Bocah Pintar Anak Pembuat Khamar

Bocah Pintar Anak Pembuat Khamar

Bocah Pintar Anak Penjual Khamar

“Masyaallaah... Bagus sekali Aira” puji Ustadzah Intan setelah mendengarkan penjelasan muridnya. Ustadzah Intan sangat bangga dengan murid-muridnya. Pekan lalu dia menugaskan tiap anak untuk menuliskan karangan pendek tentang pekerjaan orang tua mereka. Hari ini setiap murid bergiliran membacakan karangan mereka di depan kelas.

Tidak sampai di situ, anak-anak juga diminta menjawab pertanyaan dari teman sekelasnya. Apabila ada yang ingin bertanya lebih lanjut tentang pekerjaan orang tua mereka. Sejauh ini apa yang sudah ditampilkan anak muridnya sudah sangat memuaskan Ustadzah Intan. Muridnya bisa menuliskan, berani menjelaskannya di depan kelas, dan cukup paham untuk menjawab pertanyaan teman-temannya.

“Baiklah, selanjutnya Ali. Coba sekarang giliran Ali yang bercerita” panggil Ustadzah Intan. Ali maju dengan sigap. Dia sudah ngobrol panjang lebar dengan ayahnya soal tugas ini. Ada banyak pekerjaan yang sudah ayah lakukan untuk bisa diceritakan di kelas. Namun Ali memilih menjelaskan apa yang sedang dilakukan ayahnya sekarang.

“Assalamu alaikum teman-teman. Hari ini saya akan cerita pekerjaan ayah saya. Ayah saya peneliti. Kantornya satu kawasan dengan ibunya Zia yang tadi sudah cerita lebih dulu.” Kata Ali membuka ceritanya.

Jika ada yang berpikir bicara di depan anak kelas empat adalah perkara gampang, silakan pikir lagi. Anak kelas empat tidak peduli kapan harus bertanya. Saat ada yang terlintas di kepalanya seketika sudah keluar dari lisannya. Hampir tanpa jeda. Pada beberapa murid yang bercerita sebelumnya, termasuk Zia, Ustadzah Intan memberi peraturan hanya boleh bertanya saat ceritanya sudah selesai. Akibatnya, tidak ada yang bertanya. Maka pada murid yang mendapat giliran belakangan, murid dibebaskan bertanya selama temannya bercerita.

Kadang yang bertugas bercerita akan kesulitan menjaga alur ceritanya sesuai dengan apa yang sudah mereka tulis. Setelah pertanyaan-pertanyaan teman mereka itu. Ustadzah Intan yang menjaga alur cerita dan jumlah pertanyaan agar si murid bisa bercerita sampai akhir. Buat Ustadzah Intan cara ini lebih berhasil ketimbang memancing teman-teman yang mendengar untuk bertanya.

“Peneliti itu ngapain sih” tanya Faiz.

“Nah! Itu dia, peneliti itu pekerjaannya beda-beda, tergantung pemerintahnya suruh bikin apa. Mirip tadi ayahnya Aira yang dokter. Pekerjaannya mengobati orang sakit. Tapi kan sakitnya beda-beda. Jadi dokter melakukan pekerjaan yang sama sekaligus berbeda tiap harinya. Peneliti juga begitu, pekerjaannya beda untuk tiap tahunnya. Tapi tetap saja meneliti untuk mendapatkan suat hal baru. Yang berguna untuk masyarakat, menurut pemerintah” jelas Ali.

“Terus, sekarang ayah kamu sedang buat apa” tanya Queena.

“Itu yang aku mau ceritakan hari ini. Ayahku sedang bikin bensin dari kayu” kata Ali bangga.

“Hah.. kok bisa. Gimana caranya” ada beberapa anak yang hampir serempak mengucapkannya. Agak sedikit riuh jadinya kelas saat itu. Ustadzah Intan yang biasanya memperingatkan anak-anak untuk tenang sepertinya lupa pada tugasnya.

“Bensin kan dari fosil ya .. kok dari kayu ‘sih. Kayunya dijadiin fosil dulu?” terdengar ada yang berkomentar demikian dalam kericuhan di kelas Ustadzah Intan. Ustadzah Intan bersyukur dia tidak buru-buru menyuruh tenang. Dia jadi membuktikan satu hal. Anak muridnya sudah kenal sama bahan bakar, energi dan dari mana asalnya.

“Bukan.. kayaknya seperti kereta api jaman dulu ‘deh. Yang pakai mesin uap. Khan bawa kayu bakar ke mana-mana” kata anak yang lain. Ustadzah Intan makin bangga. “Bukan.. itu loh, kayak mobil di film Flinestone. Serial kartun dari jaman batu.” Ada anak lain yang ikut berkomentar. Baiklah, cukup! Pikir Ustadzah Intan.

