NovelToon NovelToon

Mau Sehidup Sesurga

Prolog; Sudah bersuami?

Kita pasti memiliki luka,

yang hanya diri kita yang tau,

seberapa dalam luka itu terpatri.

♡♡♡♡

Nama panggilannya Agnia. yang adalah Zihan Agnia Nur Fauzan. anak kedua dari tiga bersaudara dan anak gadis satu satunya kesayangan semua orang di keluarga Fauzan Firdausi dan Khopipah Nuraini.

Agnia yang adalah sarjana ilmu sosial benar benar mendedikasikan hidupnya dalam sosial. Di pagi hari gadis berhijab itu mulai dengan mengajar kelas PAUD, Siang hari mengajar di madrasah diniyah, dan malam hari mengajar anak anak di mesjid dekat rumahnya.

Hampir tak ada hubungannya memang, kuliah yang ditempuh beberapa tahun dalam jurusan ilmu sosial dan akhirnya ia mengabdi mengajar. Kecintaanya pada anak anak dan rasa pedulinya terhadap pendidikan anak menggerakan hatinya untuk terus memperjuangkan kesadaran akan pendidikan di sekitarnya.

Gadis dengan semangat tinggi itu kini tengah berjalan keluar dari kamarnya dengan kantong besar di tangan, ini ke tiga kalinya ia mondar mandir. Tubuh mungilnya bergerak lincah tak lama kembali.

"Mbak!"

Seorang pria yang lebih tinggi sedagu dari Agnia itu menghadang, dengan tengilnya masih mengunyah permen karet di mulut. Sejenak menoleh ke arah luar. "Udah kaya setrika tau gak! Mindahin apa si?"

Agnia menatap pria itu sebentar. "Hari ini perpisahan anak anak PAUD. Ingat?"

Pria yang adalah adiknya itu mengangguk. "Masih banyak? Biar aku bantu."

"Boleh. Akbar tolong ambil yang di kotak ya. Mbak sisanya." Ucap Agnia, menunjuk dua kotak besar yang penuh dengan bingkisan kecil berwarna warni.

Akbar menilik sebentar dua kotak besar itu "Kecil inimah mbak. Tenang!." ucapnya dengan seringai menganggap enteng yang diikuti cebikan Agnia.

"Hati hati dek!" Agnia mengingatkan, mengingat kotak besar itu menutupi sebagian penglihatan Akbar dari jalan.

"Iya iya mbak. Bawel!" Keluh Akbar yang sama sekali tidak merasa kesulitan. "Loh!" Akbar spontan berhenti, ada yang pemandangan kurang mengenakan dihadapannya. Tak berlangsung lama aksi mematungnya, Akbar melanjutkan langkahnya dengan tatapan tak suka "Apaan nih!"

"Apa?" Tak kalah nyolot, Hafidz yang adalah kakak tertua dari tiga saudara itu memberi tatapan menantang pada adik bungsunya.

Akbar mendengus sebal "Giliran mbak Agni dijemput, giliran gue pinjem mobil gak boleh." Sindir Akbar, tanpa menengok musuh bebuyutannya itu.

Hafidz tak kalah angkuh, memasang ekspresi datar "Iyalah, Agni minta tumpangan untuk kegiatan penting. Tapi lo pinjem tumpangan buat pamer"

"Alah! Alesan. Pelit emang." Ledek Akbar "Dasar calon penghuni kuburan sempit"

"Terus nanti kuburan lo bakal luas gitu?"

Agnia menggeleng takjub, mulai lagi. Dua orang ini memang tak boleh bertemu, Hafidz yang sudah berumah tangga pun masih tidak mau mengalah dari Akbar yang umurnya selisih tiga tahun darinya dan lima tahun dari Hafidz. Satu hal yang membuat semua orang lega adalah mereka tidak satu rumah. Jangan pernah mencoba untuk membayangkan apa yang akan terjadi jika mereka tinggal satu atap. Bahkan sepagi ini mereka membawa kata 'kuburan' dalam perdebatan mereka.

"Mas.." Renggekan Agnia berhasil menghentikan cekcok antara Hafidz dan Akbar sejenak. "Udah dong! De! Satu lagi tolong ambilin ya.. cepet"

Akbar langsung menurut, melangkah cepat. Tak lama kembali. "Udah mbak!" Ucapnya, setelah menutup bagasi mobil hitam milik Hafidz.

"Makasih." Ucap Agnia riang, dari dalam mobil. Dari sisi ini tak banyak yang menyangka jika ia lebih tua dari Akbar.

"Hati hati ya mbak!" Akbar berucap lebih keras, dibalas anggukan oleh Agnia "Hati hati ketularan bego maksudnya." Tambahnya lagi, yang sukses membuat Hafidz kesal.

"Kurang ajar!"

Agnia langsung meredam ego Hafidz yang ingin sekali turun dan menarik telinga Akbar "Udah ya Mas.. gak usah didengerin"

Sementara Hafidz yang mengurungkan niatnya dari memberi pelajaran, Akbar justru tersenyum menang. Ia puas, mendapat tatapan tajam dari kakak sulungnya itu tak membuatnya takut, selama Agni berada di pihaknya.

...

