Permata Hati Sang Mantan Preman
Mentari sudah condong hampir rebah di peraduannya. Tapi pasar kota ini masih sangat sibuk. Ada yang sibuk berkemas. Ada juga yang masih sibuk melayani pembeli.
"Lek. Kok bengong?"
Seorang gadis remaja menegur seorang pembeli ikan. Yang ditegur tersenyum malu.
"Itu, kangmasmu ganteng banget, ya?"
Dia menjawab sambil menerima ikan pesanannya.
"Emangnya baru liat mas Budi, ya? Perasaan dari dulu mas Budi sering deh, ke pasar"
"Beda lah, Put. Dulu sih masih ingusan. Nggak nyangka sekarang ganteng gitu"
"Inget yang dirumah, lek! Cewek nggak boleh pegang dua" tegur Putri, sambil mencarikan kembalian.
"He he"
Budi adalah sosok pemuda dua puluh tiga tahunan, yang punya perawakan tinggi tegap. Badannya atletis, wajahnya tampan, kulitnya putih bersih.
"Gesit banget Put, kerjanya. Beda sama yang di rumah" komentar pembeli itu.
"Nggak boleh gitu, Lin. Suamimu itu dambaan tetanggamu, lho" tegur seorang ibu-ibu.
"Eh, bu Ratih" pembeli itu itu terkejut.
"He he. Iya, bu. Kagum aja, sama gesitnya anak ibu. Udah gitu rapi, lagi. Terstruktur, sistematis, dan massif" lanjutnya.
"Hiyaaa. Malah kampanye" komentar remaja tadi.
"Lulusan pabrik jepang. Wajar kalo gesit. Kalo nggak gesit, bisa kesalip"
Ya, sebelumnya dia bekerja di salah satu perusahaan terkemuka. Bergerak di bidang manufaktur spare part kendaraan bermotor. Dia terkenal karena kepiawaiannya.
"Itu kenapa lagi? Segala lemuru diliatin anunya. Home stay noh, banyak" celetuk pembeli tadi.
"Hus. Sembarangan" tukas bu Ratih.
"Ha ha ha" pembeli itu tertawa lepas. Sampai-sampai yang dibicarakan menoleh.
Memang, dari awal bekerja, dia selalu tertarik dengan hal – hal kecil yang membuat senewen atasannya. Ini apa, untuk apa, mengapa begini, ini nanti akan dirangkai dengan apa, dan sebagainya. Sering atasannya tidak tahu.
Sering dia memberanikan diri untuk bertanya ke atasan yang lebih tinggi. Tak jarang juga dia harus menjelaskan panjang lebar, barulah mendapat jawaban.
"Kenapa, ngger?" tanya bu Ratih.
"Enggak" jawab Budi sambil tergelak.
"Tuh kan, bu Ratih. Aku bilang juga apa" komentar pembeli itu.
"Jangan lemuru, Bud! Ayo aku tunjukin" teriaknya pada Budi.
"Hus. Malah diajakin nggak bener" tukas bu Ratih.
"Ayo, bu" sahut Budi.
"Welah. Nyahut" seru bu Ratih kaget.
"Ha ha ha ha" pembeli itu tertawa terbahak-bahak.
Secara kepribadian, memang, awalnya bisa dibilang dia adalah bad boy. Dengan gaji besar dan jauh dari orang tua, tak pelak membuatnya merasa bebas.
Sengaja dia mencari kontrakan campuran yang bebas. Yang tutup mata sama penghuninya. Beruntungnya, dia dapatkan itu, walau jauh dari tempat kerjanya. Dan penghuninya adalah para karyawan bergaji kecil.
"Kayaknya lagi kangen sama yang di sana. Sampe mencet-mencet anunya ikan" kata pembeli itu.
"Sok tahu" kilah bu Ratih.
"Lah, bu. Anak kalo udah di perantauan, masa iya nggak kenal begituan?"
"Ya belum tentu"
"Hemm. Apa cuman aku ya, yang kurang bisa ngedidik? Sampe anakku kenal begituan"
"Lah. Anakmu kan cewek, Lin?"
"Itu dia, bu Ratih. Kalo anakku yang cewek aja tergoda, lho. Masa Budi yang cowok enggak?"
