Ayahnya sebenarnya sudah memberikan pilihan pekerjaan lain untuk diceritakan. Hal-hal yang lebih dekat dengan keseharian anak kelas empat. Ali bisa bercerita tentang ayahnya yang bisa membuat minyak kelapa tanpa harus dipanaskan. Atau tentang bagaimana ayahnya mengajarkan membuat sabun dan pembasmi hama pada khalayak awam.
Untuk yang terakhir justru jadi kebanggan ayahnya Ali. Soalnya acara mengajarkan bagaimana membuat sabun itu diselenggarakan meriah, diliput televisi. Acaranya dipandu langsung oleh pelawak terkenal yang sekaran jadi makin terkenal karena sedang mencalonkan diri jadi anggota dewan. Website kantor ayah masih memajangnya sebagai kebanggaan sampai sekarang.
Tapi Ali membandel. Ali ingin sekali bilang kalimat yang menurutnya sakti. Ayahnya bisa buat bensin dari kayu. Ali menantikan bagaimana teman temannya akan tampak tercengang dan penasaran. Namun Ali tidak menduga tanggapan teman-temannya malah seperti ini.
Saat yang paling dikhawatirkan Ali pun tiba, pulang sekolah. Para ustadzah sudah mengendurkan pengawasan pada anak-anak. Ali merapikan tasnya lambat-lambat. Untuk hari ini, dia memang menghindari bercakap-cakap dengan siapapun Sementara anak lain segera berhamburan keluar kelas.
“Daah.. Ali! Sampai ketemu besok ya” Aira menyempatkan diri untuk menyapa Ali. Senyum ceria khas Aira melengkapi sapaannya. Dia berharap senyumannya cukup untuk menularkan keceriaan pada Ali yang sudah melewati hari yang berat. Suasana hati yang muram bisa membuat getir sebuah senyum Aira yang sebenarnya manis sekali. Ali Cuma tersenyum tipis sambil mengucapkan Insyaallaah.
Zia tetap di kursinya, menunggu untuk keluar kelas bersama Ali. Bukan cuma karena kasihan seperti saat ini saja, tetapi memang hampir setiap hari mereka pulang bersama. Walaupun arti dari pulang bersama cuma menunggu bersama di pekarangan sekolah sampai dijemput orang tua mereka masing-masing.
Pekarangan sekolah saat jam pulang bisa jadi tempat paling membahagiakan. Saat teman tidak lagi disekat oleh kelas-kelas. Para murid bisa saling menyapa dengan teman yang dulu, di tahun-tahun sebelumnya, pernah belajar di ruang kelas yang sama. Namun ramalan Zia hari ini, pekarangan sekolah menjadi tempat menyeramkan buat Ali. Cerita ayah Ali yang bekerja membuat alkohol sudah menyebar dan terpelintir entah bagaimana.
“Waaah.. akhirnya keluar juga ‘nih anak pembuat khamar. Kirain masih mabuk di kelas” kata Javin keras-keras. Banyak anak kelas empat lain yang mendengar kata-kata Javin juga ikut cekikikan. Seperti dugaan Zia, ceritanya sudah menyebar ke kelas empat yang lain. Ali merasa kesal sampai ke ubun-ubun. Zia merangkul Ali sambil menarik Ali bersegera ke pintu gerbang. Sambil membisikkan nasehat agar Ali tidak usah menghiraukan kata-kata Javin.
Ali dan Zia pernah sekelas dengan Javin di kelas satu. Sudah sejak saat itu badan Javin paling tinggi dan paling tegap di kelas. Makanya Zia sangat sadar kalau Ali bukan tandingan Javin bila berkelahi. Sepertinya Javin juga sadar akan hal itu.
“Iya, Zia! Benar begitu. Orang mabuk memang harus dipegangi. Kalau dibiarin jalan sendirian takutnya nanti nyusruk” teriak Javin lagi. Kali ini murid malah lebih banyak lagi murid-murid yang ikut tertawa dengan canda Javin. Ali dengan sedikit meronta, membebaskan diri dari rangkulan Zia. Zia melepaskan tanpa perlawanan walau dalam hati dia bingung harus bersikap bagaimana, apa yang bisa dia lakukan untuk menolong sahabatnya.
“Coba, Li, jalan di garis Li.” Kata Javin masih belum puas. Dia jalan beriring di samping Ali seolah untuk meyakinkan khalayak bahwa Ali jalannya sudah lurus tepat digaris. Ali kesal setengah mati, tetapi tidak punya apa-apa untuk membalas perbuatan Javin. Ali mempercepat langkahnya dan tanpa sadar jadi terpisah agak jauh dari Zia. Javin masih mengiringinya sambil tertawa-tawa dan menarik-narik kecil tas ransel Ali dari belakang. Sambil jalan Ali melepaskan ranselnya agar bisa memeluk ranselnya di dada.
Entah gerakan mana yang salah. Saat mengayunkan ranselnya ke depan, Ali sedikit terhuyung. Berat tas anak sekolah dasar memang kadang-kadang tidak masuk akal. Untuk satu pelajaran kadang harus bawa buku dua buah atau lebih. Padahal dalam satu hari ada tiga sampai empat pelajaran. Ali berusaha menjaga keseimbangannya. Namun jalannya malah sempoyongan beberapa langkah, dan akhirnya, jatuh!
Javin tergelak puas melihatnya. “Ha ha ha ha... tuh ‘kaan... masih mabuk. Tadi pagi kamu salah isi botol minum ya Li. Bukannya dari galon air tapi malah galon tampungan alkohol buatan bapakmu ya. Ha ha ha. Makanya teliti sebelum mengisi. Kayak Ayahmu lah! ‘kan bapakmu peneliti” lanjut Javin sambil berteriak, tertawa di samping Ali yang masih tersungkur di tanah. Diiringi derai tawa dari anak-anak lain yang menonton.
Ali sudah tidak kuat lagi. Entah datang dari mana kekuatan dan keberaniannya. Sambil bangun Ali mengayunkan ranselnya ke arah wajah Javin. Javin tidak menyangka sama sekali. Pantat ransel langsung menerpa hidung Javin. Javin masih belum paham benar apa yang terjadi sampai pantatnya membentur lantai pekarangan sekolah.
Saat dia mencoba membuka mata untuk memeriksa sekitar, dia hanya melihat Ali berdiri penuh amarah di hadapannya. Javin dengan adrenalin yang sudah membanjiri darahnya berusaha berdiri membalas Ali. Namun darah terlanjur mengucur dari hidung Javin. Javin mulai panik saat melihat kemejanya. Bagian dadanya berubah menjadi merah. Darah dari hidungnya masih terus menetes.
“Ustaadz.. ada yang beranteem..” teriak murid-murid perempuan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments