Mentari sudah condong hampir rebah di peraduannya. Tapi pasar kota ini masih sangat sibuk. Ada yang sibuk berkemas. Ada juga yang masih sibuk melayani pembeli.
"Lek. Kok bengong?"
Seorang gadis remaja menegur seorang pembeli ikan. Yang ditegur tersenyum malu.
"Itu, kangmasmu ganteng banget, ya?"
Dia menjawab sambil menerima ikan pesanannya.
"Emangnya baru liat mas Budi, ya? Perasaan dari dulu mas Budi sering deh, ke pasar"
"Beda lah, Put. Dulu sih masih ingusan. Nggak nyangka sekarang ganteng gitu"
"Inget yang dirumah, lek! Cewek nggak boleh pegang dua" tegur Putri, sambil mencarikan kembalian.
"He he"
Budi adalah sosok pemuda dua puluh tiga tahunan, yang punya perawakan tinggi tegap. Badannya atletis, wajahnya tampan, kulitnya putih bersih.
"Gesit banget Put, kerjanya. Beda sama yang di rumah" komentar pembeli itu.
"Nggak boleh gitu, Lin. Suamimu itu dambaan tetanggamu, lho" tegur seorang ibu-ibu.
"Eh, bu Ratih" pembeli itu itu terkejut.
"He he. Iya, bu. Kagum aja, sama gesitnya anak ibu. Udah gitu rapi, lagi. Terstruktur, sistematis, dan massif" lanjutnya.
"Hiyaaa. Malah kampanye" komentar remaja tadi.
"Lulusan pabrik jepang. Wajar kalo gesit. Kalo nggak gesit, bisa kesalip"
Ya, sebelumnya dia bekerja di salah satu perusahaan terkemuka. Bergerak di bidang manufaktur spare part kendaraan bermotor. Dia terkenal karena kepiawaiannya.
"Itu kenapa lagi? Segala lemuru diliatin anunya. Home stay noh, banyak" celetuk pembeli tadi.
"Hus. Sembarangan" tukas bu Ratih.
"Ha ha ha" pembeli itu tertawa lepas. Sampai-sampai yang dibicarakan menoleh.
Memang, dari awal bekerja, dia selalu tertarik dengan hal – hal kecil yang membuat senewen atasannya. Ini apa, untuk apa, mengapa begini, ini nanti akan dirangkai dengan apa, dan sebagainya. Sering atasannya tidak tahu.
Sering dia memberanikan diri untuk bertanya ke atasan yang lebih tinggi. Tak jarang juga dia harus menjelaskan panjang lebar, barulah mendapat jawaban.
"Kenapa, ngger?" tanya bu Ratih.
"Enggak" jawab Budi sambil tergelak.
"Tuh kan, bu Ratih. Aku bilang juga apa" komentar pembeli itu.
"Jangan lemuru, Bud! Ayo aku tunjukin" teriaknya pada Budi.
"Hus. Malah diajakin nggak bener" tukas bu Ratih.
"Ayo, bu" sahut Budi.
"Welah. Nyahut" seru bu Ratih kaget.
"Ha ha ha ha" pembeli itu tertawa terbahak-bahak.
Secara kepribadian, memang, awalnya bisa dibilang dia adalah bad boy. Dengan gaji besar dan jauh dari orang tua, tak pelak membuatnya merasa bebas.
Sengaja dia mencari kontrakan campuran yang bebas. Yang tutup mata sama penghuninya. Beruntungnya, dia dapatkan itu, walau jauh dari tempat kerjanya. Dan penghuninya adalah para karyawan bergaji kecil.
"Kayaknya lagi kangen sama yang di sana. Sampe mencet-mencet anunya ikan" kata pembeli itu.
"Sok tahu" kilah bu Ratih.
"Lah, bu. Anak kalo udah di perantauan, masa iya nggak kenal begituan?"
"Ya belum tentu"
"Hemm. Apa cuman aku ya, yang kurang bisa ngedidik? Sampe anakku kenal begituan"
"Lah. Anakmu kan cewek, Lin?"
