa foto masa kecil Akmal, hingga foto foto bersama rekan organisasinya juga ada.
Jika dilihat dari tata letak semua benda di kamar ini, siapapun akan tau bahwa pemiliknya adalah orang yang disiplin.
...Benarlah jika penampilan, apa yang tampak oleh mata dapat menunjukan kepribadian seseorang....
Dan lihatlah jajaran buku yang tersusun rapih di atas meja belajarnya, belum lagi jika melihat baju bajunya di dalam lemari. sebagian tak akan menyangka, jarang sekali pria yang se-rapih dan sedetail itu.
Akmal langsung meraih handuk setelah menyimpan ponsel dan tasnya di atas kursi. Berjalan gontai menuju kamar mandi, hendak membuang rasa lelah berupa keringat dari tubuhnya.
Tak berselang lama Akmal kembali, kini telah berganti dengan setelan lebih santai. Kaos lengan pendek warna hitam serta jeans.
Dan seperti kebanyakan orang, hal pertama yang dicek adalah ponsel. Benda kecil yang meski ada atau tidak adapun seseorang yang hendak dihubungi, tetap saja jadi rutinitas untuk diperiksa setiap detiknya.
Sedang tangan kirinya sibuk mengusap layar ponsel, tangan kanannya memegang handuk dan menaik turunkan tangannya di atas kepala. Bergerak teratur mengeringkan rambut.
Ada pesan dari Akbar yang baru saja ia buka. Pesan itu mengatakan bahwa kakak Akbar menyanggupi untuk menjadi pemateri di kajian yang digawangi organisasi mereka pada pekan ini. Senyum lega muncul dari wajahnya, sama lega dengan Akbar dan pastinya anggota organisaai yang lain.
Apalagi Kaivan, yang bertugas membuat spanduk. Semangat melapor di grup whatsapp bahwa desain spanduk itu selesai dikerjakan, bahkan kurang dari lima belas menit setelah Akbar mengabari. Sebuah gambar mengiringi pesan dari Kaivan itu.
Kegiatan kering mengering rambut selesai, Akmal sudah menyimpan kembali handuk ke tempatnya. Kini ia tertarik dengan obrolan di grup whatsapp. Penasaran dengan gambar spanduk yang didesain Kaivan si ahli desain langsung, salah satu anggota MBI yang sejak masa sekolah menggilai multimedia.
Baru saja tangan Akmal hendak membuka gambar yang dikirim Kaivan itu, suara derit pintu terbuka mengurungkan niatnya. Kini menoleh ke arah pintu yang menampakan seorang pria paruh baya dengan senyum teduh, sekilas terlihat kemiripan antara pria itu dan Akmal.
"Ayah?" gumam Akmal sembari meletakkan ponselnya ke atas nakas samping tempat tidurnya.
Itulah Sidiq abdurrahman, pria yang baru saja genap empat puluh empat tahun usianya. Pengusaha kawakan, yang sejak muda ambisius sekali soal merintis bisnis. Hingga di usianya saat ini, berkat kerja kerasnya, Sidiq mengakbarkan dirinya sebagai salah satu pengusaha terkaya dengan banyak bidang bisnis.
Sudah tampak beberapa uban di kepalanya, apalagi kali ini tanpa peci yang biasanya selalu ia kenakan. Uban itu sebenarnya kontras dengan wajah Sidiq yang terlihat jauh lebih muda dari usianya. Beberapa orang bahkan berkata rahasia awet mudanya itu hasil dari senyum teduh yang selalu ia tebar.
Sidiq melangkah masuk, duduk di kursi yang terlebih dulu ia hadapkan ke arah Akmal.
"Gimana tadi di toko?"
"Aman, Yah." singkat Akmal, tersenyum meyakinkan.
Anggukan samar ditunjukan Sidiq, pertanyaan itu sebenarnya hanya kalimat basa-basi darinya untuk Akmal. Dan Akmal, Sudah paham dan terbiasa jadi menjawab demikian.
"Begini, ayah kesini untuk minta tolong. Besok sebelum kamu pergi ke toko, tolong anter Bunda lebih dulu."
"Boleh. kemana memangnya, Yah?"
