...Rasa sakit adalah bagian terbesar di hidup kita....
...Sepanjang kamu membuka mata,...
...Rasa sakit senantiasa berdiri kokoh....
...Tapi diri selalu punya pilihan....
...Menjadi bahagia diatas segala luka...
...Menjadi tenang diatas segala gundah...
...Atau berkubang dalam resah....
...♡♡♡...
Agnia baru tiba dirumahnya, selepas mengajar ngaji dari mesjid. Ia pulang setelah shalat berjamaah isya seperti biasanya. Ini adalah rutinitas, menemani Anak anak tetangga yang menjadi muridnya.
Langkah yang sebelumnya ia tujukan ke kamar urung, saat dilihatnya Akbar duduk di sopa menghadap televisi dengan tatapan lurus ke layar ponsel di tangan.
Pemandangan itu membuat Agnia menggeleng takjub. Spontan menarik langkahnya menuju Akbar yang posisinya memunggungi arah pintu masuk.
Agnia mencebik, menilik apa yang sedang dibaca Akbar. "Menjadi generasi tak takut rugi." ujar Agnia, sungguhan membaca dengan keras apa yang terdapat di layar ponsel Akbar.
Akbar spontan menarik jauh ponselnya dari jangkauan mata Agnia, sebelum kemudian menatap tajam kakaknya itu. Baru tau dirinya, jika Agnia berada di belakangnya.
Senyuman lebar tanpa dosa ditunjukan Agnia, menanggapi tatapan delikan sang adik. Langkahnya kini ia arahkan menuju sopa sama yang diduduki Akbar, mengambil tempat di sebelah adiknya. matanya tertuju pada remot diatas meja, mengabaikan Akbar yang masih mencebik ke arahnya.
"Tv nontonin kamu inimah!" ujarnya Agnia seraya meraih remot dan menekan tombol off. "Ini baru bener."
"Iseng banget!" protes Akbar, menatap malas pada Agnia. Dan dalam hitungan detik, kembali memantau layar ponselnya. Membuat alis Agnia terangkat karena itu.
Selera nakal Akbar saat ini tampaknya hilang, Biasanya Akbar akan mendebat tidak jelas dengan humornya. Tapi kali ini, sorot matanya juga layu. persis dengan tanaman yang tak disirami berhari hari.
Sejenak Agnia berpikir selagi alisnya bertaut, menatap Akbar. "Akbar.." panggilnya, yang dibalas deheman malas.
"Mbak punya cara ampuh." ujar Agnia.
"Cara apa?" tanya Akbar, lebih malas dari sebelumnya. Tanpa menatap kearah yang bertanya.
"Supaya Asma tertarik sama kamu."
Akbar spontan mengangkat pandangan matanya. Tatapan bingung ia tunjukan. tiba tiba kakak perempuan satu satunya ini membahas Asma, kenapa?
"I know. Mbak tadi liat poster itu Hp kamu." jelas Agnia, menjawab tatapan tanya Akbar. Dengan wajah bangganya menjelaskan, seakan berusaha menyombongkan jika ia memiliki mata tajam bak elang, bisa melihat gambar detail dalam waktu singkat. Itu poster kajian yang beberapa hari lagi diadakan.
"Mc nya Asma, dan pematerinya mbak. Gak mungkinkan kamu liatin foto mbak, pasti Asma. dia yang buat kamu tertarik." tebak Agnia dengan percaya diri
Helaan napas berat yang bahkan lebih berat dari semua helaan napas andalan Akbar ketika akan curhat keluar, kini bocah itu menoleh Agnia lama. "Percuma, dia sukanya sama orang lain."
Agnia mencebik, benar ternyata tebakannya. Asma yang memang dirisaukan adiknya.
"Apa pentingnya rasa suka, kalo dia jodoh kamu ya akhirnya luluh juga." giliran Agnia yang kini menghela napas, menjeda ucapannya. "Kalo dia layak di perjuangkan ya perjuangkan! Gak usah nyerah sebelum berjuang.. itu pengecut."
Sepenuhnya Akbar setuju. Hanya saja banyak tapi yang terlintas di kepalanya. "Entahlah." Pada akhirnya hanya itu yang keluar dari mulutnya.
Agnia mengendikkan bahunya, sudah mengatakan apa yang seharusnya ia katakan. Sisanya terserah Akbar untuk bersikap. "Harusnya kamu gak pesimis, kecuali.. kalo cowok yang dia suka juga suka sama dia." tandas Agnia seraya bangkit, beranjak menuju kamarnya.
Agnia tak sempat melihat reaksi Akbar yang seakan mendapat angin segar, Sumringah sekali. Kini bocah itu merasa lebih baik.
"Iya juga, ya.."
Saat itu Khopipah yang masih bermukena keluar dari kamarnya, berniat ke kamar Agnia. berhenti sejenak ketika melihat Akbar. "De, mbakmu udah pulang?"
Akbar menoleh. "Baru aja, Bu." jawabnya riang. "Baru aja masuk kamar."
Khopipah mengangguk, meneruskan langkah menuju kamar Agnia. Abai melihat wajah ceria anak bungsunya.
...
Tok..tok..tok..
"Agnia.."
Agnia menghentikan sejenak tangannya dari laptop, mengenali suara dibalik pintu kamarnya. "Masuk, Bu!"
Ceklek
"Sedang sibuk kah?" tanya Khopipah, beranjak duduk di bibir ranjang empuk milik Agnia.
"Sebentar, Bu." ucap Agnia, segera menyimpan draft tulisannya terlebih dulu, Baru kemudian membalikan tubuhnya ke arah sang ibu.
"Gimana, Bu?" tanya Agnia dengan perhatian penuh. Siap mendengarkan. "Ada apa?"
"Kamu sedang sibuk?" ulang Khopipah.
Agnia langsung menggeleng. "Enggak. Cuma lanjutin tulisan aja. Kenapa emangnya, Bu. Ada yang penting?" Agnia jadi curiga, jika ibunya sudah berbelit seperti ini.
Khopipah ragu ragu membuka mulutnya. "Ibu sama bapak kepikiran, Cah ayu!" tuturnya kemudian. kini menjeda.
Di situasi ini Agnia sebenarnya sudah tau apa yang akan dibahas saat ini, tak kan meleset. Bocoran dari Akbar seakan peringatan baginya. Saat ini, Agnia ingin tahu akan dengan cara apa ibunya membujuk.
Dan demi melihat ibunya ragu-ragu, Agnia tersenyum. Pada akhirnya pertanyaan yang kali ini akan dilontarkan ibunya memang harus terjawab. Dan ia harus siap, dengan jawaban apapun itu.
"Kepikiran apa, Bu?" tanya Agnia tenang.
"Untuk cariin kamu suami." tandas Khopipah yang langsung menilik reaksi anak gadis satu satunya ini.
Tak ada jawaban dari Agnia, menyisakan lenggang beberapa saat. pandangannya langsung beralih ke lantai. Masih ada perasaan tak menyenangkan di hati Agnia kala mendengar pertanyaan semacam itu.
"Ibu sama bapak pengen cepet cepet liat kamu nikah."
Helaan napas keluar dari mulut Agnia, dengan susah payah menatap mata ibunya. "Aku masih gak yakin, Bu."
"Ibu ngerti." sepenuhnya Khopipah memahami perasaan anaknya ini, apa yang terjadi tiga tahun lalu tidak mudah jika dialami siapapun. Bahkan seluruh keluarga terluka akan itu, termasuk dirinya. Hanya saja...
"Tapi sampai kapan?"
Agnia menggeleng samar, entahlah sampai kapan. Sejak hari dirinya patah hati, ia tak pernah memikirkan bagaimana masa depannya nanti.
Dan hari ini, saat ia sudah sangat menutup dirinya dari laki-laki.. pertanyaan lain muncul, bagaimana ia membiasakan dirinya pada suatu hubungan saat ia bahkan sudah terbiasa sendiri.
"Sampai kapan kamu menghukum diri kamu karena kesalahan orang lain?" Khopipah bertanya lembut, setelah Agnia lama menunduk tak berucap apapun.
Dalam hati Agnia menyadari itu, bukan hanya dirinya tapi ia juga telah menghukum seluruh keluarganya atas kesalahan yang tidak mereka lakukan. Ia sangat sadar akan itu. Tapi..
"Al.."
"Bu!" Agnia segera memotong ucapan sang ibu, menatap ibunya dengan penuh harap, menggeleng. Tak ingin mendengar apa yang seterusnya akan dikatakan. Seakan kalimat selanjutnya akan sangat menyakitkan.
Helaan napas Agnia kembali terdengar, kali ini helaan gusar. tak mau mendengar kelanjutan kalimat ibunya yang sudah bisa ia ditebak, akan menyesakkan.
