...Waktu bisa saja menyembuhkan,...
...Seseorang yang baru mungkin saja memulihkan....
...Pertanyaannya,...
...Seserius apa kamu ingin pulih?...
...Kata 'tapi...
...Akan menjebak....
...Kata 'nanti...
...Akan menunda....
...Jika bukan hari ini,...
...Lalu sampai kapan?...
...♡♡♡...
Suasana hati Agnia tampak sedang baik, hingga Akbar merasa tak tega untuk membahas apa yang terngiang di benaknya.
Melihat Agnia tak henti tersenyum sepanjang berbelanja, dan terus membual ini itu Akbar jadi tak terpikir untuk menghancurkan moodnya sekarang. Pertanyaan itu biar ia tahan sedikit lebih lama lagi.
...
Akbar penasaran sebenarnya, terus menatap Agnia dengan alis bertaut. Ingin tau bagaimana respon kakaknya ini, mengenai keinginan keluarga mereka mencarikan jodoh lagi untuknya.
Bukan tanpa alasan, semenjak peristiwa tiga tahun lalu Agnia menjadi trauma untuk menjajaki pernikahan. Hingga Pernah suatu hari Agnia dikenalkan pada seseorang oleh Hafidz, pria yang sebenarnya baik. Namun Agnia yang mungkin belum lupa dengan lukanya, merespon buruk perkenalan itu.
Respon yang membuat semua anggota keluarga tak berani lagi mengenalkan orang lain, berpikir sekian kali untuk mengenalkan lagi Agnia pada orang baru.
Akbar menghela pelan, namun masih terdengar oleh Agnia. Membuat Agnia segera menoleh, mengabaikan pramusaji yang menyajikan beberapa makanan di meja mereka.
Agnia spontan mengernyitkan dahinya kala ditatap begitu, senyum lebarnya kala melihat makanan berganti bingung.
"Ada apa?" tanya Agnia curiga, masih mengernyitkan dahinya.
Saat ini mereka duduk bersebrangan pada meja bulat di salah satu rumah makan sunda. Memesan pepes ikan, sate, hingga sambal beserta lalapannya.
Agnia yang bersikeras ingin makan masakan sunda, teringat sang nenek yang tinggal di Tasikmalaya sana katanya. Sementara Akbar bagian menyetujui, seperti rencananya sebagai pesuruh Agnia.
"Bukan apa-apa." Akbar nyengir, menggeleng. "Lupakan!" ucapnya lantas meraih piring, segera mengalihkan supaya tidak bertanya.
...
Sesaat adik kakak itu fokus pada makanannya masing-masing, hingga Akbar kembali menoleh Agnia. Rasa penasarannya kembali datang, tanpa sadar membuat matanya kembali terpaku pada Agnia.
Agnia yang masih khusyu menikmati santapan siangnya terusik dengan tatapan intens Akbar, baru sadar jika ia kembali diperhatikan. Berusaha menelan makanan yang dikunyahnya sebelum kemudian dengan alis bertaut bertanya.
"Untuk apa itu?"
"Hem?" alis Akbar terangkat. Bahkan ia sendiri tidak sadar memperhatikan sang kakak terlalu lama.
"Apa arti tatapan itu? Ada sesuatu yang ingin kamu sampaikan?" selidik Agnia.
Akbar menggeleng, tersenyum. "Gak ada." singkatnya, mengalihkan pandangan menuju segelas jus yang belum ia minum.
Anggukan samar ditunjukan Agnia. Sebentar ia menunduk kecewa, lalu kemudian menatap Akbar dengan yakin. "Ngomong saja! Mbak siap mendengarkan." ujarnya tenang, dengan senyum tipis. "Apapun itu." tambahnya lagi, menegaskan jawaban dari tatapan tak percaya Akbar.
"Gak ada, Mbak. Aku gak punya keluhan, beneran."
Agnia mencebik. "Kalo gitu kenapa kamu dari tadi liatin Mbak kayak gitu? Ngomong aja! Mbak janji gak akan marah." melihat Akbar mengabaikan pertanyaan membuat Agnia justru mendapat jawaban pasti, itu tentu menyangkut hal paling sensitif baginya.
Yang membingungkan, kenapa juga Akbar begitu hati-hati untuk bicara. Yang padahal biasanya selalu bicara tanpa pertimbangan.
.
.
.
.