“Eh.. gimana ini anak-anak. Kok, jadi gaduh begini. Mau diterusin enggak ceritanya. Gimana ayahnya Ali bikin bensin dari kayu” teriak Ustadzah Intan. Kericuhan mulai mereda. Ali yang dari tadi menikmati rasa penasaran teman-teman sekelasnya, tersenyum-senyum bahagia. “Coba terusin ceritanya Ali, gimana caranya bikin bensin dari kayu” sambung Ustadzah Intan.

Ali mulai menceritakan kalau ayahnya sedang mempelajari cara mengubah kayu menjadi alkohol. Alkoholnya ini yang kemudian dicampur dengan bensin untuk dituang ke mesin mobil, atau digunakan langsung tanpa dicampur.

Ali dan teman temannya adalah murid Sekolah Dasar Islam Terpadu. Sebelum mendengar cerita Ali, teman-teman Ali sudah lebih dulu belajar kalau alkohol itu bahan khamar. Dan khamar itu haram. Makanya setelah mendengar cerita Ali, rasa penasaran soal bahan bakar dan energi yang sebelumnya jadi alasan anak-anak ini mendengar cerita Ali menghilang.

“Alkohol ‘kan sama dengan khamar, Li. Khamar itu ‘kan haram” kata Faiz.

“Tapi ‘kan kalo alkoholnya diminum. Ini ‘kan untuk gantikan bensin” jawab Ali.

“Eh... kata Ustadz Rahmat ‘kan semua dapat dosanya. Ada Hadist-nya loh! Kalo khamar itu mau yang bikin, yang jual, bahkan yang menuangkan Pun dapat dosanya” kata Syaqeela.

“Tapi ‘kan alkoholnya bukan untuk diminum!” ujar Ali setengah berteriak.

Ustadzah Intan paham bahwa dia harus menyudahi semua perdebatan ini. Sayangnya pembelajaran Agama Islam bukan bidang yang dia kuasai. “Sudah, sudah.. enggak apa-apa, Kok. Setahu ustadzah, amalan itu tergantung niatnya. Kalo ayah Ali enggak berniat menjual alkohol untuk minuman khamar, Insyaallaah enggak dosa. Lagian ‘kan banyak juga yang pakai alkohol untuk kebutuhan lain selain untuk mabuk. Membersihkan luka misalnya. Ustadzah sendiri juga pakai pembersih muka yang ada alkoholnya.” Kata Ustadzah Intan berusaha menengahi.

“Memangnya alkohol yang ustadzah pakai buatan orang muslim. Kalo yang buat bukan muslim ‘kan terserah mereka saja ya.”

“Mama aku enggak mau pakai yang ada alkoholnya, Ustadzah. Mau itu kosmetik, mau itu parfum. Katanya alkohol itu najis.”

“Dari mana Ayah Ali tahu kalo alkohol buatannya enggak bakal dipakai buat mabuk”

Pertanyaan bertalu-talu sahut menyahut hingga tidak bisa dipastikan lagi siapa yang menanyakan apa. Keadaan ini membuat Ustadzah Intan kewalahan meladeninya.

“Sudah.. sudah.. cukup! Nanti kita sambung lagi tanya jawabnya ya.. kalian bisa langsung tanya ke Ustadz Rahmat, yang lebih tahu soal hukum Fiqih. Atau bisa tanya sama orang tua masing-masing di rumah. Coba tanya sama mamanya, yang tadi bilang mamanya enggak mau pakai yang ada alkoholnya karena najis, siapa tadi ya? Coba nanti pulang tanya kenapa bisa najis ya” ujar Ustadzah Intan. Kericuhan kelas mulai mereda. Walau banyak yang masih belum puas dengan jawaban Ustadzah Intan. Ada yang masih melanjutkan pembahasan dengan teman-teman di kiri dan kanannya dengan berbisik-bisik.

Ustadzah Intan kemudian menoleh ke arah Ali. “Terima kasih ya Ali. Ceritanya menarik sekali” Katanya. “Ali boleh balik ke tempat duduk ya, ‘Nak.” Lalu sambil mengamati lembar kehadiran, Ustadzah Intan memanggil murid selanjutnya.

Ali kembali ke kursinya dengan lesu. Bagaimana bisa perasaannya naik turun sebegitu cepatnya. Sebentar tadi dia sedang tersenyum bangga. Teman temannya penasaran dengan ceritanya. Sekejap berikutnya dia merasa sangat berdosa.

Terpopuler

Comments

ㅤㅤㅤㅤ😻Kᵝ⃟ᴸ⸙ᵍᵏ نَيْ ㊍㊍🍒⃞⃟🦅😻

ㅤㅤㅤㅤ😻Kᵝ⃟ᴸ⸙ᵍᵏ نَيْ ㊍㊍🍒⃞⃟🦅😻

gemes sama perdebatan para bocah

2022-09-02

2

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!