Najma menangis sesenggukan di dalam mobil Ustadz Adhim, sore itu ia diantarkan pulang oleh Ustadz Adhim dan Ustadzah Qonita pulang ke rumahnya. Ditemani Humaira teman sekamarnya. Masih belum percaya, siang tadi dikabarkan kedua orangtuanya meninggal karena kecelakaan dalam perjalanan mereka menuju pondok pesantren untuk menjenguknya.
Humaira mengelus lengan Najma, berharap temannya itu berkurang sedihnya.
"Sabar ya Ama, ini pasti sangat berat untukmu, tapi ini sudah kehendak Allah, kita hanya beristirja, innalillahi wainnailaihi roojiun, semuanya dari Allah dan akan kembali pada Allah," ucap Ustadzah Qonita.
"Iya Ustadzah," lirih Najma.
Jenazah kedua orangtuanya disemayamkan di rumah tantenya--adik ibunya, karena rumah mereka ada di kawasan pertokoan pusat kota, hingga di khawatirkan membuat kemacetan jalan di sana.
Ibunya Najma seorang penjahit wanita yang sudah banyak pelanggannya, dan hari itu beliau telah selesai mengantarkan jahitan gaun terakhir kepada pelanggannya. Sedangkan ayah Najma seorang kepala sekolah sebuah SMA negeri di kotanya. Dia adalah anak tunggal, jadi sekarang Najma sendirian, hanya ada tante dan om nya yang tinggal agak jauh dari rumah toko mereka.
Ustadz Adhim memarkirkan mobilnya di jalan depan rumah tantenya Najma. Mereka kemudian masuk bersama-sama.
Di halaman penuh pelayat dari tetangga sekitar, teman-teman ayah juga pelanggan ibunya, dan pemilik toko sekitar toko mereka. Banyak juga karangan bunga ucapan duka cita dari teman dan kerabat mereka.
Najma bersalaman dengan tantenya.
"Amaa... sabar ya Nak," ucap tante Samira. Najma hanya mengangguk, belum bisa bicara.
Sesampainya di dalam, Najma bersimpuh dan berdoa, mendoakan kedua orangtuanya.
'Aku harus jadi anak yang sholiha, sekarang hanya aku harapan kedua orang tuaku, untuk memohonkan ampun atas salah dan khilaf mereka, karena doa anak sholih/sholiha yang in syaa Allah dikabulkan Allah,' batin Najma.
"Ama, sekarang sebagai baktimu yang terakhir di depan kedua orangtuamu, kita sholatkan mereka," ucap Ustadz Adhim. Lagi-lagi Najma hanya mengangguk.
Ustadz Adhim sendiri memimpin sholat jenazah itu. Kemudian, malam itu juga jenazah keduanya dimakamkan.
"Ama, kamu boleh di sini dulu beberapa hari, in syaa Allah akan kami jemput kembali ke pesantren, kurang sebentar lagi kamu selesai, sayang kalau berhenti sekarang," ucap Ustadzah Qonita ketika selesai pemakaman, karena tadi tante Samira bilang Najma mau berhenti.
"Oh itu," ucap Najma terhenti.
"Pelan-pelan saja, kalau siap kembali hubungi saja saya, in syaa Allah kami jemput, ini ponsel kamu saya kembalikan, nanti kalau masuk pesantren, kembalikan ke saya lagi ya," ucap Ustadzah Qonita sambil menyerahkan ponsel Najma. Memang peraturan di sana kalau masuk di pesantren ponsel mereka dititipkan sementara ke kantor pesantren.
"Baik Ustadzah," sahut Najma.
"Kalau begitu, kami pamit kembali ke pesantren ya," pungkas Ustadzah Qonita, mereka bertiga--bersama humaira kembali ke pesantren.
Untuk sementara Najma tinggal bersama tante dan om nya, juga sepupunya Syila yang sebaya dengannya atau kelas 3 SMA.
"Ma, kenapa sih tokonya tante gak kita pakai atau disewakan aja, kan lumayan Ma," ucap Syila sepupu Najma.
"Jangan Syil, masih ada banyak kenangan Ayah Ibuku di toko itu, nanti kalau aku selesai belajar dari pesantren, akan aku tempati sendiri," sahut Najma.
"Iya terserah deh," ucap Syila seakan tak peduli dengan keberadaan Najma.
Selama lima hari di sana, Najma sudah tidak betah tinggal di sana, pasalnya Syila selalu menyetel musik keras-keras di kamarnya, sampai terdengar dari kamar Najma di sebelahnya, sehingga dia tidak bisa belajar atau menambah hafalan Al Quran nya. Sudah Najma minta baik-baik untuk mengecilkan volume musiknya, namun Syila tak menghiraukannya. Dia sengaja seperti itu agar Najma cepat keluar dari rumahnya.
'Tunggu sebentar lagi Ama, sabar sebentar lagi, setelah mengurus administrasi dan juga dana pensiun Ayah, aku akan kembali ke pesantren lagi,' batin Najma menyemangati dirinya.
Najma masih berusia 18 tahun, jadi dia masih berhak menerima tunjangan pensiun ayahnya sampai usia 25 tahun.
Setelah selesai mengurus administrasi dan dana pensiun ayahnya, Najma kembali ke pesantren. Dia berangkat sendiri naik bus, karena tidak ingin merepotkan Ustadz dan Ustadzah yang sebenarnya ingin menjemput Najma. Sebenarnya Najma sudah meminta om dan tantenya mengantarkannya, namun om nya menolak karena ada pekerjaan lain katanya. 'Bismillah saja, berangkat sendiri naik bis,' batin Najma.
Setelah tiga jam perjalanan akhirnya dia sampai ke pondok pesantrennya. Najma langsung menuju ke kediaman Ustadz Adhim untuk melapor dan menitipkan ponselnya.
"Assalamualaikum," sapa Najma yang sudah berdiri di depan pintu rumah Ustadz Adhim.
"Waalaikumusalam," jawab Ustadzah Qonita yang segere keluar menemui Najma.
"Ama, kamu kok sudah sampai sini, gak kabarin saya dulu," ucap Ustadzah Qonita yang terkejut melihat Najma di depan pintu.
"Ndak papa Ust, saya takut ngerepotin,"
"Gak papa sebenarnya, ya udah kita langsung ke kamar kamu aja, pasti capek, istirahat dulu,"
"Iya Ust, ini ponsel saya," ucap Najma sambil menyerahkan ponselnya. Dan dia segera berjalan menuju kamarnya diantar Ustadzah Qonita.
Dari dalam ruang tamu, ternyata ada segerombolan dokter residen dari Rumah Sakit kota yang akan melakukan baksos di pesantren itu.
"Itu santri di sini juga?" tanya Dokter Ardi yang melihat gadis bercadar berjalan ke arah asrama.
"Iya santri di sini, baru kembali dari rumahnya," sahut Ustadz Adhim yang menyambut para dokter itu.
"Memang bisa sewaktu-waktu pulangnya?" tanya dokter Nita.
"Tidak bisa, hanya musim liburan, tapi dia ada udzur, orang tuanya baru meninggal pekan lalu, dan hari ini dia baru kembali," ucap Ustadz Adhim.
"Oh iya, tadi siapa saja ya namanya saya lupa?"
Kemudian para dokter itu bergantian berkenalan.
"Oh iya, saya dokter Nita residen spesialis kulit,"
"Saya dokter Amy residen spesialis penyakit dalam,"
"Saya dokter Rahma residen spesialis bedah umum,"
"Saya dokter Yudha spesialis rehab medik,"
"Kalau yang ini Dokter Ardi kan? Ambil spesialis apa Dok?" tanya Ustadz Adhim.
"Saya residen spesialis bedah syaraf,"
"Yang paling senior itu ustadz," tukas Yudha.
"Apaan sih," gerutu Ardi.
"Iya kah?" tanya Ustadz Adhim.
"Iya Ustadz, kalau spesialis bedah syaraf memang paling lama belajarnya, sepuluh tahun sejak masuk sekolah kedokteran," sahut Ardi.
"Kenapa gak ambil spesialis yang bisa cepat pendidikannya?" tanya Ustadz.
"Iya ya, tapi di kota asal saya belum ada dokter spesialis bedah syaraf, jadi ingin kembali dsn mengabdi di kota asal," jawab Ardi.
"Oh, ma syaa Allah,"
" Jadi yang perlu diperhatikan, karena di sini pesantren perempuan, jadi yang diizinkan memeriksa santri dan Ustadzah hanya dokter perempuan, dokter laki-laki bisa bantu administrasi atau sekedar menyerahkan obat,"
"Baik, siap Ustadz,"
Keesokan harinya..
