Cinta Kita Di Antara Corona 2
Setelah 7 bulan terpisah karena Corona, kami bersepakat untuk mengakhiri kepedihan ini dengan bertemu di negara ketiga, yaitu Turki. Disebut negara ketiga oleh pasangan yang terpisahkan selama pandemi karena tidak dapat bertemu di negara masing-masing.
Hubungan kami yang hanya berlangsung lewat layar, antara Jakarta dan Jerman, sudah tak mampu mengobati hati kami dengan berbagai drama yang terjadi. Kami butuh bertemu segera.
Luky, tunanganku berangkat lebih dulu dan menungguku di Turki. Hal ini karena aku memiliki sebuah komitmen terhadap project voluntaryku. Aku memimpin sebuah hajatan international yang besar yang disebut aksi bersih-bersih se-dunia atau World Cleanup Day yang melibatkan jutaan relawan di Indonesia.
Aksi ini serentak dilaksanakan di 191 negara lainnya. Sebagai country leader, kupegang teguh janjiku untuk tidak meninggalkan timku di belakang, meski kegiatan ini hanyalah kegiatan relawan, namun aku telah meletakkan hati di sini. Di waktu yang bersamaan, aku tahu hatiku juga terpaut pada lelaki yang menungguku di Turki.
Luky mengerti dengan baik tentang hobi kerelawananku ini dan bersedia menunggu, Ketika aku sampaikan bahwa aku akan tiba beberapa hari setelahnya. Setelah eventku selesai, wawancara di salah satu TV yang levelnya nasional kulakukan dalam keadaan kepepet, tepatnya satu hari sebelum keberangkatanku ke Turki. Namun, semua terkendali dengan baik.
Aku berpamitan dengan tim untuk melanjutkan perjuangan cintaku setelah berjuang untuk Indonesia dalam mengkampanyekan lingkungan melalui aksi tahunannya. Aku telah menepati komitmenku.
Keputusan untuk bertemu di Turki adalah keputusan yang besar yang kami ambil dalam hidup, memilih bersama, apapun resiko ke depan yang akan kami hadapi. Kami terbang demi cinta yang kami percayai.
Perutku terasa mulas berkali-kali, hal ini terjadi karena aku sangat nervous mau bertemu dengannya sebentar lagi. Tak ada ketenangan sama sekali semenjak pesawat take off dari Bandara Jakarta, lalu transit di Doha, kemudian menuju bandara Istanbul yang baru.
Begitu tiba di Istanbul, aku tak dapat mengingat hal lainnya. Hatiku hanya dipenuhi satu, pertemuan dengan Luky. Hati berpacu dengan adrenalinku, inilah yang terjadi saat diri dimabuk cinta. Cinta telah memberikan kekuatan untuk melintasi banyak negara demi bersama.
Jelas sekali, kami hanya memutuskan ini karena cinta semata. Tanpa persiapan lainnya yang kami bawa untuk membina rumah tangga. Tak ada tabungan yang cukup, tak ada rencana masa depan tentang kami akan tinggal di mana setelah dari Turki, kalau ternyata Indonesia dan Jerman masih belum membuka bordernya.
Kami hanya percaya, bahwa jika kami bersama, kami akan bisa melalui semuanya. Dengan modal cinta dan percaya, kami berjuang untuk mempersatukan cinta kami di antara Corona, apapun harga yang harus kami bayar nantinya.
Aku melihatnya dari jauh. Tentu dapat kukenali dengan baik postur tubuh lelakiku, meski wajahnya ditutupi masker. Rambutnya yang berwarna blonde dan dipotong pendek. Postur tubuhnya yang hanya 173 cm tegap dan kekar.
Aku berjalan lebih cepat dan setengah berlari menghampirinya, dia melakukan hal yang sama. Jika ada adegan slow motion di film-film itu, inilah saatnya. Serasa kabur pandangan terhadap lainnya, mata hanya tertuju padanya.
Kami berhamburan satu sama lain, berpelukan erat, melepas masker dan mencium satu sama lain. Mengabaikan berpasang-pasang mata yang memandang. Larut dalam pelukan di antara mata kami sendiri yang berkaca-kaca. Tumpah segala emosi yang telah lama kami pendam bersama.
Terima kasih Turki telah mempertemukan kami. Berbaik hatilah pada kami, bisikku pada semesta. Saat ini aku tahu, semesta memilih tanah ini untuk kisah kami berikutnya. Telah kukejar cintaku ke Turki untuk menjemput kisah-kisah indah lainnya.
