Bintang Untuk Bumi
Najma menangis sesenggukan di dalam mobil Ustadz Adhim, sore itu ia diantarkan pulang oleh Ustadz Adhim dan Ustadzah Qonita pulang ke rumahnya. Ditemani Humaira teman sekamarnya. Masih belum percaya, siang tadi dikabarkan kedua orangtuanya meninggal karena kecelakaan dalam perjalanan mereka menuju pondok pesantren untuk menjenguknya.
Humaira mengelus lengan Najma, berharap temannya itu berkurang sedihnya.
"Sabar ya Ama, ini pasti sangat berat untukmu, tapi ini sudah kehendak Allah, kita hanya beristirja, innalillahi wainnailaihi roojiun, semuanya dari Allah dan akan kembali pada Allah," ucap Ustadzah Qonita.
"Iya Ustadzah," lirih Najma.
Jenazah kedua orangtuanya disemayamkan di rumah tantenya--adik ibunya, karena rumah mereka ada di kawasan pertokoan pusat kota, hingga di khawatirkan membuat kemacetan jalan di sana.
Ibunya Najma seorang penjahit wanita yang sudah banyak pelanggannya, dan hari itu beliau telah selesai mengantarkan jahitan gaun terakhir kepada pelanggannya. Sedangkan ayah Najma seorang kepala sekolah sebuah SMA negeri di kotanya. Dia adalah anak tunggal, jadi sekarang Najma sendirian, hanya ada tante dan om nya yang tinggal agak jauh dari rumah toko mereka.
Ustadz Adhim memarkirkan mobilnya di jalan depan rumah tantenya Najma. Mereka kemudian masuk bersama-sama.
Di halaman penuh pelayat dari tetangga sekitar, teman-teman ayah juga pelanggan ibunya, dan pemilik toko sekitar toko mereka. Banyak juga karangan bunga ucapan duka cita dari teman dan kerabat mereka.
Najma bersalaman dengan tantenya.
"Amaa... sabar ya Nak," ucap tante Samira. Najma hanya mengangguk, belum bisa bicara.
Sesampainya di dalam, Najma bersimpuh dan berdoa, mendoakan kedua orangtuanya.
'Aku harus jadi anak yang sholiha, sekarang hanya aku harapan kedua orang tuaku, untuk memohonkan ampun atas salah dan khilaf mereka, karena doa anak sholih/sholiha yang in syaa Allah dikabulkan Allah,' batin Najma.
"Ama, sekarang sebagai baktimu yang terakhir di depan kedua orangtuamu, kita sholatkan mereka," ucap Ustadz Adhim. Lagi-lagi Najma hanya mengangguk.
Ustadz Adhim sendiri memimpin sholat jenazah itu. Kemudian, malam itu juga jenazah keduanya dimakamkan.
"Ama, kamu boleh di sini dulu beberapa hari, in syaa Allah akan kami jemput kembali ke pesantren, kurang sebentar lagi kamu selesai, sayang kalau berhenti sekarang," ucap Ustadzah Qonita ketika selesai pemakaman, karena tadi tante Samira bilang Najma mau berhenti.
"Oh itu," ucap Najma terhenti.
"Pelan-pelan saja, kalau siap kembali hubungi saja saya, in syaa Allah kami jemput, ini ponsel kamu saya kembalikan, nanti kalau masuk pesantren, kembalikan ke saya lagi ya," ucap Ustadzah Qonita sambil menyerahkan ponsel Najma. Memang peraturan di sana kalau masuk di pesantren ponsel mereka dititipkan sementara ke kantor pesantren.
"Baik Ustadzah," sahut Najma.
"Kalau begitu, kami pamit kembali ke pesantren ya," pungkas Ustadzah Qonita, mereka bertiga--bersama humaira kembali ke pesantren.
Untuk sementara Najma tinggal bersama tante dan om nya, juga sepupunya Syila yang sebaya dengannya atau kelas 3 SMA.
"Ma, kenapa sih tokonya tante gak kita pakai atau disewakan aja, kan lumayan Ma," ucap Syila sepupu Najma.
"Jangan Syil, masih ada banyak kenangan Ayah Ibuku di toko itu, nanti kalau aku selesai belajar dari pesantren, akan aku tempati sendiri," sahut Najma.
"Iya terserah deh," ucap Syila seakan tak peduli dengan keberadaan Najma.
Selama lima hari di sana, Najma sudah tidak betah tinggal di sana, pasalnya Syila selalu menyetel musik keras-keras di kamarnya, sampai terdengar dari kamar Najma di sebelahnya, sehingga dia tidak bisa belajar atau menambah hafalan Al Quran nya. Sudah Najma minta baik-baik untuk mengecilkan volume musiknya, namun Syila tak menghiraukannya. Dia sengaja seperti itu agar Najma cepat keluar dari rumahnya.
'Tunggu sebentar lagi Ama, sabar sebentar lagi, setelah mengurus administrasi dan juga dana pensiun Ayah, aku akan kembali ke pesantren lagi,' batin Najma menyemangati dirinya.
Najma masih berusia 18 tahun, jadi dia masih berhak menerima tunjangan pensiun ayahnya sampai usia 25 tahun.
Setelah selesai mengurus administrasi dan dana pensiun ayahnya, Najma kembali ke pesantren. Dia berangkat sendiri naik bus, karena tidak ingin merepotkan Ustadz dan Ustadzah yang sebenarnya ingin menjemput Najma. Sebenarnya Najma sudah meminta om dan tantenya mengantarkannya, namun om nya menolak karena ada pekerjaan lain katanya. 'Bismillah saja, berangkat sendiri naik bis,' batin Najma.
Setelah tiga jam perjalanan akhirnya dia sampai ke pondok pesantrennya. Najma langsung menuju ke kediaman Ustadz Adhim untuk melapor dan menitipkan ponselnya.
"Assalamualaikum," sapa Najma yang sudah berdiri di depan pintu rumah Ustadz Adhim.
"Waalaikumusalam," jawab Ustadzah Qonita yang segere keluar menemui Najma.
"Ama, kamu kok sudah sampai sini, gak kabarin saya dulu," ucap Ustadzah Qonita yang terkejut melihat Najma di depan pintu.
"Ndak papa Ust, saya takut ngerepotin,"
"Gak papa sebenarnya, ya udah kita langsung ke kamar kamu aja, pasti capek, istirahat dulu,"
"Iya Ust, ini ponsel saya," ucap Najma sambil menyerahkan ponselnya. Dan dia segera berjalan menuju kamarnya diantar Ustadzah Qonita.
Dari dalam ruang tamu, ternyata ada segerombolan dokter residen dari Rumah Sakit kota yang akan melakukan baksos di pesantren itu.
"Itu santri di sini juga?" tanya Dokter Ardi yang melihat gadis bercadar berjalan ke arah asrama.
"Iya santri di sini, baru kembali dari rumahnya," sahut Ustadz Adhim yang menyambut para dokter itu.
"Memang bisa sewaktu-waktu pulangnya?" tanya dokter Nita.
"Tidak bisa, hanya musim liburan, tapi dia ada udzur, orang tuanya baru meninggal pekan lalu, dan hari ini dia baru kembali," ucap Ustadz Adhim.
"Oh iya, tadi siapa saja ya namanya saya lupa?"
Kemudian para dokter itu bergantian berkenalan.
"Oh iya, saya dokter Nita residen spesialis kulit,"
"Saya dokter Amy residen spesialis penyakit dalam,"
"Saya dokter Rahma residen spesialis bedah umum,"
"Saya dokter Yudha spesialis rehab medik,"
"Kalau yang ini Dokter Ardi kan? Ambil spesialis apa Dok?" tanya Ustadz Adhim.
"Saya residen spesialis bedah syaraf,"
"Yang paling senior itu ustadz," tukas Yudha.
"Apaan sih," gerutu Ardi.
"Iya kah?" tanya Ustadz Adhim.
"Iya Ustadz, kalau spesialis bedah syaraf memang paling lama belajarnya, sepuluh tahun sejak masuk sekolah kedokteran," sahut Ardi.
"Kenapa gak ambil spesialis yang bisa cepat pendidikannya?" tanya Ustadz.
"Iya ya, tapi di kota asal saya belum ada dokter spesialis bedah syaraf, jadi ingin kembali dsn mengabdi di kota asal," jawab Ardi.
"Oh, ma syaa Allah,"
" Jadi yang perlu diperhatikan, karena di sini pesantren perempuan, jadi yang diizinkan memeriksa santri dan Ustadzah hanya dokter perempuan, dokter laki-laki bisa bantu administrasi atau sekedar menyerahkan obat,"
"Baik, siap Ustadz,"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 129 Episodes
Comments
Mukmini Salasiyanti
Assalamu'alaikum
nyimak ya thor
2024-02-15
0
༄👑💗e¢¢e ρтħš αямч💗👑࿐
jadi penasaran salah satu dari dokter yg mana takdir Najwa
2022-09-13
1
༄👑💗e¢¢e ρтħš αямч💗👑࿐
Suka ceritanya Awal yg menarik
2022-09-13
0