"Mbak mu sudah berangkat?" Tanya Khopipah lembut, tangannya bergerak memindahkan nasi ke piring. Melayani sang suami yang sudah duduk di meja makan bersama Akbar.

"Sudah bu. Baru aja, di jemput Mas Hafidz." Jawab Akbar, kali ini ia mencari aman dengan tidak mengatakan hal buruk dan tidak memberi panggilan buruk pada kakak sulungnya dihadapan Khopipah dan Fauzan. Ia bisa kena marah jika ketahuan tidak menghormati kakaknya itu.

Sepasang suami istri di hadapan Akbar mengangguk samar. Keduanya kemudian fokus pada makanan di piring masing masing.

Lenggang sejenak, hanya suara sendok yang beradu dengan piring sesekali terdengar. Khopipah jadi ingat akan sesuatu, mengatakan sesuatu setelah terlebih dahulu menelan makanan yang dikunyah. "Oiya.. Pak, ingat teman ibu di pesantren dulu yang namanya Retno?"

"Yang mana bu, teman ibu kan banyak." jawab Fauzan santai, menoleh sekilas.

"Yang itu lah, pokoknya. Kalo dia main kesini Bapak pasti ingat."

Fauzan mengangguk, masih mendengarkan.

"Dia punya anak laki laki, masih mahasiswa. Tapi hebat loh pak anaknya, nyantri. Ibu pernah sekali ketemu anaknya, dia santun. Bukan hafidz tapi ngajinya bagus, ngerti agama lah pokoknya." Jelas Khopipah, berusaha merincikan apa yang ia senangi dari anak sahabatnya itu. Melupakan nasi yang sebenarnya sudah ia sendok sejak tadi. "Dan nilai plusnya, Ganteng." Tambahnya lagi, tersenyum diakhir kalimat.

Baik Fauzan dan Akbar masih mendengarkan. Keduanya saling tatap, penasaran dengan apa yang berusaha dikatakan Khopipah.

"Ibu mau deh punya mantu kaya gitu." Tandas Khopipah.

Dan itulah intinya, jodoh untuk mbak Agni. Gelengan kepala ditunjukan Akbar samar, ia jadi bingung kenapa perempuan selalu berbelit dulu sebelum mengatakan apa yang mereka maksud. Perempuan memang RUMIT. Pikir Akbar.

"Ibu itu, kemarin anaknya ustadz Habib. Sekarang anak sahabat ibu.. jadi Ibu mau mantunya siapa? Yang mana? " Tanya Fauzan yang berhasil membuat Akbar nyengir, Ia juga.

Khopipah kembali menghentikan gerakan makannya. Menatap sang suami, siap berbicara panjang lebar. "Tapi yang ini beda Pak! Ibu lebih srek. Kita coba kenalin sama Agni ya.."

Fauzan melirik Akbar, seakan meminta pendapat. Urusan Agni, kakak dan adiknya lah yang lebih mengerti, itu sebabnya. Akbar mengangguk samar. "Siapa namanya bu?"

"Akmal." Jawab Khopipah yakin, sorot matanya menunjukan harapan yang besar.

"Hah?! Akmal bu?"

"Kenapa? Akbar kenal?"

Akbar mengernyit sejenak, kemudian menggeleng. "Enggak bu." Nama itu sama dengan nama seseorang yang ia kenal. Tapi yang ia kenal adalah Akmal yang seusianya. Maka itu tidak mungkin orang yang sama pikir Akbar, Tidak mungkin.

...

"Setelah selesai jemput lagi gak?" Tanya Hafidz, setelah memindahkan properti Agnia kedalam ruangan kelas.

"Gak usah, aku pulang sendiri." Jawab Agnia langsung.

Hafidz mengangguk. Menepuk bahu Agnia pelan "Kalo gitu Mas pamit"

"Iya. Makasih Mas."

"Sama sama. Assalamualaikum"

"Waalaikumsalaam warahmatullah" jawab Agnia, sambil memperhatikan Hafidz yang berjalan semakin jauh menuju mobilnya.

Ponsel di saku Hafidz bergetar, pria itu tak langsung masuk kedalam mobilnya. Terlebih dulu menjawab panggilan "Halo.. Kenapa bangsat?" Tanyanya dengan ekspresi datar. Siapapun bisa menebak jika itu Akbar hanya dari gaya bahasa Hafidz kepada lawan bicaranya. Untuk sejenak Hafidz menjauhkan ponselnya dari telinga, dipastikan Akbar akan berteriak tak terima.

"Ada apa, gue buru buru. Gue kasih waktu lima detik. 1 2" Hafidz tak melanjutkan aksi berhitungnya, langsung menyimak. Alisnya terangkat. "Ok. Gue ke rumah sekarang."

.

.

.

.

Acara pembagian hadiah, juga sesi foto selesai. Tak ada hiburan di perpisahan PAUD dimana Agnia menjadi salah satu pengajar disana. Semua selesai dengan kepuasan anak anak yang tampak dari senyum merekah mereka. Dan itu memberikan kepuasan tersendiri bagi Agnia.

"Bu Agni.."