"Hem?"
"Eh, tapi bukan ngatain lho bu. Ini pikiran aku aja. Jangan dimasukin ati ya, bu!"
"Hem. Iya, deh. Curhat nih, ceritanya?"
Tak ada yang salah dari tebakan pembeli itu. Dengan kekuatan ekonominya, berbagai macam bentuk tubuh wanita di kontrakan itu, pernah Budi cicipi. Mereka suka, karena mendapat tambahan uang jajan banyak.
Dia-diam, teman satu tempat kerjanya malah sudah tak terhitung, yang mau dia ajak bermalam di kamarnya. Pesona wajah dan kekuatan uangnya, sanggup menghipnotis para wanita. Bahkan, ada yang mau menjadi pacarnya, dan tinggal satu kamar dengannya. Walau tanpa embel – embel uang sekalipun. Hampir setiap malam mereka berlakon seperti sepasang suami – istri.
"Bu. Maaf-maaf kata nih. Emang si Budi masih kurang pinter ya bu, kok belum dapet kerja lagi?" tanya si pembeli.
"Kalo kurang pinter, gimana bisa masuk pabrik jepang? Mana kalo kerja, yang diurus nggak cuman satu tempat. Ibaratnya kaya blok ikan, blok daging, sama blok sayur, disatuin"
"Wah, pinter banget itu sih. Tapi kok nggak dilanjut, bu?"
"Nah, itu dia. Nggak tahu kenapa, setelah ditinggal bapaknya, prestasinya jadi turun. Padahal udah mau sholat, mau ngaji, malah menurun"
"Nah, kan. Sama kaya anakku. Dulu juga gitu. Abis aku kawinin, encer lagi. Malah udah punya usaha tuh, sama suaminya. Udah, kawinin aja bu! Encernya dia itu karena dapet anu. Ha ha ha" seru pembeli itu.
"Hus. Sok tahu"
"Ha ha ha"
Tawa pembeli itu menarik perhatian Budi. Dia yang lagi fokus mengemas ikan jadi menoleh ke belakang.
Lagi-lagi tebakan pembeli itu benar. Budi sempat mempunyai keyakinan, semakin sering dia berhubungan badan, maka semakin cepat dia belajar hal – hal baru, dan menemukan ide – ide baru. Makanya, dia suka memanjakan pacarnya agar dia senang melayaninya setiap malam.
Dan seolah menjadi nyata, semakin hari dia semakin banyak menemukan hal – hal yang bisa diefisienkan. Tidak hanya di jalurnya saja, bahkan dia bisa menghubungkan beberapa departemen sekaligus untuk membuat perbaikan bersama.
Puncaknya, dia dipindahkan ke departemen lain, yang membuatnya bisa mengkonsolidasikan antar departemen. Tunjangannya juga lebih besar.
Mendengar hal itu, pacarnyapun ikut senang. Dia juga kebagian rupiah cukup banyak dari Budi. Semua yang Budi mau, pasti dia lakukan.Termasuk rutin minum pil KB.
*Emang bener sih kata ibu itu. Aku emang lagi kepikiran anu. Tapi anunya siapa yang mau dianu, kalo cuman sekedar di anu? Ha ha ha*.
"Ngger. Ibu beli sayur dulu, ya? Kalo Putri udah dapet recehnya, bulek ini langsung suruh pulang, ya! Jangan diajak ngobrol!" seru bu Ratih. Budipun menoleh dan tergelak.
"Ha ha ha. Aku Punya keponakan cewek, Bud. Mending friend aja deh, sama aku" sahut pembeli itu.
Bu Ratih hanya tertawa saja, lalu pergi keluar pasar. Pembeli itu mendekati Budi.
"Gimana, mau nggak? Aku tunjukin" goda pembeli itu.
"Apa? Oh, anu? Ha ha ha" sahut Budi.
"Enggak lek, makasih. Takut aku sama bapak" lanjut Budi.
"Maksudnya? Kan bapakmu udah pergi, Bud?"
"Itu dia, lek. Kalo bapak masih hidup, mau ngasih wejangan sepanjang jalan kenangan juga aku sih woles. Paling pol juga disabet gagang sapu"
"Terus sekarang?"