"Itu dia, bu Ratih. Kalo anakku yang cewek aja tergoda, lho. Masa Budi yang cowok enggak?"
"Hem?"
"Eh, tapi bukan ngatain lho bu. Ini pikiran aku aja. Jangan dimasukin ati ya, bu!"
"Hem. Iya, deh. Curhat nih, ceritanya?"
Tak ada yang salah dari tebakan pembeli itu. Dengan kekuatan ekonominya, berbagai macam bentuk tubuh wanita di kontrakan itu, pernah Budi cicipi. Mereka suka, karena mendapat tambahan uang jajan banyak.
Dia-diam, teman satu tempat kerjanya malah sudah tak terhitung, yang mau dia ajak bermalam di kamarnya. Pesona wajah dan kekuatan uangnya, sanggup menghipnotis para wanita. Bahkan, ada yang mau menjadi pacarnya, dan tinggal satu kamar dengannya. Walau tanpa embel – embel uang sekalipun. Hampir setiap malam mereka berlakon seperti sepasang suami – istri.
"Bu. Maaf-maaf kata nih. Emang si Budi masih kurang pinter ya bu, kok belum dapet kerja lagi?" tanya si pembeli.
"Kalo kurang pinter, gimana bisa masuk pabrik jepang? Mana kalo kerja, yang diurus nggak cuman satu tempat. Ibaratnya kaya blok ikan, blok daging, sama blok sayur, disatuin"
"Wah, pinter banget itu sih. Tapi kok nggak dilanjut, bu?"
"Nah, itu dia. Nggak tahu kenapa, setelah ditinggal bapaknya, prestasinya jadi turun. Padahal udah mau sholat, mau ngaji, malah menurun"
"Nah, kan. Sama kaya anakku. Dulu juga gitu. Abis aku kawinin, encer lagi. Malah udah punya usaha tuh, sama suaminya. Udah, kawinin aja bu! Encernya dia itu karena dapet anu. Ha ha ha" seru pembeli itu.
"Hus. Sok tahu"
"Ha ha ha"
Tawa pembeli itu menarik perhatian Budi. Dia yang lagi fokus mengemas ikan jadi menoleh ke belakang.
Lagi-lagi tebakan pembeli itu benar. Budi sempat mempunyai keyakinan, semakin sering dia berhubungan badan, maka semakin cepat dia belajar hal – hal baru, dan menemukan ide – ide baru. Makanya, dia suka memanjakan pacarnya agar dia senang melayaninya setiap malam.
Dan seolah menjadi nyata, semakin hari dia semakin banyak menemukan hal – hal yang bisa diefisienkan. Tidak hanya di jalurnya saja, bahkan dia bisa menghubungkan beberapa departemen sekaligus untuk membuat perbaikan bersama.
Puncaknya, dia dipindahkan ke departemen lain, yang membuatnya bisa mengkonsolidasikan antar departemen. Tunjangannya juga lebih besar.
Mendengar hal itu, pacarnyapun ikut senang. Dia juga kebagian rupiah cukup banyak dari Budi. Semua yang Budi mau, pasti dia lakukan.Termasuk rutin minum pil KB.
*Emang bener sih kata ibu itu. Aku emang lagi kepikiran anu. Tapi anunya siapa yang mau dianu, kalo cuman sekedar di anu? Ha ha ha*.
"Ngger. Ibu beli sayur dulu, ya? Kalo Putri udah dapet recehnya, bulek ini langsung suruh pulang, ya! Jangan diajak ngobrol!" seru bu Ratih. Budipun menoleh dan tergelak.
"Ha ha ha. Aku Punya keponakan cewek, Bud. Mending friend aja deh, sama aku" sahut pembeli itu.
Bu Ratih hanya tertawa saja, lalu pergi keluar pasar. Pembeli itu mendekati Budi.
"Gimana, mau nggak? Aku tunjukin" goda pembeli itu.
"Apa? Oh, anu? Ha ha ha" sahut Budi.
"Enggak lek, makasih. Takut aku sama bapak" lanjut Budi.
"Maksudnya? Kan bapakmu udah pergi, Bud?"
"Itu dia, lek. Kalo bapak masih hidup, mau ngasih wejangan sepanjang jalan kenangan juga aku sih woles. Paling pol juga disabet gagang sapu"
"Terus sekarang?"
"Ya kalo ada suaranya nggak ada wujudnya, apa nggak horor, lek? Tengah malem ngasih wejangan. Hii" jawab Budi begidik.
"Mending puasa deh, lek. Nunggu yang halal aja" lanjutnya.
Ada satu pesan moral yang selalu disampaikan bapaknya semasa sekolah dulu, bahwa tidak ada yang lebih tinggi kedudukannya melainkan akhlak yang terpuji. Tak peduli berapapun hartamu, betapapun tingginya pangkatmu, kalau tidak punya akhlak yang baik, orang tidak akan ada yang menemanimu. Temanmu hanyalah orang yang menginginkan harta dan kedudukanmu.
Pesan moral itu terus terngiang di telinganya. Menghantuinya setiap malam sampai empat puluh hari setelah kematian bapaknya.
Berawal dari situ, Budi memutuskan untuk berubah. Dia merasa, bapaknya malah mendapat akses untuk mengawasinya, dari tempat yang dia tidak bisa lihat. Dia selalu dilanda ketakutan di tengah malam, sekalipun pacarnya selalu ada di sampingnya.
"Terus, pacarmu gimana, Bud?" pembeli itu bertanya dengan suara lirih.
"Kepo, deh" jawab Budi.
"Ih, serius."
"Ya ditinggal, lah. Aku pindah kontrakan. Dapet di samping masjid"
"Oh. Dari situ kamu berubah?"
"Yap"
"Aneh. Orang udah kau tobat, kok malah dibikin blangsak, ya?" tanya pembeli itu, tapi entah pada siapa. Budi hanya mengernyitkan keningnya.
Memang benar. Semenjak dia tobat, karirnya di dunia kerja, justru seperti terjun bebas. Otaknya sekarang seperti buntu. Hal kecil yang bisa ditemukan rekan kerjanya, tidak bisa dia temukan. Hal besar yang bisa ditemukan teman lainnya, dia tidak bisa membacanya.
Akhirnya, di penghujung kontrak ke duanya, Budi sama sekali tidak mendapatkan rekomendasi untuk mengikuti tes karyawan tetap. Dia tersingkir oleh rekan – rekan yang meniru gaya kerjanya.
"Mending kamu balik deh, sama pacarmu. Kawin siri aja dulu, biar nggak makan biaya. Dia masih mau kan, sama kamu?" saran pembeli itu. Budi termenung.
Memang, sempat pacarnya menyarankan untuk mengambil tawaran kontrak setahun lagi. Dia mau diajak tinggal serumah lagi, dan melayaninya sesering dulu lagi. Sampai dia mendapatkan rekomendasi tes karyawan tetap. Atau selamanya juga dia mau. Tapi Budi menolak. Dia merasa, memang ini jalan yang harus dia tempuh.
"Emang, dari abis kamu tinggalin, pacarmu nggak nyariin? Apalagi sampe kamu nggak dilanjut gini"
"Nyariin, lek. Sering malah ke kontrakanku yang baru. Sering bawain makanan. Aku nggak ada pemasukan sih"
Sempat Budi bertahan di sana, agar mudah kalau ada yang mengundangnya wawancara. Tapi sampai sebulan lamanya bertahan, tak kunjung ada undangan.
"Kenapa nggak diajakin kawin siri aja?"
"Ya nggak kepikiran lah, lek. Kan nggak populer. Setahu Budi, kalo nikah itu, ya resmi"
"Yaah. Sayang banget. Padahal halal lho itu. malah pilih pulang"
"Ibu yang nyuruh, lek. Budi sih, masih pengen bertahan"
Ya, ibunya menyarankan agar dia pulang dulu ke kampung halaman. Supaya tidak perlu memikirkan kontrakan dan makan. Toh di kampung, Budi bisa membantu ibunya. Dan, begitulah. Akhirnya Budi pulang ke kampung halamannya.
Malam ini Budi merasa sangat suntuk. Surat lamaran kerjanya, belum satupun yang bersambut. Pulang dengan status jobless menjadi beban tersendiri buat budi.
Sejak lama memang, keluarganya menjadi sorotan warga. Karena orang tua Budi, suka sekali membantu orang, dan berbagi makanan dengan orang yang lebih tidak punya. Membuat tetangganya juga menaruh hormat padanya.
Tapi itu tidak berlaku bagi mereka yang dengki dengan keluarganya. Mereka akan mengupas setiap keburukan yang menimpa keluarga Budi. Apalagi kalau ada aib, mereka akan menyebarkannya seheboh mungkin.
Seperti malam ini, sat pulang dari toko, dia tidak sengaja mendengar ibu – ibu yang sedang merumpi.
“Hahahaha, si Ratih, sekarang kena batunya kan. Dulu belagu sih” kata seorang ibu – ibu.
“Iya, miskin sih, miskin aja, ya. Bener tuh, belagu. Sama suami saya didaftarin raskin, nggak mau. Disuruh kasihin mak Iyah aja, katanya” sahut ibu – ibu lainnya.
“Mentang – mentang anaknya udah kerja, bilangnya, gajinya gede. Cukup buat nyukupin sekeluarga”
“Iya, pake sok lagi, si Budi. Deket – deket anak saya” sahut yang lain lagi.
“Sekarang kena batunya kan?”
“Iya. dua tahun doang. Sekarang, nganggur lagi. Nggak guna jadi anak laki”
“Emang, anak itu nggak berguna. Dulu jaman sekolah, bisanya tawuran, mulu. Bikin malu kampung. Sekarang, bikin susah orang aja”
“Emang Ratih sampe nyusahin sampeyan, mbak?”
“Kan pas suaminya meninggal, dia utang beras sama aku, lima puluh kilo. Terus kambingnya, siapa yang nalangin? Suamiku. Bilangnya mau nyicil, sampe sekarang, mana? Makan aja pake teri mulu. Boro – boro bayar utang. Perutnya juga nambah satu. Pasti banyak tuh makannya”
“Masa sama ipar sendiri kaya gitu, mbak”
“Ipar macem apa, dari dulu nyusahin mulu. Kawin aja suamiku yang nyokong dananya. Rumah, rumah itu, siapa yang nalangin? Suamiku. Sampe sekarang belum lunas itu. Ujung – ujungnya diiklasin gitu aja, sama suamiku”
Panas telinga Budi mendengar rumpian mereka. Wanita itu adalah istri kakak pertama ibunya. Ibunya adalah anak terakhir dari empat bersaudara. dari keempatnya, hanya ibunya memang yang paling tidak sukses.
Budi segera meninggalkan tempat itu. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk berurusan dengan hukum.
"Assalamualaikum" sapa Budi, lesu.
"Walaikum salam" jawab ibu dan adiknya.
Budi langsung ke dapur, membuat ibu dan adiknya saling memandang.
"Kamu Jalan-jalan dulu gih, nyegerin pikiran!" saran ibunya, saat Budi kembali ke depan.
"Nyindir. Budi kan nggak punya cewek, bu" sahut Budi.
"Siapa tahu abis jalan dapat cewek" sahut adiknya.
"Banyak kafe baru lho, di kota. Ada yang pakai live music juga" lanjut adiknya.
"Live music?" tanya Budi.
"Iya. Tongkrongan para jomblo. Bening-bening mas, ceweknya. Percaya, deh!" jawab adiknya.
"Ikut, yuk!" ajak Budi.
"Yeee. Nggak jadi dapet cewek dong, kalo ngajak Putri. Minder duluan, liat Putri"
"Huu. Sok cantik" kata Budi sambil mengacak-acak rambut adiknya.
Putri tertawa saat kakaknya pergi ke kamar. Tak lama kemudian, Budi sudah siap untuk pergi.
"Beneran nggak ikut?" tanya Budi.
Putri terpana dengan penampilan kakaknya. sampai-sampai dia tertegun. Lalu dia menutupi wajahnya dengan tangannya, saat ditegur ibunya.
"Ya Alloh. Kenapa aku jadi adiknya dia?" gumam Putri.
"Huuss. Sembarangan" tegur ibunya.
"Ha ha ha"
Budi hanya bisa geleng-geleng kepala, menanggapi kelucuan adiknya.
"Budi jalan dulu ya, bu" pamit Budi saat salim.
"Ati-ati, ngger!" jawab ibunya.
"Ati-ati aa' !" kata Putri saat salim.
"Hiiss. Nekat" tegur ibunya sambil menepuk pahanya.
"Ha ha ha ha"
Budi lantas pergi dengan motornya. Sejenak angan – angannya melayang ke masa lalu, dimana dia merasa serba berkecukupan
"Haih Liz. Hidup gua blangsak, Liz. Kerjaan belum dapet, tabungan nipis. Tetangga pada nyinyir, lagi. Apa gua terima aja ya, tawan lu?"
Budi berbicara seolah yang bernama Liza itu ada di depannya.
"Tapi kalo inget bapak, horor tahu nggak, sih? Bapak tuh kaya malah dapet akses cctv lintas alam. Dia tahu aja kita abis mesum. pasti muncul suara dia. Mana deket banget lagi, kaya di balik jendela" lanjut Budi bermonolog.
Budi mengendarai motornya tak tentu arah. Tak kunjung mendapat ketenangan, Budi membelokkan motornya kembali ke kota, melewati jalur pintas itu.
"Masa iya gua harus balik ke jaman dulu? Duitnya gede, tapi gimana sama ibu, ya? Enggak. Nggak mungkin gua balik ke jaman dulu. Ibu pasti sedih. Dan pasti banyak yang ngeledekin ibu. Itu nggak boleh terjadi.
Budi memutuskan untuk main ke kafe yang ada live musicnya. Suasana cukup ramai malam ini. Bahkan bisa dibilang sangat ramai. Hampir semua kursi yang tersedia, terisi oleh muda – mudi.
Dia menemukan kursi yang masih kosong. Walau pemandangan dari kursi itu kurang memadahi, tapi lumayan. Ada live music yang bisa menghibur hatinya.
Budi memesan secangkir kopi dan kentang goreng. Musik yang mengalun indah dengan suara penyanyi yang merdu itu kurang mendapat perhatiannya. Dia lebih banyak memperhatikan layar ponselnya. Berharap ada email atau pesan singkat, yang memberikannya harapan untuk bisa secepatnya kembali mendapatkan pekerjaan.
*Bud. Lu kapan balik? Gua kangen tahu, sama lu. Mentang-mentang punya Liza, jarang banget lu nyentuh gua. Tapi nggak papa, sih. Gua bukan mau bahas Itu. Gua cuman mau bilang, kalo gua udah siapin jalan buat lu. Kapanpun lu siap balik, gua pastiin lu langsung kerja. Dan biar lu langgeng di sini, gua sama siapnya sama si Liza. Gua yakin lu pasti bisa dapetin rekomendasi tes kartap. gimana? Kapan gua mesti booking tiket buat lu*?
"Haiiih, Mita. Gua masih kepikiran sama bapak gua. Kalo nggak berasa horor sama suara almarhum, gua sih hayu aja. Haduhh, gmana ya?" gumam Budi.
Hatinya menjadi bimbang. Apakah dia akan menerima tawaran itu lagi? Menarik sekali tawarannya. Tapi dia berpikir, kalau jalan itu dia ambil, itu sama saja dengan mengusik ketenangan istirahat bapaknya.
Budi tidak mau mengganggu istirahat bapaknya, tapi dia juga sangat marah kalau mendengar ibunya dihina. Andai yang menghina itu laki – laki, dengan senang hati dia akan mengajak orang itu duel sampai mati. Tapi ini perempuan, masih saudaranya. Suami wanita itu adalah pakdenya sendiri. Orang yang selalu membantu keluarganya disaat membutuhkan. Budi tidak mungkin menonjoknya.
“Hai, kok bengong”
“Hai, kok bengong”
Sebuah suara menyentakkan angan – angan budi. Dia terkejut melihat seorang wanita cantik, tersenyum padanya. Dia mengambil tas dari kursi di seberangnya, dan mengambil lipstik dari dalamnya.
“Oh, maaf, ini kursi anda ya? Saya tidak tahu kalau ada tas di situ. Saya pikir kosong. Saya pindah deh” jawab Budi.
“Eh, nggak usah. Nggak papa kok. Emang kosong. Aku cuman pinjem aja. Biasa, kalau aku lagi ngejob di sini, aku pinjem kursi ini buat naruh tas. Tapi kalau rame begini, ya aku yang pindah” cegah wanita itu.
“Alhamdulillah. Terimakasih ya. Penuh semua kursinya”
“Hahaha. Ngomong – ngomong, sendirian aja nih? Bengong lagi. Abis putus ya? Hihihi” goda wanita itu.
Budi terkesiap sejenak. Tawa itu, sukses mencuri perhatiannya. Tubuh langsing berbalut gaun hitam, menawan hati.
“Iya” jawabnya singkat.
“Ha, serius?”
“Putus kontrak” jawab Budi lagi.
“Oh, gitu. Emang kerja dimana, tadinya?”
“Di seputaran jabotabek, astr* *******”
“Loh, itu kan nama spare part motor kan?”
“Iya. Aku kerja di salah satu pabriknya. Kemarin”
“Oh, gitu”
“Budi” kata dia memperkenalkan diri.
“Adel” jawab wanita itu. Dia menerima uluran tangan Budi
“Adelia wilhelmina” celetuk Budi.
“Adelia fitri” koreksi si Adel.
“Oh” respon Budi sambil tergelak. Adel menepuk jidatnya. Merasa terjebak.
“Kamu, Budi Utomo?” goda Adel.
“Kok tahu? Wah, kamu punya six sense ya?” respon Budi sambil berlagak terperanjat.
“Ih, enggak. Aku cuman asal kok. Emang itu nama lengkap kamu?”
“Iya. pemberian almarhum bapak. Biar kaya pahlawan. Yang berjuang tak kenal menyerah. Hahaha”
“Betul itu, jangan pernah menyerah! Jadi cowok harus tahan banting. Masa baru putus kontrak aja, bengongnya ampe nggak merhatiin aku”
Raut wajah itu, terlihat menggemaskan buat Budi. Dagu lancip itu, seolah mengundang untuk mencoleknya.
“Eh, barusan tadi, kamu ya?”
“Iya”
“Waduh, maaf deh. Emang lagi puyeng, akunya”
“Segitunya mas, mikirin cari kerja. Anak udah berapa?” goda penanyi itu.
“Anak? Hahaha. Kalo punya anak, mana bisa aku nongkrong di sini?” jawab Budi berkelakar.
“Hmpf. Ha ha ha, iya juga sih. Tapi perasaan, temen kuliah aku nggak segitunya pusing mikrin cari kerja. Ya nyari sih, tapi tetep enjoy gitu”
“Ya, itu karena aku masih punya adek yang masih sekolah. Perlu biaya banyak. Sedangkan ibu, usianya semakin bertambah. Secara fisik pastinya makin berkurang kan, kemampuannya. Sudah dua tahun nggak nyusahin aja, udah untung. Eh, ini nyusahin lagi. Kebayang nggak sih, rasanya?”
“Oh, gitu, ya? Iya, aku kebayang kok. Pasti bangga ya, ibu kamu. Kamu orang pertama lho, yang aku temui, mikir masa depan sampe bengong kaya gitu. Hahaha”
“Masa sih?”
“Bener”
Senyum itu, cukup ampuh menggetarkan hati Budi. Dari sekian banyak wanita cantik yang pernah ada di sekitarnya, baru penyanyi ini yang sanggup membuatnya benar – benar terpesona.