Agnia tengah bersiap untuk pulang, menunggu ojeg yang ia pesan sambil membantu merapihkan beberapa meja bersama dua guru lainnya. Agnia menoleh, dan mendapati beberapa wali murid yang masih belum pulang menemuinya.

Agnia tersenyum ramah, menatap anak dan wali murid bergantian "Ada yang perlu saya bantu bu?"

"Saya wali murid Afifah Bu."

Agnia kembali tersenyum "Saya tau bu. Saya mengenal semua wali murid anak didik saya."

"Saya mau berterima kasih. Afifah sangat bersemangat untuk belajar." ucapnya antusias

Agnia mengangguk "Alhamdulillah"

"Dia sangat menyukai ibu, dan sering membicarakan ibu. Kalo berangkat sekolah harus cium tangan orang tua dulu, disuruh ibu Agni katanya. Mau makan bismillah dulu, disuruh bu Agni katanya.."

Agnia kembali mengangguk, diselingi kekehan.

"Memang begitu bu, saya dan staff pengajar lainnya selalu berusaha menguatkan anak dengan membiasakan hal hak yang baik. Jadi mohon Ibu semua untuk selalu membimbing si kecil, ya. Karena kebiasaan yang dimulai dari kecil sangat luar biasa dampaknya. Dan itu saya rasakan secara pribadi" jelas Agnia, yang selalu diselingi senyum.

Tanya jawab pendapat antara Agnia dan beberapa wali murid itu terjadi normal hingga salah satu wali murid melayangkan pertanyaan yang paling dihindari Agnia.

"Maaf bu sebelumnya, apa Ibu sudah menikah?"

Agnia mengerjap, tidak menyangka pertanyaan itu bisa muncul dalam obrolan yang serius. Gelengan kepala menjadi jawaban. Senyum canggungnya terbit.

"Alhamdulillah." Ucap wali murid itu, masih terus akan berbicara tanpa menyadari ketidaknyamanan dari senyum Agnia. "Saya punya kenalan bu, pengusaha muda yang sedang mencari istri. Jika ibu tertarik saya bisa kenalkan"

Wali murid lain yang bisa melihat kerisihan Agnia segera menyikut pelan kawan sebelahnya. Memberi isyarat dengan pelototan. ITU TIDAK SOPAN begitu jika bisa diartikan.

"Jangan sembarangan bunda. Bu Agni pasti sudah punya calon, ya kan Bu?" timpal wali murid yang menyikut kawannya tadi, berusaha menetralkan situasi.

Agnia tersenyum lebih lepas, yang sebenarnya adalah baginya kalimat itu bahkan lebih tidak mengenakan dari pertanyaan sebelumnya. Kenapa orang orang begitu tertarik dengan status orang lain? Padahal pernikahan juga sesuatu yang bersifat pilihan.

Dan bukankah tak benar mempertanyakan pilihan orang lain? Pikir Agnia. Tanpa disadari yang lain, tangannya memilin bagian bawah bajunya. Ia gugup. Segala sesuatu tentang pernikahan beberapa tahun ini menjadi momok menakutkan untuknya.

Setiap saat membuka mata ia berharap tak seorang pun mengungkit tentang itu dihadapannya.

Setelah peristiwa tersulit di hidupnya, Agnia tak lagi melihat pernikahan sebagai hubungan yang luar biasa yang ia dambakan.

Satu hal yang pasti, ia takut untuk menikah. ia tak siap mengenal siapapun lagi di hidupnya.

...

2.

...♡♡Berterimakasihlah pada mereka yang selalu siap menjadi tamengmu....

...Berkasihlah dengan mereka yang ditakdirkan jadi bagian hidupmu...

...Bersungguhlah tuk melindungi mereka yang juga melindungi dirimu...

...Sepenuh hati♡♡...

...

Dua orang pria dengan setelan casual melangkah bersebelahan. Langkahnya santai namun pasti. Itulah Ardi dan Fiki. Keduanya saling bertukar obrolan seiring langkah masuk ke area kampus.

"Kalo ngomongin budget, siapa yang mau Ar. Menurut gue kita harus pilih salah satu dari kita." ujar Fiki, pria berkulit sawo matang dan berkumis tipis.

Yang satu lagi Ardi, pria paling tinggi diantara kumpulannya itu mengendik. Enggan menyetujui serta tak punya ide lain untuk menyanggah.

"Tuh.. kita tanya Akbar." Ucapnya saat melihat sosok Akbar yang duduk sendiri di tangga.

Senyum terbit di bibir keduanya, tatkala Akbar sama sekali tidak sadar kehadiran mereka yang bahkan kini sudah berdiri beberapa senti jaraknya dari Akbar.

"Assalamualaikum"

Akbar mengerjap, menoleh sebentar. "Waalaikumsalam" jawabnya, kembali menatap lurus. Fiki dan Ardi ternyata.

"Kenapa antum?" Tanya Ardi, membenarkan kacamatanya. "Gak biasanya ente."

"Galau dia kayaknya, ditolak Asma ya?!" Celetuk Fiki sambil beranjak duduk di sebelah Akbar. Yang langsung mendapatkan tatapan tajam dari Akbar. "Becanda Bos."