Hari itu diadakan baksos oleh para dokter residen yang kemarin datang. Mereka berkumpul di aula. Para dokter wanita bertugas memeriksa santriwati dan ustadzah, sedangkan dua dokter laki-laki ada di depan aula mendaftar dan membagikan obat serta vitamin.
Ardi tidak terlalu sibuk karena dia hanya mencatat nama dan tanggal lahir santriwati yang datang melakukan pemeriksaan. Di sela waktunya dia membaca kitab.
"Assalamualaikum," sapa Ustadz Adhim yang baru datang.
"Waalaikumusalam," jawab Ardi dan Yudha.
"Gimana? Lancar?" tanya Ustadz.
"Alhamdulillah, sejauh ini lancar Ustadz, karena kan mereka datangnya juga gantian, gak barengan serentak semuanya," jawab Yudha.
"Alhamdulillah, eh itu dokter baca kitab? Bisa?" tanya Ustadz sambil menunjuk kitab yang ada di tangan Ardi. Kitab itu bertuliskan Arab gundul--tanpa harokat.
"Oh ini, iya saya sekolah kedokteran sambil belajar di pesantren Ustadz, saya santrinya Ustadz Rayhan, beliau mengenal Ustadz juga katanya," jawab Ardi.
"Oh, ma syaa Allah, beliau senior saya waktu kuliah di ibukota, tapi apa ndak kesulitan belajar ilmu kedokteran sambil belajar ilmu agama dan bahasa Arab?" tanya Ustadz Adhim.
"Bukan hanya itu Ustadz, Dokter Ardi ini juga hafidz," celetuk Yudha.
"Oh ma syaa Allah, saya merasa bangga ada anak muda yang semangat belajar ilmu pengetahuan dan juga ilmu agama, bagaimana bisa termotivasi, orangtua dokter pasti bangga dengan dokter," ucap Ustadz Adhim.
Ardi hanya tersenyum.
"Di keluarga Dokter Ardi itu wajib menghafal Al Quran dari kecil Ustadz, papanya juga hafidz," seloroh Yudha.
"Wah ma syaa Allah, iya betul itu, anak harus lebih baik dari orang tuanya, sekarang papanya kerja dimana?" tanya Ustadz.
"Ngurus toko Ustadz," jawab Ardi.
"Itu tokonya bukan sekedar toko Ustadz, konveksi besar baju muslim, cabangnya ada di kota-kota besar di seluruh Indonesia," ucap Yudha.
"Apa sih Yudha," ucap Ardi sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Karena dari tadi membuat omongan jadi besar.
"Kalau dokter Yudha orang tuanya bagaimana?" tanya Ustadz Adhim.
"Papa saya Dokter, jadi saya juga disuruh jadi dokter," sahut Yudha.
"Ma syaa Allah keluarga dokter, semoga kalian semua barokah ilmunya, bisa dipakai untuk mengabdi pada negara," Ustadz Adhim kemudian meninggalkan mereka.
"Aamiin," sahut Ardi dan Yudha.
Sejenak kemudian datang dua orang santriwati.
"Assalamualaikum," sapa Najma dan Humaira.
"Waalaikumusalam," sahut Ardi dan Yudha.
"Namanya siapa Dik?" tanya Ardi.
"Humaira Izzati," sahut Humaira.
"Oh ini namanya, saya lingkari, silakan tanda tangan di sini," ucap Ardi.
"Kalau kamu siapa Dik?" tanya Ardi lagi.
"Najma Burhanuddin," sahut Najma.
"Najma.. Najmun, bintang," ucap Ardi sambil mencari-cari nama Najma di lembar pendaftaran itu.
"Nah ini ketemu, silakan tanda tangan di sini," ucap Ardi. Setelah itu keduanya--Humaira dan Najma masuk ke aula untuk pemeriksaan kesehatan.
"Mereka pasti cantik-cantik Ar, sayang dari tadi satupun gak kelihatan mukanya, ditutup cadar semua," ucap Yudha.
"Kamu sukanya yang kebuka-buka Yudha, yang kaya gitu yang bener, tertutup, memudahkan kita menjaga pandangan, biar kita cuma mandang yang halal buat kita," ucap Ardi.
.
.
Setelah diperiksa, Najma dan Humaira kembali ke kamarnya.