“Kita panggilkan lagi, artis cantiknya pacitan. Mbak adel”
Suara dari MC menyita perhatian kami. Adel membalikkan tubuhnya, dan mengacungkan jempolnya. Sontak, sorak – sorai dan tepuk tangan membahana di seantero kafe.
“Tenangin aja dulu, biar nggak stres. InsyaAlloh, nanti ada jalan” kata adel sebelum pergi.
Senyum itu, sukses menular ke Budi. Dia ikut tersenyum sembari menangguk. Rahang tirus, bibir tipis, hidung mbangir, alis yang juga tipis alami, semakin lengkap dengan kulit cerah dan rambut lurus, hitam alami.
Mata Budi terpaku pada wajah ayu itu. Sejenak pikirannya teralihkan. Bahkan sampai adel berjalan menuju panggungpun, mata Budi belum bisa lepas.
“Kita duet ya, mas” kata adel mengawali penampilannya kali ini.
“Kamu pengen bawain lagu apa?” tanya teman musisinya.
“Kita bawain lagu yang semangat ya. Biar yang lagi down, karena patah hati, “ adel berhenti sejenak.
“Huuuuu”
Para pengunjung memberikan sorakan. Seolah tersindir oleh kata – kata adel. Adel tergelak.
“Yang lagi galau, yang lagi pusing mikirin masa depan,”
“Huuuuuu”
Lagi –lagi adel sukses memancing sorak – sorai dari para pengunjung. Tepuk tanganpun kembali membahana.
Sejenak dia memandang ke arah Budi. Memuat budi deg - degan, dipandang wanita secantik itu.
“Bisa tetap semangat, dan terus berjuang” lanjut Adel dengan akhiran suara melengking.
“WHUUUUUUU”
Semakin membahana sorak – sorai dari para pengunjung. Seluruh pengunjung bersorak.
“Ketika mimpimu, “
“Whuuuuuu”
Baru juga dua kata terlantunkan, tanpa iringan gitar, sambutannya sudah sangat meriah. Kalau mayoritas pengunjung adalag satu generasi, pastilah langsung beraksi. Sudah hafal di luar kepala.
“Yang begitu indah, tak pernah terwujud, “
“YA SUDAH LAAH” sahut para pengunjung kompak.
Adel berhenti sejenak. Dia tebarkan senyumnya ke segenap pengunjung. Dia memberikan tepuk tangan tipis, sebagai apresiasi pada spontanitas para pengunjung. Seperti dikomando, para pengunjung juga balik memberikan tepuk tangan meriah padanya.
“Saat kau berlari, mengejar anganmu. Dan tak pernah sampai, “
“YA SUDAHLAH” sorak para pengunjung lagi.
Adel berhenti lagi. Dia tersenyum lebar, mendapati hampir semua pengunjung merespon lagi, lagu yang dia dendangkan. Akustik belum dia kasih kode untuk masuk mengiringi.
“Apapun yang terjadi, “
“KU KAN SELALU ADA UNTUKMU” sahut para pengunjung.
“Janganlah kau bersedih, “
“BECAUSE EVERYTHING’S GONNA BE OKEY”
Dari belakangnya, salah satu gitaris menyanyikan bagian dari lirik rap lagu itu. Dan musik akustik mengalun mengiringi lirik itu. Pengunjung bersorak – sorai terbawa dengan ritme lagu yang semangat. Ada yang berjoget, ada juga yang malah baper bahkan menangis.
“Saat kau berharap, keramahan cinta, tak pernah kau dapat, “
“YA SUDAHLAH”
Sampai lagu itu selesai, pengunjung tak henti – hentinya bernyayi bersama. Di dua bait terakhir, pengelola kafe bahkan mematikan lampu. Serentak pengunjung menyalakan lampu flash ponsel mereka. Menciptakan suasana romantis penuh aura semangat. Tanpa diatur, tanpa skeario, semua terjadi begitu saja.
Saat dia turun dari pentas, dan akan kembali ke mejanya, banyak pengunjung yang ingin menyalami Adel. Beberapa yang beruntung, bahkan diberi kesempatan untuk selfie bersama juga. Budi memberikan tepuk tangan dan membungkukkan tubuhnya sedikit, sebagai penghargaan, saat adel kembali ke arahnya.