"Asma lo bawa bawa." Akbar mendengus kesal, tapi kemudian menghela napas. "Gimana soal kajian?" Tanya Akbar kemudian, mengalihkan pertanyaan sebelum Fiki mengganggunya perihal Asma.

Fiki nyengir ke arah Ardi. Pasalnya Akbar menanyakan terlebih dulu pertanyaan yang mereka ingin ajukan tadi. "Buntu." Singkat Fiki. "Budget jadi masalah." tambahnya Ardi, terdengar kecewa.

"Menurut antum gimana? Apa konsumsi harus kita pertimbangkan?"

"Kalo bisa. Sayangnya urusan konsumsi beserta dananya, udah diurus Rahma. Kata Kaivan, baru aja kemarin uangnya diserahin ke katering yang biasa." Akbar yang menjelaskan.

Helaan napas keluar dari mulut Ardi. "Gitu ya.. kalo gitu gak ada jalan keluar, kecuali..." Ardi menjeda. "Kita cari pemateri yang gak fokus ke budget."

Tak ada reaksi dari Fiki maupun Akbar, yang berarti mereka masih bingung untuk setuju. Lenggang sejenak, hanya suara ramai dari beberapa mahasiswa lain yang lalu lalang terdengar.

"Nah!" Fiki terdengar yakin kali ini, matanya membidik seseorang yang tengah mendekat ke arah mereka. "Coba tanya Akmal."

Pria yang hanya lebih tinggi dua senti dari Akbar berjalan mendekat, bahu lebarnya terlihat jelas bahkan dari belakang.

Itulah Akmal. Muhammad Akmal Abdullah Sidiq, salah satu mahasiswa tereksis di kampus ini. Ia beserta Akbar juga Fiki dan Ardi mengepalai organisasi MBI; Muamalah Berbasis Islami. Pria yang disangka Akbar sebagai seseorang yang menjadi topik di meja makannya pagi tadi.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." jawab Akbar, Ardi dan Fiki hampir serentak.

Ardi menepuk bahu Akmal segera "Datang juga antum Mal. Ada yang mau kita diskusikan"

Alis Akmal terangkat. "Mengenai?"

"Kajian minggu ini." Cicit Fiki. Yang langsung dilanjutkan dengan penjelasan Ardi. "Ternyata Mal, antusiasme mustami' itu luar biasa. Promosi kita ke sekolah-sekolah ternyata berhasil." Ardi menjeda sembari membenarkan kacamatanya. "Masalahnya, dana yang kita siapkan tidak sesuai dengan perkiraan. Karena kepake.. gara-gara masalah itu ." papar Ardi, sengaja menekan kata 'Itu'

Akmal mengangguk, masih memproses jawaban yang akan ia katakan. "Gimana kalo gini, pematerinya kita pilih salah satu dari kita?"

"Gue juga mikir kaya gitu." potong Fiki.

"Itupun kalo paitnya kita gak dapet pemateri lain, sukur sukur kalo ada." Akbar berpendapat.

"Iya" Akmal mengangguk samar, setuju. "Dan kalo gak salah, bukannya dua kakak lo juga pembicara yang hebat?" tanya Akmal, menatap Akbar.

"Ya." Akbar mengangguk ragu. Ia langsung paham maksud pertanyaan Akmal.

"Kenapa gak coba tanya salah satu mereka? Siapa tau mereka punya waktu senggang di tanggal itu."

"Boleh. Gue coba" Akbar mengangguk, satu satunya yang terpikir saat itu hanya Agni. Hafidz? kakak sulungnya itu pasti akan membuat masalah dengannya terlebih dahulu bahkan jika kemudian akan setuju.

"Kalo gitu masalahnya terjawab. Tinggal nunggu jawaban dari kakaknya Akbar." ujar Fiki lega.

"Kalo bisa secepatnya kabarin. Supaya masih sempet cari pemateri lain." Tambah Ardi.

Akmal mengangguk setuju, begitupun Fiki. Sedangkan Akbar masih akan membuka mulutnya. Ini aneh, ia yakin bukan Akmal teman dihadapannya ini yang dimaksud ibunya tadi. Tapi rasa penasaran begitu saja mengganggunya.

"Ada satu lagi Mal. Ini agak pribadi."

Ketiganya spontan menatap Akbar, tanpa sadar alis mereka terangkat menunjukan rasa penasaran. Pribadi?

"Katakan!"

Sementara ketiganya penasaran, Akbar untuk sejenak ragu. Berpikir entah ia harus bertanya atau ia harus urungkan. "Itu.." Akbar menjeda. "Apa lo berencana untuk nikah muda?" tanya Akbar serius, namun jelas memantik tawa dari Fiki dan Ardi. Keduanya tak menyangka jika pertanyaan 'pribadi' seperti itu yang Akbar maksud.

"Lo udah kaya cowok yang lagi pdkt sama ukhti tau gak!" ledek Fiki disela tawanya.

Akbar mengendik tak peduli, setidaknya pertanyaan itu berhasil ia katakan.

"Jangan bilang lo tertarik sama Akmal. Hii.." Fiki bergidik, tampak bersemangat menganggu temannya itu.

"Naudzubillah!" Akbar melotot. "Istighfar lo Ki!" ucapnya, sambil menoyor kepala Fiki. "Gue serius juga."

Seseorang yang ditanya justru tersenyum. "Gue gak punya target. Kalo ketemu jodohnya sekarang, ya kenapa tidak?"

"Artinya, lo gak lagi dijodohin kan?" sambar Akbar, yang lagi lagi membuat Fiki dan Ardi curiga.

"Masya Allah! Jangan bilang ente lagi cari suami buat mbak Agni." Seloroh Ardi.

"Kalo bener, gue juga siap jadi kakak ipar lo." Sambar Fiki, dan berhasil membuat Akbar merasa tak terima. Spontan menoyor kembali kepala Fiki.

"Gue yang gak siap."

.

.

.

.

Tok Tok Tok

Agnia mendongak dari kesibukannya dengan layar laptop kala ketukan pintu terdengar. "Siapa?"

"Aku"

"Oh! Akbar." Agnia kembali menatap layar laptopnya, setelah mengenali suara adiknya itu. "Masuk De!"

Ceklek

"Lagi ngapain mbak?" tanya Akbar pada Agnia, suaranya lebih dulu masuk baru kemudian tubuhnya muncul dari balik pintu.

"Menyelesaikan tulisan." singkat Agnia, tanpa menoleh. Terfokus pada ketikannya, mencurahkan semua yang terlintas di kepala. Dengan nyaman duduk di kursi bersidekap pada meja, hingga tak sadar jika Akbar tak biasanya lebih sopan padanya.

Bahkan mengetuk pintu? Akbar biasanya masuk saja bahkan tanpa diijinkan.

Helaan napas Akbar terdengar jelas, membuat Agnia sejenak menoleh. Dilihatnya Akbar sudah terlentang nyaman di kasur rapihnya. "Itu mengganggu. Hey!"

"Apanya?" tanya Akbar malas.

"Helaan napas kamu." jawab Agnia. Kembali menatap Adiknya, kini lebih lama.

Namun disindir begitu tak membuat Akbar langsung mengatakan keluh kesahnya, membuat Agnia menghela. "Masalah apa sekarang?" tanyanya, tau sekali maksud kedatangan sang adik.

Agnia memang sangat peka, Akbar langsung mengganti posisi tidurnya menjadi duduk bersila demi pertanyaan itu. "Aku ada masalah mbak."

"Ya apa?" Agnia mendecak, kenapa adiknya ini tiba-tiba berbelit. Ia malas jika apa yang ingin dikatakan Akbar saat ini sangatlah tidak penting.

"Jangan berbelit kaya cewe deh." ujar Agnia, yang sukses membuat Akbar urung bicara. Ia jadi berpikir apakah ia memang suka berbelit seperti perempuan?

"Cepet! Ngomong apa? Mbak kasih waktu lima menit"

"Soal kajian." ucap Akbar segera, yang Agnia pikir masih akan ada kalimat lanjutannya.

"Terus?" tanya Agnia, "yang jelas dong kalo nanya atau cerita itu! Jelasin!" gemas Agnia.

"Tadi katanya jangan berbelit." Akbar berkata santai.

Agnia menatap Akbar gemas. Bukan seperti itu cara kerjanya dek! Demikian terjemah dari tatapan Agnia. "Akbar!"

Cukup dengan peringatan kecil dari Agnia disertai pelototan sudah cukup untuk membuat Akbar nyengir. "Maaf mbak. Becanda"

Agnia mengendik, Akbar hanya datang untuk mengganggu. Pikirnya. "Jadi apa masalahnya?" tanya Agnia lagi. Kini kembali ke layar laptop miliknya. Kali ini untuk menyimpan semua bentuk tulisannya. Selama ada Akbar pekerjaannya tidak akan menjadi cepat. Ia hanya harus sesegera mungkin memecahkan masalah Akbar supaya si pengalih itu segera pergi.

"Kira-kira Mbak bisa gak jadi pemateri kajian minggu ini?"

"Loh?!" Agnia mengernyit. Memutar tubuhnya, menghadap Akbar. "Kenapa Mbak?"

"Budget."

"Budget?" Agnia terkekeh. "Organisasi kalian bangkrut atau dana nya gak ngalir?"

"Semuanya aman Mbak. Cuman salah satu anggota kita terlibat kecelakaan waktu sosialisasi. Dia harus tanggung jawab, dan organisasi yang bayar." jelas Akbar.

Anggukan samar ditunjukan Agnia. Ia juga aktif berorganisasi dulu, baik di sekolah maupun kampus. Ia mengerti hal itu bisa saja terjadi. "Boleh."

"Hah?!" Akbar sedikit tak percaya, semudah itu menanyakan kesanggupan Agnia? Tau begini harusnya sejak awal ia berlari pada Agnia dari pada berpusing pusing memikirkan budget.

"Iya. Atur aja. Tapi tolong pergi! Mbak sibuk." ucap Agnia santai.

"Beneran Mbak? Aku kabarin temen temenku ya?"

"Beneran. Sana pergi."

Akbar menjadi riang. "Makasih mbak. Mbak memang best!"

Agnia menggeleng takjub, melirik jam dinding. Untuk beberapa menit Akbar menyianyiakan waktu berharganya. Sekarang sudah pukul delapan malam.