"Ama, dokter-dokter yang tadi ganteng banget ya, pasti senang kalau bisa menikah dengan salah satunya," ucap Humaira mulai halu.
Najma jadi teringat dokter yang tadi di pendaftaran...
'Najma..Najmun, bintang,'... teringat juga yang dikatakan dokter itu.
'Upppss, astaghfirullah kenapa jadi bayangin dokter itu, gak gak gak boleh, fokus belajar, ujian sudah dekat Ama,' batin Najma.
"Halu lagi, berlaku buat kamu aja Ra, kalau aku.. siapa yang mau juga, dokter spesialis mana yang mau nikah sama yatim piatu kaya aku," Najma lalu tertunduk.
"Yee, bercita-cita boleh lah Ma, kalau Allah sudah takdirkan mau bagaimana,"
"Ya jangan ketinggian juga ngarepnya, yang penting lelaki sholih, kalau aku lebih suka sama penghafal Al Quran juga, tapi Ra, kok kita jadi bahas suami, masih jauh Ra, yang dekat ujian akhir, belajar belajar," kata Najma.
.
.
.
Sepuluh bulan kemudian..
Hari ini adalah acara wisuda hafidzah di pondok pesantren tempat Najma belajar. Najma sudah meminta tolong agar om dan tantenya datang mendampinginya. Namun mereka bilang tidak bisa hadir dengan alasan tidak ada ongkos.
Najma memasuki aula sendirian, terbesit kesedihan di dalam dadanya ketika melihat teman-temannya ditemani orang tua mereka.
Najma kemudian duduk di kursi bersama teman-temannya, dia berada di kursi paling depan, karena tahun ini dia menjadi lulusan terbaik.
Ustadzah Qonita yang tadi melihat Najma memasuki ruangan tanpa pendamping merasa iba, ia kemudian mendekati Najma.
"Assalamualaikum Ama, kamu sendirian?"
"Waalaikumusalam Ustadzah, iya saya sendirian, tapi ga papa, di sini saya sama teman-teman semuanya," sahut Najma.
"Nanti kalau kamu dipanggil ke depan, saya boleh mendampingi kamu?" tanya Ustadzah Qonita.
Najma memandang Ustadzah Qonita, dan merasa tidak percaya akhirnya dia dapat pendamping wisuda juga.
"Benarkah Ustadzah mau menemani saya?" tanya Najma tidak percaya.
"Iya Ama in syaa Allah nanti kalau dipanggil ke depan, kamu akan saya temani,"
Dan benar ketika nama Najma dipanggil...
"Najma Burhanuddin binti Burhanuddin Hidayat rahimahullah,"
Najma berdiri, kemudian dari kursi pengajar Ustadzah Qonita berdiri, kemudian menemani Najma menerima piagam dari istri ketua yayasan, Ustadzah Rosyidah.
"Tahniah Ama, semoga ilmunya barokah," ucap Ustadzah Rosyidah sambil menyerahkan piagam dan menyalami Najma.
"Aamiin, jazaakillaahu khayran (semoga Allah membalas mu dengan kebaikan)," sahut Najma.
Acara itu berlangsung lancar, santriwati dan undangan perempuan di aula, sedangkan yang di dampingi ayahnya atau undangan laki-laki berada di ruangan lain. Begitu juga dengan sambutan dari ketua yayasan berada di ruang lain, namun diperdengarkan melalui speaker salon.
"Tahniah ya Najma, jaga selalu hafalan mu, semoga setelah ini kamu bisa sukses di luar sana," ucap Ustadzah Qonita ketika mengantar Najma kembali ke tempat duduknya.
"Aamiin, jazaakillaahu khayran Ustadzah,"
.
.
Acara wisuda itu sudah selesai. Semua santriwati yang diwisuda sudah pulang semua, tinggal adik-adik kelas mereka yang masih ada.
Najma meminta izin kepada pengurus pesantren agar dia bisa menginap satu malam lagi, karena jujur saja dia masih merasa iri dengan teman-temannya yang bisa pulang bersama orang tua mereka.
"Ma, aku balik dulu ya, in syaa Allah aku akan main ke tempatmu suatu saat," pamit Humaira teman sekamarnya sebelum dia pergi.