"Kemananya ayah juga gak tau. Cuman katanya ke rumah temen Bunda mu. Pokoknya anterin aja! Deket kok."
Akmal mengangguk. Jangankan mengantar sang bunda, disuruh libur menemani bundanya seharian pun ia siap.
Sidiq mengangguk, kemudian bangkit. Sudah selesai dengan tujuannya ke kamar anaknya. "Dan.." Sidiq mengurungkan langkahnya, kembali menatap Akmal. "Yang ayah tau, temen bunda kamu itu punya anak gadis.. sepertinya seumuran kamu. Ayah pernah sekali bertemu." papar Sidiq, yang membuat alis Akmal refleks terangkat.
Akmal sedikit aneh mendengar sang ayah membahas 'anak gadis'. Ini jelas pertama kalinya, ayahnya membahas perihal itu.
"Besok kalo ketemu dia, coba ajak ngobrol! Siapa tau cocok." ucap Sidiq yang lagi dan lagi membuat Akmal tak bisa berkata kata.
Ia sedang mencerna, apa semua obrolan ini bermuara pada anak gadis?
.
.
.
.
Minggu pagi, Agnia tak kalah cerah dari mentari pagi ini. Bak bunga disirami air, mekar dengan cantiknya. Namun pagi ini, Agnia masih dengan piyamanya. Melangkah cepat ke kamar Akbar.
Akbar langsung mendongak saat seseorang muncul dari balik pintu kamarnya yang terbuka. Saat tau itu Agnia, Akbar spontan merotasikan bola matanya.
Menoleh sesaat, kemudian kembali ke layar ponselnya.
"Akbar! Cepet mandi!" perintah Agnia, tetap membuka mulut meski disuguhkan perangai seperti itu.
"Iya! Bawel banget!" Respon Akbar sebaI, matanya membulat. ia jengah, pasalnya ini ketiga kalinya Agnia datang dan memerintahnya mandi.
Yang padahal Agnia sendiri masih kusut dengan setelan tidurnya. baru selesai mengurus urusan dapur.
"Mbak sendirinya juga belum mandi!" protes Akbar, tersungut tanpa menoleh yang diajak bicara
Agnia nyengir, bukan apa-apa. ia hanya antusias untuk hari ini, bagaimana lagi? Itu reaksi alaminya.
"Iya maaf, mbak cuman ngingetin. Tau sendiri, kamu kayak gimana." sindirnya. "Yasudah, mbak sekarang siap-siap. Tapi kamu juga ya.. Awas!"
"Jangan sampe Mbak kesini, dan kamu belum siap.."
"Iya, Ah!" Akbar mendesah pelan, jengkel juga dirinya lama-lama.
Agnia sudah berlalu, suaranya tak lagi terdengar. Membuat Akbar menghela lega, dilain sisi heran. Heran kenapa kakaknya bisa se-skeptis itu, padahal ia sudah berjanji. Entah apa yang masih membuatnya takut dibohongi, mereka hanya akan pergi belanja!! ingin sekali Akbar berteriak demikian.
...
"Kamu jadi pergi?" tanya Khopipah lembut. Mendatangi Agnia yang duduk menunggu di teras rumah. "Padahal temen Ibu mau main kesini loh.." ujar Khopipah kecewa, tak menunggu hingga Agnia mengangguk atau mengiyakan.
Agnia mendongak, berdiri dari duduknya lantas mengangguk. "Udah janji soalnya, Bu."
"Janji sama siapa emangnya?" tanya Khopipah, matanya tiba-tiba antusias. Berharap jika janji itu dibuat bersama seseorang spesial, seorang pria maksudnya.
"Nah! Sama dia, Bu." ujar Agnia, tepat saat Akbar keluar dari rumah dan berdiri dihadapan keduanya.
Khopipah spontan mendengus pelan, namun tak sempat diperhatikan kedua anaknya. Harapannya terlalu tinggi, hingga berharap lebih.
Agnia memang membuat janji dengan seorang pria, dan pria itu adiknya sendiri.
"Pasti tante yang waktu itu kan?" tanya Agnia, saat ibunya diam untuk waktu cukup lama. Entah memikirkan apa.