Setelah sempat ragu berbicara, Agnia kini menelan salivanya susah payah. mendongak dengan bibirnya yang terlihat bergetar.
Agnia menatap mata Khopipah yang penuh harap itu, kembali menghela napas dalam untuk kemudian berucap pelan. "Okay, Bu. Aku setuju. aku setuju dengan siapapun yang mau ibu kenalkan."
Demi mendengar apa yang sejak lama ia harapkan, Khopipah membulatkan matanya. antara senang dan terkejut "Coba ulang lagi." pintanya.
Khopipah seakan tak percaya dengan apa yang ia dengar, meski memang menginginkan jawaban itu.
Bahkan sebelum masuk dan bertanya pada Agnia, Khopipah sudah bersiap dengan penolakan Agnia.
Namun kali ini justru sebaliknya, Agnia setuju?
"Aku gak mau ngulang." cicit Agnia, wajahnya masam. Kontras dengan tatapan lembut dan pengertiannya tadi.
Khopipah tersenyum haru, tak perlu jawaban ulang dari Agnia, kini Khopipah langsung menghambur memeluk Anak gadinya. Mencium puncak kepala Agnia lama.
"Ibu jamin, kali ini pria yang ibu carikan pasti sesuai dengan harapan kamu."
"Harapan? sejak kapan aku punya harapan tentang pasangan?"
Khopipah menghela. "Begini, ibu akan carikan seseorang yang cocok buat kamu."
"Terserah.. tapi satu hal.. aku gak mau kenalan sama dia."
"Hah?!" Khopipah menatap bingung, mematung sesaat.
"Kali ini ibu yang harus pilihkan." jelas Agnia. "Aku gak perlu kenal sama dia.. sebab pilihan aku sebelumnya ternyata kesalahan besar, jadi kali ini terserah ibu. Selama ibu sama ayah setuju, aku coba setuju."
...
Tak terbilang buncahan bahagia di hati Khopipah. Senyumnya tak hilang saat menceritakan obrolannya bersama Agnia pada sang suami. Tak satupun kata yang kurang, persis apa yang ia katakan dan dengar dari Agnia.
"Alhamdulillah, Bu." seperti biasa Fauzan menjawab santai tak seperti istrinya yang tak bisa menyembunyikan kebahagiaan.
"Tapi, memangnya siapa yang mau ibu kenalkan sama Agnia?"
"Yang waktu itu ibu bahas di meja makan, Yah."
Fauzan mengernyit, mengingat. "Tapi ibu bilang dia mahasiswa, apa ibu yakin?"
"Memangnya kenapa kalo dia mahasiswa, Yah?"
Fauzan menggeleng. "Entahlah, apa jangan jangan dia lebih muda dari Agnia?"
Khopipah sejenak diam. Ia baru terpikirkan, belum sempat memberitahu suami dan belum meminta persetujuan Agnia. Akmal memang lebih muda dari Agnia.
Tapi tak lama mengendik samar, apa pentingnya? tak seorang pun akan sadar perbedaan itu ketika melihat Akmal dan Agnia bersama. "Usia gak jadi masalah, Yah. Kita coba deketin mereka dulu, Ya?"
Fauzan tak bisa menolak,hanya bisa mengangguk meski dalam hati sedikit khawatir. Tentang apakah Agnia setuju, juga tentang apakah pria itu mau?
...Menikah bukan kompromi, namun lebih rumit dari bisnis. Menyatukan dua kepala yang saling mengenal saja sulit. Apalagi menyatukan dua kepala yang baru saja bertemu....
Tapi Allah maha baik, semua tak sadar akan jalan seperti apa yang akan dihadapi Agnia. Kisah baru akan dimulai, kisah yang mungkin saja mengobati tiga tahun kesakitan yang menghantui Agnia.
Manusia hidup bersama pilihan. Dan Agnia yang sebelumnya memilih jalan terjal dengan tidak memaafkan dirinya sendiri kini mencoba memilih jalan lain. Jalan lain yang tampak menyakitkan untuk dijalani namun sebenarnya terbaik.
Agnia kini telah berada pada langkah awal. Memilih melanjutkan hidup dibanding berkubang dalam rasa sakit yang tidak akan ada habisnya.
Rasa sakit itu, biar ia kubur jauh jauh. Biar bangkainya tak tercium. Meski kenangannya akan selalu ada.
23 Juli 2022
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 203 Episodes
Comments