'Hari ini memang Ayah dan Ibu tidak bisa melihatku langsung di wisuda tahfidz ku, tapi aku berjanji akan selalu menjaga hafalanku, agar kelak nanti di akhirat bisa memakaikan mahkota yang indah untuk keduanya, karena itu janji Allah untuk orangtua yang berhasil mendidik anak mereka sebagai penghafal Al Quran,'
Najma berdiri di depan toko orang tuanya yang sudah hampir satu tahun ini tutup semenjak peristiwa kecelakaan itu.
"Ama...!!!" teriak seseorang dari toko sebelah. Najma menengok dan keluarlah seorang gadis seusia Najma yang berlari memeluk Najma.
"Ama... kamu akhirnya datang juga,"
"I...iya Mil, kamu apa kabar?" tanya Najma kepada Qumil anak pemilik toko baju muslim di sebelah toko orang tua Najma.
"Baik, kamu udah selesai mondok nya?" tanya Qumil.
"Iya, sudah, kemarin baru wisuda, eh kamu sibuk gak Mil?" tanya Najma.
"Ehm, gak juga, ada Ayah yang ngawasin," sahut Qumil.
"Temenin aku sebentar yuk Mil, aku masih sedih kalau ingat ayah ibuku rahimahumullah," pinta Najma.
"Iya iya, yuk aku bantu bawain tas kamu,"
Mereka segera masuk kedalam setelah membuka rolling door depan. Najma melihat semuanya masih sama ketika dia pergi setelah liburan pesantren terakhir kali. Namun sangat berdebu karena hampir setahun tidak dijamah.
Di sebelah kiri terdapat mesin jahit yang biasa ibunya menjahit pakaian pelanggannya di sana, di sebelah kanan terdapat sofa yang biasa ayah membantu ibu melayani pelanggan. Tak terasa air mata Najma menetes. Kemudian mereka melewati tangga dan naik ke atas menuju rumah tinggal mereka.
"Hatchu... hatchu....!!!" Qumil bersin-bersin.
"Berdebu banget Ma, kita butuh bantuan orang buat bersihin ini semua," ucap Qumil sambil menggosok-gosok hidungnya.
"Iya nih,kalau aku sendirian bisa lama bersihinnya,"
"Sebentar aku pulang tanya ayah dulu ya boleh gak mbak nya aku pinjam satu buat bantuin kita bersih-bersih," ucap Qumil.
"Iya, aku kasih uang lembur deh Mbaknya," Najma setuju. Qumil segera berlari pulang dan meminta ayahnya untuk meminjamkan salah satu pegawainya agar membantu mereka membersihkan toko dan rumah. Ayahnya pun setuju, dan dibawalah Mba Rosna untuk membantu mereka.
"Mba Rosna sama Qumil tolong bersihkan bagian bawah, saya bersihkan bagian atas," ucap Najma.
"Baik Mba," sahut Mba Rosna. Mereka segera membersihkan bagian mereka.
Agar nyaman Najma berganti pakaian gamisnya dengan daster kaos selutut, lalu mencepol rambutnya ke atas. Ia membersihkan kamar tidur orang tuanya dan merubahnya menjadi ruang tv karena langsung terhubung dengan balkon depan, kemudian kamarnya juga ia bersihkan. Di sebelah kamarnya ada dapur kecil dan ruang mencuci dan menjemur baju.
Pukul tiga sore, akhirnya mereka selesai membersihkan semuanya selesai dibersihkan setelah jeda tadi siang untuk makan dan sholat dhuhur.
"Mba Rosna makasih banyak, ini ada sedikit uang lembur," ucap Najma.
"Sama-sama Mba, makasih juga udah dikasih uang lembur," ucap Rosna yang sudah kenal lama juga dengan keluarga Najma, kemudian Rosna kembali ke toko ayah Qumil.
"Mil, ini juga buat kamu," Najma memberikan selembar uang seratus ribuan.
"Eh jangan- jangan, ini simpan aja buat modal usahamu dulu, nanti kalau sudah sukses bisa traktir aku makan enak,"
"Serius kamu?"
"Iya, pakai dulu aja Ama, aku tahu kamu butuh banyak uang untuk usaha, tapi kamu mau usaha apa ini? Mau nerusin jahitan ibumu?" tanya Qumil.
"Aku gak bisa jahit baju Mil, atau aku sewain aja ya tokonya, di jalan ini pasarannya lumayan tinggi, tapi aku mau tinggal dimana? Kerja ikut orang juga kerja apa, ijazahku cuma paket c (setara SMA), lagian siapa juga yang mau mempekerjakan wanita bercadar," gumam Najma.