...

Akbar merentangkan tubuhnya diatas ranjang. Kini masalah pemateri itu selesai, lega sekali ia rasa. Agenda akan berjalan seperti biasanya berkat kesiapan Agnia. Tak bisa diungkapkan lega hatinya kini. Memang benar, yang dengan sepenuh hati dibangun, pasti menyedot tenaga sepenuh jiwa.

Tapi yang pasti, sesuatu yang dibangun sepenuh hati tidak akan selalu mudah dan berhasil. Hingga keberhasilan selepas kesulitannya pun, begitu memabukkan. Kebahagiannya memenuhi sepenuh hati dan jiwa.

Ada satu hal yang masih menggantung di pikirannya. Ia masih khawatir jika Akmal yang dimaksud sang Ibu adalah Akmal sama yang ia kenal. Bukan karena ia melihat Akmal tidak baik, hanya saja segala tentang Agnia membuatnya selalu penuh pertimbangan.

Siapapun itu, yang menjadi pendamping Agnia nanti. ia hanya berharap seseorang terbaik. Itu saja. namun jika itu pria seusianya, ia juga ikut khawatir.

Akbar menggeleng, membebaskan pikirannya dari memikirkan hal yang ia takuti, kini ia harus fokus pada kajian di depan mata yang sebelumnya membuat ia begitu khawatir dan ingin mengakhiri itu. kini berganti menjadi semangat baru.

Ada yang tidak Akbar sadari, bahwa jalan hidup luar biasa bagi Agni akan terjadi setelah kajian dimulai. Entah ia ataupun Agni suka atau tidak, takdir yang seharusnya terjadi akan menemui jalannya.

Tunggu saja, pertemuan pertama akan terjadi. Jika Akmal yang dimaksud Khopipah sama dengan Akmal yang adalah teman Akbar, maka bisa saja pertemuan Akmal dan Agni nanti akan menciptakan kenangan tersendiri

13 Juli 2022

3. Anak gadis?

...♡♡♡...

...Manusia memiliki apa?...

...Saat hatinya saja Allah yang membolak balik....

...Manusia bisa apa?...

...Saat rencana saja hanya terwujud sesuai takdirNya....

...Manusia punya hak apa?...

...Saat rasa tertarik hingga penolakan kembali pada keputusanNya?...

...♡♡♡...

Akmal baru saja tiba di rumahnya. Wajah lelah tampak setelah ia membuka helm, turun dari kuda besinya.

"Assalamualaikum." Akmal mendorong pintu rumahnya yang belum dikunci. Tak ada jawaban, yang artinya kedua orang tuanya sudah beringsut dalam kamar.

Sejenak Akmal mendudukkan pantatnya di kursi, menghadap meja makan untuk sekedar minum. Baru setelah itu masuk ke kamarnya.

Deretan piala, piagam, serta foto foto yang tersusun cantik terlihat kala Akmal menekan saklar lampu kamarnya. Piagam dari lomba model anak, lomba mewarnai, siswa berprestasi, dan yang paling banyak lomba pidato anak, Itu semua tampak rapi menghiasi dinding kamar abu muda milik Akmal. Beberapa foto masa kecil Akmal, hingga foto foto bersama rekan organisasinya juga ada.

Jika dilihat dari tata letak semua benda di kamar ini, siapapun akan tau bahwa pemiliknya adalah orang yang disiplin.

...Benarlah jika penampilan, apa yang tampak oleh mata dapat menunjukan kepribadian seseorang....

Dan lihatlah jajaran buku yang tersusun rapih di atas meja belajarnya, belum lagi jika melihat baju bajunya di dalam lemari. sebagian tak akan menyangka, jarang sekali pria yang se-rapih dan sedetail itu.

Akmal langsung meraih handuk setelah menyimpan ponsel dan tasnya di atas kursi. Berjalan gontai menuju kamar mandi, hendak membuang rasa lelah berupa keringat dari tubuhnya.

Tak berselang lama Akmal kembali, kini telah berganti dengan setelan lebih santai. Kaos lengan pendek warna hitam serta jeans.

Dan seperti kebanyakan orang, hal pertama yang dicek adalah ponsel. Benda kecil yang meski ada atau tidak adapun seseorang yang hendak dihubungi, tetap saja jadi rutinitas untuk diperiksa setiap detiknya.

Sedang tangan kirinya sibuk mengusap layar ponsel, tangan kanannya memegang handuk dan menaik turunkan tangannya di atas kepala. Bergerak teratur mengeringkan rambut.

Ada pesan dari Akbar yang baru saja ia buka. Pesan itu mengatakan bahwa kakak Akbar menyanggupi untuk menjadi pemateri di kajian yang digawangi organisasi mereka pada pekan ini. Senyum lega muncul dari wajahnya, sama lega dengan Akbar dan pastinya anggota organisaai yang lain.

Apalagi Kaivan, yang bertugas membuat spanduk. Semangat melapor di grup whatsapp bahwa desain spanduk itu selesai dikerjakan, bahkan kurang dari lima belas menit setelah Akbar mengabari. Sebuah gambar mengiringi pesan dari Kaivan itu.

