mohon bijak dalam membaca cerita ini. nama nama tempat dalam cerita ini, ada yang nyata. tapi cerita ini seratus persen fiktif.
Pak Fajar dan bu Lusi masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Adel yang masih termenung. Bingung dengan kejadian ini. Siapa orang ini, dan mengapa bapak – ibunya malah meninggalkannya hanya berdua dengan orang ini?
“Baru pulang kerja, ya?”
Adel terkejut saat Luki membuka suara. Butuh beberapa detik untuk dia kembali menguasai keadaan.
“O, oh, iya. seperti yang kamu lihat” jawab Adel.
Walau merasa tidak nyaman, tapi Adel tetap memberikan senyum indahnya. Membuat Luki terpesona akan kecantikannya. Secara penampilan, memang berbeda cukup jauh, antara Luki dengan Budi. Paling tidak, itulah yang dirasakan Adel. Tak perlu lihat merek, tapi dari rambut sampai kaki, semua terlihat elegan dan berkelas.
“Maaf ya, aku malam – malam begini nekat nemuin kamu”
Adel tak segera menjawab. Dia masih memperhatikan wajah yang tak kalah tampan dari wajah yang sedari tadi ada di pelupuk matanya. Bedanya, wajah tadi datang tak disangka, pergi tak disangka. Tapi momennya tepat. Kalau yang ini, momennya tidak tepat sama sekali. Seperti pengakuannya. Dan itu membuatnya tidak suka.
“Tadi itu sebenarnya aku cuman mau nengokin simbahku. Simbah putriku lagi sakit” lanjut Luki.
“Oh, simbahmu orang Pacitan?” tanya Adel.
“Iya, dekat pantai Klayar. Aku lupa nama desanya” jawab Luki.
“Lah, kok desa simbahnya sendiri lupa?”
“Hehe, malu – maluin sih, emang”
“Terus, kenapa mampir ke rumahku? Ini udah malam banget. Bisa besok, kan, kalau mau main?”
“Maunya sih gitu. Tapi bu Lusi bikin aku ngeluarin janji, buat dateng malam ini. Jadi ya, beginilah”
“Hmm, ibu”
Adel sama sekali tak menyembunyikan ketidaksukaannya. Dia membuang muka dan melihat ke dalam rumah. Ibunya melotot saat tahu Adel malah melihat ke dalam daripada berbincang dengan Luki.
“Oh ya, kok bisa kenal sama ortuku, gimana ceritanya?” tanya Adel.
“Sebenernya, pak Fajar itu temen sekolah papa” jawab luki.
“Oh ya?”
“Iya. Papa masih nyimpen foto mereka saat naik gunung limo”
“Oh. Bapak nggak pernah cerita”
“He he. Kata papa, aku bisa lahir ke dunia ini, juga berkat jasa pak fajar”
“Maksudnya?”
“Kata papa, dulu mamaku itu, primadona sekolah. Sampai kuliah juga masih primadona. Nah, papa itu orangnya nggak pedean. Padahal kata mama, papa itu ganteng. Nah, dicomblangin tuh, sama bapaknya Adel. Dibantuin tuh, sampai jadian”
“Oh, gitu. Baru tahu, aku”kata Adel, mulai terbawa suasana.
“Nah, saat papa abis nikah, pindah kan tu, ke solo. Secara, mama itu asli solo”
“Putri keraton?” potong Adel.
“Bukanlah”
“Terus”
“Papa nggak tahu, kalo bapaknya Adel punya usaha mebel. Baru setelah lima tahun nggak ketemu, pas balik ke Pacitan, papa baru tahu”
“Terus?”
“Karena papa juga usahanya di bidang mebel, jadi ya nyambung. Apalagi bapaknya Adel kan produknya berkelas semua, tuh. Pelanggannya papa pada puas sama kualitasnya. Jadi kalau ada pesanan mebel, pasti minta dari maker yang sama. Itu artinya, ya harus ke bapaknya Adel lagi”
“Dengan kata lain, papanya mas luki kasih market dong buat bapak aku?”
“Ya, kurang lebihnya begitu”
“Wah, keren tuh” komentar Adel.
“Ah, nggak usah begitu, Del”
“Berarti, keluargaku, punya utang jasa nih sama keluarga mas Luki”
“Impas dong. Kan jasanya pak Fajar juga masih dirasakan papaku”
“Oh, iya ya. He he”
Adel tampak sudah larut dalam cerita Luki. Walau di sisi lain, dia pengen cepet istirahat. Dia mempersilakan Luki untuk meminum teh hangat yang disediakan ibunya.
“Oh ya, mas Luki sendiri, sekarang sibuk apa?” tanya Adel.