Kesibukan terjadi di toko Sidiq Amanah Textil. Nama itu terpampang jelas pada spanduk juga banner yang terpajang bebas di depan toko. Itulah toko dimana Akmal mencoba peruntungan memimpin salah satu usaha sang ayah. Toko yang sudah tersohor dan memiliki lima cabang di wilayah berbeda.
Wajah lelah tampak dari wajah Akmal, begitupun keenam karyawan ayahnya yang lain. Pelanggan kembali meningkat di waktu menjelang perpisahan sekolah-sekolah. Kebanyakan mencari kain untuk membuat kebaya dan jas untuk hari kelulusan, pun yang sudah mencari seragam dari jauh-jauh hari demi mengantisipasi lonjakan harga.
Keenam karyawan ditambah Akmal masih kewalahan mengimbangi keinginan konsumen. Belum lagi rumah-rumah produksi yang memesan kain tertentu dalam jumlah banyak.
"Sambil makan aja gak papa." ucap Akmal, mengingatkan para karyawannya yang gelagapan saat melihat dirinya.
Dari sudut pandang ini Akmal tidak tampak masih berusia dua puluh dua. Dengan tinggi 175 cm, postur yang nyaris sempurna juga senyum teduh yang diwariskan sang ayah, membuat pembawaan Akmal tampak sangat berwibawa.
Akmal yang tak sungkan melempar senyum pada para karyawan, Gaya bicara, yang singkat namun lugas, juga tatapan dengan perhatian penuh pada lawan bicaranya pun membuat ia dikagumi para karyawati.
Seorang Akmal, dinilai nyaris sempurna.
"Mas dim!" Akmal melangkah ke arah Dimas, karyawan paling senior. Katakanlah kepercayaan sang ayah.
"Iya, gimana Mal?" tanya Dimas, menoleh saat sedang mendikte bawahannya.
"Aku tinggal gak papa ya?."
"Boleh, silahkan!" Dimas mengangguk, tak keberatan. "Mau kemana emangnya?"
"Jemput bunda." singkat Akmal, yang spontan saja membuat Dimas tersenyum. Ada perbedaan antara bunda di sudut pandang Akmal dan bunda di sudut pandang Dimas.
"Bunda? Bunda yang kamu maksud sama dengan yang saya pikirkan, kah?" tanya Dimas, berlagak serius namun terdengar jelas sedang menggodanya.
Akmal terkekeh. "Untuk kali ini, masih bunda dalam arti sebenarnya, Mas."
.
.
.
.
Sore hari kali ini ditemani hujan deras. Membuat kebanyakan orang dihinggapi kantuk setelah lelah seharian bekerja ditambah cuaca yang seakan mengajak untuk bermanja di atas ranjang.
Untung saja Agnia dan Akbar tiba ke rumah sebelum hujan makin lebat. Khopipah yang menunggu cemas kini bernapas lega. Segera menghampiri Agnia yang baru saja masuk ke rumah dengan pakaian sedikit terkena cipratan hujan. Hanya sedikit, itupun saat berlari dari halaman menuju pintu rumah.
"Asalamualaikum.."
"Waalaikumsalaam warahmatullah.." jawab Khopipah sambil memberikan handuk kecil pada Agnia. "Pulang juga kalian."
"Lama ya, Bu?" tanya Agnia.
"Enggak. Masalahnya ibu cemas sendiri." jawab Khopipah, tersenyum. "terus gimana hari ini?"
Agnia spontan menghentikan gerakan tangannya, kembali menatap ibunya lebih lama. "Great." singkatnya. Tak bertahan lama senyum itu tersungging, berubah tipis lalu kemudian hilang dari wajahnya.
Benar jika orang bilang dalam beberapa hal yang traumatis lebih baik untuk tidak mengetahui. Lebih baik untuk tidak ingin peduli dan lebih baik untuk menutup telinga. Dan kali ini Agnia menyesali pertanyaannya pada Akbar tadi.
"Aku ke kamar ya, Bu."
Khopipah mengangguk. "Iya." Hilangnya senyum Agnia membuat senyum sang ibu juga redup. Sebagai seorang ibu, tentu khopipah bisa merasakan sesuatu yang tak orang lain rasakan. Bahkan duri yang menusuk anak, seorang ibu bisa merasakan puluhan kali lipat perihnya.
Bayangkan, seorang ibu mengandung anaknya selama sembilan bulan. setelah lahir, ibu menjadi orang paling banyak menghabiskan waktu bersama anak anaknya.
Dan kini, ia tau sekali jika ada yang mengusik Agnia.
"Assalamualaikum." Akbar muncul dengan beberapa kantong belanjaan, tidak diragukan itu sudah pasti milik Agnia. Ia berhenti di hadapan sang ibu, memasang senyum manis.
"Waalaikumsalam."
Senyum Akbar langsung hilang, kini berganti kernyitan. "Ada apa, Bu?" tanyanya begitu saja, ia merasa ada yang ingin ibunya katakan.
"Ada yang terjadi sama mbakmu?"
Akbar langsung menggeleng. "Enggak, Bu. Emang mbak Agni kenapa? Manyun dia?"
"Enggak, gak papa. ibu terlalu khawatir kayaknya."
"Yaudah, biar aku liat ke kamarnya sekarang, Bu. Dan aku punya ini." Akbar menunjukan kantong yang dijinjingnya. "Jaga-jaga kalo dia tiba-tiba bertanduk." tandas Akbar, mencoba menghibur sang ibu. Sambil membuat tanduk di kepalanya dengan jarinya.
Berhasil, Khopipah tersenyum. Menggeleng takjub. "Kamu ini."
Senyum Akbar kembali hilang, setelah sang ibu pergi dari hadapannya. Ia juga sama khawatirnya dengan semua orang di rumah ini. Dan mengenai apa yang dirasakan Agnia saat ini, Akbar menyadari itu tak luput dari kesalahannya. apa sebaiknya ia diam tadi?
Agnia terdiam sejenak, kepalanya menunduk. Tampak mencerna penjelasan yang baru saja Akbar sampaikan.
"**Di rumah nanti, jangan bilang ke siapapun kalo mbak tau soal ini." pinta Agnia, dengan wajah serius.
"Tentang apa yang mbak rasakan gak penting, saat ini..." Agnia memberi jeda, tatapannya tampak tegar.
"Tiga tahun ini mbak gak banyak belajar, tapi kali ini mbak gak bisa liat Ibu sama Ayah terus berkubang dalam kekhawatiran."
"Karena itu, biarin mbak pura-pura gak tau hal itu."
"Mari kita lihat, sejauh mana mbak akan bersikap, mbak juga penasaran dengan hal itu.. setelah tiga tahun ini berlalu**."
...
Ucapan tegar Agnia, hanya sebatas ucapan. Toh, ibunya saja bisa melihat kekhawatiran itu di matanya. Sesaat Akbar merutuki dirinya yang tak bisa menahan diri dari bertanya, sedang dirinya kini berdiri di depan pintu kamar Agnia. Bersiap mengetuk.
Hanya saja ada krisis besar antara ia dan dirinya sendiri, yang membuatnya takut-takut mengetuk pintu kamar itu. Baru setelah mengambil satu tarikan napas, Akbar memutuskan benar-benar mengetuk pintu kamar yang tertutup rapat itu.
"Mbak, aku boleh masuk?" tanya Akbar, intonasinya berusaha ia netral kan seperti biasa. "Ini belanjaan mu!"
"Simpan disitu.. Lagi ganti baju soalnya." ujar Agnia dari dalam kamarnya. Akbar tetap menangguk samar meski tak kan terlihat kakaknya itu. lantas pergi, setelah menuruti perintah Agnia menyimpan belanjaan tepat di depan pintu.
Yang sebenarnya Agnia berbohong, dirinya sama sekali belum beranjak dari ranjangnya sejak tiba di kamar tadi. Duduk tak tenang di tepi ranjang, dengan tangan kirinya meremas ujung baju gugup.
Apa yang ia katakan pada Akbar tadi siang, kontras dengan apa yang sebenarnya ia rasakan. Ia menjadi sangat gugup.
"Ibu punya keinginan untuk ngenalin mbak sama anak temennya."
Agnia menyimpan tangan kirinya di bahu kanan. Menepuk beraturan. Mencoba menghilangkan kegelisahan yang ia rasakan saat mengingat ucapan Akbar tadi. Berusaha menghilangkan perasaan yang sejak lama tak ia rasakan, perasaan takut akan sesuatu yang paling ia hindari tiga tahun ini.
Menikah?
Mengenal orang baru?
Bahkan dada Agnia semakin terasa sesak ketika melafalkan pertanyaan itu di hatinya. Tampaknya ia bimbang antara masih butuh sedikit waktu lagi, atau ia memang membutuhkan sosok yang baru.
Tapi jika terus begini, sampai kapan? Agnia berdebat dengan dirinya sendiri. Antara ingin sembuh 'tuk merajut kisah baru, dan rasa takut yang menghantui
16 Juli 2022
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 203 Episodes
Comments