Kegiatan kering mengering rambut selesai, Akmal sudah menyimpan kembali handuk ke tempatnya. Kini ia tertarik dengan obrolan di grup whatsapp. Penasaran dengan gambar spanduk yang didesain Kaivan si ahli desain langsung, salah satu anggota MBI yang sejak masa sekolah menggilai multimedia.

Baru saja tangan Akmal hendak membuka gambar yang dikirim Kaivan itu, suara derit pintu terbuka mengurungkan niatnya. Kini menoleh ke arah pintu yang menampakan seorang pria paruh baya dengan senyum teduh, sekilas terlihat kemiripan antara pria itu dan Akmal.

"Ayah?" gumam Akmal sembari meletakkan ponselnya ke atas nakas samping tempat tidurnya.

Itulah Sidiq abdurrahman, pria yang baru saja genap empat puluh empat tahun usianya. Pengusaha kawakan, yang sejak muda ambisius sekali soal merintis bisnis. Hingga di usianya saat ini, berkat kerja kerasnya, Sidiq mengakbarkan dirinya sebagai salah satu pengusaha terkaya dengan banyak bidang bisnis.

Sudah tampak beberapa uban di kepalanya, apalagi kali ini tanpa peci yang biasanya selalu ia kenakan. Uban itu sebenarnya kontras dengan wajah Sidiq yang terlihat jauh lebih muda dari usianya. Beberapa orang bahkan berkata rahasia awet mudanya itu hasil dari senyum teduh yang selalu ia tebar.

Sidiq melangkah masuk, duduk di kursi yang terlebih dulu ia hadapkan ke arah Akmal.

"Gimana tadi di toko?"

"Aman, Yah." singkat Akmal, tersenyum meyakinkan.

Anggukan samar ditunjukan Sidiq, pertanyaan itu sebenarnya hanya kalimat basa-basi darinya untuk Akmal. Dan Akmal, Sudah paham dan terbiasa jadi menjawab demikian.

"Begini, ayah kesini untuk minta tolong. Besok sebelum kamu pergi ke toko, tolong anter Bunda lebih dulu."

"Boleh. kemana memangnya, Yah?"

"Kemananya ayah juga gak tau. Cuman katanya ke rumah temen Bunda mu. Pokoknya anterin aja! Deket kok."

Akmal mengangguk. Jangankan mengantar sang bunda, disuruh libur menemani bundanya seharian pun ia siap.

Sidiq mengangguk, kemudian bangkit. Sudah selesai dengan tujuannya ke kamar anaknya. "Dan.." Sidiq mengurungkan langkahnya, kembali menatap Akmal. "Yang ayah tau, temen bunda kamu itu punya anak gadis.. sepertinya seumuran kamu. Ayah pernah sekali bertemu." papar Sidiq, yang membuat alis Akmal refleks terangkat.

Akmal sedikit aneh mendengar sang ayah membahas 'anak gadis'. Ini jelas pertama kalinya, ayahnya membahas perihal itu.

"Besok kalo ketemu dia, coba ajak ngobrol! Siapa tau cocok." ucap Sidiq yang lagi dan lagi membuat Akmal tak bisa berkata kata.

Ia sedang mencerna, apa semua obrolan ini bermuara pada anak gadis?

.

.

.

.

Minggu pagi, Agnia tak kalah cerah dari mentari pagi ini. Bak bunga disirami air, mekar dengan cantiknya. Namun pagi ini, Agnia masih dengan piyamanya. Melangkah cepat ke kamar Akbar.

Akbar langsung mendongak saat seseorang muncul dari balik pintu kamarnya yang terbuka. Saat tau itu Agnia, Akbar spontan merotasikan bola matanya.

Menoleh sesaat, kemudian kembali ke layar ponselnya.

"Akbar! Cepet mandi!" perintah Agnia, tetap membuka mulut meski disuguhkan perangai seperti itu.

"Iya! Bawel banget!" Respon Akbar sebaI, matanya membulat. ia jengah, pasalnya ini ketiga kalinya Agnia datang dan memerintahnya mandi.

Yang padahal Agnia sendiri masih kusut dengan setelan tidurnya. baru selesai mengurus urusan dapur.

"Mbak sendirinya juga belum mandi!" protes Akbar, tersungut tanpa menoleh yang diajak bicara

Agnia nyengir, bukan apa-apa. ia hanya antusias untuk hari ini, bagaimana lagi? Itu reaksi alaminya.

"Iya maaf, mbak cuman ngingetin. Tau sendiri, kamu kayak gimana." sindirnya. "Yasudah, mbak sekarang siap-siap. Tapi kamu juga ya.. Awas!"

"Jangan sampe Mbak kesini, dan kamu belum siap.."

"Iya, Ah!" Akbar mendesah pelan, jengkel juga dirinya lama-lama.

Agnia sudah berlalu, suaranya tak lagi terdengar. Membuat Akbar menghela lega, dilain sisi heran. Heran kenapa kakaknya bisa se-skeptis itu, padahal ia sudah berjanji. Entah apa yang masih membuatnya takut dibohongi, mereka hanya akan pergi belanja!! ingin sekali Akbar berteriak demikian.

...