"Kita turun dulu yuk, kita lihat-lihat di bawah, kali aja ada yang bisa kamu kerjain," Qumil memberi saran.
"Iya, kamu duluan Mil, aku ganti baju dulu,"
Qumil turun menuju toko duluan, Najma segera mengganti bajunya dengan gamis dan jilbab lebarnya.
Sewaktu turun melewati tangga, Najma teringat di kamar sebelah tangga, di sana ibu biasanya menyimpan perca-perca kain sisa jahitan.
"Mil Mil sini Mil," panggil Najma, Qumil segera mengikuti Najma ke ruangan di belakang toko, Najma membuka pintunya dan menyalakan lampu, dan...
"Haaa ma syaa Allah," ucap Najma melihat berkarung-karung kain perca di depannya.
"Mau dibikin apa kain bekas ini? Laku dijual?" tanya Qumil.
Najma segera mengambil ponsel di sakunya, dan mencari gambar yang ia maksud.
"Nah, kaya gini nih Mil," Najma memperlihatkan gambar beberapa barang yang terbuat dari kain perca, misal tas, sarung bantal, taplak meja.
"Ooo,," Qumil bersin oh ria.
"Ini namanya patch work," imbuh Najma.
"Kalau jahit ginian aku juga bisa, yuk bantuin keluarin satu," Najma dan Qumil kemudian menggotong satu karung perca dan membawanya ke tempat jahit.
"Kalau mau buka toko harus punya stok barang buat dijual, nah satu pekan ini aku mau bikin stoknya dulu, habis itu baru bisa bikin toko," ucap Najma bersemangat sambil membuka karung itu di lantai.
"Okelah, tapi maaf aku gak bisa bantuin, aku mau pulang sebentar ya, gerah mau mandi dulu, nanti malam aku balik lagi,"
Najma berdiri, dan meraih kedua tangan Qumil, temannya dari kecil.
"Iya temanku yang baik ma syaa Allah, Qumil laila illa qalila, terima kasih sudah bantuin dari tadi," ucap Najma. Qumil pun kembali ke toko ayahnya. Dan Najma kembali jahit menjahit, membuat beraneka macam kreasi perca yang layak jual.
Mulai dari cempal panci yang lucu-lucu, sarung bantal sofa, taplak meja, hingga dompet kecil.
"Assalamualaikum," sapa Qumil yang tiba-tiba sudah datang.
"Waalaikumusalam, lhoh kok sudah datang Mil," sahut Najma.
"Heh, lihat tuh jam nya, udah jam sembilan, baru tutup toko ayah,"
Najma menengok ke arah jam dinding, dan iya ternyata sudah jam sembilan lebih, karena dia dari tadi asyik bebikin ini itu, hanya istirahat untuk sholat, sampai lupa waktu.
"Apa tuh?" tanya Najma yang melihat Qumil membawa kresek berisi sesuatu.
"Nasgor pak Min, kamu belum makan kan, ini dibeliin ibu tadi," sahut Qumil yang mengeluarkan dua bungkusan nasi goreng dan meletakkannya di atas meja, Najma segera ke dapur belakang untuk mengambil sendok dan air minum.
"Wah aku jadi malu Mil sama ayah ibu, aku belum ke sana sama sekali," ucap Najma sambil membuka bungkusan nasi goreng kesukaannya.
"Iya ga papa Ama, aku udah bilang, kamu masih sibuk," sahut Qumil yang mulai menikmati makanan di hadapannya itu.
"Hmm, ma syaa Allah wangi dan enak, masih pake api arang masaknya?" tanya Najma yang memang sudah lama tidak makan nasi goreng itu.
"Ya iyalah, makanya sedap kan nasi gorengnya,"
"Eh Mil, tokonya kaya nya harus sedikit diubah deh, biar lebih kekinian, tapi juga aku tidak mau mengubah otentiknya," ucap Najma mengutarakan yang ada di pikirannya.
"Iya, besok kita tanya ayah, tukang dekor toko kenalannya," sahut Qumil.
"Oke, kamu jadi tidur sini kan??" tanya Najma.
"Iya, aku tidur sini Ama,"
Begitulah mereka, makan malam sambil mengobrol, hingga melanjutkan membuat stok jualan dan ketiduran.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!