Telah kusiapkan diri dengan petualangan yang baru. Akulah Vashla, perempuan yang tahu apa yang aku mau. Perempuan yang meletakkan hati dalam mencintai dan mempercayai mimpi-mimpi dari surat-surat yang kukirimkan pada semesta. Bantu aku merawat cinta kami di Tanah Turki ini, bisikku lagi pada semesta.
"Kita mau jalan pulang sekarang?" Luky bertanya setelah emosi kami sedikit mereda.
"Yuk, pengen istirahat juga dan mandi. Bau banget badanku" kataku sambil mencium aroma ketekku sendiri.
"Coba sini kucium!" Luky mencium ketekku dan juga leherku.
"Nggak bau sama sekali. Kamu wangi dan masih memiliki aroma tubuh yang sama, aroma yang takkan pernah kulupa" katanya sambil tersenyum.
"Ah gombal, kamu begitu, kalau pun aku bau nggak mau bilang" kataku lagi.
Kami berjalan keluar bandara menuju area bus. Luky menggeret koperku dan aku membawa tas punggung biru, tas yang selama ini sudah menemaniku traveling ke mana-mana. Sampai tiba-tiba aku ingat sesuatu.
“Tasku!” aku setengah berteriak.
“Tas yang mana?” tanya Luky yang juga ikut menghentikan langkahnya karena aku juga berhenti.
“Tas selempangku tertinggal di dalam bandara. Aku membawa 3 tas, dan hanya 2 tas yang kuambil saat keluar” jawabku panik.
“Pasti nggak hilang, balik aja lagi, yuk!” Luky tidak panik sama sekali.
Aku memang gampang panik. Tas yang tertinggal adalah satu-satunya tas branded yang kupunya, merupakan hasil tabunganku sendiri saat aku bekerja di salah satu perusahaan di Jakarta. Tas yang paling kucintai dan kubeli dengan jerih payah.
Jarang beli barang branded, sekalinya beli memang benar-benar barang yang kubutuhkan dan kuinginkan. Tas selempang tersebut harus kumasukkan ke bagasi karena ada peraturan baru terbang selama Corona. Penumpang hanya boleh membawa masuk ke kabin satu tas saja, sementara tas lainnya harus dimasukkan ke bagasi pesawat.
Aku yang biasanya menentang dua tas di kabin pesawat sempat kecewa dengan peraturan ini. Tetapi lebih kecewa dengan diri sendiri kenapa tidak membaca aturan penerbangan lebih teliti sebelum terbang.
Aku harus merelakan tas selempangku masuk bagasi pesawat, meski aku sangat menyayanginya karena laptop dan peralatan elektronikku lainnya tidak akan muat dalam tas itu. Tas punggung yang mampu menampung semuanya yang artinya harus kurelakan tas selempang itu untuk dimasukkan ke bagasi.
Setelah membayar jasa wrapping tas di bandara yang menutupi seluruh tasku dengan plastik berlapis dan hatiku sedikit tenang sambil berdoa semoga tasnya terjaga dari lecet dan sebagainya, aku melihat tasku digerakkan di atas conveyor belt setelah proses check in. Bagaimana bisa aku melupakan tas kesayanganku itu.
Kami berjalan cepat, kembali ke tempat di mana aku keluar bandara tadi dan bertemu petugas bandara di sana. Petugas memberi tahu, hanya aku yang boleh masuk, sementara Luky harus menunggu di luar. Hal ini karena hanya aku yang memegang tiket.
Aku berlari menuju lift dan menuruni lift ke lantai dasar, kemudian mencari pintu yang telah ditunjuk oleh petugas. Lalu mencari meja informasi dan memberitahu mereka kalau aku lupa mengambil tasku pada saat pengambilan bagasi.
Mereka menyuruhku menunggu, seseorang akan mengantarkannya padaku di sini. Menunggu, kata-kata yang sangat tidak kusukai saat ini. Karena aku telah menunggu lama untuk dapat bertemu dengan Luky.
Aku baru saja merasakan hangat pelukannya dan sentuhan tangannya. Aku baru memilikinya beberapa menit yang lalu, dan kini, aku merasa seperti terjebak kembali di dalam bandara yang dihalangi dinding dan pintu kaca untuk dapat bertemu dengan lelakiku yang menungguku di luar sana.
Aku masih menunggu, sampai 30 menit kemudian aku mendapatkan tasku kembali. Tak sedikit pun kubuang waktuku, segera berlari menemui Luky dan berhambur ke pelukannya. Jangan, jangan suruh aku menunggu lebih lama untuk dapat memeluknya dan menyentuhnya. Jangan lagi ada drama menunggu ini, please, bisikku pada diriku sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments