Keesokan harinya..
Hari itu diadakan baksos oleh para dokter residen yang kemarin datang. Mereka berkumpul di aula. Para dokter wanita bertugas memeriksa santriwati dan ustadzah, sedangkan dua dokter laki-laki ada di depan aula mendaftar dan membagikan obat serta vitamin.
Ardi tidak terlalu sibuk karena dia hanya mencatat nama dan tanggal lahir santriwati yang datang melakukan pemeriksaan. Di sela waktunya dia membaca kitab.
"Assalamualaikum," sapa Ustadz Adhim yang baru datang.
"Waalaikumusalam," jawab Ardi dan Yudha.
"Gimana? Lancar?" tanya Ustadz.
"Alhamdulillah, sejauh ini lancar Ustadz, karena kan mereka datangnya juga gantian, gak barengan serentak semuanya," jawab Yudha.
"Alhamdulillah, eh itu dokter baca kitab? Bisa?" tanya Ustadz sambil menunjuk kitab yang ada di tangan Ardi. Kitab itu bertuliskan Arab gundul--tanpa harokat.
"Oh ini, iya saya sekolah kedokteran sambil belajar di pesantren Ustadz, saya santrinya Ustadz Rayhan, beliau mengenal Ustadz juga katanya," jawab Ardi.
"Oh, ma syaa Allah, beliau senior saya waktu kuliah di ibukota, tapi apa ndak kesulitan belajar ilmu kedokteran sambil belajar ilmu agama dan bahasa Arab?" tanya Ustadz Adhim.
"Bukan hanya itu Ustadz, Dokter Ardi ini juga hafidz," celetuk Yudha.
"Oh ma syaa Allah, saya merasa bangga ada anak muda yang semangat belajar ilmu pengetahuan dan juga ilmu agama, bagaimana bisa termotivasi, orangtua dokter pasti bangga dengan dokter," ucap Ustadz Adhim.
Ardi hanya tersenyum.
"Di keluarga Dokter Ardi itu wajib menghafal Al Quran dari kecil Ustadz, papanya juga hafidz," seloroh Yudha.
"Wah ma syaa Allah, iya betul itu, anak harus lebih baik dari orang tuanya, sekarang papanya kerja dimana?" tanya Ustadz.
"Ngurus toko Ustadz," jawab Ardi.
"Itu tokonya bukan sekedar toko Ustadz, konveksi besar baju muslim, cabangnya ada di kota-kota besar di seluruh Indonesia," ucap Yudha.
"Apa sih Yudha," ucap Ardi sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Karena dari tadi membuat omongan jadi besar.
"Kalau dokter Yudha orang tuanya bagaimana?" tanya Ustadz Adhim.
"Papa saya Dokter, jadi saya juga disuruh jadi dokter," sahut Yudha.
"Ma syaa Allah keluarga dokter, semoga kalian semua barokah ilmunya, bisa dipakai untuk mengabdi pada negara," Ustadz Adhim kemudian meninggalkan mereka.
"Aamiin," sahut Ardi dan Yudha.
Sejenak kemudian datang dua orang santriwati.
"Assalamualaikum," sapa Najma dan Humaira.
"Waalaikumusalam," sahut Ardi dan Yudha.
"Namanya siapa Dik?" tanya Ardi.
"Humaira Izzati," sahut Humaira.
"Oh ini namanya, saya lingkari, silakan tanda tangan di sini," ucap Ardi.
"Kalau kamu siapa Dik?" tanya Ardi lagi.
"Najma Burhanuddin," sahut Najma.
"Najma.. Najmun, bintang," ucap Ardi sambil mencari-cari nama Najma di lembar pendaftaran itu.
"Nah ini ketemu, silakan tanda tangan di sini," ucap Ardi. Setelah itu keduanya--Humaira dan Najma masuk ke aula untuk pemeriksaan kesehatan.
"Mereka pasti cantik-cantik Ar, sayang dari tadi satupun gak kelihatan mukanya, ditutup cadar semua," ucap Yudha.
"Kamu sukanya yang kebuka-buka Yudha, yang kaya gitu yang bener, tertutup, memudahkan kita menjaga pandangan, biar kita cuma mandang yang halal buat kita," ucap Ardi.
.
.
Setelah diperiksa, Najma dan Humaira kembali ke kamarnya.
"Ama, dokter-dokter yang tadi ganteng banget ya, pasti senang kalau bisa menikah dengan salah satunya," ucap Humaira mulai halu.
Najma jadi teringat dokter yang tadi di pendaftaran...
'Najma..Najmun, bintang,'... teringat juga yang dikatakan dokter itu.