"Ya kalo ada suaranya nggak ada wujudnya, apa nggak horor, lek? Tengah malem ngasih wejangan. Hii" jawab Budi begidik.
"Mending puasa deh, lek. Nunggu yang halal aja" lanjutnya.
Ada satu pesan moral yang selalu disampaikan bapaknya semasa sekolah dulu, bahwa tidak ada yang lebih tinggi kedudukannya melainkan akhlak yang terpuji. Tak peduli berapapun hartamu, betapapun tingginya pangkatmu, kalau tidak punya akhlak yang baik, orang tidak akan ada yang menemanimu. Temanmu hanyalah orang yang menginginkan harta dan kedudukanmu.
Pesan moral itu terus terngiang di telinganya. Menghantuinya setiap malam sampai empat puluh hari setelah kematian bapaknya.
Berawal dari situ, Budi memutuskan untuk berubah. Dia merasa, bapaknya malah mendapat akses untuk mengawasinya, dari tempat yang dia tidak bisa lihat. Dia selalu dilanda ketakutan di tengah malam, sekalipun pacarnya selalu ada di sampingnya.
"Terus, pacarmu gimana, Bud?" pembeli itu bertanya dengan suara lirih.
"Kepo, deh" jawab Budi.
"Ih, serius."
"Ya ditinggal, lah. Aku pindah kontrakan. Dapet di samping masjid"
"Oh. Dari situ kamu berubah?"
"Yap"
"Aneh. Orang udah kau tobat, kok malah dibikin blangsak, ya?" tanya pembeli itu, tapi entah pada siapa. Budi hanya mengernyitkan keningnya.
Memang benar. Semenjak dia tobat, karirnya di dunia kerja, justru seperti terjun bebas. Otaknya sekarang seperti buntu. Hal kecil yang bisa ditemukan rekan kerjanya, tidak bisa dia temukan. Hal besar yang bisa ditemukan teman lainnya, dia tidak bisa membacanya.
Akhirnya, di penghujung kontrak ke duanya, Budi sama sekali tidak mendapatkan rekomendasi untuk mengikuti tes karyawan tetap. Dia tersingkir oleh rekan – rekan yang meniru gaya kerjanya.
"Mending kamu balik deh, sama pacarmu. Kawin siri aja dulu, biar nggak makan biaya. Dia masih mau kan, sama kamu?" saran pembeli itu. Budi termenung.
Memang, sempat pacarnya menyarankan untuk mengambil tawaran kontrak setahun lagi. Dia mau diajak tinggal serumah lagi, dan melayaninya sesering dulu lagi. Sampai dia mendapatkan rekomendasi tes karyawan tetap. Atau selamanya juga dia mau. Tapi Budi menolak. Dia merasa, memang ini jalan yang harus dia tempuh.
"Emang, dari abis kamu tinggalin, pacarmu nggak nyariin? Apalagi sampe kamu nggak dilanjut gini"
"Nyariin, lek. Sering malah ke kontrakanku yang baru. Sering bawain makanan. Aku nggak ada pemasukan sih"
Sempat Budi bertahan di sana, agar mudah kalau ada yang mengundangnya wawancara. Tapi sampai sebulan lamanya bertahan, tak kunjung ada undangan.
"Kenapa nggak diajakin kawin siri aja?"
"Ya nggak kepikiran lah, lek. Kan nggak populer. Setahu Budi, kalo nikah itu, ya resmi"
"Yaah. Sayang banget. Padahal halal lho itu. malah pilih pulang"
"Ibu yang nyuruh, lek. Budi sih, masih pengen bertahan"
Ya, ibunya menyarankan agar dia pulang dulu ke kampung halaman. Supaya tidak perlu memikirkan kontrakan dan makan. Toh di kampung, Budi bisa membantu ibunya. Dan, begitulah. Akhirnya Budi pulang ke kampung halamannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 335 Episodes
Comments
Kazuki-Ryu
Aku mampir Kak.... Semangat...
2022-11-27
0
mingming
dharis pernah kerja di pelayaran ya...tau bahasa lemuru.😂
2022-09-16
1
marni sumarni
hai kk.. smg kry mu ini bnyk yg suka ya... awal yg dramastis.... smgt kk like.fav dan bunga me darat
2022-07-14
0