...♡♡Berterimakasihlah pada mereka yang selalu siap menjadi tamengmu....
...Berkasihlah dengan mereka yang ditakdirkan jadi bagian hidupmu...
...Bersungguhlah tuk melindungi mereka yang juga melindungi dirimu...
...Sepenuh hati♡♡...
...
Dua orang pria dengan setelan casual melangkah bersebelahan. Langkahnya santai namun pasti. Itulah Ardi dan Fiki. Keduanya saling bertukar obrolan seiring langkah masuk ke area kampus.
"Kalo ngomongin budget, siapa yang mau Ar. Menurut gue kita harus pilih salah satu dari kita." ujar Fiki, pria berkulit sawo matang dan berkumis tipis.
Yang satu lagi Ardi, pria paling tinggi diantara kumpulannya itu mengendik. Enggan menyetujui serta tak punya ide lain untuk menyanggah.
"Tuh.. kita tanya Akbar." Ucapnya saat melihat sosok Akbar yang duduk sendiri di tangga.
Senyum terbit di bibir keduanya, tatkala Akbar sama sekali tidak sadar kehadiran mereka yang bahkan kini sudah berdiri beberapa senti jaraknya dari Akbar.
"Assalamualaikum"
Akbar mengerjap, menoleh sebentar. "Waalaikumsalam" jawabnya, kembali menatap lurus. Fiki dan Ardi ternyata.
"Kenapa antum?" Tanya Ardi, membenarkan kacamatanya. "Gak biasanya ente."
"Galau dia kayaknya, ditolak Asma ya?!" Celetuk Fiki sambil beranjak duduk di sebelah Akbar. Yang langsung mendapatkan tatapan tajam dari Akbar. "Becanda Bos."
"Asma lo bawa bawa." Akbar mendengus kesal, tapi kemudian menghela napas. "Gimana soal kajian?" Tanya Akbar kemudian, mengalihkan pertanyaan sebelum Fiki mengganggunya perihal Asma.
Fiki nyengir ke arah Ardi. Pasalnya Akbar menanyakan terlebih dulu pertanyaan yang mereka ingin ajukan tadi. "Buntu." Singkat Fiki. "Budget jadi masalah." tambahnya Ardi, terdengar kecewa.
"Menurut antum gimana? Apa konsumsi harus kita pertimbangkan?"
"Kalo bisa. Sayangnya urusan konsumsi beserta dananya, udah diurus Rahma. Kata Kaivan, baru aja kemarin uangnya diserahin ke katering yang biasa." Akbar yang menjelaskan.
Helaan napas keluar dari mulut Ardi. "Gitu ya.. kalo gitu gak ada jalan keluar, kecuali..." Ardi menjeda. "Kita cari pemateri yang gak fokus ke budget."
Tak ada reaksi dari Fiki maupun Akbar, yang berarti mereka masih bingung untuk setuju. Lenggang sejenak, hanya suara ramai dari beberapa mahasiswa lain yang lalu lalang terdengar.
"Nah!" Fiki terdengar yakin kali ini, matanya membidik seseorang yang tengah mendekat ke arah mereka. "Coba tanya Akmal."
Pria yang hanya lebih tinggi dua senti dari Akbar berjalan mendekat, bahu lebarnya terlihat jelas bahkan dari belakang.
Itulah Akmal. Muhammad Akmal Abdullah Sidiq, salah satu mahasiswa tereksis di kampus ini. Ia beserta Akbar juga Fiki dan Ardi mengepalai organisasi MBI; Muamalah Berbasis Islami. Pria yang disangka Akbar sebagai seseorang yang menjadi topik di meja makannya pagi tadi.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." jawab Akbar, Ardi dan Fiki hampir serentak.
Ardi menepuk bahu Akmal segera "Datang juga antum Mal. Ada yang mau kita diskusikan"
Alis Akmal terangkat. "Mengenai?"
"Kajian minggu ini." Cicit Fiki. Yang langsung dilanjutkan dengan penjelasan Ardi. "Ternyata Mal, antusiasme mustami' itu luar biasa. Promosi kita ke sekolah-sekolah ternyata berhasil." Ardi menjeda sembari membenarkan kacamatanya. "Masalahnya, dana yang kita siapkan tidak sesuai dengan perkiraan. Karena kepake.. gara-gara masalah itu ." papar Ardi, sengaja menekan kata 'Itu'
Akmal mengangguk, masih memproses jawaban yang akan ia katakan. "Gimana kalo gini, pematerinya kita pilih salah satu dari kita?"
"Gue juga mikir kaya gitu." potong Fiki.
"Itupun kalo paitnya kita gak dapet pemateri lain, sukur sukur kalo ada." Akbar berpendapat.
"Iya" Akmal mengangguk samar, setuju. "Dan kalo gak salah, bukannya dua kakak lo juga pembicara yang hebat?" tanya Akmal, menatap Akbar.
"Ya." Akbar mengangguk ragu. Ia langsung paham maksud pertanyaan Akmal.
"Kenapa gak coba tanya salah satu mereka? Siapa tau mereka punya waktu senggang di tanggal itu."
"Boleh. Gue coba" Akbar mengangguk, satu satunya yang terpikir saat itu hanya Agni. Hafidz? kakak sulungnya itu pasti akan membuat masalah dengannya terlebih dahulu bahkan jika kemudian akan setuju.
"Kalo gitu masalahnya terjawab. Tinggal nunggu jawaban dari kakaknya Akbar." ujar Fiki lega.
"Kalo bisa secepatnya kabarin. Supaya masih sempet cari pemateri lain." Tambah Ardi.
Akmal mengangguk setuju, begitupun Fiki. Sedangkan Akbar masih akan membuka mulutnya. Ini aneh, ia yakin bukan Akmal teman dihadapannya ini yang dimaksud ibunya tadi. Tapi rasa penasaran begitu saja mengganggunya.
"Ada satu lagi Mal. Ini agak pribadi."
Ketiganya spontan menatap Akbar, tanpa sadar alis mereka terangkat menunjukan rasa penasaran. Pribadi?
"Katakan!"
Sementara ketiganya penasaran, Akbar untuk sejenak ragu. Berpikir entah ia harus bertanya atau ia harus urungkan. "Itu.." Akbar menjeda. "Apa lo berencana untuk nikah muda?" tanya Akbar serius, namun jelas memantik tawa dari Fiki dan Ardi. Keduanya tak menyangka jika pertanyaan 'pribadi' seperti itu yang Akbar maksud.
"Lo udah kaya cowok yang lagi pdkt sama ukhti tau gak!" ledek Fiki disela tawanya.
Akbar mengendik tak peduli, setidaknya pertanyaan itu berhasil ia katakan.
"Jangan bilang lo tertarik sama Akmal. Hii.." Fiki bergidik, tampak bersemangat menganggu temannya itu.
"Naudzubillah!" Akbar melotot. "Istighfar lo Ki!" ucapnya, sambil menoyor kepala Fiki. "Gue serius juga."
Seseorang yang ditanya justru tersenyum. "Gue gak punya target. Kalo ketemu jodohnya sekarang, ya kenapa tidak?"
"Artinya, lo gak lagi dijodohin kan?" sambar Akbar, yang lagi lagi membuat Fiki dan Ardi curiga.
"Masya Allah! Jangan bilang ente lagi cari suami buat mbak Agni." Seloroh Ardi.
"Kalo bener, gue juga siap jadi kakak ipar lo." Sambar Fiki, dan berhasil membuat Akbar merasa tak terima. Spontan menoyor kembali kepala Fiki.
"Gue yang gak siap."
.
.
.
.
Tok Tok Tok
Agnia mendongak dari kesibukannya dengan layar laptop kala ketukan pintu terdengar. "Siapa?"
"Aku"
"Oh! Akbar." Agnia kembali menatap layar laptopnya, setelah mengenali suara adiknya itu. "Masuk De!"
Ceklek
"Lagi ngapain mbak?" tanya Akbar pada Agnia, suaranya lebih dulu masuk baru kemudian tubuhnya muncul dari balik pintu.
"Menyelesaikan tulisan." singkat Agnia, tanpa menoleh. Terfokus pada ketikannya, mencurahkan semua yang terlintas di kepala. Dengan nyaman duduk di kursi bersidekap pada meja, hingga tak sadar jika Akbar tak biasanya lebih sopan padanya.
Bahkan mengetuk pintu? Akbar biasanya masuk saja bahkan tanpa diijinkan.
Helaan napas Akbar terdengar jelas, membuat Agnia sejenak menoleh. Dilihatnya Akbar sudah terlentang nyaman di kasur rapihnya. "Itu mengganggu. Hey!"
"Apanya?" tanya Akbar malas.
"Helaan napas kamu." jawab Agnia. Kembali menatap Adiknya, kini lebih lama.
Namun disindir begitu tak membuat Akbar langsung mengatakan keluh kesahnya, membuat Agnia menghela. "Masalah apa sekarang?" tanyanya, tau sekali maksud kedatangan sang adik.
Agnia memang sangat peka, Akbar langsung mengganti posisi tidurnya menjadi duduk bersila demi pertanyaan itu. "Aku ada masalah mbak."
"Ya apa?" Agnia mendecak, kenapa adiknya ini tiba-tiba berbelit. Ia malas jika apa yang ingin dikatakan Akbar saat ini sangatlah tidak penting.
"Jangan berbelit kaya cewe deh." ujar Agnia, yang sukses membuat Akbar urung bicara. Ia jadi berpikir apakah ia memang suka berbelit seperti perempuan?
"Cepet! Ngomong apa? Mbak kasih waktu lima menit"
"Soal kajian." ucap Akbar segera, yang Agnia pikir masih akan ada kalimat lanjutannya.
"Terus?" tanya Agnia, "yang jelas dong kalo nanya atau cerita itu! Jelasin!" gemas Agnia.
"Tadi katanya jangan berbelit." Akbar berkata santai.
Agnia menatap Akbar gemas. Bukan seperti itu cara kerjanya dek! Demikian terjemah dari tatapan Agnia. "Akbar!"
Cukup dengan peringatan kecil dari Agnia disertai pelototan sudah cukup untuk membuat Akbar nyengir. "Maaf mbak. Becanda"
Agnia mengendik, Akbar hanya datang untuk mengganggu. Pikirnya. "Jadi apa masalahnya?" tanya Agnia lagi. Kini kembali ke layar laptop miliknya. Kali ini untuk menyimpan semua bentuk tulisannya. Selama ada Akbar pekerjaannya tidak akan menjadi cepat. Ia hanya harus sesegera mungkin memecahkan masalah Akbar supaya si pengalih itu segera pergi.
"Kira-kira Mbak bisa gak jadi pemateri kajian minggu ini?"
"Loh?!" Agnia mengernyit. Memutar tubuhnya, menghadap Akbar. "Kenapa Mbak?"
"Budget."
"Budget?" Agnia terkekeh. "Organisasi kalian bangkrut atau dana nya gak ngalir?"
"Semuanya aman Mbak. Cuman salah satu anggota kita terlibat kecelakaan waktu sosialisasi. Dia harus tanggung jawab, dan organisasi yang bayar." jelas Akbar.
Anggukan samar ditunjukan Agnia. Ia juga aktif berorganisasi dulu, baik di sekolah maupun kampus. Ia mengerti hal itu bisa saja terjadi. "Boleh."
"Hah?!" Akbar sedikit tak percaya, semudah itu menanyakan kesanggupan Agnia? Tau begini harusnya sejak awal ia berlari pada Agnia dari pada berpusing pusing memikirkan budget.
"Iya. Atur aja. Tapi tolong pergi! Mbak sibuk." ucap Agnia santai.
"Beneran Mbak? Aku kabarin temen temenku ya?"
"Beneran. Sana pergi."
Akbar menjadi riang. "Makasih mbak. Mbak memang best!"
Agnia menggeleng takjub, melirik jam dinding. Untuk beberapa menit Akbar menyianyiakan waktu berharganya. Sekarang sudah pukul delapan malam.
...
Akbar merentangkan tubuhnya diatas ranjang. Kini masalah pemateri itu selesai, lega sekali ia rasa. Agenda akan berjalan seperti biasanya berkat kesiapan Agnia. Tak bisa diungkapkan lega hatinya kini. Memang benar, yang dengan sepenuh hati dibangun, pasti menyedot tenaga sepenuh jiwa.
Tapi yang pasti, sesuatu yang dibangun sepenuh hati tidak akan selalu mudah dan berhasil. Hingga keberhasilan selepas kesulitannya pun, begitu memabukkan. Kebahagiannya memenuhi sepenuh hati dan jiwa.
Ada satu hal yang masih menggantung di pikirannya. Ia masih khawatir jika Akmal yang dimaksud sang Ibu adalah Akmal sama yang ia kenal. Bukan karena ia melihat Akmal tidak baik, hanya saja segala tentang Agnia membuatnya selalu penuh pertimbangan.
Siapapun itu, yang menjadi pendamping Agnia nanti. ia hanya berharap seseorang terbaik. Itu saja. namun jika itu pria seusianya, ia juga ikut khawatir.
Akbar menggeleng, membebaskan pikirannya dari memikirkan hal yang ia takuti, kini ia harus fokus pada kajian di depan mata yang sebelumnya membuat ia begitu khawatir dan ingin mengakhiri itu. kini berganti menjadi semangat baru.
Ada yang tidak Akbar sadari, bahwa jalan hidup luar biasa bagi Agni akan terjadi setelah kajian dimulai. Entah ia ataupun Agni suka atau tidak, takdir yang seharusnya terjadi akan menemui jalannya.
Tunggu saja, pertemuan pertama akan terjadi. Jika Akmal yang dimaksud Khopipah sama dengan Akmal yang adalah teman Akbar, maka bisa saja pertemuan Akmal dan Agni nanti akan menciptakan kenangan tersendiri
13 Juli 2022
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 203 Episodes
Comments