Khopipah langsung mengangguk. "Iya, namanya Tante Retno."
Agnia mengangguk, tau. Pernah bertemu sekali saat makan bersama di rumah teman ibunya yang lain. "Emh.. titip Assalamualaikum aja ya, Bu?"
"Iya." Khopipah kembali mengangguk, sedikit kecewa namun berusaha tak menunjukkannya. Tak mau Agnia curiga akan sesuatu.
Tadinya ia berharap gadis satu-satunya ini akan bertemu dengan Akmal, anak sahabatnya. Tapi rencana hanyalah rencana, Allah lah yang mutlak menjalankan takdir terbaiknya.
"Ayo!" Akbar bersikap siap kali ini, tak sadar wajah kecewa sang ibu. Kecewa yang dihasilkan dari keinginannya yang teramat sangat.
Akbar siap dengan kunci mobil di tangan, untuk hari ini ia siap untuk menjadi asisten Agnia. atau lebih tepatnya, suruhan Agnia. Apapun itu, asalkan kakaknya berhenti merecokinya.
...
Sebuah mobil hitam masuk ke halaman besar kediaman Fauzan. Setengah jam setelah mobil yang dikendarai Akbar dan ditumpangi Agnia melesat.
Dua orang turun dari mobil itu. Itulah Akmal dan sang ibu, Retno. Keduanya berjalan beriringan, Akmal sibuk menilik lingkungan yang baru sekali ia kunjungi itu.
Ibu dan anak yang baru saja turun dari mobil itu disambut hangat oleh Khopipah, aura bahagia ditularkan Khopipah pada sahabatnya dengan pelukan. Matanya semakin berbinar tatkala menyalami Akmal. Pemuda yang ia bidik sebagai 'calon menantu'.
"Ayo, silahkan masuk!"
Retno dengan senang hati melangkah ke rumah sahabatnya. Melupakan Akmal yang justru mendapatkan panggilan, sesaat menghentikan langkahnya untuk menjawab panggilan itu.
"Anak-anak Mbak kemana?" tanya Retno, saat tak satupun Akbar maupun Agnia terlihat muncul. Sepi sekali rumah luas itu, pun tak terlihat kendaraan di halaman rumahnya.
Khopipah beranjak duduk setelah terlebih dahulu menyuguhkan teh hangat dan kudapan di meja. "Mereka pergi berdua, gak tau kemana."
Retno mengangguk. "Sibling time." ucapnya, untuk kemudian satu frekuensi dengan sahabatnya. Berucap kecewa. "Sayang sekali.."
"Gak papa. Lain kali ketemu. Tapi Agnia nitip Assalamualaikum tadi."
"Alaika wa'alaikumussalam warahmatullah.." jawab Retno, yang artinya 'semoga keselamatan dan rahmat Allah bagimu serta baginya'.
Ketukan terdengar, Akmal muncul dari arah pintu. Baru selesai menjawab panggilan telpon.
"Ayo masuk, Mal!"
Akmal ikut duduk di kursi empuk di sebelah kursi yang ibunya duduki. "Tante, Bunda saya mohon ijin. Harus pergi duluan. Ada telpon dari toko."
"Begitu ya? Sayang sekali." Khopipah berujar kecewa lagi, bukan saja anak anaknya yang tak bisa diajak kompromi, Akmal juga. "Tapi gak papa. Lain kali main kesini lagi ya!"
"Insya Allah tante." Akmal mengangguk, tersenyum.
"Ini bukan permintaan ya, tapi perintah." ujar Khopipah, terdengar tegas.
Akmal kembali mengangguk, tersemyum. Lagipun ia belum melihat 'anak gadis' yang dimaksud ayahnya. Melihat sosok Khopipah yang adalah ibunya, juga lingkungan dimana gadis itu tinggal saja sudah membuatnya penasaran. Dan kemungkinan rasa penasaran itulah yang akan menariknya kembali ke tempat ini.
...Lingkungan sangat besar andilnya bagi seseorang, ia tak kalah menentukan tentang bagaimana karakter seseorang. karena disanalah seseorang terbentuk...
14 Juli 2022
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 203 Episodes
Comments