"Drrt... drrrt..." ponsel di saku Ardi bergetar. Rupanya mamanya yang menelpon.
"Assalamualaikum Ma," sapa Ardi.
"Waalaikumusalam sayang, kamu lagi dimana?" tanya Mama.
"Lagi di kamar, ada apa Ma?"
"Kamu kapan pulang? Ini dokter Mirza dah nanyain, kapan kamu mulai masuk, dokter Yudha aja udah masuk,"
"Iya Ma, in syaa Allah pekan depan ya, ga ada yang bantuin beres-beres barang ku,"
"Kamu itu, dari dulu disuruh nikah bilang nanti-nanti aja, sekarang bingung ga ada yang bantuin, apa Meita mama suruh ke sana buat bantuin,"
"Aduh jangan, jangan Ma, kenapa Meita sih Ma, aku ga begitu suka sama dia,"
"Memang apa kekurangan dia?"
"Bukan kekurangan sih, tapi aku kurang suka aja, Mama sama Papa sudah janji kan, kalau aku mau jadi dokter, aku juga akan menikah dengan wanita pilihanku sendiri,"
"Iya, terserah kamu deh, tapi beneran ya pekan depan pulang, itu ponakan kamu sudah kangen, nanyain om Ardi terus,"
"Iya Ma,"
Percakapan mereka sampai di sana, Hamida memilih mengalah dengan putranya, karena selama ini Ardi selalu menurut dengan orangtuanya.
.
.
.
Ardi merebahkan tubuhnya di atas kasur, dia melihat foto-foto Salma keponakannya yang masih berusia dua tahun, yang lucu, dan selalu bermanja-manja dengan Ardi kalau Ardi pulang. Salma adalah anak dari Arka kakaknya.
Sejenak kemudian, dia mulai merapikan barang-barangnya, sungguh banyak, karena sejak kuliah kedokteran sampai sekarang sudah menyandang gelar dokter spesialis bedah syaraf, Ardi menempati kamar itu, yang terletak di sebuah pondok pesantren.
.
.
.
Hari Ahad pukul sepuluh pagi, Najma hampir selesai mengemas table runner pesanan Bu Helena. Karena toko sudah mulai ada beberapa pelanggan, Najma menunggu hingga pukul 12.00 untuk mengantar pesanan.
"Mba Risma, nanti aku tinggal sebentar ngantar pesanan ya," tutur Najma ketika pelanggan telah pergi setelah belanja.
"Iya Mba, apa saya yang antar saja Mba?" Risma menawarkan diri.
"Jangan Mba, beliau pelanggan pertamaku, tapi aku pinjam motor Mba Risma ya, motor ayah belum dipakai setahun ini, harus servis dulu," ucap Najma.
"Iya Mba, silakan pakai aja,"
Sejenak kemudian toko kembali ramai, ada yang sekedar melihat-lihat, ada juga yang berbelanja, dan ada yang memesan beberapa item.
"Mba, uda jam setengah dua belas, nanti telat lho ngantarnya, tinggal aja ga papa," ucap Risma mengingatkan.
"Oh iya, aduh gimana nih, mana lagi rame, bentar aku panggilin Qumil, biar dia bantuin," ucap Najma sembari meraih ponsel dan mengirim pesan kepada Qumil sahabatnya.
Sejenak kemudian Qumil datang. "Buruan pergi, biar aku yang bantuin Risma,"
Qumil memang mengenal Risma, karena dia adalah adiknya Rosna pegawai toko ayah Qumil.
Najma segera menyambar helm nya dan segera menaiki motor Risma dan melaju ke rumah Helena.
Sesampainya di sana rumah itu begitu ramai, mobil-mobil mewah terparkir di tepi jalan depan rumah megah itu.
'Katanya acaranya sore, apa aku salah waktu ya, aduh gimana nih,' batin Najma sambil memarkir motor skupi hitam itu. Dia mengaca di spion sebentar untuk merapikan jilbab dan cadarnya, kemudian segera turun dari motor itu.
Pagar tinggi dari rumah itu terbuka lebar. Pintu rumah juga terbuka, terlihat beberapa wanita seusia Helena sedang berbincang.
'Ma syaa Allah, pertemuan sosialita ini,' batin Najma.
"Assalamualaikum," Najma memberanikan diri mengucap salam.
"Waalaikumusalam, nyari siapa?" jawab seorang pemuda yang baru turun dari mobilnya, berusia 27 tahunan, memakai kostum basket, tubuhnya basah oleh keringat, rupanya habis bermain basket.
"Hey nyari siapa?" tanya pemuda itu lagi karena Najma masih bengong.
"Eh iya, Ibu Helena," sahut Najma setelah sadar.
"Oh, tunggu bentar ya," ucap pemuda itu lalu masuk ke dalam rumah melalui pintu samping.
"Ma.. ada yang nyariin," ucapnya pada Helena.
"Siapa?" tanya Helena di ruang makan menata kue-kue.
"Cewek cantik Ma, pake cadar,"
"Kamu itu Yudha, pakai cadar dibilang cantik, tau darimana kamu, kan ga kelihatan mukanya," Sahut Helena sambil menengok ke arah depan. Yudha tertawa saja dan naik ke lantai atas.
"Oh, gadis itu," Helena segera ke depan.
"Masuklah, sini," Helena meminta Najma masuk, Najma pun mengekor di belakangnya.
"Mungkin aku lupa bilang kalau acaranya diajukan pagi, tapi untunglah kamu datang tepat waktu, letakkan di meja itu, dan duduklah di sini,"
Najma meletakkan kardus berisi pesanan Helena di tempat yang ditunjuk.
"Bu saya langsung pamit saja ya," ucap Najma.
"Ini minum dulu, pasti lelah kamu, di luar panas sekali," Helena menyodorkan segelas air jeruk untuk Najma.
"Baik, terima kasih Bu," sahut Najma sambil menerima kelas itu.
"Kamu di sini dulu, mau saya kenalkan seseorang," Helena kemudian memanggil seseorang juga.
"Ini lho Jeng, yang saya ceritakan tempo hari, table runner untuk ibu-ibu nanti, bagus kan, dia yang bikin," tutur Helena kepada Hamida.
"Oh iya, cantik-cantik, kamu juga cantik, siapa namamu?" tanya Hamida pada Najma.
"Najma, Bu," sahut Najma.
"Siapa Nasma?" Hamida memastikan.
"Ama, panggil saja Ama,"
"Kok bisa tahu cantik? Mukanya aja gak kelihatan, Yudha tadi juga bilang begitu, cantik, coba dibuka cadarnya sebentar, saya pengen tahu, tenang aja, ga ada laki-laki di sini, anak saya ada di atas," Helena membujuk Najma.
Najma masih ragu untuk menuruti.
"Dari matanya sudah kelihatan dia cantik, tapi buka aja Ama, biar puas tuh Bu Helena," Hamida ikut meminta Najma membuka cadarnya, karena dia juga penasaran sebenarnya. Najma membuka sebentar cadarnya, dan...
"Ma syaa Allah," seru Helena dan Hamida.
"Duh kenapa wajah cantik begini disembunyikan?" Helena menyayangkan.
"Yang benar begitu Jeng, dia membungkus wajah cantiknya agar hanya suaminya yang bisa melihat, eh kamu sudah nikah belum?" tanya Hamida.
"Belum, saya masih baru lulus dari pesantren," jawab Najma setelah mengenakan cadarnya kembali.
"Oh," Helena dan Hamida ber oh ria.
Dan muncul lagi satu wanita dari ruang tamu yang menyusul mereka di belakang.
"Pada ngapain sih di sini?" tanya Wanita itu.
"Ini lihat souvenir yang dipesan jeng Helena," sahut Hamida.
"Oh gitu, jadi gimana Jeng? Meita sudah nanyain dokter Ardi terus," tanya wanita itu, iya dia adalah Shanty ibunya Meita yang ingin menjodohkan Meita dengan Ardi.
"Begini Jeng, bukan saya tidak ingin Meita jadi menantu saya, atau berbesan dengan Jeng Shanty, tapi dulu saya dan suami sudah janji dengan Ardi kalau dia sendiri yang berhak memutuskan dengan siapa ia menikah, jadi semuanya saya serahkan kepada Ardi, atau begini saja biar Meita dan Ardi sendiri yang memutuskan bagaimana mereka," kata Hamida.
Mendengar mereka sedang bicara serius, Najma tidak enak hati, dia segera mohon diri.
"Maaf Bu Helena, saya permisi dulu, saya sudah terlalu lama meninggalkan toko," pamit Najma.
"Eh, tunggu dulu Ama," sergah Hamida.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 129 Episodes
Comments
༄👑💗e¢¢e ρтħš αямч💗👑࿐
Aduh ibunya Meita jeng sosialita, koq jadi
2022-09-14
1
🌷𝙈𝙗𝙖 𝙔𝙪𝙡 ☪
bu helena ibu yuda temen bu hamida ibu ardi.. pantes anak nya jg berteman
2022-07-21
0