"Kamu jadi pergi?" tanya Khopipah lembut. Mendatangi Agnia yang duduk menunggu di teras rumah. "Padahal temen Ibu mau main kesini loh.." ujar Khopipah kecewa, tak menunggu hingga Agnia mengangguk atau mengiyakan.

Agnia mendongak, berdiri dari duduknya lantas mengangguk. "Udah janji soalnya, Bu."

"Janji sama siapa emangnya?" tanya Khopipah, matanya tiba-tiba antusias. Berharap jika janji itu dibuat bersama seseorang spesial, seorang pria maksudnya.

"Nah! Sama dia, Bu." ujar Agnia, tepat saat Akbar keluar dari rumah dan berdiri dihadapan keduanya.

Khopipah spontan mendengus pelan, namun tak sempat diperhatikan kedua anaknya. Harapannya terlalu tinggi, hingga berharap lebih.

Agnia memang membuat janji dengan seorang pria, dan pria itu adiknya sendiri.

"Pasti tante yang waktu itu kan?" tanya Agnia, saat ibunya diam untuk waktu cukup lama. Entah memikirkan apa.

Khopipah langsung mengangguk. "Iya, namanya Tante Retno."

Agnia mengangguk, tau. Pernah bertemu sekali saat makan bersama di rumah teman ibunya yang lain. "Emh.. titip Assalamualaikum aja ya, Bu?"

"Iya." Khopipah kembali mengangguk, sedikit kecewa namun berusaha tak menunjukkannya. Tak mau Agnia curiga akan sesuatu.

Tadinya ia berharap gadis satu-satunya ini akan bertemu dengan Akmal, anak sahabatnya. Tapi rencana hanyalah rencana, Allah lah yang mutlak menjalankan takdir terbaiknya.

"Ayo!" Akbar bersikap siap kali ini, tak sadar wajah kecewa sang ibu. Kecewa yang dihasilkan dari keinginannya yang teramat sangat.

Akbar siap dengan kunci mobil di tangan, untuk hari ini ia siap untuk menjadi asisten Agnia. atau lebih tepatnya, suruhan Agnia. Apapun itu, asalkan kakaknya berhenti merecokinya.

...

Sebuah mobil hitam masuk ke halaman besar kediaman Fauzan. Setengah jam setelah mobil yang dikendarai Akbar dan ditumpangi Agnia melesat.

Dua orang turun dari mobil itu. Itulah Akmal dan sang ibu, Retno. Keduanya berjalan beriringan, Akmal sibuk menilik lingkungan yang baru sekali ia kunjungi itu.

Ibu dan anak yang baru saja turun dari mobil itu disambut hangat oleh Khopipah, aura bahagia ditularkan Khopipah pada sahabatnya dengan pelukan. Matanya semakin berbinar tatkala menyalami Akmal. Pemuda yang ia bidik sebagai 'calon menantu'.

"Ayo, silahkan masuk!"

Retno dengan senang hati melangkah ke rumah sahabatnya. Melupakan Akmal yang justru mendapatkan panggilan, sesaat menghentikan langkahnya untuk menjawab panggilan itu.

"Anak-anak Mbak kemana?" tanya Retno, saat tak satupun Akbar maupun Agnia terlihat muncul. Sepi sekali rumah luas itu, pun tak terlihat kendaraan di halaman rumahnya.

Khopipah beranjak duduk setelah terlebih dahulu menyuguhkan teh hangat dan kudapan di meja. "Mereka pergi berdua, gak tau kemana."

Retno mengangguk. "Sibling time." ucapnya, untuk kemudian satu frekuensi dengan sahabatnya. Berucap kecewa. "Sayang sekali.."

"Gak papa. Lain kali ketemu. Tapi Agnia nitip Assalamualaikum tadi."

"Alaika wa'alaikumussalam warahmatullah.." jawab Retno, yang artinya 'semoga keselamatan dan rahmat Allah bagimu serta baginya'.

Ketukan terdengar, Akmal muncul dari arah pintu. Baru selesai menjawab panggilan telpon.

"Ayo masuk, Mal!"

Akmal ikut duduk di kursi empuk di sebelah kursi yang ibunya duduki. "Tante, Bunda saya mohon ijin. Harus pergi duluan. Ada telpon dari toko."

"Begitu ya? Sayang sekali." Khopipah berujar kecewa lagi, bukan saja anak anaknya yang tak bisa diajak kompromi, Akmal juga. "Tapi gak papa. Lain kali main kesini lagi ya!"

"Insya Allah tante." Akmal mengangguk, tersenyum.

"Ini bukan permintaan ya, tapi perintah." ujar Khopipah, terdengar tegas.

Akmal kembali mengangguk, tersemyum. Lagipun ia belum melihat 'anak gadis' yang dimaksud ayahnya. Melihat sosok Khopipah yang adalah ibunya, juga lingkungan dimana gadis itu tinggal saja sudah membuatnya penasaran. Dan kemungkinan rasa penasaran itulah yang akan menariknya kembali ke tempat ini.

...Lingkungan sangat besar andilnya bagi seseorang, ia tak kalah menentukan tentang bagaimana karakter seseorang. karena disanalah seseorang terbentuk...

14 Juli 2022

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!