Pembawa acara kembali memanggil penyanyi lain setelah mengucapkan terimakasih kepada adel, atas penampilannya yang luar biasa. Adel melambaikan tangannya kepada segenap pengunjung. Lalu duduk lagi dengan senyum yang masih merekah.
“Loh, ini minuman siapa, mas?” tanya adel bingung.
“Oh, buat adel” jawabku.
Memang, tadi sewaktu dia perform di atas panggung, Budi memesan satu minuman lagi buat dia. Sebagai bentuk apresiasi atas penampilannya yang memukau.
“Aduh, makasih. Pas banget, lagi haus. Aku minum, ya” komentar adel
“Iya, silakan”
Budi gembira hatinya. Ternyata adel bukan orang yang jaim, atau sok artis. Dia tidak menolak pemberian Budi. Membuat pengunjung di sekitarnya berkomentar salut. Mereka salut atas keramahan yang ditunjukkan Adel, sekalipun dia adalah bintang utama di pentas itu.
Bagi adel sendiri, sosok Budi adalah sosok yang mampu menyita perhatiannya. Wajah tampannya, sikap yang alami, tanpa dibuat – buat. Memberi kesan tersendiri.
Kebanyakan dari laki – laki sungkan untuk mengajaknya berkenalan. Yang terang – terangan mendekatinya hanyalah mereka yang seprofesi dengannya. Atau juga mereka yang anak orang kaya, yang selalu menampakkan kekayaannya untuk memikat perhatiannya.
Tapi buatnya, kesamaan pikiran mereka, mengenai kekayaan bisa memikatnya, membuat suasana terasa monoton, buat Adel. Dan kejutan kecil ini, dia sangat suka.
“Oh ya, kamu bilang tadi, kamu alumni pabrikan spare parts motor ya?” tanya Adel membuka suara.
“Alumni? Hahaha. Iya. Kenapa emang?” jawab Budi sambil tergelak.
“Pasti tiap tahun ada acara family gathering, kan?”
“Iya, terus?”
“Minta nomor kamu dong. Kali aja mereka butuh live music, bisa undang kita kan?”
“Tapi kan aku udah alumni”
“Alumni itu kan di atas kertas. Secara persaudaraan, harusnya masih terhubung kan?”
“Bener juga sih. Boleh”
“Berapa?”
budi menyebutkan nomor ponselnya. Tak lama kemudian, muncul pesan singkat di ponselnya. Foto profilnya sama persis dengan orang yang di hadapanku. Jadi, fix, itu nomor dia. Budi menyimpan nomor itu.
“Beneran, ya. Kalo ada job untuk family gathering, kamu info aku” kata Adel. Cara bicaranya seolah sudah kenal lama, dan nyaman dengan Budi.
“Iya, biasanya sih menjelang akhir tahun”
“Oke”
Selang beberapa menit, Adelpun dipanggil kembali ke atas pentas, untuk kembali menghibur para pengunjung kafe.
Saat sedang menikmati penampilan Adel, ibunya Budi menelepon. Menanyakan keberadaan dan kondisinya. Budi menceritakan sedikit mengenai keberadaannya. Ibunya bilang, adiknya minta dibawakan martabak di depan alun – alun, yang pakai gerobak dorong. Bukan martabak yang mangkal menetap. Kata Putri, biasanya jam sembilan sudah tutup.
Budi melihat jam di ponselnya, sudah jam sembilan kurang lima menit. Dia memutuskan untuk pergi, tanpa menunggu Adel selesai perform. Dia meminta secarik kertas pada pengelola kafe.
*Terimakasih atas semangatnya. Semoga kita bisa berjumpa kembali. Sukses selalu. Budi*
Begitu bunyi tulisan yang dia buat di secarik kertas itu. Dan meletakannya di meja. Dia berpesan kepada pengelola kafe, agar kertas itu jangan sampai hilang sebelum dibaca oleh adel.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!