'Upppss, astaghfirullah kenapa jadi bayangin dokter itu, gak gak gak boleh, fokus belajar, ujian sudah dekat Ama,' batin Najma.
"Halu lagi, berlaku buat kamu aja Ra, kalau aku.. siapa yang mau juga, dokter spesialis mana yang mau nikah sama yatim piatu kaya aku," Najma lalu tertunduk.
"Yee, bercita-cita boleh lah Ma, kalau Allah sudah takdirkan mau bagaimana,"
"Ya jangan ketinggian juga ngarepnya, yang penting lelaki sholih, kalau aku lebih suka sama penghafal Al Quran juga, tapi Ra, kok kita jadi bahas suami, masih jauh Ra, yang dekat ujian akhir, belajar belajar," kata Najma.
.
.
.
Sepuluh bulan kemudian..
Hari ini adalah acara wisuda hafidzah di pondok pesantren tempat Najma belajar. Najma sudah meminta tolong agar om dan tantenya datang mendampinginya. Namun mereka bilang tidak bisa hadir dengan alasan tidak ada ongkos.
Najma memasuki aula sendirian, terbesit kesedihan di dalam dadanya ketika melihat teman-temannya ditemani orang tua mereka.
Najma kemudian duduk di kursi bersama teman-temannya, dia berada di kursi paling depan, karena tahun ini dia menjadi lulusan terbaik.
Ustadzah Qonita yang tadi melihat Najma memasuki ruangan tanpa pendamping merasa iba, ia kemudian mendekati Najma.
"Assalamualaikum Ama, kamu sendirian?"
"Waalaikumusalam Ustadzah, iya saya sendirian, tapi ga papa, di sini saya sama teman-teman semuanya," sahut Najma.
"Nanti kalau kamu dipanggil ke depan, saya boleh mendampingi kamu?" tanya Ustadzah Qonita.
Najma memandang Ustadzah Qonita, dan merasa tidak percaya akhirnya dia dapat pendamping wisuda juga.
"Benarkah Ustadzah mau menemani saya?" tanya Najma tidak percaya.
"Iya Ama in syaa Allah nanti kalau dipanggil ke depan, kamu akan saya temani,"
Dan benar ketika nama Najma dipanggil...
"Najma Burhanuddin binti Burhanuddin Hidayat rahimahullah,"
Najma berdiri, kemudian dari kursi pengajar Ustadzah Qonita berdiri, kemudian menemani Najma menerima piagam dari istri ketua yayasan, Ustadzah Rosyidah.
"Tahniah Ama, semoga ilmunya barokah," ucap Ustadzah Rosyidah sambil menyerahkan piagam dan menyalami Najma.
"Aamiin, jazaakillaahu khayran (semoga Allah membalas mu dengan kebaikan)," sahut Najma.
Acara itu berlangsung lancar, santriwati dan undangan perempuan di aula, sedangkan yang di dampingi ayahnya atau undangan laki-laki berada di ruangan lain. Begitu juga dengan sambutan dari ketua yayasan berada di ruang lain, namun diperdengarkan melalui speaker salon.
"Tahniah ya Najma, jaga selalu hafalan mu, semoga setelah ini kamu bisa sukses di luar sana," ucap Ustadzah Qonita ketika mengantar Najma kembali ke tempat duduknya.
"Aamiin, jazaakillaahu khayran Ustadzah,"
.
.
Acara wisuda itu sudah selesai. Semua santriwati yang diwisuda sudah pulang semua, tinggal adik-adik kelas mereka yang masih ada.
Najma meminta izin kepada pengurus pesantren agar dia bisa menginap satu malam lagi, karena jujur saja dia masih merasa iri dengan teman-temannya yang bisa pulang bersama orang tua mereka.
"Ma, aku balik dulu ya, in syaa Allah aku akan main ke tempatmu suatu saat," pamit Humaira teman sekamarnya sebelum dia pergi.
'Hari ini memang Ayah dan Ibu tidak bisa melihatku langsung di wisuda tahfidz ku, tapi aku berjanji akan selalu menjaga hafalanku, agar kelak nanti di akhirat bisa memakaikan mahkota yang indah untuk keduanya, karena itu janji Allah untuk orangtua yang berhasil mendidik anak mereka sebagai penghafal Al Quran,'
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 129 Episodes
Comments
Mukmini Salasiyanti
aaa
meweeekkkkkkk
2024-02-15
0
༄👑💗e¢¢e ρтħš αямч💗👑࿐
jadi terharu baca part ini😢
2022-09-13
1
༄👑💗e¢¢e ρтħš αямч💗👑࿐
Yg ditanya siapa yg jawab siapa 🤭
2022-09-13
0