“Oh, aku lagi kuliah bisnis, di solo. Aku juga pegen jadi pengusaha seperti papa” jawab Luki.
“Wah, keren tuh. Prospeknya tinggi tuh. Apalagi udah punya jalan dari papanya”
“Ya, gitu deh. Adel sendiri, ngambil jurusan apa?”
“Ya, kurang lebihnya sama, sih”
“Oh.
Dari arah kiri rumahnya, terdengar suara kaki mendekat. Perhatian Adel tersita pada suara langkah kaki itu. Dia merasa, suara langkah itu tidak asing baginya.
“Assalamu’alaikum”
Terdengar suara orang mengucap salam dari luar gerbang depan.
“Wa’alaikum salam” Adel dan Luki menjawab serempak.
“Eh, pak RT. Ada yang bisa Adel bantu, pak?” tanya Adel sembari mendekat.
“Ini, tadi saya lihat ada tamu di rumah mbak Adel. Sampai jam segini belum pulang. Saya mau menanyakan saja, apakah tamu ini mau menginap atau tidak, gitu”
“Tidak, pak. Saya hanya mau ketemu putrinya pak Fajar. Habis ini, saya pulang, pak” sahut Luki. Dia juga mendekat, lalu menyalami pak RT.
“Sudah larut malam, mas. Sebagai ketua RT di sini, saya wajib mengingatkan, kalau ini, sudah tidak lazimnya untuk berkunjung”
“Kenapa pak RT? Mereka cuman ngobrol biasa kok”
Tiba – tiba pak Fajar dan bu Lusi sudah ada di belakang Adel. Pak RT tidak segera menjawab. Ada raut takut tergambar di wajahnya.
“Mereka tanggung jawab saya, pak. Yang cewek kan anak saya. Biarkan saja. Tulis saja menginap” lanjut pak Fajar. Nada bicaranya seperti dia lebih berkuasa di lingkungan ini.
“Dia itu anak temen sekolahku. Sama aja dia itu keponakanku. Apa salah kalau mau tinggal di rumahku?” lanjut pak Fajar lagi.
“Saya, saya, saya cuman menjalankan tugas aja aja, pak Fajar” jawab Pak RT
“Ya udah, tulis aja. Apa lagi?” sahut bu Lusi. Tatapannya tak kalah mengintimidasi dari suaminya.
“Ya sudah pak, bu. Saya pamit dulu. Terimakasih. Assalamu’alaikum” kata pak RT
“Wa’alaikum salam” jawab mereka.
Adel berjalan keluar gerbang, dan memperhatikan ke arah perginya pak RT. Apa yang dia pikirkan ternyata benar. Di perempatan jalan sana, banyak warga berkumpul, berkasak – kusuk tentang dia dan keluarganya. Saat dia muncul, sontak para warga yang berkumpul itu belarian untuk bersembunyi.
Adel menatap wajah ibu dan bapaknya sambil geleng – geleng kepala. Rasa tidak suka itu muncul kembali, menyirnakan rasa nyaman yang sejenak sempat bertahta.
“Pak Fajar, bu Lusi, saya pamit ya” kata Luki memecah keheningan.
“Kok buru – buru? Biarin aja pak RT itu. Dia hanya menjalankan tugasnya. Dan sudah di ijinkan, to?” sahut pak Fajar.
“Lain waktu, saya akan main lagi” jawab Luki.
“Jangan kapok, lho, mas Luki. Warga sini sih, biasa. Kepo” sahut bu Lusi.
“Enggak kok, bu. Saya nggak kapok. Lagian, Adel kan juga butuh istirahat”
“Ya sudah, kalo memang maunya mas Luki begitu. Sampaikan salam saya buat papa mas luki, ya” kata pak Fajar.
“Baik, Pak luki. Saya pamit pak, bu” kata luki sambil menyalami keduanya.
“Adel, maaf ya, ganggu waktu istirahatnya” kata Luki saat mengulurkan tangannya ke arah Adel.
“Iya, nggak papa” jawab Adel. Dengan malas dia menerima uluran tangan Luki.
“Hati – hati mas Luki” seru bu Lusi.
“Ya, bu” sahut Luki.
Dia pun pulang. Deru kenalpot mobinya mengiringi kepergiannya. Adel langsung balik kanan, bahkan saat Luki belum sepenuhnya pergi dari depan rumahnya. Dia langsung naik dan masuk ke dalam kamar. Tak peduli orang tuanya berseru mengajaknya bicara.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 335 Episodes
Comments
mingming
edyan....mestine kan seneng ada yg ngasih perhatian.
2022-09-16
1
marni sumarni
lnjut kk thor
2022-07-28
0